Artikel

Bumi, Sebab Kiamat Kapitalisme, Sekaligus Tumpuan Keberlanjutan Kita

Belum lama. Baru beberapa tahun lalu saja, John Halloway dalam bukunya Crack Capitalism  (2012) menggambarkan bagaimana perkasanya kapitalisme mencengkeram cara hidup kita. “Today it is easier to imagine the end of the world than the end of capitalism”. Kapitalisme yang dari hari ke hari terus mereproduksi diri, telah menentukan distribusi penguasaan sumber daya, mengatur setiap aspek kehidupan sosial budaya, pendidikan, gaya hidup, cara fikir, dan harga nafas manusia. Ia juga sekaligus mewakili kefrustrasian para penantang kapitalisme itu sendiri, entah dari ekstrim komunis disatu sisi maupun dari ekstrim anarkis dari sisi yang lain. Kalaupun praktek-praktek perlawanan ini tidak hancur sendiri dari dalam, dia akan dihancurkan dari luar.

Kita tahu, masalah paling penting dari apa yang diciptakan kapitalisme adalah eksploitasi atas bumi dan manusia. Logika profit telah menjadi penyebab kegiatan produksi hanya demi kepentingan produksi itu sendiri. Pertumbuhan dan pemborosan sumberdaya alam, kata Gorz dalam buku Ekologi dan Krisis Kapitalisme (2002), telah merampok planet ini sejadi-jadinya. Kapitalisme juga menajamkan ketidaksetaraan dalam struktur sosial. 1% lapisan sosial ekonomi paling atas dalam struktur sosial kita hari ini, kata Danny Dorling, berkontribusi terhadap ketidaksetaraan tersebut. Namun bagi Dorling, yang menulis buku Inequality and The 1% (2012) itu, percaya bahwa ketimpangan itu nyata, dan bahwa sistem yang timpang hasil sistem bobrok ini akan hancur, adalah hal yang sama-sama disepakati. Tapi yang belum terjawab, lanjutnya, bagaimana dia hancur dan kapan. Sama dengan pernyataan Halloway di atas, hal ini mengandung kefrustasian yang sama.

Tapi itu beberapa tahun lalu. Kefrustrasian itu akan–atau tengah–menghadapi satu kondisi berbeda. Dari arah yang tidak terduga, Covid19 menyerang dari kutub ekologi yang telah lama menjadi korban eksploitasi kapitalistik. Dalam tulisannya Maret lalu, Martin Suryajaya “Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona” , mengidentifikasi empat gejala ekonomi sebagai implikasi dari wabah ini. Pertama de-industrialisasi, kedua de-finansialisasi, ketiga diskoneksi fisik, dan keempat pelokalan global. Keempat gejala ini, adalah pukulan berkekuatan penuh pada gerak kapital dunia. Membuka berbagai kemungkinan corak wajah dunia baru.

Sekarang kita masuk pada apa yang seperti Arundhati Roy katakan, pada sebuah portal, a gateway between one world and the next. Pertanyaannya adalah kemana atau seperti apa?

Kiamat kapitalisme tentu saja satu dari sekian banyak kemungkinan lain yang bisa lahir dari portal itu. Sebagian kita yang lain mungkin saja berfikir proses ini akan berakhir pada bentuk paling baru dari akumulasi. Bahkan analisis yang lebih ekstrim lagi dari seorang Georgio Agamben pun bisa saja berlaku. Dalam artikelnya berjudul The state of exception provoked by an unmotivated emergency , Agamben mengatakan bahwa epidemi ini berfungsi untuk membenarkan dan melegitimasi langkah-langkah kontrol dan regulasi tingkat lanjut atas masyarakat. Meskipun berbagai kemungkinan sangat terbuka, tidak bisa dikesampingkan bahwa gambaran Halloway di awal tulisan ini, menghadapi antitesisnya–today it is easier to imagine the earth could end capitalism.

Masa Depan Pada Negara?

Lebih lanjut menurut Martin, keempat kecenderungan gejala ekonomi di atas: “akan berjalan beriringan dengan suatu tata ekonomi baru dunia di mana sektor swasta akan remuk, dan satu-satunya kekuatan ekonomi yang signifikan adalah negara. Dengan begitu, sosialisme akan kembali menjadi pilihan bagi bangsa-bangsa yang hendak selamat secara ekonomi”. Seorang filosof dari Slovania, Slavoj Zizek dalam buku Pandemik! Covid 19 Shakes The world (2020), melihat komunisme lah sebagai skenario menghadapi epidemi serta krisis turunannya. Di mana negara adalah aktor signifikan sebagai penyelamat.

Pandangan ini tentu bukan tidak beralasan. Kita bisa dengan mudah mengumpulkan banyak sekali fakta pada hari ini di mana sektor swasta di berbagai belahan dunia terjengkang, membutuhkan uluran tangan negara untuk bertahan kalau tidak sama sekali dinasionalisasi oleh negara. Kebijakan-kebijakan sosial ekonomi pada masa kapitalisme digdaya dianggap kiri, pada hari ini berlaku sebaliknya. Ini menunjukkan memang negara akan kembali di depan. Apakah akan berhasil, tentu kita masih menunggu.

Atau Pada Rakyat?

Martin dan Zizek menggambarkan aspek penting dari institusi negara dalam penyelamatan ekonomi. Tetapi ada pertanyaan yang tetap terbuka, seperti; tidakkah skenario itu mengkerdilkan peran dan potensi aktor non-negara–petani, nelayan, produsen-produsen kecil dan menengah, yang sehari-hari berhadapan dengan ekonomi riil. Peran rakyat biasa, pengangguran, dua jutaan buruh dan korban PHK sebagai respon korporat atas wabah dan mungkin akan terus bertambah, anak-anak muda, perempuan dan laki-laki. Bagaimana mungkin sosialisme–dimana unsur utamanya adalah rakyat banyak itu–bisa dibangun, jika hanya dengan melegitimasi negara sebagai kekuatan signifikan, jika hanya dengan (tetap) menjadikan rakyat sebagai objek negara–terlebih setelah kita lama merutukinya sebagai sandaran legitimasi para akumulator modal saja.

Beberapa waktu lalu kita mendengar bagaimana negara lagi-lagi berlaku tidak mengenakkan yang membuat kita lagi-lagi berfikir ulang untuk menggantungkan harap padanya. Sebuah pertemuan yang membahas evaluasi pembagian pangan dan masker gratis untuk masyarakat rentan, dibubarkan paksa, sebagaimana yang dilaporkan Tirto (“Pertemuan Solidaritas Warga di Walhi Jogja Dibubarkan Paksa Polisi”. https//tirto.id/pertemuan-solidaritas-warga-di-walhi-jogja-dibubarkan-paksa-polisi-ePu5). Pertemuan yang dilakukan berdasarkan SOP pencegahan Covid19–jaga jarak, cuci tangan, menyediakan hand sanitizer, masker dan dalam kondisi sehat–dibubarkan oleh representasi negara, dengan intimidasi dan melanggar SOP pencegahan Covid19 itu sendiri. Solidaritas sosial–yang barangkali adalah kekuatan terakhir yang dimiliki rakyat hari ini–pada kasus ini tidak dilihat oleh negara sebagai imun-sosial yang perlu mendapat tempat. Apakah negara akan mengambil semua kesempatan peran? Di lain hal, skenario penyelamatan ekonomi negara–di antara banyak yang lain–digantungkan pada pencetakan surat hutang baru. Apakah kita yakin menggantungkan lagi jawaban pada kapital?

Tulisan ini ingin mengargumenkan bahwa tendensi penerimaan “sosialisme dari atas”, dengan retorika menyelamatkan bangsa saja, tidak cukup. Kita kesampingkan dulu berbagai tantangan bahkan ancaman otoritarian populis di sana. Tapi yang juga sama pentingnya adalah mengarahkan perhatian pada “sosialisme dari bawah”. Bagaimana menjadikan solidaritas sosial sebagai cara pikir dan arah prilaku utama melewati dan membangun tatanan sosial baru kita.

Untuk itu kita diajak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan turunan perihal bagaimana mengoperasionalkan solidaritas itu dalam tindakan-tindakan materil. Apa tantangan paling nyata dan merusak, selain covid19 itu sendiri? Bagaimana solidaritas sosial terhubungkan dalam menjawab berbagai tantangan yang merusak itu.

Kembali ke Bumi: Rakyat, Tanah, dan Pangan

Di atas segala potensi krisis yang ada, dan di tengah berbagai kemungkinan dan ketidakpastian atasnya, persoalan pangan adalah yang paling mengancam. Pada kondisi terburuk krisis, hanya tanah dan apa yang tumbuh hidup di atasnyalah yang akan menyelamatkan umat manusia–bukan ojol, bukan batubara, bukan keegoisan politik oligarkis. Energi bertahan tidak datang dari pabrik-pabrik, dari industri-industri, tidak datang dari senayan, maupun istana, akan tetapi dari kepastian tanah-tanah yang digarap tetap menghasilkan, kepastian distribusi atau akses terhadapnya, terjaminkan.

Food And Agriculture Organization  (FAO) memprediksi potensi kerawanan pangan akan melanda negara-negara terdampak wabah. Indonesia tidak tak terhindar. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana yang dicatat ulang Tirto awal februari yang lalu (https://tirto.id/ewS1), pada masa normal negara memerlukan 29.6 juta ton beras pertahun. Sementara produksi beras Indonesia menurun pada tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya, dari 33,94 juta ton pada tahun 2018 ke angka 31,31 juta ton. Dengan angka ini sebetulnya Indonesia masih mengalami surplus beras. Menurut Bulog, hingga 17 April 2020 ini, cadangan beras nasional masih bersisa sebesar 1.41 juta ton.

Namun bagaimana dengan tahun pandemik ini? Bulan April panen masa tanam pertama (MT1) akan berlangsung. Direktur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dalam sebuah catatan memperkirakan MT1 kali ini tidak akan mendapat hasil yang maksimal. Selain itu, banyak negara sudah mulai membatasi perdagangan. Vietnam, sebagai negara asal beras impor Indonesia telah membatasi ekspornya. Sementara Thailand menaikkan harga berasnya nyaris 100% (https://katadata.co.id/telaah/2020/04/15/krisis-pangan-dunia-menghantui-indonesia/1). Pembatasan akibat wabah ini tentu juga mempengaruhi proses produksi masa tanam kedua (MT2). Di sini kita bicara berapa banyak petani, buruh tani, yang turun ke sawah untuk menanam, akibat pembatasan atau bahkan korban langsung dari wabah dan panic buying yang mengganggu kerataan persebaran ke konsumen. Semuanya mempengaruhi ketersediaan pasokan bahan pangan utama di pasaran. Di atas semua itu, kita tidak tahu sampai kapan wabah ini akan berlangsung dan berapa lama pasokan pangan mampu bertahan memenuhi 270 juta jiwa warga republik. Ini artinya Indonesia akan dihantui kelangkaan beras selama menghadapi bahkan pasca pandemik.

Dalam framing seperti inilah harapan atas satu bentuk solidaritas sosial berlatar, dituntut memberikan dukungan atas tekanan krisis, mencari kemungkinan-kemungkinan dan mengoperasionalkannya pada aksi-aksi yang terencana, terukur, dan aman. Hari ini, jutaan orang “terperangkap” di ruang domestik masing-masing. Terlalu muluk kah membayangkan setengah, seperempat, bahkan satu persen saja dari angka itu, bergerak menanam? Mengidentifikasi tanah-tanah kosong milik publik, atau tanah kosong privat yang dipublikasi–setidaknya untuk sementara–mengolah, menanaminya, sebagai cadangan pangan untuk komunitas masing-masing. Bekerjasama memikirkan dan menyiapkan standar operasional yang secara khusus adaptif dengan tantangan Covid19.

Dalam bentuk yang lain kita juga telah menyaksikan berbagai solidaritas muncul secara organik; mendukung tenaga medis dan masyarakat luas dengan menyediakan secara swadaya berbagai perangkat alat pelindung diri (APD), atau sejumlah lumbung dan dapur umum yang didirikan untuk mendistribusikan makanan bagi para warga paling rentan. Dan banyak praktik lain yang masih terus berlangsung, serta perlu terus direproduksi dan diragamkan. Ini adalah bukti sosialisme dari bawah itu bekerja.

Di tengah berbagai kemungkinan dan ketidakpastian ini, imajinasi atas dunia baru itu bisa saja datang dari pusat, dari kota, dari atas ke bawah, dari langit, atau dari negara. Akan tetapi ia juga sangat mungkin muncul dan berasal dari pinggiran, dari desa, dari tanah dan bumi, serta dari rakyat. Dan bagaimana kita melewati krisis inilah yang akan menentukan bagaimana wajah masa depan itu berbentuk. (*)

 

Ilusitrasi Oleh: Talia Bara

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *