Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
BAGIAN KESEMBILAN
Otoritas sipil dan militer di Padang Darat ditugaskan kepada Kapten Bauer—Pengambilan alih koloni-koloni Inggris di Sumatera Barat—Penambahan kekuatan pasukan—Kesepakatan dengan para kepala di Baros [Barus]—Organisasi afdeeling Utara dan Selatan Padang, pulau-pulau membentuk satu afdeeling khusus—Instruksi untuk Asisten Residen Padang Darat—Kasus dengan Tuanku-Tuanku di Saruaso diselesaikan—Introduksi pajak sewa pada pasar-pasar di Pedalaman—Saran untuk monopoli garam di seluruh pantai Barat Sumatera dinyatakan berlaku—Keputusan Pemerintah tentang hal tersebut.
Tentang kegiatan-kegiatan militer selama tahun 1825 kami hanya memiliki sedikit data dan karenanya dalam garis besar kami kembali hanya merujuk informasi-informasi dari Lange.[1] Justru lebih komprefensif sumber-sumber kami tentang “urusan-urusan pemerintahan sipil,” yang Lange nyaris sepenuhnya “lewati tanpa cerita,”[2] dan yang oleh de Stuers seperti biasa disinggung kurang lengkap.
Kolonel de Stuers datang pada 24 Desember 1824 di Padang, dan pada hari itu juga mengambil alih wewenang dari Baud, yang kembali bertolak sebagai Asisten-Residen ke “distrik-distrik Minangkabau.” Tampaknya, de Stuers tak memerlukan ambtenaar ini. Pada 10 April (surat resmi No. 26 La E) dia menulis kepada Pemerintah, “bahwa administrasi sipil di Padang Darat baginya untuk pada saat ini dapat dijalankan sangat baik secara regular tanpa penempatan seorang Asisten-Residen di sana, dan oleh sebab itu dia—dengan persetujuan lebih lanjut—telah memberi wewenang otoritas sipil dan militer kepada Kapten Bauer, yang menurutnya sebagai Residen sangat cocok untuk tugas itu.”[3] Sebab Baud tak dapat lagi dipakai dengan efektif, dia pun dikirim ke Jawa (disetujui dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 14 Juni 1825 No. 13).
Tak lama setelah de Stuers memulai pemerintahannya, kepadanya pun mulai dipercayakan wilayah yang lebih luas sebagai konsekuensi Traktat London, dan karenanya pasukan yang berada di bawah kewenangannya bertambah signifikan.
Jenderal de Kock menulis pada 9 Februari 1825 kepada Pemerintah Hindia Belanda, bahwa orang-orang Inggris telah menempatkan pada pos-pos mereka di sepanjang pantai Barat pulau Sumatera—yang akan diserahkan kepada kita—900 tentara Bengali dan 80 prajurit bangsa Eropa:
Di Bengkulu | : | 300 Bengali, 60 Eropa |
Di Tapanuli | : | 20 Bengali |
Di Natal | : | 250 Bengali, 20 Eropa |
Di Air Bangis | : | 100 Bengali |
Di Batta [Batak] | : | 130 Bengali |
Di Singok Panjak[4] | : | 100 Bengali |
“Orang-orang Inggris—selanjutnya kita baca dalam surat tersebut—tak pernah memiliki banyak prajurit di pantai Barat Sumatera, tapi seperti kita mereka juga terlibat dalam suatu perang yang rumit dengan para Paderi.”[5]
“Kolonel de Stuers, sangat mengenal situasi kita di sini—di seluruh Jawa kita punya tak lebih dari 6500 personil, yang menyebar kemana-mana, termasuk yang invalid, para perwira, siswa-siswa sekolah militer dan seluruh pekerja—enggan memintakan dari sini dikirim jumlah pasukan yang sama dengan yang ada di pos-pos yang akan diambil alih tersebut; tapi dia menulis 500 s/d 600 orang paling tidak sangat dibutuhkan, dan tentang itu saya tidak ragu sama sekali; sebab semakin saya yakin perwira yang cakap ini akan membereskan segala sesuatunya, sehubungan dengan misinya untuk memulihkan ketertiban dan perdamaian di Sumatera Barat, meski tak dapat dibantah mungkin jumlah itu juga akan sangat sulit, mengingat kaum Paderi karena sangat fanatik-nya merupakan musuh kita paling berat di seluruh Nusantara dan jika mereka bisa dibawa berdamai, maka untuk waktu cukup lama kita masih butuh mempertahankan garnisun-garnisun yang kuat untuk mengawasi dan mengendalikan mereka.”
Pada resolusi yang menindaklanjuti tulisan ini pada 17 Februari 1825 No. 1 de Stuers dan Verploegh ditunjuk sebagai komisaris untuk pengambilan alih koloni-koloni Inggris, dan sekaligus 525 personil untuk memperkuat pasukan di pantai Barat Sumatera. De Stuers diberi kewenangan untuk “apabila dipandang perlu dan tidak ada keberatan di pihak otoritas Inggris, pasukan Inggris yang berada di bawah penamaan the local corps bisa lebih dulu diambil oleh untuk dinas pasukan Belanda.”
Dalam sumber kita tidak jelas apakah wewenang ini memang dijalankan; menurut Lange (I hal. 126) memang itulah yang terjadi.
Misi kepada para komisaris baru tersebut diterima mereka pada 25 Maret 1825, dan langsung berangkat ke Bengkulu dan di sana pada 6 April[6] mengambil alih pemerintahan. Dengan para kepala di Barus, yang di awal-awal tahun itu telah meminta bantuan kita melawan serangan permusuhan dari Malaboeh [Meulaboh], suatu perjanjian dibuat sebagai ratifikasi kontrak yang dibuat dengan OI Compagnie [VOC] pada 5 Januari 1756 lalu (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 20 Desember 1825 No. 15).
Koloni-koloni yang baru didapatkan, yang memanjang dari Oedjong Massang [Ujung Masang] hingga ke Barus, dimasukkan dalam residensi Padang dan membentuk afdeeling bagian Utara, dengan pusatnya Tapanuli (pulau Pontjan).
Pulau-pulau di sepanjang pantai Barat Sumatera (Nias, Batoe, Poggi dll), “ yang di antaranya Nias sebagai yang terpenting karena jumlah penduduk yang banyak dan budidaya padi,” juga membentuk satu afdeeling residensi terpisah.
Juga “afdeeling Selatan residensi Padang” dibentuk pada 1825. De Stuers pada surat resminya tanggal 3 September 1825 No. 810 menyampaikan pentingnya—selain jabatan-jabatan pos yang sudah ada di Pulau Cingkuk dan Air Haji—untuk menunjuk seorang ambtenaar khusus yang akan melakukan supervisi umum terhadap wilayah yang luas antara Teluk Bungus dan Inderapura. Pemerintah memberi keputusan yang sejalan dengan itu dalam resolusinya tanggal 20 Desember 1825 No. 17.
Kolonel de Stuers berupaya maksimal, mulai dari saat dia mulai menduduki jabatan, untuk pro aktif dalam memenuhi misinya, dan untuk itu membekali Asisten-Residen Padang Darat dan Asisten-Residen Padang Pesisir dengan instruksi-instruksi, yang kemudian disetujui dalam artikel ke-4 dari resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 20 Desember 1825 No. 16 di bawah ini.
Instruksi untuk Asisten-Residen Padang Pesisir murni bersifat administratif dan tak perlu disampaikan di sini.[7]Namun, untuk Asisten-Residen Padang Darat diberikan sejumlah pandangan dan instruksi bernilai politis; untuk mengetahui arah yang de Stuers ingin tempuh penting bagi kita melihat satu ekstrak dari instruksi tersebut.
Instruksi untuk Asisten-Residen Padang Darat:
Artikel 1
Situasi politis di residensi Padang dan Sekitarnya sejak kembali berkuasanya Pemerintahan Belanda di wilayah pantai ini hingga saat ini telah mengalami perubahan-perubahan signifikan, sehingga menjadi penting untuk menentukan secara sangat jelas prinsip-prinsip yang mulai dari saat ini hingga seterusnya akan menjadi basis pemerintahan.
Kekuasaan riil hingga tahun 1822 hanya terbatas pada kawasan Padang, sementara pengaruhnya meskipun diakui di mana-mana hanya dihormati seadanya, bahkan pada lingkungan terdekat yang mungkin pada daerah-daerah lainnya dipandang sebagai kawasan-kawasan penyangga dari koloni utama tersebut.
Semenjak periode itu Pemerintah terlibat dalam satu perang yang dari awal hingga setelahnya belum terlihat akan dimenangkan satu pihak.
Namun, operasi-operasi militer telah memperluas teritori residensi ini, baik karena alienasi formil yang dilakukan oleh para kepala wilayah-wilayah tertentu yang mulanya masih di tangan musuh dan kemudian dikuasai, dan kemudian diikuti menyerahnya sejumlah distrik.
Dalam Acte van Cessie[8] disebutkan bahwa selain wilayah Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso, semua wilayah di bawah Kerajaan Minangkabau akan diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Sejauh mana penyerahan ini memiliki legitimasi kini tak bisa ditentukan pasti; yang jelas, hanya satu porsi sangat kecil dari Kerajaan yang dulu terkenal berabad-abad tapi sekarang sudah mulai ambruk ini yang jatuh ke tangan Pemerintah.
Karena Kerajaan Minangkabau sebenarnya tak lagi eksis, menjadi suatu inconsequentie (inkonsistensi) jika ingin mengklaim kepemilikan dan kekuasaan atas wilayahnya.
Trend sekarang tidak ada kerajaan dan raja yang sudah runtuh kemudian didirikan dan direstorasi kembali, sebab hal demikian bertentangan dengan tujuan baik Pemerintah untuk membawa para penduduk pribumi, di bawah manajemen pemerintahan yang tidak kentara (zacht bestuur), untuk menikmati kesejahteraan dari penyelenggaraan kekuasaan yang moderat.
Kerajaan Minangkabau dan namanya yang sangat membangkitkan imajinasi musti tetap dibiarkan demikian, sebab revolusi masa telah meruntuhkannya.
Dengan satu-satunya raja lama yang masih hidup, Raja Muning yang diberikan uang pensiun cukup besar, maka belahan keturunan raja dari Minangkabau yang dahulu akan berakhir.
Regen sekarang Tanah Datar, salah satu pemimpin yang menanda-tangani Akte Penyerahan, karenanya tidak punya hak sedikit pun mewarisi raja yang pensiun tersebut, meskipun kerabatnya sendiri; penunjukannya pada status yang sekarang hanyalah karena kebaikan hati Pemerintah Belanda.
Terpisah dari nilai politis yang dimuat dalam sketsa singkat ini yang akan menjadi panduan pemerintahan lokal, kini menjadi niscaya bagi Asisten-Residen afdeeling Padangsche Bovenlanden untuk senantiasa memandang regen Tanah Datar dalam kesempatan-kesempatan yang tepat sepenuhnya sebagai landambtenaar (ambtenaar wilayah) itu bukan sebagai penguasa wilayah, sementara dia secara hati-hati menjauhkan diri dari mendorong ekspresi rasa hormat para kepala pribumi, yang didasarkan pada seorang despotik dan suatu tahayul akan kekebalan (onschendbaarheid) kekuasaan seorang raja.
Sebagai satu prinsip umum yang harus senantiasa diperhatikan, bahwa Pemerintah sama sekali tidak inginkan ekspansi; karenanya semua saran musti dilihat dalam spirit ini, dan hanya dalam kasus-kasus khusus dimungkinkan pemberian perlindungan.
Untuk meningkatkan perdamaian, perdagangan dan kultur (budidaya tanaman) dan memfasilitasi distribusi yang adil atas hak-hak khususnya di antara penduduk pribumi, maka ada poin-poin utama penting, yang sebaiknya tetap diperhatikan dengan segala sarana yang dimiliki.
Artikel 2
Di bawah wewenang langsung Asisten-Residen afdeeling Padang Darek, yang titelnya akan ditentukan kemudian olehnya, adalah regensi Tanah Datar dan Agam.
Artikel 3
…Di Fort van der Capellen, sebagai ibukota afdeeling tersebut, Asisten-Residen akan menempati tempat kediamannya.
Artikel 4
Untuk membantunya akan ditunjuk tiga komandan sipil dan militer: satu di Agam, satu di Simawang dan satu di Padang Goenting [Padang Ganting], yang nanti akan dibekali instruksi-instruksi khusus.
Artikel 6
Asisten-Residen akan memperlakukan para regen seperti Saudaranya sendiri dan dalam memberikan perintah agar menggunakan kelembutan, kesabaran dan keluwesan, baik terhadap mereka maupun kepala-kepala distrik ataupun kepala-kepala daerah lebih rendah secara umum, dengan tujuan memenangkan hari para penduduk gunung yang sederhana secara pelan-pelan terhadap otoritas Eropa yang moderat, yang kini masih belum dipercayai penuh.
Artikel 9
Dalam menjalankan tugasnya, Asisten-Residen harus menggunakan klem (kekuatan) baik untuk penegakan hukum dan bila hal tersebut perlu terkait kewenangan yang dipercayakan padanya, tapi dia juga dengan hati-hati harus menahan diri agar tidak bersikap keras atau sembrono, terhadap pribumi tertentu dengan jabatan atau status apa pun.
Artikel 10
Asisten-Residen musti memperhatikan secara khusus bahwa penipuan, pemerasan, kerja paksa, penindasan atau tindakan tidak pantas apa pun dilakukan terhadap inlander, tapi memberikan apa yang menjadi hak mereka sepenuhnya; sementara, jika seorang Eropa, baik sipil maupun militer yang ternyata bersalah melakukan pelanggaran dimaksud, agar dia segera membuat laporan kepada Residen.
Dia hendaknya mempermudah akses kepada dirinya bagi seluruh penduduk afdeeling, dan dalam hal itu memberikan mereka pengertian tentang perkara-perkara yang muncul dan memberi kemerdekaan penuh bagi setiap orang, untuk menyampaikan keluhan mereka langsung kepada Residen.
Artikel 11
Untuk lebih mendukung tugas tersebut setiap tiga bulan dia hendaknya melakukan perjalanan keliling afdeeling dan juga harus mengunjungi setiap distrik.
Setelah berakhirnya tur dinas, dia bertanggung jawab memberikan laporan detail kepada Residen hasil-hasil observasi dan temuannya, yakni situasi budidaya pertanian apakah meningkat atau menurun, juga perkembangan budidaya padi, kopi, lada, gula, katun dan peternakan, termasuk harga berbagai macam artikel, dan situasi harga jual garam di seluruh distrik. Mendorong peningkatan hal tersebut pada kepala-kepala pribumi di bawah kewenangannya harus selalu dipandang sebagai misi utama.
Artikel 12[9]
Asisten-Residen akan memimpin landraad, yang karena jauh dari ibukota [Padang] akan dibangun untuk afdeeling-nya, dan setiap Sabtu diselenggarakan di kediaman Asisten-Residen.
Pada landraad tersebut hendaknya harus hadir salah seorang regen, petugas fiskal pribumi dan penuntut umum, hoofdpriester sebagai interpreter hukum dan sebanyak mungkin kepala distrik yang mungkin hadir tapi tidak boleh kurang dari empat, kemudian ditetapkan bahwa seluruh kepala distrik adalah otomatis dicatat sebagai anggota landraad (sesuai dengan adat kebiasaan daerah), tapi tak satu pun kepala distrik, yang warganya dalam proses penyelidikan perkara di landraad, bisa memiliki suara atas hal itu, meskipun dia tetap duduk dalam pertemuan, dan dalam kasus-kasus lain tidak menyangkut warga nya dapat memiliki hak suara seperti telah diatur sebelumnya.
Artikel 16
Relasi antara otoritas sipil dan militer di afdeeling Padangsche Bovenlanden[10] dicirikan sebagai satu kesatuan, dengan basis otoritas sipil ditempatkan untuk pemerintahan umum dan militer membentuk kekuasaan tambahan yang hanya mulai digunakan jika penggunaan kekuatan diminta oleh otoritas sipil. Komandan militer Padang Darat untuk misi tersebut akan dibekali instruksi khusus.
Artikel 21
Asisten-Residen akan memberikan laporan kepada komandan pasukan di Pedalaman informasi-informasi tentang politik yang berkaitan dengan eksistensi kita di sana, yang menurut hematnya memiliki kaitan tertentu dengan apa yang komandan butuhkan, yang menjadi lebih urgen selama situasi masih tidak menentu dengan kaum Paderi.
Demikian ditetapkan dan diterbitkan di Padang, pada 1 Maret 1825.
===
Seperti kita sampaikan pada bagian-bagian sebelumnya, Raaff pada April 1823 menyuruh menangkap dua orang Tuanku Saruaso—namanya Radja Tangsier Alam dan Soetan Kradjahan Alam [Sutan Kerajaan Alam]—dan mengirim mereka ke Padang, di mana mereka tinggal tampaknya tanpa penyelidikan yang seharusnya atas kesalahan-kesalahan yang dituduhkan; mungkin penyelidikan itu sengaja ditunda-tunda atas dasar pertimbangan-pertimbangan politis.
De Stuers menulis pada 25 April 1825 No. 264, bahwa tuduhan-tuduhan yang dilemparkan memiliki dasar-dasar yang lemah; bahwa “Untuk situasi sekarang penting untuk membuat semua pihak setidaknya merasa nyaman,” dan bahwa dia karenanya menyarankan, kasus itu sebaiknya dianggap tuntas, dan kepada kedua Tuanku dan ibu mereka, Toewan Gadies Pagarroejoeng [Tuan Gadih Pagaruyung] masing-masing diberi pensiun 20 gulden per bulan, asalkan kedua Tuanku tersebut mau tinggal permanen di Padang.
Sutan Kerajaan Alam dapat ditempatkan lagi dalam jabatan politik pada kesempatan yang tepat; tapi Saudara tuanya tidak bisa, karena dia “bukan tak mungkin” tersangka “apa yang disebut penyalahgunaan wewenang” dan akan dipandang senantiasa dalam pengawasan polisi.
Pemerintah menyetujui keputusan tersebut dalam resolusinya di Raad pada 14 Juni 1825 No. 14 yang beberapa detailnya telah kita kutip di atas.
De Stuers juga mencurahkan perhatian pada peningkatan Kas Negara.
Untuk itu, pertama sekali, mulai 1 April 1825 dilakukan introduksi “pajak sewa atas pasar-pasar di Padangsche Bovenlanden.” Menurut “syarat-syarat sewa” ada 49 pasar: 34 di Tanah Datar dan 15 di Agam; penyewa harus mendirikan pasar-pasar baru dengan diskresi, dan diberikan kewenangan memungut pajak/ sewa atas pasar-pasar atau warung-warung kecil.
Pengumuman yang ditandatangani pada 10 Maret 1825, di mana pajak baru tersebut didekritkan, berbunyi sebagai berikut:
“Sehubungan dengan berlangsungnya situasi damai di wilayah ini yang memberikan kesempatan untuk memulai penyelenggaraan pemerintahan di regensi Tanah Datar dan Agam; dan untuk itu telah dilakukan langkah-langkah awal dengan rekomendasi dan penunjukan para kepala regensi ini, yang kepadanya Pemerintah telah bersedia memberikan tunjangan dan gaji yang besar karena Pemerintah ingin kebutuhan-kebutuhan mereka dapat dipenuhi dengan cara yang layak;
Dan karena menjadi keinginan agar persatuan dan ketangguhan Pemerintahan bisa diwujudkan, dengan memungkinkan kepala-kepala lebih rendah menerima instruksi-instruksi dari kepala-kepala lebih superior secara persis dan agar yang disebut terakhir dapat mempertahankan martabat mereka, Pemerintah juga cenderung memberikan kontribusi dalam bentuk uang;
Dan karenanya juga pantas, dalam menyelenggarakan pemerintahan pribumi di regensi Tanah Datar dan Agam yang akan memakan biaya besar, Pemerintah berpikir agar ongkos tersebut dapat diseimbangkan dengan hasil-hasil tertentu;
Dan sehubungan di wilayah-wilayah tersebut dulunya pernah ada gerbang-gerbang bea, melalui mana banyak pemasukan bagi pemerintahan [nagari], tapi metode pembayarannya sama-sama merugikan dan membahayakan bagi perdagangan dan industri secara umum, mengingat bea ini dipungut sesuai selera tanpa ada ketentuan-ketentuan yang jelas.,
Maka pada kesempatan ini dengan persetujuan Pemerintahan Pusat ditetapkan dan ditentukan sebagai berikut:
- Bahwa pada seluruh pasar akan dipungut sewa lima per seratus atau enam duit per tiap gulden dari nilai jual seluruh perdagangan, barang, makanan dll yang dibawa untuk dijual di pasar, dan suatu tariff dari objek-objek pajak terpenting akan dispesifikasi;
- Dst (pungutan sewa pada 23 Maret 1825 di Padang, menurut syarat-syarat sewa)
- Bahwa seluruh hasil pajak ini kepada para kepala distrik (penghulu laras) akan diberikan tunjangan 8 ½ persen atau satu dubbeltje[11] dari tiap gulden, didistribusikan dari seluruh jumlah yang dikumpulkan dari seluruh kepala distrik regensi Tanah Datar dan Agam, dan kepada masing-masing akan dibagi secara proporsional sesuai jumlah pasar dan luas wilayah, yang dibayarkan sebagai penghasilan sekali enam bulan, dan untuk tahun sekarang akan berlaku mulai akhir Desember
- Dst (tanggung jawab para kepala untuk menjaga ketertiban, pemberian bantuan dan perlindungan kepada para penyewa, dst).”
Sangat aneh de Stuers tidak ada menyebut tentang hal tersebut dalam karyanya. Pengetahuan selintas mengenai karakter penduduk wilayah ini maka pemungutan pajak atas pasar pasti tidak membuat kemajuan berarti; Lange[12]menyampaikan bahwa hal ini menjadi pemicu ketidakpuasan yang muncul di pertengahan tahun (1825) karena melihat fakta sebagian besar wilayah sekitar Danau Singkarak yang sejak semula di pihak kita (Batipuh, Singkarak, Saning Bakar, Sulit Air, Tanjung Balit) menjauhkan diri dari otoritas Belanda.
Dan Francis, yang memiliki kesempatan mengamati tindak lanjut penerapan pajak itu, berkata, “bahwa segera bisa dilihat sifat dari pemerintahan ini tak bisa mentolerir jenis pajak tersebut. Di banyak pasar para pemungut pajak (orang-orang Cina) dikejar-kejar dan seluruh hasil yang diterima, sesuai proporsi besarnya penduduk, sangat tidak berarti.”[13]
Pada Mei 1827 de Stuers sendiri menulis, bahwa antipati yang diamati di Padang Darek, disebabkan oleh sewa opium dan pajak pasar.[14]
Kemudian, komisaris-komisaris untuk pengambilan alih koloni Inggris (de Stuers dan Verploegh), menurut resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 29 Desember 1825 No. 2, dalam surat resminya tanggal 31 Juli dan 30 November tahun yang sama No. 17 dan 12, memberikan usulan:
- Monopoli garam oleh Pemerintah Belanda yang sekarang hanya berlaku di Padang, juga akan diberlakukan di seluruh Sumatera Barat
- Menaikkan harga jual garam dari 6 gulden ke 9 gulden per
Jika kita ingat betapa sering dalam karyanya de Stuers mengungkapkan ketidaksukaannya tentang monopoli garam, maka kita akan dibuat heran akan usul yang disampaikan ini!
Ajun Direktur Bea Masuk dan Keluar, Kruseman, yang menguji usulan ini, berpendapat bahwa kenaikan ke 8 gulden per pikul sebenarnya sudah cukup, tapi mengaku setuju atas usulan itu sehubungan dengan “kepentingan keuangan Negara” dan menimbang “perdagangan di Sumatera Barat saat ini tak bisa dikatakan sudah maksimal, sehingga suplai garam oleh pihak swasta akan memenuhi kebutuhan tersebut.”
Namun, Pemerintah Pusat akhirnya mengambil keputusan:
- Kepada pemimpin tertinggi (opperhoofd) Sumatera Barat (titel ini diberikan kepada de Stuers, seperti nanti dilihat, dalam resolusi 20 Desember 1825) diberitahukan bahwa Pemerintah, dengan harapan semaksimal mungkin mendorong dan memajukan aktivitas dan perdagangan di Padang dan koloni-koloni lain yang baru diperoleh di pantai Barat Sumatera tersebut, atas dasar ini meminta agar perdagangan garam dari Jawa dibebaskan untuk seluruhnya, dan sekarang monopoli garam yang ditanggung Pemerintah di Padang tak bisa dipertahankan lagi dan karenanya perlu memberikan waktu yang pantas untuk para pedagang swasta atas tanggungan masing-masing membeli sendiri atau memesan artikel tersebut sendiri untuk diangkut ke Padang;
- Menerbitkan publikasi, yang dihimpun dalam Lembaran Negara 1825 No. 45
- Sekaitan dengan publikasi di atas yang menyatakan transportasi dan penjualan garam dibebaskan, maka ditetapkan Pemerintah juga mengirim garam ke wilayah-wilayah koloni yang baru diperoleh tersebut untuk memenuhi kekurangan yang mungkin ada, dan pada gudang-gudang penjualan Pemerintah di sana garam bisa diperoleh dengan harga 8 gulden per pikul. (*)
Ilustrasi @mithamiwuwu
[1] Idem, hal. 126-134
[2] Idem, hal. 123.
[3] Penilaian mengenai Kapten Bauer ini tak sesuai dengan yang disampaikan oleh de Stuers kemudian dalam karyanya (Bagian I, hal. 233). Lebih lanjut bisa dibandingkan penyampaian de Stuers di sini dengan kata-katanya belakangan (idem I, hal. 108)
[4] [Penerj, kami tak memiliki informasi nama wilayah tersebut saat ini]
[5] Pernyataan ini, seperti segera tampak, mungkin didasarkan pada informasi dari de Stuers. Tapi bagaimana ini dapat disinkronkan dengan catatan de Stuers sendiri pada halaman 83 (catatan kaki) dari Bagian I karyanya?
[6] Tanggal ini kita dapat dari data resmi, dengan memperhatikan keraguan yang muncul pada de Waal (Ind. Fin. VI, hal. 3 catatan kaki)
[7] Yang kita kutip di sini (catatan pada hal. 122) hanyalah ketentuan-ketentuan tentang landraad (dewan lokal) di Padang.
[8] [Penerj. Akte Penyerahan, yang dilakukan oleh representasi sejumlah kepala pribumi dipimpin Tuanku ALam Begagar Syah dari Pagaruyung kepada Belanda tanggal 10 Februari 1821. Lihat dalam Bagian Kedua tulisan ini).
[9] Ketentuan-ketentuan yang menghandel subjek ini dalam “Instruksi untuk Asisten-Residen di Padang” bunyinya sebagai berikut:
(Artikel 9) “Asisten-Residen memimpin presidensi di landraad dan karenanya tunduk pada kewajiban-kewajiban yang melekat di sana; setiap Rabu akan diselenggarakan landraad untuk perkara-perkara sipil [perdata] dan tiap Sabtu untuk pidana; sementara interogasi temporer dilakukan dua kali seminggu, dan untuk Selasa dan Jumat akan ditentukan oleh Residen sepenuhnya lokal; dalam landraadtersebut selalu hadir sebagai anggota; Regen, selain setengah atau enam orang penghulu Padang, secara bergiliran tiap tiga bulan, sepanjang mereka tidak hadir atas alasan dinas atau cuti, atau terhalang oleh sakit menghadiri landraad, jika tanpa alasan-alasan tersebut dicatat absen atas ketidakhadirannya.
“Landraad akan disokong oleh seorang hoofd-jaksa sebagai penuntut publik dan seorang hoofdpriester sebagai interpreter hukum.”
{Artikel 10)”Tak seorang penghulu pun, yang menjadi anggota landraad, memiliki mengeluarkan suara hak atas kasus apa pun dari seorang atau lebih penduduk yang dibawahinya; tapi dia tetap duduk di Raad dan juga dalam perkara-perkara lain yang bukan mengenai penduduknya tetap memiliki hak suara seperti diatur sebelumnya.
[10] [Penerj. Padangsche Bovenlanden kadang kami terjemahkan dengan Padang Darat, Padang Darek, Pedalaman Padang, karena entitasnya berbeda-beda dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini wilayah itu menjadi satu bagian khas dari pemerintahan pribumi di bawah Belanda yang disebut afdeeling, setara beberapa kabupaten/ kota.
[11] [Penerj. dubbeltje adalah semacam koin kecil Belanda kira-kira 10 sen nilainya]
[12] Idem, hal. 128
[13] Herinneringen (Memoar), Bag. III, hal. 171.
[14] Lange I, hal. 128.