Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
BAGIAN KESEBELAS
Laporan de Stuers tentang cara mengakhiri permusuhan dengan kaum Paderi—Negosiasi dengan pemimpin-pemimpin Lintau, Limapuluh Kota, Kamang dan Talawas—Traktat tanggal 15 November 1825—Persetujuan Pemerintah.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, instruksi yang disampaikan pada de Stuers ketika menerima jabatannya (Artikel 3, sub a resolusi tanggal 2 November 1824, No. 36) juga memuat tugas untuk menyelidiki, “apakah, dan jika ya dengan cara apa, permusuhan yang berkelanjutan dengan kaum Paderi dapat mencapai akhir yang diinginkan.”
Kita lanjutkan dengan melampirkan tulisan de Stuers yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat tertanggal 25 November 1825 No. 1029, di mana terlihat bahwa dia memang memperoleh hasil yang penting sesuai arahan dari Pemerintah pusat:
Melangkah dalam spirit dan tujuan dari misi yang diberikan, saya segera membuka korespondensi dengan kaum Paderi dari Bonjol atau Alahan Panjang, yang dulunya dalam opini umum memiliki pengaruh di seluruh wilayah Paderi. Untuk itu muncullah momen melalui seorang pedagang pribumi dari Masang, saat itu sedang berdagang dengan Tiagan, dan di mana para Paderi juga memiliki kekuasaan.
Setelah surat demi surat yang dikirimkan, bagi saya tampaknya tidak ada harapan untuk dapat berhubungan baik dengan mereka; Tuanku Iman dan Tuanku Itam, keduanya pemimpin yang mulanya cenderung untuk berdamai, tapi kemudian terus menerus dihasut oleh Tuanku Mudik Padang dan Tuanku Mensiangan, dua pimpinan Paderi yang ketika dilanggarnya perjanjian damai Bonjol oleh pihak kita pada 22 Januari 1824 terusir dari bagian Agam tersebut, di mana kaum Paderi kemudian punya hak untuk melanggar kesepakatan tersebut dan memberikan jawaban-jawaban mengecewakan, serta meminta tak kurang dari pengosongan bagian Agama tersebut, yang sehubungan dengan posisi militer kita tidak dapat diabaikan.
Tawaran-tawaran di bawah tangan untuk memuaskan kedua Tuanku yang merasa mendapat ketidakadilan tersebut tidak berhasil, dan kedua pimpinan Paderi yang tak puas ini—yang terakhir ini pernah ditawan tapi kemudian lepas lagi—senantiasa melakukan agitasi terhadap seluruh yang di bawah pengaruh Bonjol dan mencoba mengganggu wilayah pedalaman yang kita duduki.
Selama delapan bulan kehadiran saya sebagai Residen di sini saya tak menemukan cara untuk bisa kontak dengan para pimpinan Paderi di Lintau dan 50 Kota yang mengelilingi wilayah yang kita duduki 2/3 bagian; umumnya orang-orang di sini berpendapat mustahil untuk bisa bernegosiasi dengan mereka.
Sementara itu dalam kapasitas saya sebagai komandan militer telah mengeluarkan perintah-perintah yang sangat tegas sampai pasukan kita, yang dahulunya atas nama patrol senantiasa siap siaga bahkan sering bersikap agresif, mampu mengambil posisi defensif semaksimal mungkin. Saya sendiri mengunjungi seluruh benteng-benteng dan langsung menginstruksikan kepada serdadu-serdadu yang tinggal di pondok-pondok kecil di luar benteng agar meninggalkannya dan mulai saat itu dilarang lagi baik perwira baik prajurit untuk tinggal di luar lingkaran benteng. Hanya di Fort van der Capellen saja hal ini sebagian tidak bisa terlaksana. Orang-orang Melayu di sini lebih damai dan tak lagi berminat seperti sebelumnya untuk memprovokasi komandan militer pedalaman untuk melakukan serangan di tempat-tempat lain; komandan militer di sini dianggap bertanggung jawab.
Saya berharap dengan itu kaum Paderi juga bisa bersikap damai, sehingga perang yang telah berlangsung lama ini bisa berakhir sendirinya.
Saya ternyata tertipu dalam hal ini.
Sikap defensif kita dianggap kelemahan oleh orang-orang Paderi, bahkan dianggap tidak aktif. Tak lama setelah puasa seluruh orang Paderi dari Lintau dan Limapuluh Kota menyerbu kita dari arah Tungkar (sebelum Tanjung Alam); di sana mereka dikalahkan dan mundur kalang kabut, dan semua kembali tenang.
Sepuluh hari kemudian Paderi Lintau melakukan serbuan lagi ke benteng Saruaso. Mereka mengamati kita sedang disibukkan dengan beberapa kerusuhan dan mengambil kesempatan: Saruaso nyaris direbut. Letnan Veltman mampu menahan musuh, memukulnya mundur, dan mereka membiarkan sejumlah rekan yang tewas di parit benteng kecil di belakang.
Dua serangan itu cukup serius, dan tak diragukan lagi apabila kita kalah akibatnya akan buruk. Selain dua konflik ini juga ada beberapa keributan yang tidak jadi perhatian kita dan bahkan oleh orang-orang Melayu tidak dianggap serius.
Di sini saya berhasil melalui perantara seorang pribumi berkenalan dengan seorang pemuda Arab, seorang pencari peruntungan, yang sejak beberapa tahun lalu berdagang kecil-kecilan di pantai ini dan juga di Jawa; namanya Said Salimul Jafried. Saya ingin memanfaatkan jasanya dan dia tampak sangat antusias pergi ke Lintau; saya habiskan beberapa hari untuk menyampaikan pandangan-pandangan saya kepadanya agar dia dapat dipercayakan melakukan misi sebagai utusan.
Saya menentukan akhir September sebagai hari keberangkatannya dan melakukan hal-hal yang diperlukan agar kekhawatiran-kekhawatiran saya sedapat mungkin tidak diabaikan.
Ketika kedatangannya di pedalaman, dengan rekomendasi saya dia diterima sangat baik oleh para pemimpin distrik-distrik di bawah kekuasaan kita; para pemimpin tersebut berjanji dengan sungguh-sungguh agar mereka tidak melakukan hal-hal tidak menyenangkan apa pun kepada para pemimpin Paderi yang dia coba untuk bujuk agar berpihak pada kita, dan dengan jaminan ini utusan saya berangkat ke Telawas, lalu ke Lintau. Mungkin akan terlalu panjang jika dibahas segala hal tentang misi Said tersebut; saya hanya akan melaporkan hal-hal inti.
Setelah sepuluh hari tak hadir saya mendapat berita gembira para pemimpin Paderi di Lintau, Limapuluh Kota, sebagian Agam dan Telawas untuk membuka kemungkinan negosiasi dengan kita, agar tercipta ketertiban dan perdamaian. Saya bahkan segera mendapat jaminan-jaminan tertulis dari para pemimpin ini, dan untuk maksud itu oleh mereka akan dikirim wakil-wakil ke Padang, yakni:
- Tuanku Nan Saleh sendiri, kepala Telawas
- Tuanku Kramat, wakil Tuanku Pasaman di Lintau
- Tuanku di Bawa Tabing, wakil Tuanku Guguk di Limapuluh Kota
- Dato Oedjong [Datuak Ujuang], wakil Tuanku Nan Renceh dari Kamang Agam
Dalam perjalanan mereka melalui distrik-distrik di pedalaman para pemimpin Paderi tersebut, bersama rombongan lima Tuanku lainnya dan 54 pengikut atau murid, dikawal oleh konvoi 20 prajurit dan juga disambut serta diurus oleh kita; pada distrik-distrik di pesisir mereka juga diterima dan diperhatikan sedemikian.
Pada 29 Oktober yang lalu orang-orang Paderi tersebut tiba di Ujung Karang, satu jam jaraknya dari Padang, dan setelah dua hari istirahat di sana, saya mempersilakan mereka ke Padang dan memberikan salut sembilan tembakan.
Setelah mereka dua hari juga istirahat di Padang, saya kemudian menerima mereka tanpa seremonial dan pada pertemuan pertama saya hanya bertanya beberapa hal tentang apakah para pemimpin mereka baik-baik saja dan bagaimana menurut mereka perjalanan yang dilakukan; saya memberitahukan bahwa untuk hal-hal inti akan dibicarakan di hari berikutnya.
Untuk mempercepat negosiasi serta sekaligus menyampaikan tujuan saya seringkas dan sejelas mungkin kepada para pemimpin Paderi dimaksud, demikian juga memberitahukan pandangan-pandangan Pemerintah terkait wilayah mereka, serta interaksi timbal balik antar mereka dengan orangg-orang pribumi Melayu di bawah perlindungan kita, dan mengembangkan relasi mereka dengan Pemerintah, untuk setiap mereka saya menyerahkan satu nota dengan isi berikut:
Situasi perang berkelanjutan di antara distrik-distrik Melayu dan Paderi tidak bisa dibiarkan memberi dampak sangat merugikan bagi kedua kelompok.
Pemerintah beberapa tahun yang lalu, atas permintaan sungguh-sungguh, bermaksud inginkan perdamaian bagi para Melayu di Padang Darek dengan menyepakati sejumlah hal.
Sejak waktu itu, Padang Darek semakin lama semakin menikmati kedamaian dan kemakmuran.
Tapi di batas sisi Telawas [Talawi], Lintau, 50 Kota dan Agam, para pribumi dari kedua sisi masih khawatir, jika-jika akan saling menyerbu dan membinasakan.
Pemerintah juga ingin agar distrik-distrik Paderi merasakan perdamaian serta merasakan ketentraman.
Itulah sebabnya saya mengirim kepada Anda Said Salimul Jafried, anak keturunan Nabi Anda, sebagai utusan agar menyampaikan pikiran-pikiran saya kepada Anda.
Anda semua telah membaca surat saya dengan kepercayaan; Anda semua bahkan telah datang sendiri ke Padang untuk bicara, dan Anda hendaknya percaya bahwa ketertiban dan perdamaian sejalan dengan kepentingan-kepentingan Anda.
Saya hendak mengatakan kepada Anda poin-poin terpenting agar dapat tercipta ketertiban dan perdamaian di antara dua kelompok:
- Pemerintah, yang berkedudukan di Batu Sangkar (Fort van der Capellen), Saruaso, Padang Ganting, Tanjung Alam, Bukittinggi, Guguk Sigandang, di segala waktu akan melindungi seluruh pedagang Paderi yang meliintas; mereka akan dilindungi hingga ke Padang, juga ke Pariaman jika diinginkan.
- Pemerintah memberikan pengakuan terhadap para pemimpin Paderi yang sekarang berkuasa di Lintau, 50 Kota, Telawas dan Agam, menunjukkan penghormatan yang diperlukan dan akan hidup bersama mereka dan anggota-anggota mereka dalam perdamaian dan persahabatan.
- Pemerintah tidak akan ikut campur dengan ajaran agama kaum Paderi dan tidak mengganggu keyakinan mereka, seperti juga Pemerintah tidak mengganggu orang-orang Melayu dan bangsa-bangsa lain dalam kepercayaan mereka.
Di sisi lain, Pemerintah meminta sebagai berikut:
- Para kepala Lintau, 50 Kota, Agam dan Telawas tidak mengganggu para pedagang, jika kepentingan mereka menuntut untuk datang ke distrik-distrik Paderi
- Mereka hendaknya berupaya mencegah dari pihak mereka agar kampung-kampung Paderi tidak menyerang kampung-kampung Melayu karena perselisihan-perselisihan dan masalah-masalah lama, dan juga Pemerintah akan mengurus orang-orang Melayu tetap bersikap damai terhadap kampung-kampung Paderi.
Apabila ada orang Melayu yang bersalah terhadap orang-orang Paderi, mereka akan diserahkan ke Pemerintah dan dihukum tegas; sebaliknya, jika orang Paderi melakukan kesalahan terhadap orang Melayu, mereka akan ditahan dan diserahkan kepada kaum Paderi untuk mendapat hukuman.
Pemerintah tidak akan mengubah posisi-posisi pos yang sekarang sampai kedamaian benar-benar tercipta.
Kemudian, bila nanti komunikasi sudah mulai lancar, maka pos Tanjung Andalas sebelum Batusangkar dan Barulak sebelum Tanjung Alam akan ditarik; untuk itu akan diurus bersama, dan Pemerintah dengan senang hati untuk periode tertentu mengeluarkan ongkos besar menjaga ketertiban dan perdamaian, dan para serdadu akan tetap tinggal di benteng Batusangkar, Saruaso, Padang Ganting, Tanjung Alam dan Bukittinggi untuk mempertahankan ketertiban dan kedamaian, hingga datangnya waktu satu benteng Batusangkar dipandang sudah memadai untuk itu.
Pajak atas sabung ayam dan isap opium akan diterapkan oleh Pemerintah agar mereka yang sudah biasa dengan itu bisa tetap dikontrol; jika tidak begitu, maka di mana-mana akan ada sabung ayam dan isap opium.
Terakhir, para Tuanku dari wilayah Agam yang Paderi, dari 50 Kota, Lintau dan Telawas bisa memiliki soedagar-soedagar di Padang yang akan membantu kepentingan kaum Paderi; hal ini akan dilindungi oleh Pemerintah, dan jika perlu akan dibantu.
Beberapa hari setelah sepakat dalam poin-poin ini, mereka datang kepada saya untuk mendapat penjelasan langsung dan meminta tegas agar ajaran mereka bisa tersebar di Padang pedalaman, juga pada titik-titik di mana Pemerintah sudah berkuasa; namun tidak lagi, seperti sebelumnya, berharap agar kita pergi dari pedalaman, sehingga kita bisa hidup damai bersama mereka.
Saya jelaskan pada mereka: “bahwa bagi setiap orang bebas untuk memeluk ajaran Paderi, karena bagi Pemerintah lebih baik penduduk menjadi saleh daripada abai terhadap agama, tapi Pemerintah tidak bisa mentolerir jika wilayah dihancurkan dan penduduk dibunuh dengan dalih mengenalkan ajaran-ajaran agama yang baru, yang saya—saya tekankan lagi—sangat tahu, bahwa itu tidak dibolehkan oleh pemimpin-pemimpin Paderi paling awal, tapi dilakukan oleh mayoritas kepala kampung buta huruf yang tidak menghormati mereka.”
Saya mengatakan dengan sungguh-sungguh, “bahwa kaum Paderi tidak punya hak untuk menggunakan pemaksaan, dan alangkah lebih baik memperbaiki generasi masa depan dengan teladan yang baik serta pengajaran yang bagus, daripada memaparkan mereka hanya pada darah dan api; dan bahwa sekarang waktunya berhenti untuk saling menghancurkan; dan kami di tahun ini tidak ada melakukan serangan apa pun dan tidak mengusir seorang Melayu pun dari rumah mereka karena balas dendan, seperti dari lubuk hati paling dalam mengatakan bahwa orang yang mengawali penyerangan akhirnya selalu sengsara; bahwa meskipun kaum Paderi apakah di Tungkar, Saruaso dengan begitu banyak massa berupaya menguasai wilayah pedalaman, tapi mereka tidak berhasil, karena Yang Maha Kuasa akan senantiasa menghukum mereka yang melakukan serbuan, juga menghukum mereka seperti tidak pernah sebelumnya; bahwa kaum Paderi di Bonjol dalam waktu kurang empat hari kalah total dan diusir, karena mereka ini telah menerima hukuman, karena lebih dulu melakukan kebinasaan.”
Tuanku Keramat, seorang yang sudah berusia, wakil dari Tuanku Lintau (Tuanku Pasaman) mengangkat suara lemah dan berkata, “Bahwa kita semua musti lupakan yang telah berlalu untuk memulai hubungan baru, tanpa melihat-lihat perselisihan-perselisihan lama.” Saya jawab, “Ini sangat sejalan dengan pandangan Pemerintah, yang dengan senang hati melupakan semua yang telah terjadi, jika memang ini bisa membuat setiap orang memahami bahwa kebahagiaan mereka sebenarnya terletak pada perdamaian, yang telah diupayakan begitu banyak oleh Pemerintah.”
Setelah saling menjelaskan tentang spirit Pemerintah yang senantiasa memberikan perlindungan kepada seluruh penduduk, para pemimpin Paderi tersebut kembali ke kediaman mereka di Padang dengan rasa puas.
Setelah sebelumnya minta izin, dua hari kemudian empat pemimpin Paderi yang awal kembali mengunjungi saya, memberitahukan, “bahwa mereka telah membaca dan memahami poin-poin yang saya sampaikan,” kemudian menyerahkan sebuah surat yang mereka tanda tangani, bunyinya:
Tuhan menjanjikan bahwa yang jujur akan ke Surga dan yang jahat akan ke Neraka!
Nabi menyelamatkan kita dari Yang Jahat.
Setelah itu, kami memohon kepada Penguasa Seluruh Alam bagi kesejahteraan umat manusia yang dirahmati-Nya.
Risalah ini, yang murni mengungkapkan harapan-harapan kami yang terbaik, akan menjadi saksi bagi yang dirahmati di antara kedua kelompok.
Apa yang disampaikan di sini sangat menimbang apa yang kiranya patut dan pantas, dan kami sampaikan di sini penghormatan kepada Tuan Kolonel, yang dengan kebahagian dan keberkatan berdiam di kampung di sisi sungai Padang, yang memiliki kekuasaan atas banyak tempat di pulau Sumatera.
Tambahan lagi beliau melakukan hal-hal yang baik dengan pertimbangan dan pengertian, terhadap seluruh penduduk secara patut dan adil, seperti diperintahkan dalam hukum-hukum agama.
Kami berdoa kepada Tuhan agar Tuan Kolonel diberikan umur panjang, dan kebesarannya semakin meningkat dengan pencerahan jiwa dan kebahagiaan selama pemerintahan yang dijalankannya kepada kita semua.
Semoga surat ini menjadi bukti bagi kami, yang tidak tertarik dengan kekayaan dunia dan sepenuhnya menyerah kepada Yang Maha Kuasa, sebagai wakil dan panglima dari Tuanku Lintau, yang seperti Tuan Kolonel ketahui berdiam di wilayahnya.
Kami kini akan membicarakan tentang surat dari Tuan Kolonel, yang dengan senang hati telah kami terima, kami buka dan kami baca, dan kami bisa memahami tentang penyebaran rasa bahagia yang disampaikan kepada kami.
Dan kami semua kaum Paderi, terhadap apa-apa yang disampaikan dalam surat tersebut, kami merasa juga memiliki keinginan yang sama, untuk itu kami bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
Namun dalam surat ini ada dua hal yang dirasa tidak sesuai dengan hukum tertinggi kami.
Yang pertama bahwa penduduk boleh berjudi dan kemudian boleh merokok opium.
Dua hal ini tidak membawa kebaikan apa pun bagi penduduk, dan tidak bisa akan ada kebahagiaan di tempat ini jika hal itu dibiarkan.
Tuan Kolonel pasti juga yakin akan hal itu.
Jika kami orang-orang Melayu diberikan izin melakukan keduanya, tidak mungkin ada kedamaian, dan akan terus menerus terjadi kekacauan. Dan bila Tuan Kolonel ingin selalu hidup damai dengan kami, maka kami mohon agar beliau atas dasar itu hendaknya secara berangsur-angsur melarang hal tersebut, yakni segala macam perjudian dan hisap opium, demikian permohonan tulus kami kepada Tuan Kolonel.
Dan jika Tuan Kolonel ingin karenanya berjanji dengan kami dan meminta tanda tangan kami atas persetujuan-persetujuan yang semoga selamanya akan berlaku, maka ini dapat kami lakukan dengan pertolongan Tuhan, sehingga persahabatan kita benar-benar terwujud.
Kami mohon kepada Tuan Kolonel dalam beberapa hari ini hal demikian telah siap agar kami bisa kembali ke Lintau.
Dari surat di atas terlihat bagaimana jalannya pertemuan antara para wakil Paderi dengan Pemerintah dan bagaimana hal tersebut mendapat kemajuan yang jelas (saya sebenarnya juga telah mengupayakan cara apa pun agar utusan saya bisa membawa mereka kepada pemahaman-pemahaman yang lebih tercerahkan), dan bahwa pada prinsipnya ada dua hal yang mereka minta: yakni mulai dari sekarang dan secara berangsur-angsur agar penduduk dilarang menghisap opium dan menyabung ayam, barulah mereka bersedia meneken dan bersumpah untuk perjanjian damai yang telah dirancang. Untuk sementara saya sampaikan kepada mereka bahwa Pemerintah memutuskan kepada empat Tuanku di Lintau, Telawas, 50 Kota dan Kamang Agam sebagai para pemimpin yang memiliki kewenangan sehingga mereka memiliki nilai penting, karena sudah diakui sedemikian oleh suatu otoritas Eropa.
Tanggal 15 November adalah hari yang ditentukan untuk melangsungkan perjanjian perdamaian dengan cara paling khidmat, pada kesempatan mana empat pemimpin Paderi yang disebutkan tadi satu per satu telah bersumpah khidmat dengan Alquran di hadapan Kali (ulama) untuk mengikuti secara harfiah perjanjian yang dibuat, baik untuk diri mereka sendiri maupun keturunan mereka, sementara saya kepada setiap mereka menyerahkan satu cachet[1] yang dibuat khusus untuk itu; kemudian mereka bergiliran mengesahkan akta itu dengan tanda tangan mereka, kemudian saya diiringi tanda kebesaran 21 kali tembakan meneken perjanjian tersebut, dan memberikan satu eksemplar kepada setiap pemimpin Paderi itu, termasuk satu untuk keperluan arsip di sini.
Tanggal 18 mereka kembali ke wilayah masing-masing setelah menghabiskan dua puluh hari di Padang, dan tampaknya sangat puas dengan perlakuan baik yang mereka teristimewa menunjukkan rasa percayanya pada kita.
Traktat itu secara utuh isinya sebegai berikut:[2]
Akte perjanjian, dilakukan dan disepakati antara Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, ridder van de militaire Willemsorde der derde klasse (ksatria militer ordo William kelas tiga) dan legion Perancis kehormatan, ajudan dari Yang Mulia Tuan Gubernur Jenderal, residen Padang dan Bawahannya,
Dengan
Tuanku Keramat, deputi dan utusan untuk itu oleh Tuanku Pasaman di Lintau
Tuanku Nan Saleh, kepala Telawas
Tuanku di Bawah Tabing, deputi Tuanku di Guguk, 50 Kota
Datuk Ujung, deputi Tuanku Nan Renceh dari Kamang Agam
Di pihak lainnya
Semua pihak yang melakukan kontrak perjanjian ini dengan sunggguh-sungguh ingin menciptakan dan menjaga ketertiban dan perdamaian di masing-masing wilayah mereka serta akan menghentikan perang yang merusak yang telah terjadi begitu lama dan hanya membawa kesengsaraan.
Maka demikian antara Kolonel, Residen dan Komandan Militer Padang dan Daerah Bawahan, beserta Tuanku Keramat, Tuanku Nan Saleh, Tuanku di Bawah Tabing dan Datuak Ujuang, semua dalam kapasitas sebagai perwakilan dan yang dikuasakan dari para kepala dari wilayah-wilayah yang disebutkan tadi, dengan persetujuan dari Yang Mulia Gubernur Jenderal pada Raad, ditetapkan kesepakatan berikut:
Artikel 1
Akan terjadi perdamaian dan persahabatan yang berkesinambungan antara Pemerintah Belanda, orang-orang Melayu yang di bawah perlindungan Pemerintah serta para kepala Lintau, Telawas, 50 Kota dan Kamang Agam, sehingga dengan ini seluruh konflik-konflik dan pertengkaran-pertengkaran lama antara kaum Paderi, yang di bawah kewenangan para kepala yang melakukan perjanjian ini, dengan orang-orang Melayu dinyatakan habis untuk selamanya; dan selanjutnya kelompok-kelompok yang menjalankan kontrak beserta anggota-anggota mereka akan menjaga ketertiban dan perdamaian ini selamanya.
Artikel 2
Kelompok pertama yang melakukan perjanjian atas nama Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan yang dimiliki atau akan dimiliki oleh Tuanku Pasaman di Lintau, Tuanku Nan Renceh di Kamang Agam, Tuanku di Guguk Limapuluh Kota dan Tuanku Nan Saleh di Telawas atau para pengikut mereka yang sah pada masing-masing wilayah mereka, sementara itu para kepala dimaksud dan para pengikut setia mereka di sisi lain juga mengakui otoritas Pemerintah Belanda.
Artikel 3
Pemerintah Belanda akan memberikan perlindungan semaksimal mungkin kepada seluruh pedagang dan pejalan kaum Paderi yang menuju Padang dan berjanji akan menjaga keamanan mereka baik selama di Padang maupun selama dalam batas wilayah kekuasaan Belanda.
Artikel 4
Pihak pertama yang melakukan perjanjian berjanji, bahwa jika pihak lain yang melakukan perjanjian atau kepala-kepala yang diakui dan diutus oleh mereka datang ke Padang, serta memberitahukan maksud mereka untuk itu sebelumnya, maka mereka akan menerima penghormatan yang semestinya.
Artikel 5
Bahwa prinsipnya para kepala Paderi tersebut berjanji, bahwa jika seorang pelayan atau warga dari Pemerintah Belanda, baik seorang tokoh penting, orang merdeka atau hamba sahaya, baik karena melakukan kejahatan atau sebab lain berupaya mencari tempat perlindungan dalam wilayah mereka, maka mereka tidak akan menyembunyikannya, tidak juga akan membiarkan anggota-anggota mereka memberikan tempat atau perlindungan kepadanya, tapi sebaliknya akan menahan serta segera menyerahkannya ke otoritas Belanda terdekat di Padang Darat; kemudian mereka semua berjanji apabila orang-orang Melayu atau warga-warga lainnya dari Pemerintahan Belanda datang kepada mereka dalam keadaan bersalah atas suatu pelanggaran maka orang-orang itu akan diserahkan kepada Pemerintah untuk mendapat hukuman sesuai temuan perkara, sementara sebaliknya pihak pertama yang melakukan kontrak secara timbal balik berjanji jika warga dari pemimpin Paderi tersebut datang ke wilayah mereka dengan suatu kesalahan maka mereka akan ditangkap dan diserahkan kepada pemimpin mereka untuk dihukum juga.
Artikel 6
Para pemimpin Paderi pada pihak mereka berjanji bahwa seluruh serangan yang dilancarkan para pemimpin Paderi atau kampung Paderi terhadap kampung-kampung Melayu, yang disebabkan oleh konflik-konflik lama, akan mereka upayakan untuk dicegah sekuat tenaga, agar ketertiban dan perdamaian tidak terganggu, sementara di sisi lainnya, Kolonel, Residen dan Komandan Militer Padang dan Daerah Bawahan berjanji mengurus diri dan para bawahannya agar orang-orang Melayu akan tetap damai terhadap kampung-kampung Paderi dan tidak melakukan hal-hal yang tidak patut.
Artikel 7
Pihak pertama yang melakukan perjanjian atas nama Pemerintah Belanda berjanji, bahwa mereka tidak akan mengintervensi urusan prinsip-prinsip agama, pemerintahan atau manajemen dari wilayah-wilayah kaum Paderi yang membuat perjanjian ini; malah sebaliknya akan membiarkan mereka tidak diganggu dalam hal tersebut, sama juga Pemerintah selamanya tidak akan mengusik orang-orang Melayu atau suku-suku bangsa lainnya yang berada di bawah perlindungannya, dalam urusan kepercayaan, adat dan kebiasaan mereka.
Seluruh poin ini telah disepakati dengan kerelaan oleh kedua pihak, hendaknya dipenuhi dan diikuti dengan sepenuhnya, dengan tujuan—di bawah rahmat Yang Maha Tinggi—ketertiban, kemakmuran dan kesejahteraan pada wilayah dan bangsa ini bisa tercapai.
Untuk memperkuat maka seluruh person yang disebut di atas akan menandatangani dan memberi sumpah atas kesepakatan ini.
Demikian dibuat kontrak ini di Padang, 15 November di tahun delapan belas dua puluh lima.
Tuanku Nan Saleh De Stuers
Tuanku Keramat
Tuanku di Bawah Tabing
Datuk Ujong
Kontrak ini disetujui dalam artikel 2 resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 24 Desember 1825 No. 8; dalam artikel 1 resolusi ini tentang kinerja de Stuers, “telah dilakukan dengan sangat baik olehnya atas instruksi yang diberikan dan ekspektasi Pemerintah, seluruhnya disetujui dan karenanya Pemerintahan Pusat sangat puas.”
Kesepakatan yang dibuat ini dinilai dengan beragam,[3] dan de Stuers sendiri berkata bahwa “tidak ada lagi yang dapat dikatakan tentang itu kecuali bahwa kesepakatan tersebut bernilai”.[4] Sementara itu, ternyata kontrak ini muncul di saat yang tepat, karena di tahun 1826, akibat dari Perang Jawa pasukan di Sumatera Barat harus mengurangi 17 perwira dan 558 prajurit, jadi hampir separo kekuatan mereka ditarik. Pemerintah, yang kehabisan cara untuk mengontrol kaum Paderi yang seringkali sangat nekad, cukup berhasil membuat kelemahan mereka tidak tampak di hadapan mata dengan memakai dalih penghormatan atas kesepakatan yang dibuat tersebut, yang kemudian acap dilanggar oleh pihak sebelah.
Namun, pandangan-pandangan tentang ini sebaiknya kita bahas dalam studi periode selanjutnya.
‘s Gravenhage, 20 September 1886
Ilustrasi @Mithamiwuwu
Catatan kaki:
[1] [Penerj. stempel tangan]
[2] De Stuers (I hal. 106) dan Lange –mengulanginya—(I hal. 135) memberikan isinya sangat tidak lengkap hanya dalam 9 sampai 10 baris; lagipula ada yang keliru karena dalam dalam kontrak tidak disebut apa pun tentang “benteng kita” yang “menjadi patokan perbatasan”.
[3] Penilaian Francis (Herinneringen III, hal. 173 dst) jauh dari positif.
[4] Idem, I, hal. 107