Artikel ini ditulis oleh AWP Verkerk Pistorius pada Februari 1868. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
Menurut adat, balai-balai dan tabuh harus ada pada sebuah nagari. Keduanya menandakan nagari; jika salah satu dari keduanya tidak terdapat, suatu kampung tak bisa disebut nagari. Kampung yang sedemikian hanyalah sebuah teratak [taratak][1], suatu kampung kecil, yang tidaklah diperintah oleh para penghulu, tapi oleh kepala-kepala yang kurang penting (tua-tua) yang sepenuhnya tergantung pada pemerintahan nagari di mana taratak itu berada. Apabila beberapa warga berdiam di tempat lain untuk waktu yang singkat, misalnya untuk membuat ladang, maka tempat tersebut, biasanya terdiri dari beberapa rumah pondok, bernama utan. Dalam tahun-tahun terakhir ini adat nagari tidak lagi kuat diterapkan. Pada banyak tempat balai-balai digantikan oleh bangunan kecil, yang di sini namanya tampat brenti [tempat berhenti] dan di Jawa pasanggrahan, yang menjadi tempat menginap bagi para ambtenaar yang sedang dalam perjalanan. Pada tempat perdamaian sekarang ini orang seringkali tak lagi mendapati tabuh, meskipun tiap penghulu biasanya menaruh tabuh di depan rumahnya sendiri. Namun, di tiap nagari, sejauh pengetahuan saya, mesjid berbentuk bangunan persegi atau terkadang membujur yang di dalamnya hanya ada mimbar khutbah dan relung di sebelah dinding Barat, ke mana orang-orang beriman menghadapkan wajah ketika salat. Seperti halnya surau, mesjid tak punya gonjong, tapi apa yang dinamakan puncak, yang biasanya berjumlah dua atau tiga, tapi juga terkadang lima dan enam, ditempatkan berhimpitan satu sama lain, sehingga atap mesjid itu tampak seperti tumpukan sejumlah atap. Mesjid haruslah dibangun di tengah-tengah perkampungan di suatu nagari, sehingga seringnya bangunan tersebut dapat ditemui di dekat tempat perdamaian. Apabila di malam hari orang mengunjungi tempat ini, maka biasanya akan menjumpai sejumlah pribumi sedang berkumpul; orang-orang dewasa asyik bercakap dengan duduk-duduk di atas tanah berumput mengelilingi pohon kelapa, dan anak-anak serta gadis-gadis kecil, dalam kostum Eden, bermain-main dengan gembira.
Apabila orang ingin melihat kaum pribumi dengan segala bisnis dan tingkah lakunya, dengan seluruh perbuatan dan perangainya, singkatnya karakter yang mereka miliki, maka orang perlu mengunjungi pasar. Terkadang pasar diadakan di tempat perdamaian yang disebut di atas; tapi jika keadaan memungkinkan, orang lebih suka mengadakan pasar di luar wilayah perkampungan. Sejumlah pasar bahkan jauh dari pemukiman sehingga berupa tempat yang dikhususkan, misalnya pasar Sungai Lasi di IX Kota dan pasar Sijunjung, di mana kediaman controleur juga terletak terpisah dalam rimba. Alasan dari hal ini tak susah dicari. Dahulu, ketika sabung ayam[2] masih belum dilarang, permainan ini dilakukan di pasar. Banyak orang sekarang ini masih mengikuti permainan rakyat sedemikian (sabung ayam merupakan hiburan rakyat yang paling populer dan satu-satunya di sini); meskipun pemerintahan kita melarang dan bahkan akan menghukum berat para pelakunya, mereka akan mencari juga tempat-tempat paling tersembunyi dan bahkan jauh dalam hutan untuk mengadakannya. Yang satu membawa ayam jantan untuk disabung, yang lain datang hanya untuk bertaruh, dan inilah penyebab utama dari penderitaan besar yang bisa saja terjadi, yang akan dirasakan seluruh keluarga dan tak jarang menjadi motif untuk melakukan perampokan dan pembunuhan. Satu orang terkadang berani mempertaruhkan seratus gulden, suatu jumlah yang hanya dimiliki sedikit kaum pribumi.
Jika dia telah kehilangan seluruh uang yang dimiliki, telah menjual atau menggadaikan barang-barang berharga serta sawah-sawah yang dipunyainya, dan membawa diri serta keluarganya dalam kemiskinan, maka seperti halnya orang-orang Jerman zaman dulu, dia akan mempertaruhkan dirinya sendiri, dan karenanya, dulu setidaknya, tak jarang dia menjadi barang gadaian seumur hidup dari orang lain. Karenanya, sudah cukup alasan untuk melarang keras nafsu berjudi dan motif-motif ke arah sana di kalangan pribumi; tapi dengan kurangnya sarana dan prasarana yang kita miliki serta kontrol yang tak seberapa, taklah dapat diramalkan penghentian kegiatan ini akan berhasil sepenuhnya. Di masa lalu, ketika sabung ayam masih lazim dilakukan di pasar (sekarang memang sering juga masih begitu) pertikaian hebat dan berdarah akan timbul karena permainan penuh nafsu tersebut, yang dengan dipanas-panasi oleh kaum perempuan dan anak-anak, terkadang akan melibatkan seluruh yang hadir di pasar, yang jumlahnya bisa ratusan orang. Apabila sabung ayam itu dilakukan di luar perkampungan, maka pertikaian skala besar dapat dihindarkan. Karena itulah pasar, tempat di mana sabung ayam itu dilakukan, tidak boleh dibuat di dalam perkampungan, pada tempat perdamaian misalnya, tapi musti di luarnya. Apalagi, rumah-rumah kecil di sekitar pasar adalah tempat berkumpul orang-orang rendahan dan para preman; pada hari pasar seringkali terjadi kekacauan dan pelanggaran. Makanya dahulu, sekarang juga masih ada alasan untuk itu, sedapat mungkin di dalam perkampungan, di dalam lingkungan benteng tanah liat, tidak boleh diadakan pasar.
Seperti halnya tempat perdamaian, pinggiran dan tengah pasar dilindungi oleh pohon-pohon besar. Pada suatu sisi pasar itu sepenuhnya terbuka, tapi pada bagian lainnya berdiri rumah-rumah kecil secara agak beraturan. Rumah-rumah itu berbeda dari rumah-rumah biasa di perkampungan karena ukurannya lebih pendek. Itulah yang dinamakan lapau-lapau, tempat-tempat penginapan, yang mudah dikenali dengan adanya lapak-lapak bambu di depannya, di atas mana seorang kuli, atau siapa saja yang ingin masuk ke sana, meletakkan beban bawaannya. Sebagian pengunjung pasar adalah para pedagang, yang dengan sendirian atau ditemani seorang kuli, terkadang berminggu-minggu berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya hingga barang jualannya habis atau waktu perjalanannya usai. Pada malam sebelum hari pasar biasanya mereka telah ada di pasar dan menginap di lapau-lapau itu dengan membayar sejumlah duit. Mayoritas lapau adalah properti para kepala kampung yang singgah ke sana jika mereka pergi ke pasar, dan keuntungan kecil dari penjualan kopi atau minuman-minuman kecil lainnya diberikan kepada pengurus lapau mereka. Jika orang mengunjungi lapau tersebut di malam hari maka akan ditemui lantainya dipenuhi oleh orang-orang yang tidur, yang berbaring setengah telanjang dan saling berdekatan, atau setengah terjaga mendengar cerita (kaba) lama oleh salah seorang mereka yang dengan kacamata terpasang di hidung membaca manuskrip kotor, usang dan keriput dengan gaya nyaring khas para pribumi, diterangi lampu damar yang berasap.
Ketika masih sangat pagi sudah dapat dijumpai beberapa orang di pasar. Sebagian datang dari kampung-kampung yang jauh sehingga mereka tak dapat pagi sekali ke pasar; tapi yang selain mereka biasanya juga belum datang sebelum pukul delapan atau sembilan. Umumnya para pribumi tidaklah terlalu pagi beraktivitas seperti yang orang cenderung sangkakan. Hal ini sebagian dapat dialamatkan kepada kebiasaan diadakannya pertemuan-pertemuan di surau-surau atau tempat-tempat lainnya yang terkadang sampai larut malam. Barulah menjelang jam sepuluh pasar sudah sangat ramai. Orang-orang datang dari segala arah; wanita-wanita dengan kepala beralaskan lilitan kain sarung berwarna membawa barang beban di atasnya; kaum lelaki, sama menjunjung beban berat di kepala, sementara sebuah topangan kecil (koelipats) di atas bahu menolong menopang baban di sisi lainnya; banyak anak-anak laki-laki dan perempuan, yang beberapa tampil cukup menarik dengan sarung merah gelap, kelihatan sangat cerah dengan baju yang ber-stik perak di bagian birunya dan sampai ke lutut. Pakaian lelaki dewasa sangat sederhana dan fungsional. Di rumah dan di ladang mereka hanya memakai celana pendek dan tutup kepala yang wajib ada, di atas mana terkadang dipasang sebuah tudung yang besar, sebagai pelindung baik terhadap sinar mentari maupun hujan. Pada kesempatan-kesempatan pesta dia memakai baju biru gelap yang pas di badan, di bagian garis lehernya dipotong terbuka dengan lengan yang pendek dan lebar, yang menurut adat tak boleh melampaui siku. Pada celana menggantunglah sarung yang biasanya ditarik ke atas, dililitkan ke pinggang atau hanya digantungkan ke bahu. Para penghulu dan orang-orang berada berpakaian seperti itu; pakaian-pakaian mereka, khususnya ikat pinggang, disetik dan dijahit dengan benang emas dan perak dan biasanya semua mereka membawa sebilah keris. Cukup mudah membedakan dari mana seseorang itu berasal dengan melihat pakaian yang dikenakannya. Penduduk XIII Kota biasa mengenakan celana pendek yang hanya sampai ke lutut. Seorang Agam memandang pakaian ini sangat tak pantas karena dia lazimnya memakai celana panjang. Di kalangan para pedagang yang sering berjalan umum ditemui jenis pakaian yang dulunya hanya terbatas di Utara Sumatera, yakni disebut celana Aceh, dengan kaki yang lebar dan rendah, mirip pantalon ala orang-orang Zouave di Perancis.
Kaum wanita, saya memang terpaksa diarahkan untuk melakukan transisi yang sedikit rumit di sini, sebab perempuan Melayu, meskipun posisinya menurut adat berada di bawah, tapi pada banyak keluarga merupakan bos, berpakaian dengan cara tertentu yang membuat bagian yang baik dari mereka tampil memukau. Pada baju berwarna gelap yang pas di badan, jauh lebih panjang daripada baju kaum lelaki, dihiasi sarung indah warna-warni, terkesanlah dada yang kecil dan indah; selendang yang cantik, terutama kasumbo merah gelap yang disetik emas, terkadang dipakai sebagai bandelier ( selendang bahu) tapi bisa juga dilipat di atas kepala dengan ujung-ujung yang menggantung, memperkuat kemilau jalinan rambut berwarna hitam kebiruan atau cahaya dari anak mata yang hitam; pakaian itu seluruhnya terlihat sangat serasi pada bentuk tubuh yang bagus dan terkadang indah, pada pinggang yang ramping, tubuh yang lentur dan gaya jalan yang ringan serta mengalun dari perempuan Timur. Dari jauh mereka memang mempesona, dan meskipun warna kuning pucat taklah mengganggu keindahan wajah, yang membuat orang berpikir tentang morbidezza kaum hawa di Selatan Eropa, tapi dengan hidung yang pesek, mulut bersirih berwarna merah, gigi-gigi yang bernoda hitam serta telinga panjang yang dicupingnya ber-anting sebesar koin, pemandangan semua ini membuat seorang Eropa, jika seleranya masih normal, akan berpikir ulang untuk memberi penilaian positif atas penampilan para perempuan pribumi. Pasar memang bukanlah kesempatan yang bagus untuk melihat perempuan-perempuan Melayu yang cantik. Pada banyak nagari adat melarang gadis-gadis muda untuk pergi ke pasar. Kebanyakan yang di pasar hanyalah wanita-wanita yang telah menikah atau yang tua-tua. Apabila mereka berasal dari XIII Kota, mereka akan menjalin rambut dengan jalinan-jalinan yang panjang; yang berasal dari tempat-tempat lain biasanya mengikatnya menjadi kondeh. Anak-anak semuanya semuanya memakai jalinan-jalinan rambut yang pendek. Di sini ada suatu kebiasaan yang aneh, yakni ketika mencukur rambut baik anak-anak lelaki maupun wanita, akan membiarkan rambut yang tumbuh pada tempat-tempat tertentu di kepala untuk kemudian diatur membentuk jalinan-jalinan kecil; anak-anak Melayu yang merdeka biasanya rambutnya berjalin lima; anak-anak keturunan budak tak lebih dari empat jalinan.
Dari membahas para pengunjung pasar, dengan pakaian mereka yang beraneka ragam dan hanya menyisakan sedikit ruangan (tapi tak terlalu sesak), kita rangkum barang-barang apa saja yang paling sering kita temui di sana. Orang Melayu membeli hampir semua kebutuhannya di pasar; pasar itu tak hanya menjadi petunjuk bagi kita apa saja yang penduduk butuhkan, tapi juga—dengan analogi—sejauh mana tingkat peradaban yang telah mereka capai.
Barang-barang yang paling lazim akan diurut per jenis. Aroma yang menusuk dari ikan-ikan kecil yang dikeringkan[3] mengundang kita untuk memperhatikannya. Ikan-ikan itu ditumpuk sampai tinggi, atau diletakkan berbarisan pada daun-daun pisang yang masih segar dan bercahaya di bawah naungan payung-payung kecil, atau pada los-los batu pada beberapa pasar. Ikan-ikan itu adalah ikan-ikan laut kecil dari aneka jenis, yang dikeringkan di pantai Padang atau Pariaman, lalu dibawa ke Dataran Tinggi (Bovenlanden) oleh kaum pribumi, dan di samping beras merupakan bahan pangan utama para penduduk. Di pedalaman jarang sekali binatang ternak disembelih; pada banyak tempat yang hanya dihuni oleh kaum pribumi, penyembelihan ternak hanya dilakukan menjelang bulan puasa; bahkan kambing dan ayam jarang digunakan sebagai bahan makanan. Ikan-ikan kecil yang dikeringkan, yang kaya akan protein, adalah pengganti yang paling lazim. Karena harganya murah (dengan beberapa duit[4] orang sudah bisa membeli segenggam penuh ikan kering) bahan makanan ini terjangkau bagi siapa saja. Sama pentingnya dengan ikan kering adalah beras, yang dibawa ke pasar dalam tempat-tempat yang terbuat dari jalinan dedaunan (bakul/keranjang), dan dijual melalui sorakan demi sorakan oleh kaum hawa, serta diukur menggunakan ukuran bambu kecil yang disebut cupak. Beras Dataran Tinggi (Darek) sedikit saja dicari untuk jadi komoditi karena cepat rusak sehingga kurang cocok untuk diekspor. Salah satu alasan, tapi bukan alasan utama, dari cepat rusaknya beras pribumi adalah karena padi, setelah disabit, dibiarkan terletak di lapangan terbuka dalam waktu yang lama, kadang sampai dua puluh hari, sebelum akhirnya dipisahkan dan dibawa ke tempat penyimpanan. Fermentasi yang tinggi yang terdapat pada butir beras, khususnya pada cuaca berkabut, barangkali menjadi penyebab terdapatnya ulat pada sebagian produk. Karena alasan inilah perdagangan beras hanya terbatas untuk pasaran lokal pribumi dan juga tak jarang persediaan untuk bahan pangan paling utama ini tak mencukupi. Gagal panen berulang kali terjadi di sini. Alasan dari hal ini adalah, meskipun penanaman padi sudah cukup maju di sini, tapi perhatian yang memadai masih belum diberikan untuk kultivasi itu sendiri. Setidaknya dibanding di bagian Timur pulau Jawa, kultur penanaman padi di sini masih ketinggalan. Umumnya sawah di daerah ini sedikit sekali dicangkul dan diolah dengan kurang baik, serta kurang bersih; benih-benih padi pun ditanam terlalu banyak, kadang dua puluh pada satu rumpun. Namun, cara memanen di sini lebih baik dibanding di tempat-tempat lain, karena padi dipotong per tangkai dan disimpan di tempat yang baik. Kecuali di Lima Puluh Kota dan XIII Kota, yang cara memanennya mirip dengan yang di Jawa, di sini orang memotong padi sekaligus dengan alat sejenis sikkel (sabit). Waktu dan tenaga yang digunakan untuk kegiatan ini cukup besar.[5]
Selain beras dan ikan-ikan kecil yang dikeringkan, garam adalah bumbu utama lainnya dalam menu makan kaum pribumi. Di seluruh pasar di dataran tinggi garam yang diperjual-belikan merupakan kualitas yang terburuk. Seperti terlihat dari yang didistribusikan dari gudang garam di Padangpanjang, yang kemudian dibawa oleh para pedagang pribumi ke penduduk, warna garamnya kelabu gelap dan nyaris mengalir saja di sela-sela jari; substansi garam itu sendiri (chloornatrium) tentu sedikit saja terkandung di dalamnya. Dan karena tak seperti di Jawa, di sini garam tak disediakan untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang besar karena adanya impor ikan asin serta cara yang lain, maka Pemerintah seharusnya berpikir serius bagaimana agar para penduduk pribumi memperoleh garam yang kualitasnya lebih baik. Apalagi pada tahun 1847, ketika memperkenalkan sistem budidaya kopi, Pemerintah telah berjanji akan menyediakan garam yang dibutuhkan para penduduk.
Pada sudut tempat yang lain katun dan bahan-bahan dari sutra diperdagangkan. Pakaian sutra yang indah, disetik dengan benang emas, yang dibuat oleh pribumi sendiri,[6] dapat ditemui di sini berhampiran dengan madapollam yang terkenal, yang sketsanya seharusnya menuntut perhatian yang tinggi dari pengusaha pabrik di Eropa supaya dapat lebih disukai kaum pribumi. Di samping artikel-artikel utama ini banyak lagi barang lain yang dijual di pasar. Yang paling utama: emas urai (stofgoud), yang dikumpulkan terutama ketika masa gagal panen; tikar-tikar yang dijalin dari rotan, yang khususnya disediakan oleh para penduduk dari daerah-daerah yang masih merdeka;[7] buah damar yang ditumpuk tinggi; gambir dalam potongan-potongan kecil dari Lima Puluh Kota dan berbagai macam tembakau pribumi, yang warna dan rasanya cerah, terutama ditanam di sekitar Danau Singkarak. Di sudut lain dari pasar dijual sirih dan pinang; remis-remis kerang kecil berwarna putih, berasal dari Danau Singkarak, yang menyediakan kapur yang amat diperlukan untuk mengunyah sirih; periuk-periuk (belanga) dari tanah liat yang dibakar dalam bentuk dan ukuran yang beragam, terutama diproduksi di Tanah Datar; nipah (dari kawasan afdeeling arah Selatan), daun jagung dan pisang, dipotong membentuk gulungan-gulungan kecil serta dimaksudkan untuk sigaret kaum pribumi; buah kelapa; kacang, lada merah dan bumbu-bumbu lainnya untuk nasi; belanga besi, dan sebagainya.
Terakhir, perlu disebutkan juga barang-barang pecah belah/ perhiasan, sumanih, menurut istilah pribumi. Beragam artikel tergolong kepada jenis barang itu: cermin-cermin kecil, kotak tembakau dari tembaga dan seng, herbal, piring-piring kasar aneka warna, kancing-kancing, pisau saku, kartu permainan, keranjang Cina, kunci biasa dan kunci gembok, jarum dan peniti, manik-manik beraneka warna yang dijalin membentuk kalung (hiasan untuk anak-anak). Di samping itu juga terdapat beragam bumbu serta obat-obatan pribumi, seperti bunga pala, buah pala—yang harganya 20 sen seratus buah—asam sendawa dari puncak gunung Talang, lada hitam dan sebagainya yang terlalu banyak untuk disebutkan. Dan buah-buahan ditampilkan seperti karangan bunga di pasar: manggis yang ungu, pisang, jambu dan lain-lain yang ditaruh di atas daun-daun yang masih segar, seperti halnya manisan-manisan pribumi dari beras, ketan, gula aren, yang dijual oleh kaum hawa.
Peninjauan yang singkat ke pasar mengajarkan kita apa-apa saja yang menjadi kebutuhan kaum pribumi; selama berabad-abad artikel-artikel yang diperdagangkan tak banyak berubah. Selain beberapa artikel yang berasal dari Eropa, yang telah menggusur produk-produk pribumi berjenis sama, penduduk masih menemui barang-barang yang sama di pasar seperti pada zaman kerajaan Minangkabau masa lampau. Tanah dan industri pribumi di kawasan ini barangkali sejak dahulunya memberikan hasil-hasil yang tak jauh berbeda dibandingkan sekarang. Orang Melayu [Minangkabau] makan dan berpakaian seperti halnya nenek moyang mereka; kediaman mereka, perabotan dan peralatan, sebagaimana juga kota [koto] itu sendiri tampaknya tetap tak berubah semenjak Perapatih Sabatang dan Kjai Tommanggoengan [Datuak Katumanggungan] meletakkan landasan-landasan awal masyarakat Minangkabau di lembah Pariangan Padangpanjang yang indah. Sifat dan karakter ras Melayu, seperti halnya alam itu sendiri dan keadaan-keadaan yang mempengaruhi penduduk, barangkali merupakan sebab utama fenomena sedemikian, seperti halnya lembaga-lembaga adat yang lama masih menguasai mereka. Pada artikel selanjutnya saya akan mencoba mensketsakan lembaga-lembaga pribumi secara garis besar.(*)
[1] Orang dapat menyebut taratak ini sebuah kampung kecil. Nama utan diberikan pribumi pada ladang-ladang yang berdekatan atau pada taratak-taratak skala kecil.
[2] Keterangan lebih mendetail mengenai sabung ayam kiranya tidaklah salah tempat di sini.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, biasanya sebelum pukul 10 pagi, seperti halnya hari pasar, berdatanganlah orang-orang yang ingin ikut serta dalam acara itu ke suatu tempat di hutan atau pegunungan. Di sana-sini, kadang di tempat yang jauh dari tempat penyabungan, sebelum memulai acara itu ditempatkanlah beberapa orang yang akan memberi tanda, biasanya dengan tembakan senapan, apabila nanti ada bahaya. Semenjak sabung ayam dilarang, meski para pribumi sama getolnya mengikuti kegiatan tersebut seperti sebelumnya, mereka jadi kian hati-hati. Kaum lelaki yang membawa ayam sabungan (kaum wanita dan anak-anak ikut membawa makanan dan minuman) menyerahkannya kepada para juaro; juaro adalah orang yang melepas dan mengadu ayam sabungan satu sama lain. Ayam-ayam jantan mana yang akan bertarung diputuskan oleh para wasit sabung ayam ini. Apabila dua juaro sudah sama sepakat, maka mereka akan menukar satu sama lain ayam sabungan yang telah dipercayakan kepada mereka, dan menilai kekuatan binatang-binatang yang akan diadu tersebut, untuk kemudian menetapkan di mana taji harus dipasang, sebab ayam-ayam yang akan bertarung sedapat mungkin sama kekuatannya. Apabila keduanya sama kuat, maka taji (yang disimpan pada tempat-tempat bambu yang indah) akan dipasang di kaki sebelah kanan, bagian kaki yang terkuat. Apabila salah satu ayam jantan lebih lemah, maka taji dipasang di kaki kanannya, sementara lawannya yang lebih kuat bertaji sebelah kaki kirinya (boelang dagang). Atau, sejauh mana salah satu ayam jantan lebih kuat, maka bisa saja taji itu dipasang di bagian kaki yang terlemah (boelang djangkil), atau pada tumit yang terkuat (boelang tjipei), atau antara dua bagian tumit yang paling ujung (boelang toendjoeh tiga [bulang tunjuak tigo]), atau bisa juga di puncak tumit yang terkuat (boelang lepas). Jika ayam-ayam jantan sudah dipersenjatai sehingga kekuatannya imbang, maka dimulailah sabungan/taruhan. Tiap orang menurut pilihannya sendiri memasang taruhan atas salah satu ayam jantan dalam bentuk sejumlah uang, mulai dari 20 sen sampai 500 gulden. Apabila taruhan sudah sama dari kedua belah pihak, barulah pertarungan dimulai. Orang-orang yang menampung uang taruhan dan meletakkannya di atas tikar dinamakan djadjanang [janang]; untuk kerjanya ini dia menerima satu duit dari masing-masing juaro pada tiap pertandingan.
Kemudian, dua juaro yang masing-masing memegang ayam jantan, berhadapan satu sama lain; sementara para penonton membuat lingkaran besar sekeliling mereka dan duduk memperhatikan. Dengan ganas kedua ayam jantan saling menyerang di bawah sorakan penyemangat atau teriakan kekecewaan dari para penonton. Dalam beberapa menit usailah pertandingan tersebut. Siapa yang memenangkan sabung ayam menerima uang sebanyak yang dipertaruhkannya sebagai keuntungan, dan kepada pemilik ayam jantan yang menang juga dihadiahi ayam jantan lawannya yang telah tewas. Ada juga cara sabung ayam yang lain. Orang mengikat ayam jantan yang akan bertarung pada sebuah pohon lalu bertaruh dengan orang-orang yang berdiri di sekitar bahwa misalnya tak satu pun dari ayam jantan mereka akan menewaskan ayam yang diikat tersebut. Ada juga kebiasaan ayam jantan yang telah menang hingga tiga kali diadu dengan lawannya yang telah tewas; jika ayam tersebut tak mematuk kepala lawannya berulang-ulang maka sabung ayam dibatalkan, tiap orang kemudian mengambil taruhannya kembali (baloes).
[3] Pribumi menamainya maco dan badar [bada].
[4] Di pedalaman Minangkabau orang masih bertransaksi memakai duit, yang memang masih banyak beredar. Dan meskipun penduduk pedalaman sudah sejak lama telah dapat menghargai sangat sederhananya sistem mata uang kita, mereka masih juga memakai hitungan cara lama berdasarkan nilai emas. Dulunya alat transaksi pribumi terutama dalam bentuk mas urai, sehingga nilai suatu barang tertentu dinyatakan dengan nilai ukuran-emas. Ukuran-ukuran emas yang sekarang masih berlaku:
1 kati=20 thail
1 thail (nilainya sama dengan 4 gulden)=4 pou
1 pou=4 amas atau reaal
1 amas=4 koepang
1 koepang=6 wang atau boontjis
Para pedagang emas menyimpan ukuran-ukuran ini dalam kotak-kotak kecil berukir indah, dengan beragam bentuk dan warna yang aneh-aneh. Biasanya satu kotak kecil tersebut memuat bisa setengah thail (blok kecil tembaga persegi empat), satu pou, setengah pou dan ukuran-ukuran lainnya yang dibuat dari timah serta bahan-bahan lainnya.
Ketika sistem mata uang kita diperkenalkan, penduduk pribumi membawa hitungan nilai emas-nya yang cara lama pada mata uang kita, sehingga mereka sekarang selain masih menyatakan nilai suatu barang dengan ukuran emas, tapi juga mengikuti nama-nama dan distribusi timbangan emas lama, ketimbang mengikuti distribusi ala kita:
Untuk delapan duit dia menamainya satu wang (boontji hanya khusus untuk nama ukuran berat)
8×6 duit = 48 duit (peking, piti)=40 sen=1 koepang
192 duit= 1,6 gulden= 1 reaal
768 duit= 6,4 gulden= 1 pou
3072 duit= 25, 6 gulden= 1 thail (Namun, emas thail nilainya setidaknya sama dengan 64 gulden)
Di Agam, yang secara adat juga termasuk asisten residensi Batipuh dan X Kota, serta di beberapa tempat di Tanah Datar (Batusangkar, Padang Ganting, Saruaso, Pagaruyung, Tanjung Sungayang, Rao-Rao dan seterusnya) satu wang nilainya sama dengan 6 duit. Jadi, di wilayah-wilayah tersebut hitungannya seperti ini:
1 koepang=36 duit atau 0,3 sen gulden
1 reaal= 144 duit atau 1,2 gulden
1 pou= 576 duit atau 4,8 gulden
1 thail= 2304 duit atau 19,2 gulden
Sementara, di wilayah-wilayah lainnya satu wang tetap delapan duit.
Jika penduduk pribumi mengikuti sepenuhnya sistem mata uang kita, maka mereka mengganti namanya dengan nama-nama Melayu. Misalnya, setengah gulden dinamakan sa-suku (seakan-akan nilai itu merupakan standar dasar mata uang kita), atau juga sabelah (roepiah); segulden serupiah, se-rijksdaalder dinamai seringgit, dan seperempat gulden dinamai stali.
Antara timbangan dan volume ada hubungan tertentu, seperti terlihat di bawah ini:
Ukuran volume pribumi baik untuk barang-barang kering dan basah:
- Cupak, alat penimbang kecil dari betung (semacam bambu) yang di bagian atas dan bawahnya ditutupi dengan rotan yang dijalin. Satu cupak beras kering dan berkualitas bagus timbangannya sama dengan 12 thail. Thail adalah standar dari ukuran volume dan berat orang-orang Melayu. Saya diberitahu bahwa di Padang cupak ditandai dengan cap stempel. Di Padang Darat hal ini tak dikenal.
- Gentang. Satu gantang sama dengan 4 cupak, dan sama-sama dibuat dari bambu dan rotan.
Setahu saya, ukuran-ukuran volume lainnya tidak dikenal di Padang Darat. Jika orang ingin menghitung barang dalam kuantitas besar, misalnya beras, dan penggunaan ukuran-ukuran di atas terlalu memakan waktu, maka orang mengukurnya dengan beberapa gantang sekaligus. Satu keranjang (ketiding) diisi dengan beras setelah sebelumnya ditimbang dengan teliti, lalu keranjang itu untuk selanjutnya dipakai sebagai ukuran.
Karena ukuran cupak dan gantang dari beras kering sudah sangat dikenal, maka nama ukuran-ukuran volume tersebut juga dipakai untuk menunjukkan ukuran barang-barang yang berat. Misalnya, untuk ukuran gading gajah, dikatakan beratnya 8 gantang. Maka berat gading ini detailnya= 8x4x12= 384 thail.
Ukuran panjang di tengah penduduk pribumi:
- Hampu (empu)
- jari, seukuran jari
- Tampo, seukuran lebar tangan atau tepatnya telapak tangan.
- Eto, sepanjang dari siku sampai ke ujung jari tengah.
- Dapo. Jika tangan direntangkan secara horizontal, maka jarak antara ujung jari tengah yang satu ke ujung jari tengah tangan yang lain dinamakan dapo. Jadi, kira-kira sepanjang tubuh.
- Sapanjang bahar. Jika orang berdiri lurus-lurus dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, maka panjang seluruhnya dinamai se-bahar: yakni, jarak antara ujung tangan yang diangkat sampai ke kaki.
Kemudian, digunakan juga panjang anggota tubuh: misalnya limo tagah [limo tagak], yakni lima kali jarak antara ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Ukuran luas tak dikenal orang-orang pribumi. Jika dia ingin mengukur luas, atau tepatnya nilai dari sawah, maka ditanyakan hasil panen padi di sawah tersebut. Jika ditanya berapa banyak luas sawah yang dimilikinya, seorang pribumi bisa saja menjawab 5000 atau 8000. Yang dimaksudkannya dengan hal itu adalah sawah-sawahnya menghasilkan lima ribu sampai delapan ribu gantang padi.
Karena sangat sedikitnya penduduk pulau Sumatera dibandingkan dengan luas total pulau tersebut, maka lahan-lahan yang belum digarap bukannya kekurangan, tapi malah kelebihan. Karena itu lahan punya nilai yang tak seberapa. Sebab itulah orang-orang Minangkabau di Padang Darat tak mengenal ukuran-ukuran luas, atau tepatnya merasa tak membutuhkan ukuran tersebut. Ukuran-ukuran luas yang kita kenal hanya digunakan oleh penduduk pribumi di tempat-tempat utama atau di beberapa tempat di Padang Pesisir (benedenlanden). Namun, di pedalaman hal itu nyaris tak dikenal.
[5] [Catatan penerjemah: hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan tanam dan jual paksa tanaman kopi (meskipun tak separah di Jawa) dan kerja rodi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada pertengahan kedua abad 19 terhadap penduduk Minangkabau sehingga waktu dan tenaga untuk menanam padi semakin berkurang dan lahan banyak terabaikan].
[6] Menenun pakaian di Padang Darat adalah kegiatan yang sangat lazim. Pada kebanyakan kampung yang penting dapat ditemui orang-orang, khususnya kaum hawa, yang bergelut di bidang itu. Kain-kain dari wilayah Agam dan Silungkang yang indah dan disetik benang emas adalah yang paling ternama; hasil-hasil tenunan wilayah itu mengungguli hasil-hasil nagari-nagari lainnya. Di Silungkang sendiri banyak penduduk yang fokus dalam aktivitas tersebut. Nyaris di tiap rumah dapat dilihat seorang wanita menenun di sepanjang hari, dan tanpa henti dapat didengar ketukan-ketukan keras dari pakaian-pakaian biru yang telah ditenun dan dicelup dengan cara memukul-mukulnya memakai palu kayu untuk memberi warna yang cerah, atau juga dapat didengar suara keras pukulan rotan ketika mana katun yang kasar melewati proses persiapan pertama. Dari kapas kasar ini, yang didatangkan dari kawasan-kawasan yang masih merdeka (sejumlah percobaan di Padang Darat untuk membudidayakannya sampai sekarang masih berlum berhasil), maka dibuatlah pakaian-pakaian yang bercorak kasar. Untuk kain-kain yang lebih halus dipakailah sutra dan katun jadi Eropa dan bahkan bahan-bahan celupan asal Eropa sendiri. Warga Silungkang membeli material-material ini di Padang lalu menjual hasil-hasil tenunan mereka sendiri dengan berkeliling. Sebagian sampai ke Bengkulu dan Inderapura, bahkan ke Utara sampai ke Toba, di mana mereka barter untuk mendapat kuda-kuda Batak.
Cara menenun di Silungkang lebih kurang seperti ini:
Pertama, sutera putih yang telah dibeli di Padang menjalani proses persiapan awal. Sutera itu diputar pada sebuah alat penggulung dari bambu (koempar dengan taboeng) dan sebab benang-benang kebanyakan amat halus, dua atau tiga benang dijalin dengan semacam roda (saring dengan kintjir). Setelah dicelup, baik dengan warna merah memakai ambalou pegou, atau biru dengan indigo/nila (sanem), lalu gumpalan-gumpalan ini dijemur, digosok-gosok dengan ketan dan digaruk dengan mangkuk kasar dari buah kelapa. Dengan cara itu benang-benang yang kurang baik bisa dipisahkan; benang-benang lainnya diputar dengan kincir, lalu dipintal pada gulungan bambu, dan terakhir ke loeli, suatu alat yang mirip dengan weefspoel (kumparan) yang kita kenal. Kemudian, penenunan barulah bisa dimulai. Tali tenunan yang ada dalam rumah terdiri dari dua baris atau panel benang yang direntang rapat satu di atas yang lainnya secara horizontal. Wanita yang duduk di depannya di atas sebuah papan (palantak) melempar kumparan-kumparan (tabung-tabung bambu kecil yang memuat loeli) melalui tali tenunan, menarik sisiran (koeda-koeda) yang arahnya vertikal terhadap tali tenunan ke arahnya, supaya benang-benang dapat menyatu rapat.
[7] [Catatan penerjemah: maksudnya daerah-daerah rantau Minangkabau yang belum dikuasai Belanda pada saat itu, seperti Kampar dan Kuantan].