Artikel ini ditulis oleh AWP Verkerk Pistorius. Terbit pertamakali pada 1869. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
Dari kejauhan, kampung di Padang Darat persis seperti desa di Jawa. Dikelilingi oleh kumpulan pohon kelapa yang terbagi dalam beberapa himpunan dan oleh lautan persawahan: begitulah tampaknya dari jauh. Jika orang melihat lebih dekat lagi, maka orang akan heran akan kekayaan ragam warna dan bentuk. Terutama pada awal waktu malam yang sejuk, ketika udara sesak siang hari disingkirkan,[1] dan cahaya kemilau mentari, yang bahkan akan membuat mata yang terkuat menutup, beralih menjadi warna-warni yang lembut. Bila di saat senja ini orang turun dari perbukitan yang mengapit danau dan lembah Singkarak dari kedua sisi, dan dari sebelah Timur menghampiri kota [koto] Singkarak (suatu kampung yang letaknya sangat indah, tapi dalam hal-hal lain tak berbeda dengan kampung-kampung lainnya), maka orang akan terpesona dengan pemandangan yang mengesankan. Danau yang memantulkan merah cahaya malam itu memercik dan bersinar dengan kemilau yang membutakan, dan Merapi yang bangga, menjulang di antara perbukitan di sekitarnya, dengan puncak meraih awan, tampak terselubungi warna ungu dan keemasan. Kampung Singkarak itu sendiri terletak di pinggiran danau, di tengah lembah yang besar, yang merentang agak bercahaya dari Merapi di sebelah Selatan hingga ke kaki Gunung Talang (gunung api berasap di sebelah Selatan Solok) , dan di mana bagian Utaranya, yang seperti Junghuhn ungkapkan dalam karyanya Battahlandër, terukir dalam seperti selokan, dirangkum oleh danau. Rentangan luas persawahan yang orang lihat dari ketinggian, yang meliputi kampung itu hingga ke pinggiran danau, terlihat seperti mozaik, terbagi dalam banyak bidang beragam bentuk dan ukuran, yang sebagian masih muda dan hijau, lainnya tertutup dengan jerami kasar atau daun-daun kuning dan aren.[2] Burung-burung bangau seputih salju[3] dalam jumlah tak terhitung mencari tempat naungannya di sini di malam hari. Dengan perlahan kawanan burung mengitari persawahan, dan mendarat di berbagai titik pada sebuah batang kayu satu-satunya di tengah sawah, sehingga pohon itu tiba-tiba seperti ditutupi oleh bunga-bunga putih yang besar. Lebih dekat ke lembah, orang akan mendengar bunyi kalintung[4], lonceng kecil yang digantungkan pada leher seekor kerbau yang perkasa. Seorang anak kecil membimbing kawanan ternak itu dari padang rumput yang harum kembali menuju kandang yang aman di bawah rumah.[5] Segera orang akan melihat beda antara hijaunya sawah dengan merahnya selendang, yang seorang wanita Melayu biasanya lilitkan di kepala ketika dia bepergian, dan jika orang mengikuti jalan setapak, yang berada di antara sawah-sawah itu, maka orang akan berpapasan dengan sejumlah laki-laki dan perempuan, yang dengan santai kembali ke rumah dari bekerja. Beberapa menyandang cangkul yang ringan[6] di atas bahu, yang lain memegang seekor merpati[7] di tangan. Setelah seharian berkuras di bawah langit yang membakar, di tengah percakapan yang gembira, mereka beristirahat indah di rumah yang tenang dan teduh. Dengan gembira bersinarlah puncak-puncak pohon kelapa, yang di kala senja seolah bertabur emas; gema tumbukan lesung padi terdengar jelas; di mana-mana terasa kehidupan dan aktivitas. Namun, warna-warni ceria yang menghiasi langit menjelang malam segera mereda; bayangan-bayangan besar mengembang menutupi lembah dan perbukitan, kicauan burung-burung menghilang dan bersamaan dengan itu segala suara tampaknya juga terdiam. Hampir semuanya beristirahat, dan di keheningan malam itu yang terdengar hanyalah tarikan nafas danau yang memberat.
Mari kita mengunjungi kampung itu sendiri[8] di pagi hari. Kebanyakan kampung mirip satu sama lain, jadi kita ambil saja kota Singkarak sebagai contoh. Bukan tanpa kesulitan kita mengikuti jalan kecil setapak, yang membelah semak-semak kampung dengan beragam kelokan: terkadang jalan itu ditaburi oleh batu-batu, lalu kemudian di bawah rumput bambu yang lebat,[9] jalan itu jadi licin dan becek. Daun-daun lebat, di antara mana sesekali cahaya mengintip, menutupi jalan itu dari kedua sisi. Tak satu orang pun yang kami papasi di jalan. Kaum laki-laki kampung tersebut sedang sibuk bekerja, baik di sawah, di ladang, ataupun kebun kopi dan pada jalan-jalan, sementara kaum hawa mengiringi mereka dengan membawa beras, beberapa kendi atau peralatan lainnya. Tak ada makhluk hidup yang terlihat kecuali seekor kerbau, yag menatap kami dengan mata terbuka lebar, dengan mengendus melompat ke samping, mencoba lepas dari pagar, yang padanya hidungnya diikat dengan sebuah tali dan dengan ekor digerakkan ke atas dia mulai berjalan lagi. Wabah ternak yang menimpa wilayah ini lebih buruk dibanding tempat-tempat lainnya di Sumatera, dan telah menghancurkan kemakmuran seluruh wilayah, sekarang paling tidak hanya menyisakan sedikit kerbau di seluruh nagari yang ada.
Hanya sedikit rumah yang terlihat. Kebanyakan ditutupi oleh semak-semak dan pohon-pohon buah,[10] dan dipisahkan dari jalan oleh pagar rapat berupa rumpun kopi atau tanaman puding (justicia picta) yang terkenal dengan dedaunan berwarna merah. Hanya di beberapa tempat atap ijuk[11] tinggi berwarna kelabu gelap dan dinding berwarna-warni tampak menyembul di antara semak tebal dan bunga-bunga tanaman belukar; seorang anak yang telanjang berhiaskan kalung warna-warni dari ketinggian panel jendela menatap Anda dengan matanya yang besar keheranan. Terus berjalan maka mata Anda akan tertuju pada sebuah rumah pribumi yang boleh dikatakan terletak paralel dengan jalan. Panjangnya yang luar biasa dibanding dengan lebarnya kelihatan begitu mencolok. Daripada sebagai satu rumah, bangunan itu lebih mirip rangkaian rumah-rumah kecil yang dinaungi oleh atap yang sama. Seperti bangunan-bangunan di tanah Sunda, rumah ini, empat atau lima kaki di atas permukaan tanah, ditopang oleh tiang-tiang yang dengan sederhana didirikan di atas batu-batu besar, dan juga seperti dinding rumah pinggir luar tiang dihiasi dengan ukiran. Warna-warna hidup, merah, hitam dan putih dan terkadang biru memenuhi ukiran dan seluruh dinding dengan guris-guris lebar; cermin-cermin kecil yang kemilau, yang dipasang pada eksterior bangunan, serta pinggiran metal atap ijuk hitam yang kemilau—hal-hal ini memberikan kesan khas dan ceria pada rumah tinggal orang Melayu [Minangkabau] jika dibandingkan dengan rumah-rumah kaum pribumi di pulau Jawa.[12]
Atap rumah orang Melayu berbentuk tanduk-tanduk yang tajam, biasanya hanya pada ujung-ujungnya, tapi juga terkadang di tengahnya, jumlahnya bisa dua, enam atau lebih. Mirip seperti tanduk kerbau, meskipun sama-sama dibuat dari ijuk, struktur ini membawa dugaan bahwa hal itu merupakan emblem (lambang) dari Minangkabau lama, seperti yang dapat dilihat dari namanya. Namun, tak semua orang boleh menghiasi rumahnya dengan atap bergonjong; di distrik Kota VII hal itu khusus bagi orang-orang Melayu yang merdeka. Jika gonjong tersebut dalam pengertian tertentu menunjukkan siapa penghuninya, maka petunjuk itu akan lebih jelas jika melihat lebar bangunannya. Jika bangunan itu lebarnya lima tiang, maka orang dapat menduga bahwa rumah tersebut merupakan milik seorang kepala atau seorang ternama, dan jika mencapai lebar maksimal yang dapat dicapai rumah seorang Melayu, yakni enam tiang, maka dapat disimpulkan bahwa rumah tersebut kepunyaan seorang yang berderajat tinggi. Kebanyakan rumah lebarnya hanya tiga atau empat tiang, dan meskipun orang-orang merdeka juga tinggal di sana, budak-budak pun berhak memanfaatkan rumah-rumah tipe tersebut. Panjangnya rumah tak menjadi persoalan. Salah satu ciri khas dari rumah-rumah Melayu, bahwa beberapa rumah meninggi pada sisi lebarnya sehingga memiliki kemiripan dengan kapal layar yang sedang berlabuh.
Kemudian, kami menaiki jenjang, yang letaknya di bagian depan rumah dan dengan anak-anak tangganya yang kecil dan saling melebar sangat mirip dengan kolong masuk kandang ayam. Ketika terus naik, kami melihat beberapa merpati, terkurung dalam sangkar-sangkar yang digantungkan di ujung pinggiran atap. Sepanjang hari, burung-burung tersebut berdekut lembut dan monoton di rumah pribumi itu. Lebih ke belakang di tempat yang sama tergantunglah beberapa buah kelapa, dengan tunasnya yang telah tumbuh tinggi terkadang melampaui pinggiran atap. Tanpa diperhatikan oleh seorang ibu kecil berwajah keriput, kami masuki bagian dalam rumah tersebut. Di sini mata tertuju terutama pada sebuah perapian yang terletak di samping pintu. Seekor kucing besar tidur dengan tenang di atas hangatnya abu. Berhadapan dengan pintu, pada dinding tengah (sebab rumah pribumi dipisahkan jadi dua bagian dengan papan-papan atau gorden berwarna) terdapat beberapa peti besar ber-cover tembaga dan dipasangi kunci-kunci yang berat. Barangkali peti-peti ini dibuat di XIII dan IX Kota.[13] Isinya sejumlah pakaian bersetik emas dan dipasangi kancing-kancing yang cantik; juga ada gelang-gelang emas dan perhiasan-perhiasan kepala yang kurang berseni tapi berbentuk khas.[14] Lebih jauh, tapi pada dinding terluar, terdapat sebuah keranjang besar dari bambu yang dijalin kasar dan tingginya sampai ke loteng.[15] Keranjang-keranjang ini berbeda dengan tempat-tempat penyimpanan padi yang disebut rangkiang, berjarak sekian langkah di hadapan rumah dan bentuk bangunannya menarik. Seperti halnya rumah, rangkiangberdiri di atas tiang-tiang, tapi hanya empat jumlahnya dan makin melebar ke atas dengan landasan bujursangkar. Rankiang juga dilengkapi cermin-cermin kecil, dicat warna-warni serta berhiaskan ukiran.
Di lantai ruang tengah terbentang tikar-tikar kecil, beberapa bantal dan matras dengan cover berwarna-warni, dan di sebelah sana ada juga sejumlah pumpun yang dilubangi[16], guna tempat menyimpan air. Sepanjang dinding, atau pada bambu-bambu yang melintangi ruangan, secara tak beraturan banyak handuk serta pakaian macam-macam bentuk dan warna digantungkan berimpitan satu sama lain, sebuah jaring yang dibuat dari rameh[17], kumpulan kumpuh[18](semacam tanaman semak yang banyak terdapat di sawah-sawah dan dipakai untuk menjalin keranjang), sejumlah buah jagung berwarna kuning gelap, yang jika dipanggang jadi makanan ringan untuk kaum pribumi, dan di antara itu semua terdapat juga beragam piring dan mangkuk dari tanah liat serta cangkir-cangkir bukan buatan pribumi, yang memuat minyak, obat-obat pribumi atau hal-hal lainnya. Pada zaman dulu kaum pribumi makan dengan daun pisang, tapi sekarang hampir di seluruh rumah ada piring. Jangan disimpulkan dari sini bahwa barang-barang Eropa banyak diminta oleh penduduk, sebab sangat sedikit sekali yang sudah jadi kebutuhan bagi mereka. Memang orang dapat menjumpai pada kediaman para kepala atau mereka yang berada kursi-kursi, meja-meja, bahkan lampu-lampu Eropa, tapi mereka menyediakan itu bukan karena kebutuhan, hanya untuk mengakomodasi orang-orang Eropa yang sesekali mengunjungi mereka. Di samping lampu-lampu buatan kita, yang di tangan mereka jadi cepat rusak, orang-orang pribumi memilih lampu damar berasap atau pelita buatan lama pada kesempatan-kesempatan pesta. Betapa sedikitnya bahkan kaum pribumi yang paling beradab tahu menggunakan barang-barang Eropa dapat terlihat dari contoh berikut. Seorang penghulu kepala, kepala dari sebuah nagari, pada pelelangan oleh seorang ambtenaar yang akan dipindahkan ke tempat lain, membeli sebuah mebel timah, seperti yang terkadang orang dapat jumpai di kamar-kamar tidur kita. Tak lama sesudah itu, dia mengadakan pesta, di mana controleur dari distrik tersebut juga diundang. Dengan rasa terkejut yang tak sedikit dirasakan oleh sang controleur, berdirilah di tengah-tengah meja pesta barang yang dimaksud, yang telah diisi melanjung dengan nasi dan membuat heran semua yang hadir. Sampai sekarang saya tak percaya orang-orang yang naif tersebut mengerti mengapa satu-satunya orang Eropa yang hadir ketika itu menjelaskan bahwa tidak mungkin baginya untuk menunjukkan penghormatan yang semestinya terhadap jamuan tersebut.
Dalam kamar-kamar tidur yang kecil dan sempit yang menempati setengah ruangan rumah Melayu biasanya hanya ada matras dari katun serta gorden berwarna-warni dan kotor yang tergantung. Kadang-kadang ada juga peti penyimpan harta pusaka (uang dan perhiasan) yang sedikit saja terlindungi dengan kain warna-warni, yang pada rumah-rumah sederhana menggantikan papan, dengan mana seluruh rumah dibagi dua melintang.
Setelah melihat seluruh bagian dalam rumah, kami melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak. Pandangan kami tak lama tertuju pada sebuah bangunan kecil persegi yang atapnya tak bertanduk di ujung-ujungnya, tapi yang di atasnya terdapat apa yang dinamakan pontjak [puncak].[19] Bangunan ini merupakan sekolah kampung, namanya surau. Pintu yang setengah terbuka memungkinkan kami melihat ke dalam. Interior surau tersebut benar-benar kosong. Di suatu sudut ada seorang bocah duduk mencangkung yang dengan mata setengah terpana mengangguk-angguk. Anak-anak muda lainnya, yang ketika pagi serta beberapa jam di malam hari mengikuti pelajaran di sini, sedang bekerja di luar. Di sisi surau terdapat sebuah kolam kecil, lebih mirip mangkuk besar, di mana ritual pembersihan [wuduk] dilakukan sekaligus tempat diternakkannya beberapa macam ikan. Dalam naungan pohon-pohon kelapa ramping yang mengitari kolam kecil tersebut serta tanaman sikaladi dan tanaman-tanaman air lainnya yang indah, ikan-ikan berkecimpung,[20] terkadang melompat tinggi ke atas, dalam air yang dingin itu. Cara memberi makan mereka sudah terkenal.[21]
Tak jauh dari surau, di tengah-tengah kampung, terdapat sebuah lapangan terbuka yang dinaungi oleh pepohonan yang kekar. Batang-batang yang kuat dari pohon-pohon beringin, jawi-jawi, kubang dan jenis-jenis ficus lainnya mengembangkan cabang-cabang mereka yang bermata dan dedaunan lebat di sana. Sebuah ketaping (di Jawa orang menyebutnya ketapan) terdapat di antara pepohonan itu dan tampak mencolok karena bentuknya yang ramping dan warna-warni daun-daunnya yang jika rontok berwarna merah cerah dan kuning, seperti pohon beuk dan ek di musim gugur. Lapangan terbuka ini, berdasar makna harfiah dari istilah Melayu-nya, bernama tempat perdamaian (vredeplats).[22] Barangkali, nama ini karena berbagai macam perselisihan yang di masa lalu sering terjadi antara nagari-nagari yang berdekatan diselesaikan di sini. Di sini juga berdiri balai-balai, suatu bangunan kecil di mana para kepala kampung menjalankan pengadilan dan membicarakan persoalan-persoalan di nagari. Seperti seluruh bangunan lainnya, balai-balai juga dibangun di atas tiang-tiang yang sebagaimana dindingnya dihiasi dengan warna-warni dan ukiran. Balai-balai ini hanya punya satu ruangan saja, jika memang kata ruangan dapat dipakai untuk menunjukkan bagian yang panjang dan kecil yang pada sisi lebarnya sepenuhnya terbuka dan menempati ruang di antara atap dan lantai. Dilihat dari luar, seperti semua bangunan pribumi lain yang memuncak ujung-ujungnya, balai-balai ini bentuknya seperti kapal yang sedang berlabuh. Namun, tidak di semua kampung bentuk balai-balai itu seragam. Satu perbedaan bentuk yang kecil menunjukkan kelarasan tertentu[23] dari balai-balai dan kawasan itu sendiri. Pada beberapa nagari balai-balai itu di tengahnya seperti terbagi dua. Atapnya tetap bersambung, tapi pada lantai ada ruang beberapa papan yang tampak kosong. Orang Melayu Minangkabau menyebut ruangan yang kosong di tengah itu jalan gajah[24], artinya seekor gajah bisa lewat di sana. Ini adalah ciri khas dari kelarasan Kota Pilihan [Koto Piliang], satu dari dua kelompok besar penduduk Minangkabau dahulunya dan meski di masa lalu mungkin berbeda, tapi sekarang norma-norma, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga-lembaganya, setahu saya, sama saja dengan kelarasan Bodi Tjiniago [Bodi Caniago]. Balai-balai dari kelarasan Bodi Caniago berbeda dari Koto Piliang hanya dalam hal lantai dan pagar pinggiran yang mengelilinginya, sekitar satu kaki tingginya, tak terputus-putus sepanjang bangunan tersebut. Biasanya tidak ada jenjang di sana, sementara pada balai-balai kelarasan lainnya dibuat jenjang yang terdiri dari beberapa batu besar. Walaupun tak ada lagi perbedaan adat antara kedua kelarasan, kawasan-kawasan kedua kelarasan itu, meski di mana-mana saja overlap, dapat dibedakan dengan pernyataan orang Melayu, bahwa wilayah Koto Piliang kebanyakan terdapat di perbukitan dan Bodi Caniago lebih banyak yang di dataran.
Meskipun bersumber dari legenda belaka, boleh jadi cerita ini secara umum benar. Perapatih Sebatang [Parpatiah Nan Sabatang], kata orang-orang Melayu itu, adalah orang yang aktif dan tekun. Kjai Tommanggoengan [Datuak Katumanggungan], pemimpin dari laras yang lain (Koto Piliang), lebih mirip sifatnya dengan anggota-anggotanya dalam hal tak menyukai keletihan dan kerja keras. Ketika mereka berdua meninggalkan kediaman bersama mereka di Pariangan Padangpanjang untuk mencari daerah-daerah subur bagi kelompok mereka yang semakin berkembang, karena tempat yang ditinggali sudah terlalu sempit, makin jelaslah kerajinan Parpatiah Nan Sabatang, pemimpin dan mungkin sekaligus pembuat undang-undang kelarasan Bodi Caniago. Tiap hari dia selalu berjaga. Untuk beristirahat sekedarnya di waktu malam dia tidur dengan kepala beralaskan batu, menurut legenda lain beralaskan batok kelapa. Tak heran dia kemudian mendapat daerah-daerah yang terbaik! Kaum pribumi memandang daerah itu indah, subur dan cocok untuk tempat membuat sawah. Untuk Datuak Katumanggungan dan kelarasan Koto Piliang yang tersisa kebanyakan hanyalah daerah perbukitan. Sedikit sekali legenda selain yang satu ini yang umum dikenal oleh penduduk pribumi.
Terkadang di dalam atau di bawah balai-balai, tapi lebih lazim di bawah bangunan kecil di sebelahnya, terdapat tabuh, sebuah batang pohon kayu yang dilubangi, di salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit kambing, sehingga jika orang, seperti biasa, memukulnya dengan sebatang kayu, bunyi yang berat akan terdengar luas di kawasan sekitar. Tabuh ini berguna untuk memanggil orang-orang berkumpul jika terjadi kebakaran, kedatangan seorang ambtenaar, atau pendeknya di tiap situasi yang menuntut kehadiran semua warga. Pada sejumlah nagari salat-salat wajib juga diumumkan dengan cara memukul tabuh. Jika hanya untuk memberikan perintah-perintah kepada penduduk, atau untuk memberitahukan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan, maka di malam hari, di waktu mana semua orang telah di rumah, kepala dari sebuah suku (sejumlah suku dari sejumlah keluarga besar bersama-sama membentuk sebuah nagari) cukup mengutus seseorang, lazimnya dubalang (petugas umum), untuk berkeliling. Utusan ini, seperti halnya seorang penyeru, memukul sebuah mangkuk tembaga,[25] dan dengan sekeras suara memberitahukan perintah kepala suku atau suatu berita. Jika orang tinggal di dekat perkampungan, hampir tiap malam hal ini bisa didengar sehingga secara tak disadari orang akan merasa berada di tanah air [Vaderland, maksudnya Belanda]. Namun terkadang di malam hari juga terdengar bunyi yang lompong dan berat dari galego dengan interval yang singkat. Ini merupakan sebuah sinyal bahwa gajah-gajah ada di sekitar perkampungan, yang akan menghancurkan tanaman padi yang masih muda di persawahan, atau ,sekali pernah terjadi, yang akan meneruskan penyerbuannya hingga ke dalam kampung. Galego, yang di malam hari bunyinya memberdirikan bulu roman, terkadang sudah cukup untuk mengusir mereka; tapi tak jarang baik teriakan-teriakan liar dari para penjaga sawah dan ladang, atau bunyi letusan senapan maupun suara yang suram dari galego tak sanggup menghentikan aksi penghancuran itu yang terkadang dapat memusnahkan penghidupan dari sebuah keluarga. Pada rimba-rimba yang lebat, di kawasan Timur distrik Kota VII, gajah bukanlah satu-satunya pengunjung kampung. Bahkan harimau berani merampas ayam dan kambing di bawah rumah. Binatang badak, meskipun banyak di sini, jarang atau tak pernah berani keluar dari tempat persembunyian mereka.[26]
Menurut adat, balai-balai dan tabuh harus ada pada sebuah nagari. Keduanya menandakan nagari; jika salah satu dari keduanya tidak terdapat, suatu kampung tak bisa disebut nagari. Kampung yang sedemikian hanyalah sebuah teratak [taratak][27], suatu kampung kecil, yang tidaklah diperintah oleh para penghulu, tapi oleh kepala-kepala yang kurang penting (tua-tua) yang sepenuhnya tergantung pada pemerintahan nagari di mana taratak itu berada. Apabila beberapa warga berdiam di tempat lain untuk waktu yang singkat, misalnya untuk membuat ladang, maka tempat tersebut, biasanya terdiri dari beberapa rumah pondok, bernama utan. Dalam tahun-tahun terakhir ini adat nagari tidak lagi kuat diterapkan. Pada banyak tempat balai-balai digantikan oleh bangunan kecil, yang di sini namanya tampat brenti [tempat berhenti] dan di Jawa pasanggrahan, yang menjadi tempat menginap bagi para ambtenaar yang sedang dalam perjalanan. Pada tempat perdamaian sekarang ini orang seringkali tak lagi mendapati tabuh, meskipun tiap penghulu biasanya menaruh tabuh di depan rumahnya sendiri. Namun, di tiap nagari, sejauh pengetahuan saya, mesjid berbentuk bangunan persegi atau terkadang membujur yang di dalamnya hanya ada mimbar khutbah dan relung di sebelah dinding Barat, ke mana orang-orang beriman menghadapkan wajah ketika salat. Seperti halnya surau, mesjid tak punya gonjong, tapi apa yang dinamakan puncak, yang biasanya berjumlah dua atau tiga, tapi juga terkadang lima dan enam, ditempatkan berhimpitan satu sama lain, sehingga atap mesjid itu tampak seperti tumpukan sejumlah atap. Mesjid haruslah dibangun di tengah-tengah perkampungan di suatu nagari, sehingga seringnya bangunan tersebut dapat ditemui di dekat tempat perdamaian. Apabila di malam hari orang mengunjungi tempat ini, maka biasanya akan menjumpai sejumlah pribumi sedang berkumpul; orang-orang dewasa asyik bercakap dengan duduk-duduk di atas tanah berumput mengelilingi pohon kelapa, dan anak-anak serta gadis-gadis kecil, dalam kostum Eden, bermain-main dengan gembira.
(Bersambung ke Bagian II)
* Diterjemahkan dari judul asli Het Maleische Dorp dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (TNI)/ 1869/ 3 edisi II, halaman 97 sampai 119.
Ilustrasi oleh Amalia Putri.
Catatan Kaki:
[1] Setiap hari kawasan tropis seakan diselimuti kabut. Lihat F Junghuhn, Java, zijne gedaante, bekleeding, dst dalam buku pertama, bagian kedua.
[2] Antara piringan sawah dipisahkan oleh pematang. Pematang ini fungsinya untuk mengairi sawah secara teratur dan sekaligus juga untuk mencegah air masuk ke dalamnya. Masa menanam, panen dan sebagainya seringkali terjadi pada waktu yang sama pada sawah-sawah yang berdekatan.
[3] Seperti semua burung leher panjang, orang-orang pribumi menyebutnya bangok [bangau]. Kemungkinan jenis burung ini sama dengan Tantalus lacteus.
[4] Kalintuang adalah semacam lonceng kecil dari bahan kayu, yang fungsinya membuat takut harimau juga untuk membantu para penggembala melacak keberadaan ternak mereka. Juga lonceng dari metal (ganto) sering digunakan untuk hal ini, tapi biasanya hanya digantungkan pada ternak pembajak. Bunyi getaran ganto menambah semangat hewan penarik, kata pribumi.
[5] Di Padang Darat ternak-ternak diikat di lapangan terbuka, atau terkadang dikandangkan di ruangan bawah rumah yang berpagarkan sasak atau jalinan bambu, dan dengan tali dicocokkan di hidung ternak itu diikatkan di tiang-tiang rumah. Di tempat ini juga kambing dan unggas dikandangkan. Orang-orang Minangkabau karenanya hidup di atas tumpukan aneka kotoran ternak yang jelas merugikan untuk kesehatan. Kaum pribumi yang tercerahkan sekarang merujuk pada alasan ini bila mereka bermaksud menyimpang dari kebiasaan lama dalam hal tersebut dan untuk binatang-binatang ternak mereka mencari kandang di tempat lain. Apabila di sekitar kampung tak ada padang rumput yang bagus, maka kerbau-kerbau akan digiring ke tempat-tempat lainnya, setelah sebelumnya diberikan perlindungan khusus terhadap serangan binatang-binatang buas dan diawasi oleh gembala pada dangau di dekatnya. Terkadang di perbukitan orang menjumpai sejumlah gembalaan kerbau. Bersama-sama mereka membentuk apa yang dinamakan taratak. Yang paling senior di antara mereka menjadi tuo kandang, dan menerima perintah dari penghulu-penghulu yang ada di kota.
[6] Cangkul orang Melayu sedikit berlainan dengan yang di Jawa. Cangkul tersebut dibuat dari berbagai kayu keras dan hanya pada beberapa saja yang diberi ujung besi. Pengolahan lahan di sini karenanya kurang optimal, dan tanah olahan sekedarnya saja dibolak-balikkan. Pada sawah-sawah berawa (sawah rawang atau sawah bancah) orang tak menggunakan cangkul, tapi cukup menarik ternak pembajak, baik kerbau maupun jawi, dalam berkawanan secara kitaran (rancah) sampai gumpalan tanah diremukkan. Perancahan kerbau ini, juga mencangkul dan kerja berat lainnya, dilakukan oleh kaum pria; kaum hawa dan anak-anak menolong dalam menanam, menyabit dan sebagainya.
[7] Di tanah lapang, di jalanan atau di mana saja para pribumi senang membawa merpati, baik ditaruh dalam sangkar maupun diikatkan saja pada sebatang kayu. Karenanya, pada kebanyakan rumah orang Minangkabau dapat dijumpai burung merpati, umumnya dari jenis balam, sejenis merpati yang liar seperti katitiran, dan juga poenei [punai] yang lebih jinak.
[8] Pusat kampung itu sendiri, disebut kota, yang kepalanya (kepala kota) terletak di arah hulu singai dan ujungnya (ikur kota) terdapat pada bagian yang lebih ke hilir. Yang disebut nagari adalah gabungan dari kota beserta tanah propertinya dan taratak-taratak. Kampung adalah bagian dari kota, atau tepatnya dari suku. Suku-suku secara bersama membentuk kota. Dalam pemakaian sehari-hari seringkali pemakaian kata-kata tersebut mudah tertukar.
[9] Bambu, seperti sudah lazim diketahui, memainkan peranan penting dalam rumah tangga pribumi. Bambu digunakan hampir untuk segala keperluan, begitu juga rotan (di sini orang menyebutnya manau) dan daun-daun (palapah) kelapa serta jenis-jenis tumbuhan palem lainnya. Di samping apa yang telah disebutkan oleh JK Hasskarl tentang hal ini dalam karyanya “Aantekeningen over het nut, door de bewoners van Java aan eenige planten van dat eiland toegeschreven, enz,” di sini akan saya tambahkan sedikit. Bambu dibedakan menurut jenisnya sebagai berikut: (1) Betung, terbagi pula kepada beberapa jenis, bersama dengan boeloe (buluh) dipakai untuk bangunan rumah. (2) Aur dan jenis-jenisnya dengan ciri dedaunan yang halus dan indah. Aur duri dimanfaatkan sebagai penarik air pada kincir (kincir dipakai untuk membawa air ke sawah). Jenis aur ini juga digunakan dulunya untuk membuat dinding-dinding kota, ketika masih sering terjadi pertikaian antar-kota. Masa sekarang kampung-kampung tidak lagi dikelilingi dinding-dinding pertahanan atau hanya dilindungi oleh pagar hidup atau pelapah anau (areng) yang berduri. Aur kuning yang indah dan berwarna kuning keemasan digunakan untuk usungan, dengan mana orang membawa mereka yang mati muda ke kuburan. Orang juga membuat kotak sigaret dari aur kuning, khususnya di Agam, yang dibuat indah dengan dihiasi filagrijn. (3) Talang dan jenis-jenisnya. Bambu jenis ini biasanya dipakai untuk menyimpan makanan ringan pribumi yang disebut lamang.
[10] Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di kampung-kampung di sini sedikit saja bedanya dengan yang ada di desa-desa di Jawa; hanya sebagian nama saja yang berbeda. Nangka disebut cubadak, mangga disebut pauah, dll. Rujuklah katalog Kebun Raya di Bogor.
[11] Ijuk adalah bahan yang sama dengan yang disebut di Jawa toek, atau gemoeti kalau sudah diolah. Untuk atap rumah, di sini orang lebih memilih ijuk daripada ilalang (alang-alang di Jawa), daun kelapa, rumbio dan kapou (?); tapi karena harganya mahal hanya rumah mereka yang terpandang yang atapnya ijuk. Ijuk, seperti sudah diketahui, adalah bahan biru gelap dan berserabut yang terdapat di kaki palapah anau sebagai daun penopang. Untuk mendapat ijuk dan juga gula [anau] jenis palem ini terutama ditanam di kawasan pegunungan yang tak cocok ditumbuhi pohon kelapa. Jika di pegunungan tinggi orang mengunjungi ladang (tempat penanaman pisang, kopi, tembakau, jagung, kacang, dll) maka di sejumlah kawasan, terutama sekitar pondok kecil hunian sementara peladang, akan ditemui oven yang besar, kasar dari tanah liat yang nyaris memenuhi seluruh ruangan. Pada panci besi di atas oven direbuslah sampai mendidih saripati anau, untuk diuapkan menjadi substansi yang keras dan gelap dan dibawa ke pasar sebagai gula [gula aren]. Saripati anau juga sering langsung diminum. Cara memperolehnya sama dengan yang ditemui di Jawa. Dengan memotong tangkai bunga betina (anau adalah tumbuhan monogender) cairan yang mengandung gula ditampung ke dalam bambu yang panjang, dan dengan mengetuk tangkai tersebut pada waktu-waktu tertentu (biasanya Jum’at, karena Jum’at adalah hari yang baik) aliran saripati akan dirangsang. Pada batang-batang yang ditakik akan ditempatkan bambu-bambu panjang yang telah dilubangi untuk menampung cairan. Patut juga disampaikan di sini bahwa musang akan menelan buah anau yang gemuk dan segi tiga, seperti biji-biji kopi, dan membuang lagi biji-biji yang keras serta masih berkulit. Biji-biji ini, karena telah dilepas dari dagingnya yang tebal, tumbuh sekitar sebulan lebih cepat dibandingkan buah-buah yang lain.
[12] Selain dangau yang terdapat di sawah-sawah dan rimba-rimba, yang kadang berdiri di atas tiang-tiang atau bambu-bambu, tapi biasanya dipasangkan saja pada sebuah pohon kayu, dan fungsinya lebih sebagai pondok penjagaan, orang-orang Minangkabau membedakan empat tipe rumah:
- Lipat pandan
- Belah bubung
- Gajah maharam
- Surambi
Perbedaan utama di antara bangunan-bangunan tersebut terletak pada jumlah tiang yang menopang rumah-rumah itu pada bagian lebarnya. Panjang rumah boleh saja tak terbatas, sebab dengan pertambahan anggota keluarga akan dibangun lagi sebuah bagian lain secara bersambung. Namun, lebar rumah musti terikat aturan-aturan tertentu. Rumah lipat pandan memiliki tiga tiang pada bagian lebarnya; jika pada panjangnya juga tiga tiang maka disebut tiang sembilan. Jenis kedua, belah bubung, berdiri di atas empat tiang; gajah maharam pada lima tiang dan terakhir, surambi, punya enam tiang pada bagian lebarnya.( Memang di Minangkabau dapat ditemui juga bentuk-bentuk rumah lainnya, tapi jenis-jenis yang lain itu tidaklah khas asli Minangkabau; kebanyakan rumah-rumah itu dibangun menurut arahan pemerintah Eropa, misalnya tampat brenti atau pasanggrahan seperti dinamai di Jawa). Jika rumah Minangkabau dilihat dari luar, maka kelihatan tiang-tiangnya (tonggak) berurutan secara teratur (ririk), tidak hanya untuk mengukuhkan lantai, tapi juga terus hingga ke atap, sehingga jadinya tiang yang paling tengah merupakan yang tertinggi. Dengan cara ini tiang-tiang itu memisahkan antar bagian rumah atau ruang (yakni bagian dalam lingkungan empat tiang). Jadi, rumah tiang sembilan memiliki empat ruang, rumah gajah maharam, jika panjangnya memiliki delapan tiang, memiliki dua puluh delapan ruang, dst. Menurut jumlah ruang pada bagian lebarnya diaturlah besarnya ruang tidur (bilik). Pada rumah lipat pandan dan belah bubung, suatu bilik lebarnya satu ruang, pada gajah maharam bisa satu atau dua ruang, dan pada surambi satu bilik dua ruang. Ruang-ruang lainnya dipakai untuk ruang keluarga (tengah rumah).
Seperti pada sejumlah kawasan tanduk atau gonjong tak boleh menghiasi rumah keturunan budak, anjung juga tak diperkenankan dibangun pada rumah-rumah budak. Anjung adalah ruangan yang dibangun pada salah satu atau kedua ujung bagian lebar rumah yang lantainya ditinggikan dari bagian-bagian rumah lainnya. Bagian yang lebih tinggi dari rumah ini adalah perpanjangan dari tengah rumah (yang lantainya tentunya satu kaki lebih rendah dari lantai anjung) dan digunakan sebagai tempat duduk bagi tamu-tamu terpandang. Pada tipe rumah lipat pandan, biasa digunakan untuk rumah budak, takkan ada anjung. Apabila seorang budak tinggal di rumah beranjung, berarti dia menompang di rumah seorang Minangkabau merdeka. Tipe belah bubung kadang beranjung kadang tidak, dan gajah maharam biasanya punya satu anjung.Tipe surambi anjungnya bisa satu sampai enam buah. Tiap anjung ini tidaklah menjadi kamar atau ruangan tertentu, tapi lebih seakan jenjang, yang otomatis lebih tinggi beberapa kaki daripada anjung di sebelahnya dan bersama-sama membentuk lantai ruangan, sehingga tiap jenjang juga dinamai dengan anjung. Adat melarang jumlah anjung melampaui enam (rumah tipe surambi sedikit saja ditemui dan hanya tipe inilah yang bisa punya banyak anjung; di seluruh Distrik Kota VII hanya ada satu rumah tipe surambi). Siapa yang melanggar adat dalam hal ini segera akan ditimpa malapetaka. Menurut cerita orang, kepala laras Sumpur (di Distrik Batipuh en X Kota), meskipun penghulu-penghulu lain mengajukan keberatan, dia tetap membangun rumah tipe surambi-nya dengan tujuh anjung. Tak lama setelah itu dia dipecat dari jabatannya. Semenjak kematiannya, tak lama sesudah pemecatan itu, keluarganya pun tinggal terpisah-pisah.
Ukiran yang menghiasi rumah dibuat dengan sangat cermat. Penduduk Soli Ajer [Sulik Aia] lah yang terutama terkenal ahli beroekih, atau b’oekieh (berlukis). Namun, mereka tidaklah mampu membuat karya yang sama seperti yang orang dapat temui di pendopo-pendopo para bangsawan pribumi di pulau Jawa.
Pada rumah-rumah mereka yang terpandang dindingnya keseluruhan dari kayu, tapi pada rumah-rumah lainnya hanya bagian depan saja yang dindingnya kayu; sisi-sisi dinding lainnya diganti dengan sasak, yakni jalinan bambu biasa. Terkadang keseluruhan dinding terbuat dari sasak dan terus sampai ke tanah sehingga juga menutupi ruangan di bawah rumah. Dangau-dangau selain berbahan bambu dan cabang-cabang kayu juga dari jalinan daun kelapa. Dindingnya bisa saja kayu atau sasak. Para pribumi yang berada menutupi lantai rumah mereka dengan tikar-tikar rotan berkualitas bagus, yang dibuat orang-orang dari sebelah Timur distrik Kota VII, di mana terdapat masih banyak manou.
Perabotan rumah sangat sederhana. Orang Melayu sebenarnya tinggal di luar, di alam terbuka; rumah baginya hanyalah tempat bernaung waktu malam sekaligus tempat penyimpanan barang-barang. Hanya perabotan-perabotan utama untuk waktu makan saja yang akan disebutkan di sini. Ada dua: yakni pahar dan talam. Yang pertama adalah benda kuning tembaga yang berkaki, yang di atasnya melebar dan dilubangi serta berfungsi sebagai tafelbord (meja makan). Di atasnya, atau tepatnya di dalamnya, diletakkanlah piring-piring makanan. Apabila pahar itu dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya maka diletakkanlah di atasnya tutupan (tudung) yang dijalin dari nipah lalu dibentangkan kain indah bersetik emas. Kain kecil tersebut dinamai delamak. Talam adalah baki atau piring tembaga yang berbentuk lingkaran, di atas mana ditaruh piring-piring kecil dengan bumbu-bumbunya di samping nasi atau gulai. Pada salah satu menu terdapat mangkuk dari tanah liat atau porselen tempat menaruh nasi, jika nasi yang terdapat di pahar tidak mencukupi, karena itu nama mangkuk tersebut cawan patambuhan. Mangkuk yang lain yang bentuknya mirip tempat menaruh gulai. Selain ini ada juga dua buah mangkuk kecil, yang satu untuk menu ikan yang telah dipotong-potong, yang lain untuk kari pribumi, yang berbahan utama santan. Di samping talam dan pahar ada juga perabot lain namanya bakas basoeh, semacam kobokan dari tembaga, yang di dalamnya ditaruh cerek kecil. Orang menggunakan bakas basoeh itu baik sebelum dan sesudah makan untuk membersihkan tangan seakan-akan dia akan minum dari tempat itu. Pada waktu acara makan besar-besaran di mana banyak orang berpartisipasi, seringkali ditemui kobokan itu diperuntukkan untuk beberapa orang sekaligus. Piring-piring jarang sekali digunakan ketika makan; tiap orang mengambil begitu saja hidangan yang ada di hadapannya masing-masing.
Penduduk pribumi biasanya hanya memakai lampu damar sebagai penerangan. Lampu itu dikorek di antara kayu-kayu kecil dan ditaruh pada standar dari kayu yang kasar. Damar ini berasal dari batang kayu marampih dan batang rasak, yang banyak terdapat di kawasan Timur Sijunjung. Orang juga memanfaatkan minyak dari batang damar buah keras (Aleuritus Moluccana Wld.) yang banyak ditemui di hampir seluruh kampung dan yang sangat mudah dikenali karena mahkota dedaunannya yang tipis. Kayu kecil berselimut katun kasar direndam dalam minyak ini, dan tak lama langsung dinyalakan. Palita hanya digunakan pada kesempatan-kesempatan pesta; biasanya pada pelita orang membakar minyak kelapa. Di akhir catatan tentang rumah dan perabotan ini patut juga disampaikan bahwa di sini, seperti halnya di Ceylon (Srilangka), pada saat-saat pesta ada kebiasaan untuk melingkungi kamar dengan tabir katun, dan di atas tempat duduk yang paling terkemuka dari rombongan yang diundang dipasangi kain kecil (langit) yang indah dan terkadang berhiaskan emas dan diikatkan ke loteng.
[13] Peti-peti terutama dibuat di Alahan Panjang, dan kunci-kuncinya di Siroekam, dekat nagari Supayang yang kaya emas dalam afdeeling XIII dan IX Kota.
[14] Kekayaan seorang pribumi Minangkabau, selain sawah dan ternak, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas yang bentuknya beraneka ragam. Saya hitung tak kurang dari tujuh belas jenis perhiasan emas untuk kaum lelaki dan dua puluh dua untuk kaum hawa. Yang paling umum adalah(1) gelang (2) soembang [subang] yakni perhiasan di telinga perempuan (3) singel, semacam diadeem (mahkota), hanya dipakai perempuan (4) titi soengel, dipakai kaum hawa pada gulungan rambut dan menjulang di atas kepala (5) gabei-gabei, semacam kain merah berhiaskan emas yang dipasangkan di leher dan di atas baju menutupi dada kaum hawa; juga ini khusus untuk perempuan saja. Pada kesempatan-kesempatan pesta, seperti pada acara pernikahan, perhiasan-perhiasan di atas biasa ditemui. Sang pengantin laki-laki pada saat itu seringkali memakai tutup kepala kayu yang telah disepuh.
[15] Keranjang-keranjang penyimpan padi ini disebut kapoh, tempat menyimpan padi disebut rangkiang. Tikarnya dibuat dari rotan ataupun pandan.
[16] Labu, buah berlubang dari jenis Lagenaria idolatrica L.
[17] Budidaya rameh, menjadi terkenal sejak Nederlandsche maatshappij menaruh perhatian serius pada kerajinannya, pada wilayah Padang Darat terbatas pada beberapa daerah saja. Pada distrik Kota VII tanaman itu dibudidayakan pada suatu nagari dengan hasil yang memuaskan.
[18] Jenis tumbuhan semak ini nyaris dapat ditemui di mana-mana seperti halnya bambu dan rotan. Payakumbuh, atau seperti sering ditulis Pajacombo, nama ibukota Lima Puluh, berasal dari kata payo, rawa, dan kumbuh, verbastering dari kata kumpuh. Jadi, Payakumbuh artinya tempat berawa-rawa yang banyak ditumbuhi semak-semak kumpuh.
[19] Orang menamainya pontjah [puncak], sehingga dikatakan: rumah bertanduk, surau berpuncak.
[20] Pada kolam-kolam ini (tabek) orang membudidayakan kalus [kaluih], sejenis ikan yang di Jawa namanya gurami, dan ikan-ikan lain yang rasanya tak selezat itu seperti jaring dan pawas. Tidak hanya di surau-surau, di sekitar rumah-rumah penduduk juga dibuat tabek. Di sekitar masjid jarang atau tidak ada tabek, karena lahan seputar bangunan ini, juga air yang digunakan untuk bersuci, merupakan properti nagari.
[21] [Catatan penerjemah: maksud penulisnya mungkin dengan kotoran manusia, karena pada banyak kolam di Padang Darat juga ada kakus. Namun, masih diragukan jika di kolam kecil surau itu juga ada kakus , dan bahkan belum tentu di kolam tersebut dilakukan ritual wuduk. Sebab, wuduk lazimnya dilakukan di air yang mengalir, dan kolam-kolam biasanya juga ada saluran atau aliran air masuk dan keluarnya].
[22] Nama tempat itu selain tempat perdamaian, juga perhimpunan, artinya pertemuan-pertemuan juga diadakan di tempat tersebut.
[23] Nama laras hanya diberikan pribumi pada dua kelompok famili masa lampau, yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam pengertian administratif (kolonial), bagaimanapun, laras adalah himpunan sejumlah nagari, yang dipimpin oleh seorang Tuanku Laras.
[24] Labuah gajah.
[25] Sebuang mangkuk, lebih tepatnya sejenis gong; sebab, baik momongan maupun cenang, yang digunakan untuk itu, juga termasuk gong.
[26] Patut disebut juga di sini, bahwa selain rusa dan tapir sesekali dapat terlihat juga kuda arou di rimba ini. Menilik deskripsi penduduk pribumi, kuda arou ini mirip zebra, dan memang meski kelihatannya aneh, dugaan ini diperkuat oleh orang-orang Eropa yang telah lama tinggal di Sumatra (sehingga pendapat mereka bisa dipercaya).
[27] Orang dapat menyebut taratak ini sebuah kampung kecil. Nama utan diberikan pribumi pada ladang-ladang yang berdekatan atau pada taratak-taratak skala kecil.