Artikel ini ditulis oleh AWP Verkerk Pistorius pada Februari 1868. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
Keadaan tak beruntung dari keturunan para budak, diskriminasi-diskriminasi merendahkan yang mereka hadapi dan posisi terhinakan yang mereka dapatkan di tengah masyarakat pribumi merupakan akibat dari hubungan mereka dengan paman mereka, atau seperti kata pribumi, mamak mereka, yakni tuan dan majikan mereka. Sebab meskipun bukanlah milik dari majikan mereka, yang dapat diperlakukan seenak hatinya, tapi mereka berada dalam kedudukan yang tergantung dan bersifat membudak dengannya, sehingga anggota-anggota keluarga yang merdeka tak dapat memandang mereka setara. Mereka dapat memiliki hak milik, mempunyai sawah dan ladang, baik yang diperolehnya melalui usahanya sendiri, maupun dibantu oleh tuannya dalam hal itu, dan kepemilikan tak tergugat dari properti-properti itu dijamin oleh adat bagi mereka; tapi waktu dan tenaga yang mereka miliki taklah dapat mereka pakai sesuka hati, mereka ditempatkan bekerja di sawah atau di rumah majikan mereka, sesering dan selama tuannya senang. Kerja yang paling dianggap rendah, yakni memotong rumput, biasanya menjadi bagian mereka, khususnya jika tinggal di tanah tuan mereka; jika melawannya, maka seringnya si tuan menghukum mereka seenak hatinya saja. Mereka tak boleh meninggalkan tempat di mana mereka tinggal tanpa seizin tuannya; keadaan mereka seperti arti dalam kalimat attachés à la glèbe, une gent taillable et corvéable à merci.[1] Memang ada keturunan budak di antara kuli-kuli dan pedagang-pedagang kecil keliling, tapi untuk menjalankan usaha ini mereka memerlukan izin dari tuannya yang menyediakan sarana-sarana untuk itu, biasanya untuk keuntungannya sendiri. Keturunan-keturunan budak, karenanya, dalam aspek tertentu tetap menjadi milik dari yang lainnya: jika tuan mereka mati, maka mereka dianggap sebagai warisan yang ditinggalkan, mereka dan anak cucu mereka selamanya menjadi harta pusaka, dan keadaan mereka banyak kesamaannya dengan keadaan para pelayan.
Bagaimanakah tingkat peradaban mereka? Dalam hal apa saja, dari aspek moralitas, mereka dapat dibedakan dari orang-orang Melayu merdeka? Jika mereka secara moral lebih rendah, apakah ciri-ciri utama dari karakter mereka? Pertanyaan ini barangkali muncul pada sebagian orang. Saya musti mengakui belum dapat menjawabnya. Saya akui bahwa saya tak punya data-data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan mendalam dan pasti. Berkali-kali saya memasuki kediaman mereka, bercakap-cakap dengan mereka dan mencari tahu solusi dari soal-soal seperti itu untuk saya sendiri; tapi betapa banyak yang diperlukan untuk meneliti karakter seorang individu, dan dengan berapa banyak individu orang musti berkenalan untuk dapat menilai karakter dari seluruh kelas masyarakat tertentu. Prof. Geel suatu kali mengatakan dalam karyanya “Onderzoek en Phantasie” (Penelitian dan Fantasi): “Tak ada yang lebih sulit daripada mengamati suatu penduduk dalam keadaan rumah tangga mereka; banyak bakat yang dibutuhkan untuk itu dan tinggal lama dengan mereka; saya sendiri tak lebih tahu tentang karakter dari bangsa-bangsa yang tanahnya pernah saya kunjungi dibanding sebelumnya.” Kebenaran pernyataan ini akan diaminkan oleh tiap orang yang pernah melancong. Mengherankan, dan kalau saya boleh tambahkan, menyedihkan sekali penilaian yang disampaikan banyak orang [Eropa] terhadap orang-orang Jawa atau Melayu, oleh mereka yang sekali pun tak pernah tinggal bersama pribumi dan hanya mengerti sepatah dua patah bahasa mereka.
Jadi saya harus diam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, menunggu datangnya penilaian yang tanpa motif, tapi saya setidaknya akan membagi sedikit tentang pengetahuan akan karakter orang pribumi. Jika dari beberapa kejadian terpisah ini orang ingin memberikan penilaian terhadap karakter seluruh budak dan keturunan mereka, saya sama sekali tidak akan setuju.
Satu atau dua tahun yang lalu di Tanjung Ampalu, suatu tempat di pinggir sungai Ombiling [Ombilin], terdamparlah sesoyok mayat seorang pribumi yang termutilasi mengenaskan. Dengan tangan dan kaki yang terikat, jelas-jelas terdapat ciri-ciri kematian dengan kekerasan. Setelah sekian penyelidikan tak berbuah, akhirnya diketahui juga siapa pelakunya. Ternyata seorang kepala [penghulu] dari kampung tetangga menyuruh mengangkat seorang yang namanya si Tembu keluar dari kedai pada malam hari di jalan besar dan disuruh bawa ke kampung di mana dia sendiri tinggal, dan setelah si malang, dengan tangan dan kaki terikat, di malam itu juga dibunuhnya di pinggiran berbatu sungai Ombilin, mayatnya disuruh lempar ke aliran sungai tersebut. Kasus ini dibawa ke rapat pribumi, dan di antara saksi-saksi yang saya, sebagai pemimpin rapat tersebut,[2] tanyai, ternyata diketahui ibu dari si korban adalah seorang keturunan budak. Tampak dari penjelasan beberapa penghulu, bahwa si ibu itu, meskipun segera diberi tahu mengenai kematian karena kekerasan dari anak lelakinya, taklah melakukan penyelidikan untuk itu, dan bahkan tak memberi tahu penghulu-penghulunya sendiri akan kejadian ini. Heran saya bertanya kepadanya, mengapa dia tak melapor kepada saya atau yang lainnya.” Saya sibuk mengurus kerbau-kerbau saya,” jawaban sinis dari sang ibu, yang pada dadanya semua perasaan manusia tampaknya membatu.
Betapa pun menyedihkannya jawaban dari budak itu, kekejaman yang dilukiskan tadi lebih tak cocok lagi dengan karakter seorang Melayu merdeka. Dari contoh ini orang tak boleh menyimpulkan bahwa si budak lebih rendah daripada orang merdeka.
Tapi betapa menyedihkannya pun apa yang terjadi pada pikiran dan hatinya, ada alasan untuk berharap, bahwa dengan pengaruh pemerintahan Belanda pada keadaan sosial mereka—meskipun pengaruh ini, seperti telah disinggung pada awal esai ini, tak cukup kuat dan merasuk untuk memberi jalan penerapan menyeluruh dan segera dari kehendak pembuat hukum—juga dari aspek moral, fajar masa yang lebih beruntung untuk budak dan keturunannya hampir akan tiba.
Bahwa pengaruh ini terkadang membawa hasil yang sangat baik, boleh dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa banyak dari aturan yang saya sebut ditetapkan oleh adat tadi, tak lagi keras penerapannya pada keturunan para budak. Khususnya di tempat-tempat di mana dia berinteraksi setiap hari dengan orang-orang Eropa, atau ditempatkan di bawah pengawasan langsung pemerintahan kita, dia makin terbebas dari keadaan menderita yang dialami karena asal-usulnya. Orang Melayu merdeka musti menerimanya apa adanya, dan meski ada beberapa kasus, di mana dia meminta perantaraan pemerintahan Eropa untuk mendapatkan kembali orang-orang yang lari ke tempat lainnya, yang merupakan pelayan-pelayannya sendiri, secara bertahap dia pun akhirnya menuruti peraturan pada alinea ketiga dari artikel 75 RR:” Akan diterapkan oleh hakim pribumi (juga oleh ketua pengadilan-pengadilan pribumi) hukum-hukum agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan orang-orang pribumi, sepanjang hal-hal itu tak bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan yang diakui umum.”
Contoh dari pengaruh baik pemerintahan kita yang akan saya berikan terjadi di distrik Kota VII.
Beberapa pal dari kota Padang Sibusuk ada sebuah kampung yang namanya Kampung Baru, yang secara eksklusif didiami oleh keturunan para budak. Tak punya pemerintahan sendiri dan langsung tunduk pada suku-suku yang memiliki mereka, mereka menjadi mangsa empuk dari kesewenang-wenangan, dan tak ada ujung tampaknya dari kekesalan dan beban yang menyiksa mereka. Lelah dengan keadaan itu, mereka akhirnya memutuskan meminta pertolongan otoritas sipil. Yang terakhir ini menolak permintaan mereka. Dia menasehati mereka untuk patuh dan menerima saja keadaan mereka, sebagaimana budak-budak yang baik, dan dengan mengadakan sebuah pesta di mana para budak dan para tuan ikut serta, otoritas itu menganggap persoalan tersebut telah selesai.
Penduduk Kampung Baru yang tertekan dan diperlakukan buruk berpikir lain. Untuk sementara mereka menunggu datangnya saat yang lebih tepat. Namun, ketika tuan-tuan mereka sendiri, khususnya kepala laras, yang marah dengan keberanian mereka untuk tetap mengadu, ingin menggunakan otoritas pemerintahan sipil untuk menyiksa mereka lebih hebat lagi, mereka akhirnya tak berlama-lama lagi, tapi membawa keluhan-keluhan mereka langsung ke hadapan asisten Residen Tanah Datar di kala itu. Kali ini usaha mereka membawa hasil. Keluhan-keluhan mereka diteliti, dan ditemukan berdasar, dan akhirnya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak, bahwa penduduk Kampung Baru akan terbebas dari tanggung jawab terhadap tuan-tuan mereka sebelumnya dengan membayar 600 real (960 gulden), terlepas dari semua peraturan-peraturan yang merendahkan, dan dalam aspek apa pun, tempat tinggal, pakaian atau apa pun juga, takkan dibedakan dari orang-orang merdeka.
Contoh lainnya saya rujuk ke distrik Lubuk Basung. Di sana ada sebuah laras [kelarasan] yang anggota-anggotanya asal mulanya seluruhnya terdiri dari para budak, yang lari dari distrik-distrik tetangga (orang tambangan). Secara bertahap, meski diprotes oleh orang-orang Melayu merdeka, dengan kerjasama kuat dari gubernur Sumatra’s Westkust ketika itu, mereka bersatu di bawah pemerintahan sendiri, dan sekarang kepala larasnya, seorang keturunan budak, merupakan kepala paling terkemuka dari distrik tersebut.
Untuk tak bicara bertele-tele, saya cukupkan saja dengan contoh-contoh di atas.
Di mana, dengan kerjasama aksidentil pemerintahan Eropa, kaum pribumi itu sendiri menunjukkan kekuatan untuk terlepas dari keadaan perbudakan, dan menunjukkan dirinya layak menerima kemerdekaan itu—di sanalah orang boleh mengharap hasil-hasil yang indah dari pendidikan yang betul-betul sehat, yang tak hanya diperuntukkan bagi anak-anak para kepala, tapi bagi semua orang tanpa kecuali. Hasil dari sekolah-sekolah pribumi yang ada di Padang Darat sekarang taklah begitu baik; jika pendidikan itu akan menjawab pengharapan tersebut, maka hal tersebut pertama sekali perlu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khas dari penduduk itu sendiri. Apakah usaha ini meminta pengorbanan uang yang besar? Saya percaya tidak, sebab kebanyakan kepala dan orang-orang Melayu yang tercerahkan menyatakan siap untuk bekerjasama untuk hal itu dengan sedikit sarana dan prasarana yang mereka miliki. Dengan minat yang tulus, sumbangan dari pemerintah perlulah lebih banyak sedikit. Betapa jauh lebih baik jika banyaknya uang yang digunakan, yang sekarang ini hanya untuk menggaji inspektur untuk pendidikan pribumi, yang tak familiar dengan bahasa-bahasa penduduk, dan yang terkadang hanya tinggal di tempat-tempat utama saja, yang di sini keberadaannya setidaknya sedikit sekali gunanya; dan yang dengan keseriusan mengusulkan pula kepada pemerintahan wilayah ini untuk lebih baik mendidik saja anak-anak pribumi, yang sama lincahnya seperti kera, dalam bidang gymnastiek (senam)! (*)
10 Februari 1868 Puar Datar (Padang Darat)
AWP Verkerk Pistorius
*Diterjemahkan dari judul asli Iets over de Slaven en de Afstammelingen van Slaven in de Padangsche Bovenlanden dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie/ 1868/ 2 edisi I halaman 434 sampai 443.
Catatan Kaki:
[1] [ Perancis, artinya kira-kira: terikat ke tanah, tertindas dan kelelahan hingga menimbulkan rasa kasihan]
[2] [ Catatan penerjemah: si penulis pernah jadi controleur di distrik Kota VII, yang biasanya juga bertugas memimpin rapat hukum yang beranggotakan kepala-kepala laras dan nagari]