Artikel karangan Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius ini terbit pertamakali pada 1869 dengan judul “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsce” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie/1869/3/II, hal: 423-455. Diterjemahkan oleh Novelia Musda.
(Sambungan bagian III)
***
Apa yang surau dapat ajarkan kepada kita berkaitan dengan sekolah-sekolah pribumi yang kita bina? Pertama, apa yang memenuhi kebutuhan pokok seluruh penduduk dalam situasinya yang sekarang, apa yang lebih dari hal lainnya membentuk karakter dari seorang pribumi, apa yang memberikan arahan tegas dalam kehidupannya, apa yang mengangkatnya dari derajat kebinatangan, apa yang boleh jadi akan menopang dan menghiburnya dalam masa-masa sulit: agama—pendidikan dalam bidang ini, bukan hanya lewat huruf-huruf mati dalam kitab-kitab, tapi melalui huruf hidup dalam rupa seorang ulama, sebagaimana yang terjadi di surau, inilah yang tidak akan ada dalam sekolah-sekolah kita. Orang melihat ketiadaan ini sebagai suatu yang tidak sepele, sebab di luar ‘sekolah’, misalnya di rumah, seorang pribumi tidaklah dididik dalam hal agama. Orang memang berpikir tentang Islam apa yang dia suka, bahwa apa-apa yang telah disebut di atas diberikan oleh Islam kepada penduduk, sesuai dengan apa yang mereka minta dalam situasi sekarang. Hal ini mungkin taklah akan terjadi dengan suatu ajaran, yang meski secara moral semulia dan semurni ajaran Islam, tapi akan selalu berbenturan dengan situasi-situasi penduduk pribumi.[1] Negara Belanda memang bukanlah misionaris. Dan bayangkan, jika seandainya negara ini tampil sebagai zending di sini—jika saja orang dapat menemukan pengajar-pengajar yang cakap—bahkan cobalah bayangkan jika Pemerintah akan memberikan uang yang memadai untuk kegiatan itu, maka boleh jadi satu-satunya hasil dari dakwah [Kristiani] yang ditopang Negara dengan cara tersebut hanya akan menghasilkan kemarahan, kebencian dan kekacauan di sini. Dus, apa yang memberi kekuatan dari ‘sekolah-sekolah’ pribumi akan selalu tak dapat ditemukan dalam sekolah-sekolah kita.
Pelajaran kedua: lebih dari satu aspek materil surau-surau besar dapat memberikan teladan bagi sekolah-sekolah kita. Meskipun di surau para murid masuk dan keluar seenak hati (disiplin yang ketat amat susah dipertahankan di suatu di suatu daerah di mana ayah [dianggap] bukanlah bagian dari keluarga dan tiap orang berbuat sesuka hatinya saja seketika dia merasa telah memiliki kekuatan dan kemandirian yang cukup untuk itu), meskipun murid-murid menikmati kebebasan yang luas, mereka menemukan tempat kediaman yang mantap di surau, yang menarik hati mereka karena di sinilah teman-teman mereka berkumpul. [Sementara itu], anak-anak muda yang dibimbing dalam sekolah-sekolah kita mencari tempat-tempat bergaul di pasar, di tempat yang akan mereka akrabi, dan tak jarang setempat-tinggal dengan unsur yang paling jelek dalam masyarakat: koeli lama, yang melalui hidup terlunta-lunta mereka sebagian jatuh ke suatu derajat serendah yang dicapai [sebagian] penduduk Aceh, di mana lelaki-lelaki dewasa secara terbuka kawin dengan bocah-bocah. Apa yang akan terjadi dengan moralitas anak-anak yang mengunjungi sekolah-sekolah kita dalam keadaan sedemikian, di mana lagipula ikatan moral antara guru dan murid tidak terdapat, di mana pengajar karena ketiadaan kepala-kepala sekolah orang Belanda tak memiliki kecakapan [memadai] dan melalui usia, kesalehan dan pengalaman-lebih tidaklah menjadi otoritas bagi murid-muridnya—apa yang akan terjadi dengan perkembangan mental anak-anak sekolah itu bolehlah kita duga sama-sama. Jadi akan merupakan suatu gerak langkah ke depan apabila sekolah kita dalam hal ini meneladan kepada contoh yang diberikan surau. Bukan uang yang jadi persoalan, terkecuali jika orang ingin melebih-lebihkan suatu prinsip yang dalam dirinya sendiri sudah cukup sehat. Menurut adat, surau haruslah didirikan oleh suku dan kemudian dicari guru untuk itu, atau bisa juga surau itu dibangun sang guru sendiri, dengan bekerjasama dengan suatu suku. Apakah tidak sah atau bertentangankah dengan adat apabila penduduk sendiri yang membangun sekolah-sekolah [binaan Belanda] di distrik mereka? Saya kenal lebih dari satu distrik yang kepala-kepalanya, dengan syarat-syarat tertentu, menyatakan bersedia untuk itu.
Suatu pertimbangan menahan saya untuk terus bicara tentang detail-detail kecil yang betapa pun tak begitu penting tapi menunjukkan betapa dengan kurang matang pandangan sekolah-sekolah kita didirikan. Satu contoh saja. Untuk apakah siswa-siswa di sekolah-sekolah kita harus duduk di atas bangku? Mengapa harus memaksakan cara-cara Barat dalam hal ini? Untuk apakah gunanya dipaksakan sikap-sikap yang seorang inlander secepat mungkin akan tinggalkan lagi? Seolah-olah seorang anak tak dapat mempelajari bila mana ketika duduk [di bangku] sepasang kaki harus diletakkan di atas tanah! Bangku-bangku dan meja-meja yang tinggi, tanpa diperhatikan, hanya akan mengalihkan si anak untuk mencari pengalih perhatian yang selalu ada di tengah kebosanan yang dirasakan. Di surau murid-murid duduk membentuk setengah lingkaran mengelilingi seorang guru yang senantiasa memperhatikan mereka dengan matanya yang awas, dan jika murid-murid itu menulis atau melakukan kegiatan apa pun mereka akan sangat senang melakukannya di atas tikar. Suatu pertimbangan, lewat catatan-catatan di atas, membuat saya untuk mengatakan hal-hal yang juga tak begitu penting. Bukankah tak lebih baik untuk pertama-tama terlebih dulu merujuk kepada banyak kekurangan yang ada yang hanya melalui perbaikan radikal akan sampai kepada tujuan pendidikan pribumi yang sebenarnya? Dan meskipun, meski butuh bertahun-tahun hingga terbentuk suatu kelas pengajar yang akan menjadi kekuatan penyeimbang (tegenwicht) dari kaum ulama, yang merupakan conditio sine que non[2]demi kejayaan sekolah-sekolah pemerintah. Bagaimanapun, tak ada gunanya untuk terus bicara tentang keadaan-keadaan menyedihkan dari sekolah-sekolah kita. Kita akan kembali membahas kaum ulama.
Dari apa yang sudah disebut sebelumnya akan terlihat juga bahwa pengaruh kaum ulama yang ditanamkan melalui pendidikan mencapai keseluruhan masyarakat. Dan kehidupan yang tenang serta kurang dinamis yang dijalani kaum pribumi di pedalaman akan jadi jaminan bahwa kesan-kesan yang diperoleh di surau takkan terhapuskan; bahwa jiwa (geest) seorang ulama, yang dengan cara tak terperhatikan senantiasa terhubung dengan murid-muridnya, akan senantiasa mempengaruhi pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan gagasan-gagasan mereka.
Hanya karena ulama merupakan unsur terpenting dalam pendidikan, maka pengaruh mereka sangat penting dan permanen sifatnya. Namun, “wilayah kerja” mereka tidak hanya terbatas di surau, meski luasnya lapangan dimaksud; bukan sebagai pengajar saja seorang ulama menempati peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Karena lebih bijaksana daripada kebanyakan penduduk, dia menjadi seorang “penasehat” bagi semua, baik tua maupun muda. Dalam semua perkara penting pandangannya diminta, dan meskipun dia tak boleh duduk dalam rapat para kepala, dan hadat [adat] sangat melarangnya untuk turut campur dalam hal-hal pemerintahan [tradisional], pengetahuan dan pengalamannya yang lebih menjadi jaminan baginya untuk memperoleh rasa hormat dan penghargaan dari setiap orang, baik dalam hal-hal bersifat material maupun tanggapan penuh perhatian. Melalui interaksi yang terpercaya dan keakraban dengan semua, otoritas seorang ulama dalam berbagai hal sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki para kepala pribumi. Tidak hanya secara langsung, melalui pendidikan di surau, tapi juga secara tidak langsung, melalui tinggi posisinya di mata kaum pribumi, pengaruh seorang ulama sifatnya dominan.
Pengaruh itu sangat positif jika seperti yang ditanamkan Syekh Silungkang, yang memberikan pandangan yang terang dalam tiap persoalan di kota, menyelesaikan perselisihan-perselisihan serius dengan cara yang baik, bekerjasama mempertahankan kedamaian dan ketertiban umum (orde en tucht) serta, karena menguasai jiwa penduduk, ikut memajukannya secara moral dan material. Positif sekali pada umumnya pengaruh itu sepanjang sang ulama menyeru untuk bangkit dari keadaan statis (lethargisch) yang dialami kebanyakan penduduk. Karena kedamaian statis mereka tak terganggu oleh apa pun di tengah rimba atau bukit-bukit yang sepi, mereka secara pasif berada dalam suatu keadaan yang tidak banyak berbeda dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan—tanpa dorongan untuk hal-hal lebih agung, penduduk merana dalam ketidakacuhan yang fatal. Karena pengajaran dari kaum ulama lah, meski boleh jadi pengajaran mereka tak sempurna, masyarakat didorong untuk mengolah kekuatan-kekuatan yang mereka miliki: bangkit menuju suatu kesadaran, hidup mereka terangkat dan termuliakan.
Namun, jelek sekali pengaruh itu dalam banyak hal, sebab banyak ulama menyalahgunakan posisi mereka. Untuk memberi contoh-contoh konkrit yang dapat ditemui dalam lingkungan saya sendiri: terkadang sang ulama berusaha mengambil zakat untuk diri sendiri [di luar jatah] dengan dalih akan menggunakannya guna membangun mesjid, walaupun uang itu musti dibagi-bagi setiap tahun kepada kaum miskin dan yatim. Juga, ulama terkadang memanfaatkan para kepala [penghulu dsc.] sebagai alat mencapai tujuan-tujuannya yang egois, atau dia membangkitkan, atas motif-motif pribadi, pertengkaran dan kebencian antara warga-warga kota. Lagipula tidak jarang terjadi seorang ulama, seperti istilahnya inlander, mendirikan [sidang] Jumat yang baru, maksudnya dia memisahkan diri dari masyarakat, menyatukan kerabat dan teman-temannya untuk membentuk sebuah sekte yang baru dan mendakwahi mereka di suatu tempat terasing di luar mesjid. Ulama-ulama seperti inilah khususnya, lewat kesombongan dan waham tak tersembuhkan mereka, lewat pertengkaran-pertengkaran yang menusuk dan tak terdamaikan serta semangat yang gila terhadap apa yang mereka pandang sebagai perintah dari Allah dan panggilan hidup mulia, mereka inilah yang membuat ganjalan terbesar dan menciptakan kekacauan. Adalah karena kesalahan dari para fanatik ini khususnya jika kota terbagi dalam kamp-kamp (kelompok-kelompok) yang saling memusuhi, jika para penduduk saling mengintimidasi, dan terkadang sampai terjadi baku hantam. Akibat-akibat buruk dalam aspek materil pun tak sedikit. Kebun-kebun kopi diabaikan, jalan-jalan tak dipelihara dan bahkan aktivitas di sawah-sawah jadi terbengkalai. Apabila Pemerintah tidak turun tangan, yang memang seringkali dilakukan atas dorongan dari para malim, yang sebagai pandita nagari taklah melanggar adat dalam hal ini, maka kekacauan itu tak jarang akan menjadi pemberontakan. Dalam banyak hal sulit bersifat serius yang dialami Pemerintah, ulama juga turut memberikan bantuan. Namun, alangkah disayangkan pengaruh besar para ulama khususnya, tersebab ajaran yang mereka anut dan sebarkan di surau, yang meski toleran dibanding mazhab-mazhab religius yang lain, yang prinsip-prinsipnya sampai sekarang masih dipegang oleh mayoritas ulama—tapi tetap selalu memiliki unsur permusuhan terhadap penjajahan kita. Dan betapa agama bisa menjadi motivasi yang luar biasa telah ditunjukkan oleh perjuangan yang hebat dan lama dari kaum Paderi, di saat kata-kata Haji Miskin dan fanatik-fanatik sepertinya membutakan penduduk serta di sana-sini menebarkan bencana-bencana peperangan. Pemerintahan yang salah seringkali hanya berujung pada kerusuhan-kerusuhan lokal yang kemudian ditumpas oleh sekumpulan tentara; tapi apa yang selama ini tak sanggup menimbulkan penindasan dan kesalahpahaman yang fatal atas hak-hak penduduk, agama akan menjadi suatu kekuatan untuk itu. Penduduk yang berpencar, terpisah oleh perselisihan-perselisihan lama dan kepentingan-kepentingan daerah yang senantiasa menghalangi tercapainya kesatuan politis, bahkan di masa jaya-jayanya kerajaan Minangkabau, dapat disatukan dan digerakkan oleh agama dalam sekejap mata. Tiap agitasi yang serius dan bersifat umum dalam kehidupan sosial pribumi berasal dari agama. Dari sisi ini, yakni terutama dari sisi para ulama, ada satu bahaya besar yang senantiasa mengancam kita. Disatukan oleh kesamaan kepentingan, pemikiran dan gagasan, para ulama memiliki benang-benang di tangan melalui mana percikan api elektris semangat religius yang terbangkitkan dalam sekedipan mata menyebar di seluruh negeri.
Para ulama, seperti yang telah dikemukakan, baik dalam keuntungan maupun kerugian yang mereka timbulkan, adalah elemen yang berkuasa, merupakan ciri yang menonjol dalam kehidupan kekeluargaan kaum pribumi. Mereka memberi dorongan atas tiap gerakan, walau ke mana saja arah tujuannya. Mereka meninggikan penduduk dan mengarahkan mereka menuju hal-hal yang baik, [tapi] mereka juga sumber dari banyak malapetaka. Mereka sekaligus cahaya dari penduduk dan juga bayangannya. Mereka, karenanya, paling patut memperoleh tempat dalam kepentingan dan perhatian kita dan membuat kita senantiasa waspada. Prinsip untuk menahan diri dalam segala hal yang berhubungan dengan agama penduduk tidaklah perlu diterapkan dalam kepentingan kita, dalam penyelidikan kita. Melalui semangat alami mereka untuk memberontak banyak ulama memang menjadi batu sandungan bagi pemerintahan kita; banyak ulama yang membangkitkan kebencian, karena sikap, perbuatan-perbuatan dan kekacauan yang senantiasa mereka ciptakan; tapi, kepentingan kita menuntut bahwa jangan sampai alasan kebencian, meskipun punya dasar yang kuat, membuat kita mengabaikan para ulama sekejap pun, khususnya semenjak satu fenomena penting di bidang agama muncul di kawasan ini. Beberapa tahun sebelumnya di nagari Padang Ganting, dalam afdeeling Tanah Datar, seseorang bernama Toeanku Sjech Beroelah [Tuanku Syekh Barulak] telah wafat, yang mana beliau ini setelah sekian lama tinggal di Mekah lalu menyebarkan suatu ajaran baru, ajaran Aboe Hanifah, di kampung halamannya. Patut menjadi catatan betapa cepatnya ajaran baru ini diterima dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Dalam beberapa tahun ajaran ini telah mencapai tingkat penyebaran tertentu sehingga barangkali seperdelapan dari seluruh penduduk telah mengikutinya. Di berbagai ‘sekolah’ yang ternama, ajaran baru ini telah menggantikan ajaran sebelumnya yang toleran, misalnya di dua sekolah besar di kampung Silungkang, salah satunya surau Syekh Silungkang sendiri; juga, saya diberitahu [bahwa hal itu juga terjadi] di surau-surau di Tjangkiang dan Pasir, keduanya di wilayah Agam, begitu pula di surau di Kasih, Singkarak, dan juga di Bonjol, dan lain-lainnya. Satu kriteria untuk menandai sekolah-sekolah Hanafi adalah suluk, suatu ritual yang setahu saya hanya dimiliki oleh mazhab ini.[3] Jika saya tidak salah, ajaran baru ini juga membedakan diri dari yang lain-lainnya dalam hal bahwa mereka menentukan puasa sehari lebih awal dari jadwal yang selama ini biasa diikuti. Tentang kebenaran hal ini, bagaimanapun juga, saya tidak dapat memberikan jaminan. Hanya satu hal yang saya tahu pasti, bahwa perbedaan [penentuan] awal puasa telah menimbulkan masalah-masalah di sejumlah tempat. Sebagian ulama menentang keras para kepala pribumi, yang setelah meminta pertimbangan kepada imam menentukan awal puasa menurut cara yang lama. Karena perbedaan ini terkadang timbul kejadian-kejadian hebat yang tampaknya tidak lagi terbatas pada satu kawasan tertentu saja. Pemerintah kita setidaknya berpandangan untuk secara eksplisit musti menetapkan bahwa keputusan akhir tetap di tangan imam ketika bulan puasa akan mulai, dan bahwa ketetapannya ini wajib diikuti semua orang jika dia ikut bermusyawarah dengan kepala laras (larashoofd) mengenai [tanggal] awal puasa, tapi dengan syarat bahwa mereka yang berpendapat lain dapat memulai puasa di hari yang berbeda, asalkan semua pihak menahan diri dari melakukan hal-hal yang menyinggung perasaan yang lainnya.
Sudah umum diketahui bahwa ajaran Syafi’i (Sjafeietische leer), yang sampai sekarang masih mayoritas di wilayah-wilayah koloni kita, ditandai dengan toleransi yang tinggi. Jika saya tak salah, hal ini taklah dapat dikatakan tentang ajaran Hanafi (Hanaefietische leer) (yang di Turki jadi mayoritas). Dus, susah sekali disangkal bahwa penyebaran ajaran baru ini patut mendapat perhatian kita. Perhatikanlah pertumbuhan yang luar biasa di wilayah ini dari ajaran yang semula hanya memiliki segelintir pengikut; perhatikanlah tanda-tanda yang muncul akhir-akhir ini; perhatikanlah apa yang sejarah Sumatera ajarkan pada kita—maka bahkan akan ada alasan untuk, bukan melalui metode yang biasa (orang tahu apa yang hal itu ajarkan), tapi sejalan dengan [penelitian mengenai] budidaya gula dan kopi (suiker- en koffiecultuur) dan yang sekarang tentang properti tanah (grondbezit), untuk memperoleh informasi lengkap melalui penyelidikan, yang karena sifatnya mustilah dilakukan secara rahasia, tentang suatu gerakan yang sebagaimana telah saya amati di Jawa tidak hanya terbatas pada suatu wilayah pendudukan luar tertentu (buitenbezitting). Pepatah populer ‘geen kawi, maar koffie is de zaak der Regeering’[4] yang orang, anehnya, sampai sekarang abaikan sebagai moto di atas peraturan-peraturan Pemerintah—pepatah yang memang tepat itu barangkali tak dapat diterapkan dalam hal agama pribumi, yang dalam suatu koloni Belanda taklah mendapat tempat sepenting bahan rempah-rempah, tapi [bagaimanapun] telah begitu banyak memakan biaya kita. Suatu penyelidikan di wilayah-wilayah pendudukan luar sebenarnya taklah memakan biaya. Hal itu dibuktikan dalam penelitian mengenai pemilikan lahan (landbezit) di Sumatra. Para ambtenaar [pegawai pemerintah] yang dibebani tugas yang sama di pulau Jawa menikmati bonus yang besar; ambtenaar-ambtenaar di Sumatra [sebaliknya] tidak memperoleh apa pun. Hal ini terjadi barangkali karena Pemerintah, didorong oleh perasaan keadilan, berpendapat bahwa para ambtenaar di Sumatra yang sudah kecil gajinya itu tak juga membutuhkan bonus apa pun.
Ini bukan bahaya sementara. Akan masih lama sebelum nantinya kita akan merasakan guncangan-guncangan awal dari gerakan dalam bidang agama ini. Boleh jadi perasaan-perasaan itu tetap me-laten. Namun, ini harus diakui, awan kecil yang muncul nyaris tak terlihat di cakrawala, sebelum kita menduganya, dapat berkembang menjadi awan hujan petir yang hebat. Siapa yang akan menjamin bahwa suatu pembaharuan yang begitu menyentuh hati dan menyalakan api akan tak mengarah ke pemerintahan kita dan tidak akan meninggalkan jejak dalam masyarakat pribumi? Tiap orang cenderung untuk menarik sebuah kesimpulan general dari fakta-fakta terpisah yang ada dalam lingkaran pengamatannya. Lebih dari orang lainnya kesalahan ini akan dialami oleh seorang ambtenaar yang berada di pedalaman, yang karena terisolir, pandangannya tidak meluas oleh karena pengalaman sendiri yang terbatas dibandingkan dengan apa yang dimiliki yang lainnya. Lagipula, jika dia ditempatkan di suatu daerah, di mana, seperti yang penulis alami sendiri di sekitar Palembang, fanatisme masih kuat serta meminta korban-korban darah, sang ambtenaar itu akan menempuh resiko akan kehilangan pertimbangan yang benar. Barangkali pandangan saya ini masih terlalu gelap. Namun, andaipun ketakutan saya ini sepenuhnya tak berdasar, apa ruginya jika dengan penuh keyakinan saya tulis dalam kesempatan ini: waspadalah! Kita takkan menduga apa yang akan terjadi dengan ce monsieur qui passe.[5] Walaupun sedikit saja kita dapat menyelidiki tentang pikiran-pikiran, keinginan-keinginan serta rencana-rencana rahasia dari para kaki telanjang (barvoeters), yang tampak begitu sempurna mengendalikan rona wajah, sikap dan perbuatan-perbuatan mereka, sehingga tahun demi tahun berlalu, sebelum akhirnya orang membaca apa sebenarnya yang ada dalam wajah-wajah coklat itu. Siapa yang tahu entah betapa banyak bahan bakar yang tertumpuk di hati mereka, betapa ganasnya api semangat agama dan kefanatikan akan meng-angkara! Siapa yang akan berkata bahwa kebencian yang terpendam lama, yang tampaknya membayangi setiap apa yang namanya penjajahan, tidak sedang menunggu pekik gembira dari ulama ketika hari yang telah ditunggu lama akhirnya tiba: dies irae, dies illa[6]! Waspadalah! Pasukan bersenjata kita sekarang ini juga di Sumatra telah bertambah kuat dibanding sebelumnya. Dan inlander tahu akan hal ini. Tapi, benteng yang tak tertembus, yang sebagaimana pernah didengar oleh van Hoevell dari seorang pribumi dibangun di dalam hati para penduduk,[7] senantiasa bersiap diri setangguh alat-alat pertahanan dari batu dan besi. Kekuatan apa yang sesungguhnya tersembunyi pada penduduk Melayu yang ada di dataran tinggi sudah ditunjukkan oleh Bonjol yang [terlihat] tidak ada apa-apanya, yang bertahun-tahun memusingkan pasukan kita; hal itu ditunjukkan oleh memori akan seorang ulama yang berani dan pahlawan yang meski tanpa amunisi dan persediaan yang memadai, hanya didorong oleh kesadaran amat kuat untuk memenuhi kewajibannya, dengan sejumlah kecil pasukan yang setia, bertahun-tahun telah menahan laju pasukan kita; itulah yang diajarkan oleh teladan seseorang yang hanya melalui pengkhianatan jatuh ke tangan kita: Tuanku Imam.[8] Waspadalah! Kita berdiri di atas tanah vulkanis. Riak di danau biru Singkarak taklah memperlihatkan bahaya yang mengancam. Awan-awan kecil berupa asap dan uap yang keluar dari kawah Merapi nyaris tak terlihat. Dalam kesadaran yang tenang akan kekuatannya gunung raksasa itu, tertawa dalam kilauan cahaya mentari, menaungi kota-kota yang teduh, yang seolah berada dalam kedamaian tak terganggu-kan. Lalu sekejap mata, langit pun berubah kelam. Goncangan menakutkan menumpahkan air-air dari tempat-tempat berkarang. Suatu kekuatan rahasia memutar dan memilin-milin kedalaman-kedalaman bumi, sementara (di tengah kilat dan petir) arus besar abu berpendar mencurah ke bawah dari puncak gunung dan dalam sekedipan mata melalap wilayah yang subur. Apakah Anda mengira pendaran menghanguskan kefanatikan dari dalam hati manusia membakar tak sehebat api yang berasal dari dalam perut bumi? [Apakah Anda mengira] bahwa kebencian hebat yang tertahan lama dan semangat agama tidak meletus dan mengancam kita dengan bencana-bencana yang lebih hebat daripada aliran lava yang membakar?***
Boengamas (Palembang), Maret 1869
(Selesai)
Ilustrasi oleh Amalia Putri
Catatan kaki:
[1] [Catatan penerjemah: mungkin maksudnya agama Kristen].
[2] [Latin: syarat yang harus ada].
[3] [Catatan penerjemah: ajaran baru yang dimaksud oleh penulis adalah tarekat Naqsybandiah-Khalidiyah. Tarekat ini juga menguatkan mazhab Syafi’i di Indonesia, tapi karena pada waktu yang sama tarekat tersebut juga popular khususnya di Turki yang lebih banyak mengikuti mazhab Hanafi, maka penulis yang pengetahuannya tentang Islam dan tarekat masih sangat terbatas mengelirukan ajaran ini dengan ajaran Hanafi. Lihat, antara lain, van Bruinessen dalam Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia (1992: 124)].
[4] [Belanda: Bukan kawi, tapi kopi yang jadi urusan Pemerintah].
[5] [Perancis: Tuan yang berpulang itu. Maksudnya Tuanku Syekh Barulak].
[6] [Latin: hari amarah/hari pelampiasan kemarahan].
[7] Lihat „Reis over Java, Madura en Bali“, D.I. halaman 205.
[8] [Maksudnya tokoh yang kita kenal sebagai Tuanku Imam Bonjol].