Artikel Terjemahan

Pengaruh Ulama di Tengah Masyarakat Padang Darat (Bagian III)

Ilustrasi - Amalia Putri

Artikel karangan Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius ini terbit pertamakali pada 1869 dengan judul “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsce” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie/1869/3/II, hal: 423-455. Diterjemahkan oleh Novelia Musda.

(Sambungan bagian II)

***

Sketsa mengenai ‘sekolah’ di Silungkang telah mengambil tempat yang banyak sehingga saya tak akan menceritakan tentang surau besar lainnya. Namun, untuk tidak memberikan penilaian satu arah terhadap pendidikan pribumi murni, perlulah setidaknya kita mengunjungi satu dari ‘sekolah’ yang lebih kecil. Kita ambil saja yang paling kecil: ‘sekolah’ seorang fakir di kampung Batoe Mendjoelor (Kota VII). Seperti gambaran tentang surau sebelumnya, saya juga akan mencoba melukiskan latar di tengah mana surau ini berada. Lanskap ini tak hanya himpunan dari adat, kebiasaan dan lembaga pribumi, tak hanya latar yang mencolok mata pengamat luar—bukan, kehidupan yang utuh dari seorang inlander, yang sekaligus sangat personal dan sosial, dengan begitu banyak serat yang begitu halus berakar pada alam sekitar, keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain tanpa menghilangkan kejelasan, kesegaran dan vitalitas dari penggambaran. Kebudayaan Melayu hampir tidak [bisa] dibawa ke suatu titik pandang di mana dia ditempatkan sebagai penguasa dan sekaligus musuh alam; kebudayaan ini tergantung kepada alam sebagaimana tanaman bergantung pada tanah; sementara peradaban Barat kita berlandas/ beribu kepada akal, alam bagi kebudayaan Melayu dapat disebut sebagai Alma mater. Bahkan dari sudut pandang ilmiah, pandangan terhadap institusi orang Melayu harus ditemani dengan penggambaran terhadap alam; ilmu alam khususnya (yang sesuai dengan temanya, esai ini hanya bisa memberikan sketsa singkat saja) adalah kunci untuk memahami kondisi-kondisi pribumi. Saya kira tidak perlu ber-apologi untuk apa yang menurut saya bukan sekedar telaah belaka dan apa yang tak bisa dipisahkan dalam memberikan presentasi dalam esai ini, sebab imajinasi nanti akan menjalinnya menjadi satu kesatuan. Sekarang, mari kita ‘turun’ ke rimba!

Tak sampai 7 pal[1] sebelah Timur lembah Silungkang yang cerah, mulailah kawasan rimba yang tenang, kelam dan tanpa akhir. Hutan tak tertembus menutupi tanah bergelombang hingga jauh ke Timur, yang melereng hingga membentuk puncak-puncak bukit dan kemudian melembah lagi di tanah berawa-rawa, atau tanah itu menanjak membuat gunung-gunung raksasa, yang ditutupi oleh awan-awan tebal. Kabut-kabut yang tersebar mulai dari puncak sampai ke ngarai-ngarai dalam menyelubungi hutan dengan atmosfir biru keabu-abuan yang muram, yang karenanya terkadang berhari-hari berturut-turut sang surya di langit yang biru tampak seperti mengancam dalam warna merah darah. Semua suara riang terlarang di wilayah yang tenang ini. Jarang atau tak pernah orang mendengar suara lain dari seekor burung selain teriakan parau burung pegar perak (zilverfazant) dan pekikan burung badak yang berparuh mengerikan. Namun, hingga matahari menempuh seperempat garis edarnya, sangat mengganggu, heboh dan berteriakan rangkaian pekikan menakutkan ke arah Anda dari ratusan kera-kera; tak henti-hentinya bunyi bergetar dan menggigit dari begitu banyak serangga menggetarkan malam yang abadi. Tapi ada juga sesekali terdengar suara ramah dari dalam jurang, ketika Anda dengan tertarung-tarung dan terengah-engah terus maju: itulah suara aliran air yang jalurnya dirimbuni dedaunan dan cabang-cabang pepohonan mengarah kawasan-kawasan yang lebih terbuka dan ceria, yang mungkin aliran air itu takkan pernah capai, sebab kelihatannya barisan pohon-pohon besar saling berganti-ganti di kedalaman yang penuh misteri, ketika mana Anda melemparkan pandangan melalui luang-luang dari puncak-puncak yang disatukan lianen [?]; tiada akhir tampaknya lika-liku katakomb yang gemetar, di mana jenis demi jenis daun-daun dan bunga-bunga rimba berapatan dengan warna yang mulai memudar dan meranggas dimakan waktu. Dari atas puncak-puncak yang menjulang langit, di mana satu pohon memanggul pohon lainnya, kehidupan yang utuh dalam kekuatannya yang kukuh memandang ke bawah Anda; boleh jadi hutan yang satu muncul di atas hutan lainnya dalam urutan waktu—kematian dengan tubuh yang kurus dan wajah yang pucat telah menundukkan [batang-batang] raksasa. Warna-warna penuh sinar dari aneka mawar, patma yang indah menutupi tunggul kayu yang terbentuk—semuanya hanyalah kemilau singkat yang akan mengalah pada detak-detik kematian. Gemetar dipandu melalui kehijauan yang rapat, sinar mentari memancarkan kilau emas ke cycadee [?] yang lembut, tapi kemudian dengan kesakitan membungkuk lagi di atas ranjang lembut pakis dan lumut; digerakkan oleh angin malam yang lemah, seakan untuk saat terakhir dan dengan amat kepayahan sinar itu mengangkat daun-daun yang pelan mengembang, yang rindu akan ruang-ruang penuh sinar mentari, di tempat di mana rangkaian lagundi bersila di danau Singkarah [Singkarak] yang bangga. Dan, disapu oleh kecemasan tak bernama, aliran air bukit mengalir di kedalaman yang gelap dan tak terukur, sementara mimozen [?] menatapnya dengan gemetar dan ketapingyang bersatu dengan batu-batu karang, dengan cabang-cabang serta daun-daun yang jarang, seakan ditutupi oleh darah, dengan meragu menatap tinggi. Oh! Kejeniusan rimba lebat ini adalah bangunan Promotheus yang tenang dan tangisan-tangisan keputusasaan yang keluar dari dada yang lapang dan sudah lama tersiksa mengguncang bagian terdalam jiwa Anda.

Fisionomi lanskap ini sangat serasi dengan sifat-sifat manusia yang menyebar mendiami hutan ini. Terkesan di ruang mata akan berat dan suram wajah mereka, lemah dan menyeret cara jalan mereka, dan agak membungkuk keadaan fisiknya. Tak ada kesan lain yang diberikan oleh barisan panjang Rantouers[2][orang-orang dari wilayah Rantau] yang sekali waktu akan Anda temui di jalan setapak rimba lebat ini.

Tanpa bicara mereka terus berjalan, seperlunya saja menatap Anda, berbaris satu-satu mengikuti pemimpin mereka, dibungkukkan oleh beban berat sebuah keranjang yang dengan cara diikatkan ke bahu mereka yang telanjang menjulang ke atas kepala, bersenjata ganda dengan kris di ikat pinggang dan klewang atau tombak di tangan. Cap kerendahan yang sama tertanam dalam sikap-sikap manusia yang menghuni kampung-kampung kecil, miskin dan saling terpisah jauh itu, di mana asap membiru yang keluar dari rumah-rumah ketika malam menyapa Anda terlihat begitu ramah setelah perjalanan seharian yang melelahkan. Kondisi menyedihkan orang-orang di sana sudah cukup untuk menjelaskan figur mereka yang pilu. Tanpa terkecuali, sekali lima atau enam tahun mereka dilanda kelaparan hebat, di saat mana serangga-serangga dan tikus-tikus yang berbahaya, serta gajah-gajah dan babi-babi liar memusnahkan sawah-sawah yang ditanami begitu susah; atau juga ketika mereka dijangkiti epidemi-epidemi yang menakutkan: kolera, campak, yang terhadapnya bantuan kita tak dapat diberikan di daerah-daerah terpencil; atau milik mereka yang terakhir dirampas ketika seluruh ternak dilanda wabah penyakit (Oo! Pernahkah Anda melihat manusia, yang menderita kehilangan semua yang mereka punya, mengikatkan kalintoeng di leher, dan mengais-ngais di tempat kerbau terakhir mereka dikuburkan); penderitaan yang sesekali menimpa mereka ini benar-benar tak dapat dilukiskan dengan pena. Kaum muda dalam musim-musim yang jelek ini lari ke tempat lain, atau menggali untuk mencari sedikit emas, atau dengan satu atau lain cara berusaha memenuhi kebutuhan pokok mereka yang sederhana; kaum yang tua dan yang lemah menyerah atau menggapai-gapai penyelamatan terakhir—hal paling terakhir yang nasib kejam tak dapat ambil dari mereka: bunuh diri di tempat ini di waktu-waktu tertentu meminta lebih banyak korban dibanding, setahu saya, di tempat-tempat lainnya; atau ada juga solusi yang menuntut kekuatan jiwa yang besar, mereka terus masuk ke dalam hutan yang belum pernah ditempuh manusia-manusia lainnya, membangun rumah kecil dari cabang-cabang dan daun-daun kayu, yang dipasangkan tinggi di atas batang kayu atau di atas beberapa tiang pancang, lebih seperti sarang burung daripada tempat hunian manusia, dan tiap hari dari sini mereka turun ke bagian hutan yang kelam untuk mengumpulkan rotan, tanaman dan damar guna penyambung hidup.

Ketika kemalaman di dalam rimba ini, pernah saya memanjat bambu-bambu yang bergoyang menuju rumah kecil sedemikian, dan saya menemui seorang tua yang sakit-sakitan dan sangat kesepian. Tersentuh, saya bertanya kepadanya sebab dari apa yang menimpanya. Lalu dia bercerita bahwa kondisinya dulu jauh lebih baik, hingga saat ketika bagaimana ladang-ladangnya dibinasakan, kerbaunya yang terakhir ditimpa oleh wabah, dan akhirnya, diselingi oleh derita dan penyakit, topangan terakhirnya di hari tua hilang pula dengan meninggalnya kerabatnya yang sampai saat itu mengurusnya. Kini, tiada lagi sisa hari-hari yang akan dijalaninya kecuali dengan mencari sedikit rotan; di tempat-tempat lain di Padang Darat, di kawasan-kawasan yang ada penghuni, sedikit atau tiada lagi rotan yang tinggal di hutan-hutan. Ketika wajahnya yang keriput membungkuk ke api kecil dari panggangan cabang-cabang dan daun-daun, dengan suara bergetar menceritakan semuanya, air mata deras mengalir ke pipinya. Itulah pertama kalinya saya melihat ungkapan perasaan yang sangat pilu pada seorang pribumi.

–Nessun maggior dolore,

            Che ricodarsi del tempo felice

            Nella miseria — — —

            [Inferno, Canto V]

Di ambang ujung hutan ini terdapat kampung Batoe Mendjoelor. Di ujung/kepala kota, suatu jalan akhir setelah melewati sebuah batang pohon besar, di mana penduduk biasa berkumpul di hari malam, seorang fakir yang telah diberi tahu tentang niat kunjungan kami ke suraunya telah menanti kami. Dengan panduannya, kami memasuki sebuah bangunan ‘sekolah’ yang kecil. Bangunan itu sangat sederhana (tipe lipat pandan), tapi adanya anjung (bagian menonjol di kedua sisi bangunan), yang pada rumah-rumah biasa tipe ini biasanya tidak terdapat, menunjukkan bahwa tempat ini lebih dari sekedar tempat hunian. Selain hanya memiliki satu ruangan, yakni tanpa kamar-kamar tidur yang terpisah, interior tempat ini tak terlihat seperti khas surau. Tempat masak di samping pintu, di atasnya tempat-tempat bambu tempat meletakkan beberapa periuk tembikar dan mangkuk-mangkuk kecil buatan Eropa yang kasar, daun-daun kopi yang dipanggang yang disimpan di tongkat-tongkat bambu di atas pintu, bejana-bejana yang berserakan di lantai dan penuh dengan kantong-kantong kecil yang barangkali tempat menyimpan sedikit beras dan aneka bumbu, serta tikar-tikar dan sejumlah helai pakaian yang tergantung melintang di beberapa batang bambu sepanjang ruangan: semua ini memang menunjukkan bahwa tempat ini selain surau juga tempat tinggal sang fakir.

Masih dini di pagi hari. Hanya setelah mandi subuh, dari jam enam sampai jam tujuh, dan setelah Magrib anak-anak datang ke sini. Sepanjang siang mereka menggembala ternak (dulu setidaknya, sebab sekarang banyak ternak telah habis mati) atau bekerja di sawah dan ladang. Kira-kira dua puluhan anak duduk bersila di lantai. Kebanyakan tampaknya tak lebih usianya dari tujuh atau delapan tahunan. Atas badan yang boleh dikatakan telanjang (kebanyakan bocah itu, terkecuali tutup kepala yang harus ada dan selendang yang disandangkan asal-asalan di atas kepala atau bahu, hanya mengenakan celana pendek hingga sedikit di atas lutut) memperlihatkan pemandangan yang tidak mengenakkan pada semuanya:[3] suatu penyakit yang lazim di Padang Darat, disebabkan oleh kerja di sawah yang berlumpur.

Pelajaran pun mulai. Dari sebuah papan di dinding sang fakir mengambil sebuah kitab yang tebal, dengan banyak lapisan kulit dan ikatan, lalu meletakkannya di atas lihar di depannya. Setelah diam yang agak lama, mulailah dia melancarkan beberapa kalimat yang oleh masing-masing bocah diulang-ulang secara bergiliran. Setelah istirahat sejenak, dia pun kemudian membagi-bagikan dua puluhan buku kecil, yang ditulis sendiri olehnya dan memuat sejumlah potongan ayat-ayat Alquran. Sekarang, semua murid secara serentak melancarkan baris-baris tulisan itu dengan suara keras. Ketika ditanya apakah para murid mengerti apa yang mereka baca, sang fakir menjawab dengan menggelengkan kepala. Setelah bertanya lagi ini dan itu, timbullah keraguan pada kami apakah sang pengajar itu sendiri paham betul apa yang ditulisnya. Tapi kenyataannya di surau ini tak ada lagi pelajaran lain yang diberikan. Namun bisa juga, kata fakir itu, jika orang-orang tua para murid berkehendak, dia akan memberikan pelajaran menulis. “Apakah itu sering terjadi?“. “Sangat jarang,“ katanya. Pokok intinya: jika para murid setelah kira-kira lima tahun lagi meninggalkan surau ini untuk selamanya, ilmu yang mereka peroleh hanyalah alif-ba-ta. Hal ini diiyakan oleh sang fakir dengan suara lemah.

Barangkali ada juga gunanya untuk menyinggung sedikit tentang apa bentuk ‘uang sekolah’ di sini. Jika seorang anak masuk ‘sekolah’ untuk kali pertama, maka ibunya dan beberapa orang familinya yang lain membawanya ke seorang fakir, yang dalam kenikmatan kopi dan manisan-manisan tak berasa lainnya menanya-nanyai anak itu dan kemudian menerima sedikit uang ketika orang tuanya pamitan. Dari waktu ke waktu kerabat anak ini akan mengunjunginya lagi, baik atas motif sendiri atau karena ingin menanyakan kepada sang guru agar dapat diyakinkan tentang kemajuan-kemajuan yang telah diraih oleh anaknya. Jika yang menjadi kepala ‘sekolah’ itu adalah seorang fakir yang miskin, maka dia akan merasa perlu untuk bicara yang baik-baik tentang kemajuan pengetahuan murid-muridnya dan menyuruh orang tua serta para kerabat untuk sering-sering mengunjungi suraunya, sebab adalah suatu kebiasaan jika mengunjungi surau ada sedikit bawaan untuk sang guru. Bawaan itu jarang dalam bentuk uang, lazimnya berupa barang-barang tak begitu berharga (fraaiigheiden) atau pun bahan-bahan kebutuhan pokok. Namun, seorang seperti Syekh Silungkang tak jarang mendapat hadiah berupa seekor kuda yang indah, manuskrip langka, dan semacamnya; sementara guru-guru lainnya musti puas dengan hanya sedikit beras, jagung ataupun daun-daun tembakau. Tidak ada ‘sekolah’ yang menetapkan bayaran tertentu untuk seorang ulama.

Apa-apa yang diajarkan di surau-surau kecil seperti yang ada di surau Batoe Mendjoelor, seperti yang dilukiskan dalam sketsa tadi, hampir tidak ada apa-apanya. Tapi janganlah lupa, bahwa hanyalah anak-anak dari keluarga yang kurang mampu yang pendidikannya hanya terbatas di surau kampungnya. Anak-anak lainnya bahkan pada usia begitu belia akan berkelana ke surau-surau yang lebih besar. Pilihan yang tersedia begitu banyak. Selain banyaknya surau-surau kecil, misalnya di kampung kecil Batoe Mendjoelor saja ada tiga, dan harus selalu ada di tiap kota, bahkan sampai ke Timur dari kawasan rimba raya ini; di Tanjung Gadang misalnya, di perbatasan dengan daerah-daerah yang masih merdeka, saya malam-malam dikejutkan oleh suara ribut-ribut dari ’sekolah’ terdekat; selain itu ada juga surau-surau sedang, misalnya surau Tuanku Kandung di Silungkang, yang pukul rata tak kurang dihadiri oleh delapan puluhan murid, meskipun di luar surau besar Syekh Silungkang masih ada tiga surau kecil lainnya di wilayah ini; selain pilihan begitu banyak surau kecil dan menengah, di berbagai tempat ada ’sekolah-sekolah’ yang muridnya ratusan bahkan ribuan. Saya dalam kesempatan ini akan memberikan angka-angkanya, meskipun angka pasti taklah dapat diharapkan. Sebabnya adalah, pertama ’penduduk’ surau, seperti halnya jemaat gereja, selalu berubah-ubah. Tiap hari para murid datang dan pergi. Selain itu ada saat-saat dalam satu tahun di mana hampir seluruh siswa pulang ke anggota sukunya di kampung, misalnya dalam bulan Puasa, atau ketika sekolah sudah sangat penuh, misalnya ketika saat pendiaman, yaitu waktu istirahat setelah panen padi besar-besaran. Untuk seorang yang cuma memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan dan mengecek data-data statistik dan yang, meskipun dia sangat bersemangat untuk melakukannya, tak bisa terus menerus dalam setahun (ya, setahun ini bahkan termijn yang paling singkat untuk secara eksak menentukan angka rata-rata) tiap hari mengecek jumlah siswa di sejumlah sekolah—katakanlah pekerjaan ini mungkin, karena ulama-ulama boleh jadi akan mencurigainya—untuk orang itu adalah sangat susah menarik angka rata-rata dari jumlah murid suatu sekolah. Tapi orang boleh percaya, ce qui n’est pas jurer gros,[4] bahwa angka-angka yang saya berikan lebih terpercaya daripada statistique amusante[5] dalam laporan-laporan Pemerintah tentang banyak hal yang tidak secara langsung berkaitan dengan “untung dan rugi“ bagi kita—yakni statistik yang orang bisa seenak hati tambah kurangi tanpa mencederai reabilitas data.

Di bawah ini adalah sejumlah angka yang berdasar kepada catatan singkat atau laporan-laporan yang didapatkan tanpa investigasi mendalam, berupa angka maksimum dari jumlah murid di sejumlah surau besar:

  1. Surau besar di Taram (afdeeling Lima Puluh), pada musim-musim tertentu bisa dikunjungi oleh lebih dari 1000 murid, yang kebanyakan berasal dari negeri-        negeri yang masih merdeka.
  2. Surau di Kota Tua [Koto Tuo] (laras Kota IV, Agam): 200 hingga 300 murid.
  3. Surau di Tjangkiang [Cangkiang] (dalam laras yang sama dengan di atas): sekitar 100 murid.
  4. Surau di Pasir (juga di laras Kota IV, Agam) memiliki sekitar 300 murid
  5. Sebuah surau besar di Laboh [Labuah] (laras Lima Kaum, afdeeling Tanah Datar): sekitar 200 murid
  6. Surau di Padang Gantiang (Tanah Datar): sekitar 100 murid
  7. Surau di Simaboh [Simabur] (laras Simaboh, Tanah Datar): 200 murid
  8. Surau di Pangean [Pangian] (district Boea, Tanah Datar): 100 murid.
  9. Surau di Piei (laras Salajoe, XIII Kota): 300 murid
  10. Surau di Moeara Panas (XIII dan IX Kota): 150 murid
  11. Surau di Kota Hanou [Koto Anau] (XIII dan IX Kota): 200 murid
  12. Surau di Kasih (laras Saning Bakar, Singkarak): 150 murid
  13. Surau di Singkarah [Singkarak]: 100 hingga 150 murid
  14. Surau di Tjaloe (Moeara, Sidjoendjoeng) : 300 hingga 400 murid
  15. Surau di Padang Sibusuk (Sidjoendjoeng): 150 murid

Meskipun angka-angka ini tak memadai, tapi sudah cukup menunjukkan, berkaitan dengan apa yang disebut sebelumnya, bahwa betapa meratanya penyebaran pendidikan di tengah masyarakat Melayu. Hal ini dengan tepat dapat disebut sebagai pendidikan rakyat (volksonderwijs). Pendidikan ini menyentuh semua orang tanpa membedakan kelas dan kedudukan, jika kata-kata tersebut dapat digunakan di tengah  masyarakat yang sebenarnya tak mengenal perbedaan dalam tingkat dan kedudukan. Melihat bahwa agama merupakan bagian terbesar dari pendidikan ini, siapa yang dapat komplain jika masyarakatnya masih berada dalam suatu fase di mana agama merupakan landasan dan sekaligus puncak dari seluruh aspek kehidupan masyarakat? Pendidikan/pengajaran dalam bidang-bidang tertentu yang berguna bagi kehidupan praktis seorang Melayu sebenarnya juga lebih umum, saya harap [seandainya] saya dapat menguatkan hal ini, dibanding apa yang sering dipercaya orang. Ya memang anak-anak dari keluarga yang kurang mampu umumnya tak memperolehnya, tapi cukup siginifikan sebenarnya jumlah dari mereka yang mengkombinasikan pengetahuan dalam kitab-kitab agama dengan pengetahuan praktis, yang mana terakhir ini adalah satu-satunya yang diajarkan dalam pendidikan di sekolah-sekolah pribumi kita. Ada memang keuntungan lainnya yang tak dapat diabaikan dari tinggal di surau besar. Melalui interaksi dengan murid-murid dari berbagai usia dan tempat asal, seorang anak Melayu jadi kenal dengan keadaan-keadaan di tempat lainnya di Sumatra, pandangannya jadi luas, pertimbangannya jadi terasah sejak usia masih belia. Kontak tak terputus dan berlandas rasa percaya dengan guru mencukupi apa yang kurang dalam hal ini. Perkembangan para murid, meskipun sedikit, segera mencapai tingkat ketinggian tertentu yang boleh dikatakan luar biasa untuk anak-anak seusia mereka. Dari situlah datangnya fenomena yang dari kesan sekilas tak dapat dimengerti, bahwa seorang anak Melayu hasil bentukan surau yang berusia lima atau enambelas tahun dalam hal perkembangan dapat disejajarkan dengan lelaki yang sudah dewasa. Setelah memperhatikan dengan seksama semua hal ini, pertimbangan kita tentang ‘sekolah’ rakyat pribumi boleh dikatakan positif: pendidikan pribumi tidaklah tertinggal dalam hal peradaban dibanding yang masyarakat Melayu selama ini telah capai. Memang benar masih banyak, sangat banyak, yang dapat diperbaiki—di tempat manakah hal ini tidak terjadi? Namun, karena berakar pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang diproporsionalkan dengan apa-apa yang dituntut oleh masyarakat pribumi, dan bibitnya terangkum dalam diri sendiri dengan kemajuan yang meski lambat tapi bertahap, serta sepenuhnya bersesuaian dengan pola kehidupan keluarga masyarakat [Minangkabau], pendidikan itu memiliki hak untuk hidup, hak untuk meminta perhatian kita serta tak patut dilihat dengan prasangka negatif, yang sebenarnya berasal dari pengetahuan kita yang masih dangkal tentang kondisi-kondisi masyarakat pribumi. Penilaian yang positif ini boleh dikuatkan dengan merujuk langsung kepada orang-orang tertentu. Dalam lingkungan saya di Padang Darat, di mana karena sifat tugas saya musti kontak terus menerus dengan inlanders dengan berbagai jabatan, kedudukan dan usia, ada banyak orang—bahkan di antara bawahan-bawahan langsung saya: kepala-kepala pribumi, sekretaris, kepala-kepala gudang, mantri-mantri dan sebagainya, mereka ini semua pernah mengenyam baik pendidikan surau maupun pendidikan di sekolah-sekolah kita. Lazim saya dapati, bahwa orang-orang yang hanya dididik dalam sekolah-sekolah kita sebagian dapat dipakai sebagai klerk, tapi dalam hal pengetahuan mendalam tentang pola kekeluargaan pribumi, kebudayaan umum dan kecerahan sudut pandang, mereka ini tertinggal dibanding mereka yang telah merasai pula pendidikan di ‘sekolah-sekolah’ pribumi [surau]. (*)

(Bersambung ke bagian IV)

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Catatan kaki:

[1] [Catatan penerjemah: 1 pal sekitar 1,5 km]

[2] Pada bulan Juli, Agustus dan September, setelah masa panen padi, banyak orang Rantau, biasanya dalam kelompok yang terdiri dari delapan, sembilan hingga dua puluhan orang, melewati daerah Sijunjung. Mereka kebanyakan berasal dari Rantau Kwantan [Kuantan], Rantau Batang Hari, Rantau Toba [Tebo], Rantau Boenga [Bungo], Rantau Pelapat, Rantau Soengei, Rantau Batang Asei, Rantau Singginggi [Singingi] dan Tabir, Korintji [Kerinci] serta XII Kota. Terkecuali dua yang terakhir, saya tak tahu persis di mana letak daerah-daerah itu. Umumnya sebagai ketua tiap rombongan adalah seorang yang disebut Tua Galeh (galeh artinya dagangan), yang tugasnya memimpin mereka, dan dalam banyak hal merupakan pedagang yang sesungguhnya, memiliki anggota-anggota lainnya sebagai anak buah yang nanti akan dibayar dengan kain setelah selesainya perjalanan. Namun, tujuan dari perjalanan ini tak hanya untuk berdagang. Banyak orang Rantau juga mengunjungi surau-surau di Padang Darat (tampaknya wilayah ini jadi serambi Islam di Sumatra), khususnya yang ada di Sijunjung, Tjaloe dekat Moeara, surau di Ambeh di Padang Siboesoek dan sebuah di Silungkang (semuanya ada di distrik Kota VII); lalu sekolah besar yang ada di Salaja [Salayo] di XIII Kota, di Sumanih [Sumani] dekat Singkarak, juga yang ada di Tandjoeng Beroelah [Tanjung Barulak] di Padang Panjang serta yang ada di Kota Gedang [Koto Gadang].

Barang-barang dagangan mereka, biasanya mereka bawa dalam keranjang besar yang dijalin dari bambu dan rotan: macam-macam damar, bahan lilin, tikar-tikar rotan dan terkadang muskuskat, barang-barang mana biasanya sudah mulai mereka jual di Sijunjung dan sekitarnya. Namun, alat tukar mereka yang terutama adalah butiran emas (mas-urai/gold-dust), khususnya mereka bawa ke factorij (stasiun-dagang) di Payakumbuh, Padang dan lain-lainnya. Mereka menyimpan emas ini dalam kantung kecil yang hati-hati dilapisi dengan kain di ikat pinggang, tempat yang sama di mana mereka menaruh uang yang kadang jumlahnya mencapai 500 gulden serta kebanyakan uang receh. Di sini juga sering ditemukan kotak kecil indah yang diukir dan diberi warna, berfungsi sebagai timbangan kecil untuk butiran emas tersebut. Timbangan ini setengah tailnya terkadang berupa blok tembaga yang diolah dengan cantik, timbangan-timbangan lainnya dari timah dan bahan-bahan lainnya. Sebab dalam perjalanannya rombongan ini memakan waktu lama, tiap hari mereka hanya menempuh jarak yang singkat: enam atau tujuh pal. Di Padang ataupun tempat tujuan lainnya mereka biasanya tinggal tak lebih dari sepuluh hari. Barang-barang yang mereka beli berupa kain linen, bubuk mesiu, pistol dan senapan, yang juga mereka dapatkan dari Pulau Pinang (dan dari Singapura melalui perantaraan orang-orang Eropa?). Bubuk mesiu yang, seperti halnya suku-suku bangsa lainnya di Sumatra, mereka buat sendiri, taklah mereka nilai tinggi.

Penampilan luar mereka kurang menarik, tapi perawakan mereka lebih kekar dan lebih besar dibanding penduduk Padang Darat, seperti yang saya amati lewat pengukuran singkat ketika saya menanyai tiap orang Rantau yang menyerahkan pas kepada Pemerintah Sumatra’s Westkust. Saya tak tahu lagi alasan lain untuk hal ini, selain bahwa mereka karena mahalnya mahar yang di beberapa wilayah menurut saya bisa mencapai 800 gulden, hanya memasuki jenjang pernikahan setelah melewati usia yang benar-benar dewasa. Kebanyakan mereka berambut panjang. Ini adalah tanda bahwa mereka masih bujangan; orang yang telah menikah memotong rambutnya.

Di wilayah Batang Hari tampaknya banyak kosakata Jawa yang dipakai. Misalnya sebuah nagari yang kecil dinamakan desa, kepalanya disebut si patih, dan orang gedang radja disebut demang.Di daerah ini juga ada sejumlah kuil dan patung yang berasal dari periode Hindu, khususnya di dataran Padang Candi, dekat nagari Si Goentoer (Siguntur). Menurut deskripsi yang diberikan kepada saya boleh jadi itu patung Ganesha dan Nandi. Karena Padang Candi belum pernah dikunjungi oleh orang-orang Eropa, saya berikan di sini rutenya. Dari Soengei Langsei (Langsat?) di batas Timur distrik Sidjoendjoeng, sesudah itu perjalanan sebagian dengan perjalanan kaki yang masih banyak rintangan, orang dapat mencapai Siguntur dalam tiga hari, setelah menghiliri Batang Takoeng lalu Batang Pangean. Di tempat ini ditempatkan seorang radja, demikian juga di Sitiwong (Sitiung), setengah hari perjalanan dari Siguntur, juga di Padang Lawas dan Poelou Poendjoeng [Pulau Punjung]: tempat-tempat yang akan dilewati dalam perjalanan ini, sebagaimana diinformasikan kepada saya. Keterangan-keterangan ini berasal dari beberapa inlander terpercaya yang saya kirim ke Siguntur untuk memberikan laporan sementara kepada saya tentang rutenya. Menurut mereka, raja-raja yang kampungnya akan dilewati tak keberatan atas kedatangan seorang bangsa Eropa, kecuali seorang raja yang jika tahu bahwa saya melewati daerah mereka akan menembak ke perahu kami. Bagaimanapun, tampaknya barangkali ini hanyalah cerita yang dibuat-buat saja oleh inlander-inlander tadi yang setelah melakukan perjalanan penuh rintangan menuju Siguntur tak mau menemani saya ke sana, juga hal itu barangkali untuk menakut-nakuti saya saja. Menyesal sekali, dengan berbagai sebab, saya tak dapat melihat sendiri patung-patung yang ada di sana.

[3] [Catatan penerjemah: mungkin maksudnya bekas-bekas kudis dan semacamnya].

[4]  [Perancis: bukan sumpah belaka].

[5]  [Perancis: hiburan statistik].

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *