Artikel Terjemahan

Pengaruh Ulama di Tengah Masyarakat Padang Darat (Bagian II)

Ilustrasi - Amalia Putri

Artikel karangan Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius ini terbit pertamakali pada 1869 dengan judul “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsce” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie/1869/3/II, hal:  423-455. Diterjemahkan oleh Novelia Musda.

(Sambungan dari bagian I)

***

Pendidikan pribumi: sebuah tema yang begitu penting sehingga orang akan senantiasa melihatnya dengan perhatian yang hangat. Perlu diketahui sebelumnya, pendidikan tersebut sebelum tahun 1848 terbatas diperuntukkan bagi anak-anak para kepala pribumi hingga klerk. Namun, sejak tahun itu keadaan sudah lebih baik, bahkan untuk wilayah Sumatra. Pendidikan tidak lagi ekslusif bagi anak-anak kepala pribumi. Saya akui dengan rendah hati bahwa penilaian saya hanya berdasar pada sedikit pengalaman. Hanya satu sekolah yang untuk waktu singkat berada di bawah pengawasan saya; sekolah-sekolah lain hanya saya ketahui lewat kunjungan kilat, tetapi kesan yang semuanya timbulkan lebih kurang sama. Tidak sekali dua pikiran saya bertanya-tanya: tidakkah lebih baik jika waktu anak-anak muda ini dihabiskan saja di sawah? Tidakkah biaya pendidikan itu, meskipun tak seberapa, hanyalah satu bentuk buang-buang uang daerah? Saya percaya bukan saya saja yang berpendapat seperti itu; jika saya tidak salah, itulah yang umum dirasakan di Sumatra. Jelas tidak masuk akal sekarang untuk mengharapkan hasil yang sangat baik jika melihat keadaan penduduk di lapangan, dengan minimnya fasilitas pendidikan dan sedikitnya waktu yang disisihkan pemerintah untuk serius mengurus masalah itu. Memang keliru mengabaikan kenyataan bahwa Sumatra hanyalah buitenpost [markas luar], sebuah wilayah pendudukan luar (buitenbezitting) yang tak sepenting Jawa dan karenanya dipandang sebagai tambahan saja. Setahu saya, di dalam Departemen Urusan dalam Negeri saja (binnenlandsch bestuur [di Belanda]) bahkan tak seorang pun yang kenal dengan Sumatra. Karenanya, apa yang diketahui tentang hak-hak, kepentingan-kepentingan dan klaim-klaim tentang pulau ini boleh sama-sama kita duga. Ada juga yang berpendapat bahwa takkan ada perubahan berarti yang akan terjadi pada Sumatra yang terabaikan ini jika tak mendapat pemerintahan otonom, seperti yang terjadi di Srilangka dan Straits-settlements [semenanjung Malaya], dan langsung dibawa di bawah pengawasan Kerajaan. Mungkin saja pendapat saya ini keliru, tapi juga mungkin akan dibenarkan cepat atau lambat: selama Sumatra tetap bergantung pada Jawa, adalah absurd untuk meyakini bahwa pendidikan pribumi, atau urusan apa saja yang tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingan ekonomi, akan mencapai kemajuan berarti di sini. Bagaimanapun juga, meskipun pertimbangan-pertimbangan di atas dibenarkan, sulit dibayangkan juga anggapan bahwa hanya dengan manajemen yang lebih baik akan tercapai hasil-hasil yang lebih memuaskan dalam pendidikan pribumi walaupun fasilitas-fasilitas yang disediakan tetap sedikit. Namun ada benarnya juga kata-kata Adam Smith atau yang lainnya yang menyatakan bahwa dalam semua urusan manusia adalah lebih utama menjalankan suatu cara yang baik jika jalan-jalan yang lainnya juga diuji secara persisten. Tidakkah kita lihat sendiri bahwa sebelum ikut diurus oleh pemerintah mulanya kita menyerahkan sekolah-sekolah pribumi hanya kepada masyarakat saja.[1] Tidakkah suatu fenomena menarik yang musti diperhatikan bahwa di Padang Darat saja ada sejumlah ‘sekolah’ dengan ratusan murid. Tidakkah ini menunjukkan—meskipun pendidikan di sekolah-sekolah itu tak begitu bagus (verwerpelijk)—adanya kebutuhan umum dan spesifik di sini? Tak haruskah kebutuhan-kebutuhan penduduk [terlebih dulu] dipahami sebelum mengelola suatu perkara yang sepeka dan sepenting pendidikan pribumi? Dan meskipun orang setelah kunjungan singkat ke surau cenderung pada kesimpulan apriori, bahwa penyelidikan mendalam terhadap hal ini taklah berguna, takkah seharusnya bagi seseorang yang masih punya kesadaran ilmiah melihat suatu kebutuhan imperatif untuk mengenali sekolah-sekolah pribumi murni guna sedapat mungkin mencari titik penghubung dengan sekolah-sekolah kita supaya dapat merekatkan masa lalu dengan masa depan? Tidakkah tanpa Fortbildung des geschichtlich Entstandenen[2] itu banyak kebaikan yang akan muncul dari tindakan yang masih belum sepenuhnya berpijak ke bumi, seperti di Sumatra ini dalam hal pengelolaan pendidikan pribumi? Kita beranjak dari gagasan bahwa surau sebenarnya bisa disebut ‘sekolah’. Pendidikan di ‘sekolah-sekolah’ pribumi murni itu (oorspronkelijk) sekarang ini jauh lebih penting dan berarti daripada pendidikan di sekolah-sekolah pribumi yang kita bina. Tidak hanya dalam satu-dua segi, surau-surau itu memberi kita bahan untuk renungan, dan bahkan untuk ikutan. Saya harap sketsa yang akan saya berikan di bawah ini akan cukup menerangkan.

Untuk memberikan gambaran tentang surau, saya menetapkan pilihan ke surau di Silungkang di antara surau-surau besar di Padang Darat. Pertama, ini karena saya kenal baik ‘sekolah’ ini. Selama tiga tahun saya senantiasa mengamatinya dengan minat. Dengan beragam orang yang ada di ‘sekolah’ ini, baik murid ataupun gurunya, saya pun kenal secara pribadi. Sebab lainnya adalah karena kepala ‘sekolah’ ini adalah seorang ulama, makanya untuk deskripsi yang tidak kering dan lebih konkrit [sesuai judul esai ini] saya memaparkannya secara personal. Namun, supaya dianggap tidak terlalu berhias-hias, dapatlah saya katakan bahwa dalam hal keterpercayaan surau ini melampaui surau-surau lainnya di kawasan ini. Setidaknya saya belum tahu apa ada surau yang lebih baik dibanding yang di Silungkang ini. Nah, sekarang kita bicara intinya.

Tak lama setelah kembali dari Mekah, Haji Muhammad memutuskan untuk mendirikan pula sebuah sekolah, sebagaimana yang dilakukan orang-orang lainnya. Dengan semangat dia melakukannya, dan dengan pertolongan anggota-anggota sukunya serta jumlah murid yang senantiasa bertambah banyak, yang sebagiannya sudah dipercayakan oleh orang-orang tua mereka selama persinggahannya di Padang dan Pariaman, dari awal sekali dia membangun sebuah bangunan besar dan bangunan-bangunan kecil di sekitarnya, yang sekarang sudah benar-benar selesai dan  terkenal dengan nama “surau Tuanku Syekh Silungkang”. ‘Sekolah’ yang sebenarnya, yakni bangunan utamanya, merupakan satu dari bangunan-bangunan terindah yang dapat dijumpai di Padang Darat. Dari segi bentuk bangunan ini memang agak berbeda dari surau-surau lainnya, tapi pada pokoknya sebenarnya sama saja. Seperti surau-surau lainnya, bangunan itu memiliki pontjok [puncak] yang berdiri di tengah-tengah atap seperti menara kecil (misighit[mesjid] biasanya memiliki dua atau tiga menara serupa). Sekeliling dinding dihiasi dengan pahatan, seperti umumnya ditemui pada rumah-rumah mereka yang terpandang; jika saya tidak salah, karya pahatan ini dikerjakan oleh orang-orang Sulit Air (dalam daerah XX Kota) yang terkenal ahli di bidang itu. Rumah tabuh[3]kecil yang indah, yang tak boleh tidak ada, adalah pemberian dari XIII Kota. Saya menyebut sedetail ini untuk menunjukkan betapa banyaknya pemuja sang Syekh, yang memberikan kontribusi dengan sukarela. Di samping bangunan utama itu ada tujuh buah bangunan kayu lainnya, dua di antaranya khusus diperuntukkan bagi kaum hawa dan selebihnya untuk para fakir (para pelajar yang berasal dari daerah lain). Beberapa bangunan itu tersuruk di balik pohon pala, cubadak (nangka) dan pisang; tetapi bangunan utama, yang dinaungi pohon-pohon kelapa yang kokoh, berada di atas lereng berkarang perbukitan dan tampak mencolok dari kejauhan dengan bentuknya yang tinggi dan atap ijuk[4] yang gelap, tertatah dengan pinggiran metal yang bersinar.

Di sinilah sejumlah penduduk kampung datang menghadiri pengajian di malam hari. Di bangunan-bangunan kecil itulah tinggal para pelajar yang berasal dari daerah lain, sekitar dua atau tiga-puluhan per bangunan, yang sejauh mungkin disesuaikan dengan kebutuhan dan tempat asal mereka agar anggota-anggota suatu suku dan kampung tak terpisah antara sesama mereka. Mereka menyediakan pakaian sendiri, yang dibedakan hanya dengan tutup kepala putih (kopiah); begitu juga dengan kebutuhan pangan dapat dengan mudah mereka peroleh di lapau-lapau di sekitar pasar atau sekali seminggu ketika paken [pekan].[5]Hingga larut malam orang dapat melihat murid-murid itu, dengan agak terhuyung, menaiki jenjang lapau-lapau untuk mengisi bambu panjang yang mereka sandang di bahu dengan kahwah [kopi] dengan memberi sedikit duit. Beras, sambal, gulai dan ikan kering adalah makanan sehari-hari mereka; daging sapi dan ayam cukup jarang. Murid-murid yang miskin sedikit saja di Silungkang sebab biaya hidup di sana tergolong tinggi; sehingga, tidak seperti di kampung-kampung lainnya, orang jarang mendengar teriakan panjang yang mengganggu untuk minta sedekah: sedekah fakir beras handei!

Pada umumnya para murid terlihat bugar. Ini jelas sebagian disebabkan oleh mandi yang teratur, sekitar dua-tiga kali sehari, yang dilakukan dengan seksama. Namun, yang lebih menarik perhatian saya dibanding kesegaran jasmani, dan yang orang jarang temui di antara wajah pesek, segi empat dan yang khas Melayu, adalah rona wajah bersih, oval indah dari sejumlah murid, yang spontan membuat saya berpikir tentang tipe wajah Arab. Boleh jadi mereka ini berasal dari Utara, dari Singkel atau semacamnya; seingat saya, belum pernah saya bertanya langsung tentang hal ini.

Sebagai ketua dari tiap kelompok murid yang tinggal sebangunan ditempatkan seorang guru tua. Kebanyakan dari guru ini telah mencapai usia tertentu, tapi ada juga seorang yang masih berusia empat atau lima belas tahun. Dialah kesayangan sang Syekh yang dibawanya serta dari Padang; seorang bocah yang pintar, ramping dan menarik bentuk tubuhnya serta wajah yang menawan, menunjukkan sinar yang hangat serta surya tropis di mata, yang terkadang dapat ditemui pada anak-anak [di Padang Darat] tapi kemudian cepat padam seketika mereka mulai ketagihan dengan madat dan perempuan.[6] Meskipun masih muda, tampaknya dia dapat diandalkan dalam menjalankan tugasnya. Di sini memang jarang seorang guru benar-benar dihormati murid-muridnya [hanya] karena faktor usia dan penampilan. Minat, kebaikan hati dan ketegasan jauh lebih berpengaruh pada perasaan lembut orang-orang Melayu, atau Indische kinderen pada umumnya. Disiplin sekolah yang ketat sebenarnya tidak ada di sini. Murid-murid menikmati banyak kebebasan. Siang malam mereka bebas bepergian sekehendak hati mereka saja. Dan karena anak-anak yang masih muda seringnya diawasi oleh rekan yang lebih tua, yang diikuti sejak keluar dari kediaman, dan yang mengurus serta menjaga mereka, serta jika perlu memberi hukuman yang pantas, perantaraan seorang guru jarang dibutuhkan. Hukuman-hukuman boleh dikatakan tidak ada. Hukuman pukulan tidak pernah saya lihat. Kontak fisik, bahkan dengan jari saja, jika terjadi bukan karena maksud yang sangat bersahabat, bagi orang-orang Indier yang peka dipandang sangat merendahkan dan melukai perasaan atau bahkan, saya dapat katakan, menistakan. Setahu saya, hukuman terberat yang pernah diberikan adalah hukuman soeroef, yakni orang yang bersalah menjamu rekan-rekannya dengan hidangan ayam, semacam jamuan perdamaian. Dalam kasus yang terburuk, jika hukuman ini dianggap sia-sia, si murid itu pun diusir. Namun hal ini boleh dikatakan amat jarang atau tak pernah terjadi, sebab murid-murid mengunjungi dan meninggalkan surau atas keinginan sendiri, sehingga jika mereka merasa tak betah di sana, biasanya mereka segera angkat kaki saja.

Kebebasan yang dinikmati bahkan oleh murid-murid yang termuda, tidak adanya disiplin sekolah, tentu memiliki sisi positif. Anak-anak dengan jalan ini cepat meraih kemandirian. Kekurangan-kekurangan dan kebiasaan memalukan, yang di mana-mana tampaknya seringkali seiring sejalan dengan disiplin sekolah yang ketat, jarang sekali terdapat pada murid-murid ini. Dan meskipun saya sering berkunjung dengan sengaja pada malam hari hingga larut dan tanpa diperhatikan di satu-satunya ruangan di mana semua murid berbaring di atas tikar mereka, diterangi remang-remang cahaya dari lampu damar yang berasap, dalam keadaan mereka setengah telanjang dan seringkali saling berbaring merapat dalam udara yang tertutup, saya tidak pernah menemukan kejadian yang menguatkan opini sebagian kalangan, seperti tindakan asusila yang orang sering temui pada sebagian murid-murid karbouwenjongens, khususnya di Jawa Tengah.[7] Namun bahwa dengan tiadanya disiplin atau ikatan sekolah yang kuat pendidikan tidak akan maju-maju memang sulit dibantah. Khususnya murid-murid yang lebih muda, kebebasan yang diberikan itu acap kali membuat mereka lebih betah keluyuran keluar daripada belajar.  Di jam-jam pagi yang sedang sejuk-sejuknya kebanyakan guru juga bekerja di pekarangan atau sawah mereka. Ketika dulu surau [di Silungkang itu] masih belum siap betul seringkali semuanya dengan sorak-sorai yang memekakkan telinga ikut serta menggergaji, memalu, menarik papan-papan dan sebagainya. Tapi juga setelah selesainya bangunan surau ini bahkan tidak ada jam-jam sekolah yang tegas. Hanya Syekh setahu saya yang menetapkan jam-jam mengajar tertentu, meski juga kerap dibuat pengecualian bila banyak yang akan dikerjakan di sawah, atau ketika beliau dengan wibawa seorang apostel, dikelilingi oleh anak-anak buahnya yang dengan berjalan kaki terengah-engah mengikutinya, sebab beliau naik  kuda dengan gaya sekavaleri mungkin, di waktu mengunjungi tempat ini atau itu di perbukitan. Tapi biasanya beliau memberikan pengajaran selepas loehoer [Zuhur], di kala matahari mencapai titik tertingginya dan juga di saat setelah salat malam kadang hingga larut.  Jika di jam-jam itu orang masuki ruangan yang luas dan tinggi, yang mengisi bangunan utama, khusus digunakan untuk belajar-mengajar dan merayakan acara pesta, maka biasanya dia akan melihat sang Syekh, dikelilingi oleh beberapa guru tua, sejumlah murid dan juga, biasanya malam, sejumlah penduduk pribumi berusia tua. Mereka duduk di atas tikar membentuk setengah lingkaran mengelilingi Syekh, yang terkadang memakai sorban dan pakaian besar berwarna-warni, yang khusus dibuat untuk beliau oleh tangan wanita yang saleh. Dengan satu tangan di atas kitab, yang terbungkus beberapa lapisan kulit kambing dan terletak di atas tempat baca (lihar), dia menjelaskan dengan nada bermanis-manis dan gaya mendidik apa-apa yang baru saja dibacakan, atau menerangkannya dengan mengambil contoh-contoh nyata dan terkadang isyarat yang ada manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari. Meskipun umumnya banyak dari apa yang dibicarakan tidak saya tangkap, karena saya hanya sedikit saja memahami idiom yang dipakai di Silungkang, dari pertanyaan-pertanyaan yang sesama mereka ajukan dan juga kepada sang Syekh, juga dari wajah-wajah yang terkadang tertawa dan kemalu-maluan, saya amati bahwa kata-kata sang Syekh tidak dibawa angin saja, tapi juga masuk ke hati para hadirin yang peka. Pelajaran dari Syekh disampaikan kembali oleh para guru tua kepada murid-murid mereka. Namun, pada pendidikan yang resmi gaya belajar Arab lah yang diikuti, anak-anak menghafal dulu apa-apa yang nanti akan dijelaskan kepada mereka bertahun-tahun kemudian. Selain banyak kelemahan, cara ini hanya berguna untuk melatih kesabaran dan ingatan. Kemudian, barulah kesabaran Ayub akhirnya berbuah. Kitab-kitab yang digunakan di surau ini serta kebanyakan surau lainnya (Sarof, Nahoe, Pakihi, Tafsir, Hadis, Salajoe dan Piei) umumnya tidak saya kenali; hanya sebuah yang saya kenali kesimpulannya. Setahu saya, kitab-kitab itu semua adalah kitab-kitab agama. Tapi jangan lupa, kitab ibadah dalam Islam, dengan berbagai komentarnya, tak hanya berkaitan dengan hidup di akhirat tapi juga mencakup kehidupan sosial yang utuh. Dan anggaplah meskipun kitab-kitab itu hanya memuat pengetahuan yang sedikit, tapi di samping dan di atas pengajaran melalui tulisan itu ada tulisan yang hidup, yang para murid baik di dalam maupun di luar surau senantiasa terima lewat kontak tak terputus dan dilandasi rasa percaya dengan guru-guru mereka.

Jam-jam tetap di saat mana para murid harus belajar sendiri tidak ada, seperti juga tiadanya jam-jam yang tertentu diperuntukkan untuk mengajar. Namun, orang biasanya akan menemukan sejumlah murid sepanjang siang hingga larut tengah malam di bangunan-bangunan sekitar bangunan utama, yang dengan keributan sinagog yang khas, merapalkan, membacakan keras-keras, bahkan meneriakkan pelajaran-pelajaran mereka. Itulah latihan yang menyenangkan bagi paru-paru, di mana di waktu-waktu lainnya mereka beristirahat dengan latihan menulis. Semuanya diajarkan tidak oleh pribadi tertentu, kepada murid-murid tertentu atau pada jam-jam tertentu. Di sinilah guru tua berinisiatif sendiri, atau terkadang fakir yang lebih tua, yang dengan kesabaran yang patut diteladani pertama-tama mengajarkan tulisan cakar ayam pada rekan-rekan yang lebih muda.

Melalui cara ini, yang tanpa aturan dan tata-tertib, mungkin ada yang berpendapat sedikit saja kemajuan pelajaran yang mereka capai. Bahkan ada yang lebih jauh dengan pendapat negatif mereka, mengatakan bahwa umumnya apa yang dipelajari di surau itu tidak bagus dan juga tak seberapa. Lebih dari sekali murid surau ini menunjukkan dengan bangga kepada saya hasil tulisannya yang sangat rapi, dan terkadang saya juga sempat menanyakan tentang Sumatra, dan ternyata Elmoe Negari[8] ada juga yang paham di sini. Dalam hal hitung menghitung mereka tampaknya tak begitu bisa. Angka-angka yang gersang tak cocok untuk otak orang Melayu. Apa yang lebih sesuai selera mereka adalah menyanyi dengan iringan rabana, tamboerijn, yang seperti guru-guru katakan pada saya berasal dari Keling dan melalui Aceh akhirnya dikenal juga di Sumatra Tengah. Kadang-kadang di malam hari ratusan murid berkumpul di bangunan utama, dengan iringan pukulan rabana, menyanyikan zikir bersama-sama, beberapa di antaranya dinamakan zikir Baroedah, yang dikarang oleh seorang pertapa (kluizenaar) bernama Baroedah. Kadang di surau itu ada juga diadakan [jamuan] sedekah, jamuan suka. Ketika ini duduklah di kedua sisi tikar bersih yang melintang di ruangan utama barisan panjang murid-murid dan orang-orang yang lebih tua yang datang sebagai tamu. Untuk tiap lima atau enam orang disediakan tempat hidangan dari tembaga, di atas mana diletakkan menu dengan nasi dan piring-piring kecil dengan sambal dan lauk pauknya. Di sampingnya ada cerek dari tembaga kuning yang berfungsi untuk cuci tangan dan air minum. Setelah doa singkat, semuanya kemudian makan dengan lahap. Dalam sekejap mata selesailah acara makan. Sang Syekh, yang sesekali mengangguk ramah kepada tamu-tamunya, mulai bersuara dan menyampaikan pidato, yang dengan gaya toast disahut bersama-sama oleh lebih dari satu hadirin. Sebab orang-orang Melayu hampir semuanya grand et beaux parleurs.[9]Tentunya tak satu pun dari mereka lupa, sebelum mulai berbicara, untuk memberikan sapaan sakramental kepada kami tamu-tamu Eropa yang didudukkan di bagian yang lebih tinggi di ruangan tersebut berupa gerakan tangan yang indah dari dada kemudian dibawa ke kepala, sementara sang Syekh, bersinar oleh rasa puas diri tersembunyi, dengan semangat mengisi gelas-gelas kami dan sesekali ikut meminum segelas wijn. Secara umum, jamuan sedekah ini membawa kesan yang baik.

Menimbang adat, saya masih belum membicarakan tentang kaum wanita di surau; nah, sekarang untuk mengakhiri cerita saya tentang ‘sekolah’ di Silungkang, saya—katakanlah—akan menyingkap selubung rapat yang karena alasan agama musti selalu menabiri kaum hawa. Memang bahkan menurut perempuan itu sendiri adalah sangat baik jika orang melindunginya dengan mantel cinta. Makanya izikanlah saya untuk berbicara singkat saja. Tidak jarang sejumlah perempuan (juga kaum lelaki tentunya) pergi ke surau ini untuk mengikuti suluk, atau sebagaimana disebut di Aljazair: la retraite religieuse.[10] Noda-noda kecil yang begitu mudah mengotori pakaian kegadisan mereka cuci dengan menghabiskan empat puluh hari, merenung, dengan tasbih di tangan dan penutup kepala, di suatu tempat terasing di balik klamboe. Beberapa menjalaninya dengan kemudahan karena hadirnya keluarga, dalam hal mana biasanya mereka membawa seorang laki-laki yang akan memasak untuk mereka. Dengan semangatnya yang khas, sang Syekh menggunakan kesempatan ini untuk memberikan pengajaran secara personal kepada wanita-wanita yang lebih muda, tanpa mengharap apa apa. Lidah-lidah yang jahat di kota mengatakan bahwa meskipun dengan perhatian yang saleh oleh Syekh, sekali terjadi juga satu di antara Magdalena-Magdalena[11] yang bertobat itu akhirnya jatuh kembali dalam kesalahan, sebelum proses penyucian diri melalui suluk itu berakhir. Orang Melayu itu [maksudnya Syekh] ne malin,[12] sebab di sini juga pengabdian Ilahi yang sejati itu difitnah. Ulama yang sederhana itu tidak tahu, qu’il y a des accommodements avec le ciel,[13] juga bahwa bagi wanita itu ada tempat di mana kesalehan ulama-ulama memberi berkat. (*)

(Bersambung ke bagian III)

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Catatan kaki:

[1]  Saya hanya berbicara tentang Sumatra, bukan tentang pendidikan yang pemerintah kita berikan di pulau Jawa, tak juga tentang langgar dan pesantren di sana.

[2]  [Jerman: pembinaan unsur-unsur historis].

[3] Tabuh adalah blok kayu yang dilubangi, yang berfungsi sebagai gong. Tabuh ini harus ada dalam suatu nagari menurut adat, seperti juga misighit[mesjid] dan balei-balei [balai adat]. Untuk detailnya sudah saya bicarakan dalam artikel “het Maleische Dorp” [Kampung Melayu], nomor Agustus, halaman 103.

[4] Ijuk, bahan yang sama dengan yang di Jawa disebut gemoeti.

[5] Pasar adalah tempat di mana paken [pekan=hari pasar] diadakan.

[6] Meskipun impor opium terlarang di Padang Darat, tapi jumlah yang kontinu dikonsumsi, yang dengan berbagai cara diselundupkan ke sana, sejauh yang dapat saya selidiki, masih cukup siginifikan.

 

[7]  [Catatan penerjemah: maksudnya perbuatan homoseksual].

[8]  [Catatan penerjemah: maksudnya mungkin ilmu geografi].

[9]  [Perancis: pembicara hebat dan anggun].

[10] [Perancis: pengasingan diri religius].

[11]  [Catatan penerjemah: maksudnya gadis-gadis]

[12]  [Perancis: bukan orang jahat].

[13]  [Perancis: bahwa ada juga penyesuaian dengan Surga].

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *