Komite Sentral Partai Komunis Indonesia, dalam pertemuannya di Prambanan pada bulan Desember 1925, menyerukan kepada para anggotanya untuk melancarkan pemberontakan nasional melawan Belanda.[1]Pemberontakan melawan pemerintahan kolonial ini awalnya direncanakan pada bulan Juli 1926, tetapi ketidaksepakatan di jajaran Partai Komunis dan tindakan balasan oleh pemerintah Belanda membuat hal ini terpaksa ditunda. Mantan ketua partainya, Tan Malaka, yang diasingkan oleh Belanda pada tahun 1922, adalah orang yang paling menentang keputusan untuk memberontak ini.[2] Dia berpendapat bahwa pemberontakan yang berhasil hanya dapat dicapai setelah periode aksi massa yang terorganisir. Ia berargumen bahwa partai ini sedang menuju putsch (kudeta kekuasaan), bukan rebellion (pemberontakan). Para pemimpin partai bersikukuh dengan rencana mereka, meskipun selama berbulan-bulan pesan Tan Malaka untuk menentang pemberontakan dari seberang Selat Malaka memberikan pengaruh yang semakin besar pada anggota partai khususnya di daerah asalnya Minangkabau, Sumatera Barat. Namun pada akhirnya, wilayah Minangkabau hanyalah salah satu dari tiga daerah di mana pemberontakan benar-benar pecah dalam bentuk konflik bersenjata, meskipun tidak terorganisir, terjadi kekacauan, dan tidak berhasil—dua wilayah lainnya adalah Banten di Jawa Barat dan, pada tingkat yang jauh lebih rendah adalah Batavia.[3]Pemberontakan baru terjadi di Sumatera Barat pada 1 Januari 1927, sekitar enam minggu setelah pemerintah Belanda menumpas para pemberontak di Batavia dan Banten.
Saya berinisiatif untuk meneliti mengapa Sumatera Barat menjadi salah satu dari sedikit tempat terjadinya pemberontakan. Saya juga akan menganalisis sifat atau jenis tindakan oposisi terhadap pemerintah kolonial yang terjadi di sana, penyebab dan jalannya pemberontakan, serta sejauh mana dampak dari aksi para pemberontak yang mewakili nasionalisme antikolonial di wilayah tersebut.
Oposisi terhadap Pemerintahan Kolonial
Orang Minangkabau, digambarkan oleh penasihat Belanda untuk urusan pribumi, Charles van der Plas sebagai “bangsa yang penuh dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang.”[4] Mereka selalu bangga dengan sejarah penentangan terhadap kekuatan dari luar, baik dari Jawa atau dari Eropa. Dalam mengobarkan ketidakpuasan mereka terhadap kolonialisme pada pertengahan 1920-an, kaum revolusioner Minangkabau kembali mengenang dua perjuangan mereka sebelumnya melawan Belanda di Sumatera Barat: Perang Paderi yang berkecamuk antara tahun 1820 sampai 1837 ketika pemerintah Belanda pertama kali memperluas kekuasaannya di sebagian besar dataran tinggi Minangkabau; dan pemberontakan terhadap pajak di tahun 1908, ketika para pemimpin agama di pedesaan mempelopori protes terhadap upaya Belanda untuk mengenakan pajak langsung pada masyarakat setempat.[5]
Pada tahun-tahun sebelum 1927, dinamika yang paling memperkuat ikatan kelompok anti- Belanda di kawasan ini adalah hubungan yang erat antara Islam, komunisme, dan nasionalisme. Dan di dalam kelompok itu, pengusaha lokal memainkan peran utama. Koalisi ini melibatkan kepentingan yang tumpang tindih dan keanggotaan dari berbagai komponen masyarakat yang berbeda: komunitas pedagang (baik pedagang kecil maupun pedagang besar), para pemimpin agama, para guru dan siswa di banyak sekolah swasta di daerah ini, para petani, aktivis politik dan bahkan beberapa perangkat desa adat (nagari). Anggota komunitas saudagar, melalui ikatannya dengan orang-orang di semua lapisan masyarakat Minangkabau, “melumuri” roda aktivitas antikolonial ini. Tetapi, interaksi mereka dengan para guru dan siswa di sekolah-sekolah agamalah yang memiliki dampak terbesar terhadap gerakan nasionalis lokal.
Berbeda dengan wilayah lain di Nusantara, sebagian besar pengusaha di Sumatera Barat adalah para pribumi: hampir semua pedagang kecilnya adalah orang Minangkabau, demikian pula sebagian besar pedagang besarnya, hanya beberapa pengusaha besar yang merupakan orang Tionghoa—kebanyakan dari mereka berbasis di Padang.[6] Para pedagang pribumi ini memiliki banyak keluhan. Dalam upaya menerapkan sistem budidaya kopi selama paruh kedua abad kesembilan belas, pemerintah Hindia Belanda telah memberlakukan kebijakan yang bertujuan untuk menghancurkan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera dan melintasi Selat Malaka menuju ke Penang dan Singapura. Pejabat kolonial memaksa pedagang Minangkabau untuk menggunakan pelabuhan pantai barat sebagai gantinya, dimana Belanda punya otoritas yang besar.[7] Pada saat yang sama mereka melarang penggunaan beras sebagai komoditas perdagangan yang berdampak buruk pada keseimbangan antara produksi dan perdagangan di wilayah tersebut. Meskipun kedua kebijakan ini dihapuskan pada dua dekade pertama abad kedua puluh, ekonomi dan komunitas perdagangan lokal masih merasakan dampaknya pada akhir 1920-an.[8]
Di Padang dan pelabuhan-pelabuhan lain di pantai barat, para pengusaha pribumi merasa terjepit oleh perlindungan Belanda terhadap para pedagang Eropa dan Cina. Masalah mereka ini juga dirasakan oleh umat Islam pada umumnya yang merasa terancam oleh politik etis, di mana pemerintah Belanda memperluas pendidikan Barat sekuler yang menjadi kendaraan utama orang Indonesia untuk bisa mendapatkan akses terhadap kekayaan dan kekuasaan. Muslim lokal melihat kebijakan ini sebagai bagian dari upaya untuk melemahkan Islam dan memperkuat penyebaran agama Kristen. Kemarahan terhadap upaya ini merupakan pendorong utama di balik penyebaran dan perluasan sekolah-sekolah Islam swasta di seluruh Sumatera Barat yang didirikan dalam skala yang tidak bisa ditandingi di tempat lain di Indonesia. Sekolah-sekolah ini menyediakan matriks politik untuk gagasan-gagasan antikolonial.
Jaringan sekolah agama dan sekolah swasta lainnya tumpang tindih dengan jaringan perdagangan. Hal ini disebabkan antara lain karena banyak dari sekolah-sekolah ini yang dapat bertahan secara finansial hanya dengan melakukan kegiatan komersial mereka sendiri. Sehingga pada kenyataannya para guru dan siswa sendiri juga seringkali menjadi pedagang. Selain itu, sebagian besar sekolah mendapat dukungan keuangan dari komunitas pedagang. Fasilitas asrama mereka sering digunakan oleh pedagang keliling dalam perjalanan mereka selama di Sumatera Barat.[9]
Setelah Perang Dunia I, penentangan terhadap kekuasaan Belanda diperkuat oleh pengaruh-pengaruh yang datang dari luar, seperti perdagangan, agama, atau pendidikan—bahkan desa-desa paling terpencil di Sumatera Barat sering memiliki hubungan dengan bagian lain Hindia (Nusantara) dan bahkan beberapa desa juga memiliki hubungan dengan Semenanjung Malaya, dengan Eropa dan juga Timur Tengah.[10]
Pada tahun-tahun menjelang 1927, tiga kota menjadi pusat perpolitikan radikal dan oposisi terhadap pemerintahan kolonial di Sumatera Barat—Padangpanjang, Silungkang, dan Padang. Konteks aktivitas politik dan karakter gerakan di ketiga kota ini sangat berbeda.
Latar Belakang Pemberontakan
Padangpanjang, sebuah kota kecil yang sejuk di kaki Gunung Merapi, dengan populasi pada tahun 1920-an sekitar delapan ribu jiwa,[11] terletak di atas jalan masuk “Anai Pass” (jalur Lembah Anai). Jalur ini mengarah ke bawah dari dataran tinggi Minangkabau yang subur ke dataran pesisir Padang yang luas. Pada dekade-dekade awal abad ke-20,kota ini merupakan persimpangan jalan utama baik bagi para pedagang yang mengangkut barang-barang mereka antara dataran tinggi Minangkabau dan pantai barat Sumatra. Tidak hanya menjadi jalur bagi barang dagangan, ia juga jalur bagi gagasan-gagasan politik, agama, dan pendidikan yang muncul dari dalam atau dari luar wilayah ini. Basis utama partai komunis dan liga rakyatnya (Sarikat Rakyat) di Padangpanjang terletak di sekolah-sekolah agama modernis yang inovatif, yang muncul pertama kali pada tahun-tahun awal abad kedua puluh, menarik siswa dari seluruh dunia Melayu untuk datang ke kota ini.[12] Pada awal 1920-an, banyak guru dan siswa yang lebih muda di sekolah-sekolah non-pemerintah ini adalah penentang radikal terhadap pemerintahan Belanda dan melihat bahwa Islam dan komunisme adalah alat yang tepat dalam perjuangan mereka melawan kapitalisme dan kontrol politik Belanda.[13]
Orang yang mungkin paling berpengaruh bagi siswa di sekolah-sekolah ini adalah Zainuddin Labai el Junusiah, seorang guru di sekolah Islam modernis Sumatera Thawalib, yang mendirikan sistem sekolah Diniyyah pada tahun 1915. Ia lebih radikal daripada rekan-rekan seniornya di pergerakan kaum modernis (kaum muda).[14] Zainuddin Labai sangat tertarik pada ajaran seorang modernis dari Kairo, Mohammad Abduh dan muridnya dari Suriah, Rasjid Ridha. Zainuddin digambarkan sebagai “pembaca terbesar Said Rasjid Ridha di Minangkabau.”[15] Dia juga pengagum Kemal Ataturk. Ia menerjemahkan Ataturk dan mengajar kelas tentang gerakan nasionalis Kemal di Turki.[16] Dia menolak tawaran subsidi dari asisten residen Belanda untuk mendukung sekolahnya[17] dan dia tidak berusaha membujuk murid-muridnya untuk menentang ide-ide komunis dan radikal, yang justru semakin membuat mereka tertarik terhadap hal itu. Pada tahun 1918, Zainuddin mendirikan Al Munir,[18] sebuah surat kabar Islam yang dikeluarkan oleh murid-muridnya, yang ia pimpin sampai akhir hayatnya pada tanggal 10 Juli 1924.[19] Pada awal tahun 1920-an, jurnal dan surat kabar dari seluruh Hindia datang ke kantor Al Munir, yang oleh mantan muridnya digambarkan sebagai “tempat pertemuan paling berpengaruh bagi para siswa [di sekolah swasta], di mana tidak hanya ide-ide intelektual disebarkan tetapi juga persahabatan, kesetiakawanan, dan penguatan persatuan.”[20]
Sejak tahun 1920, sekolah-sekolah agama, khususnya di Padangpanjang, menjadi tempat di mana agama dan politik radikal saling tumpang tindih dan saling menguatkan dalam menghadapi tentangan dari pendiri dan kepala sekolah Thawalib yang otokratis, Haji Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul). Haji Rasul mencoba untuk memerangi apa yang dia lihat sebagai ide-ide ateistik yang disebarkan oleh murid-muridnya. Haji Rasul berdebat sangat sengit mengenai ideologi komunis dengan dua murid dan asistennya yang paling cerdas serta paling radikal, Djamaluddin Tamin, yang kemudian menjadi tangan kanan Tan Malaka, dan H. Datuk Batuah.[21]
Adalah H. Datuk Batuah yang oleh Belanda dan sebagian besar penulis berikutnya dianggap membawa komunisme ke sekolah-sekolah modernis di Sumatera Barat setelah ia melakukan perjalanan ke Aceh dan Jawa pada paruh pertama tahun 1923.[22] Di Aceh ia bertemu dengan Natar Zainuddin[23] dan di Jawa ia bertemu dengan para pemimpin partai komunis, termasuk Haji Mohammad Misbach, seorang anggota berpengaruh dari Sarikat Islam di Surakarta, yang ketika dibebaskan dari penjara pada tahun 1922 memilih untuk bergabung dengan pihak komunis dalam perpecahan Sarikat Islam. Jelaslah bahwa pemimpin Muslim inilah yang memiliki pengaruh terbesar pada Dt. Batuah. Menurut Takashi Shiraishi, Misbach berpendapat bahwa dengan memilih pihak komunis, dia telah “membuktikan keislamannya yang sebenarnya.”[24] Dia menjelaskan posisinya dalam Kongres Partai Komunis yang diadakan pada awal Maret 1923:
. . . mendasarkan dirinya pada Alquran, (Misbach) membuat argumen untuk beberapa poin kesamaan antara ajaran Alquran dan komunisme. Misalnya, Al-Qur’an menyatakan bahwa adalah kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak-hak manusia, dan poin ini juga muncul dalam prinsip-prinsip program komunis.
Lebih jauh lagi, adalah perintah Tuhan agar [kita] berperang melawan penindasan dan eksploitasi. Itu juga salah satu tujuan komunisme.
Jadi benar dikatakan bahwa orang yang tidak dapat menerima prinsip-prinsip komunisme bukanlah Muslim sejati.[25]
Ide-ide ini sangat menarik bagi Dt. Batuah, dan sekembalinya ke Sumatera Barat ia menyebarkannya di sekolah Thawalib dan di Pemandangan Islam, surat kabar yang ia dirikan dan pimpin bersama Djamaluddin Tamin, di mana mereka “berhasil menyatukan ‘ilmu pengaturan masyarakat untuk kemaslahatan rakyat yang hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan,’ dengan niat dan persyaratan iman Islam yang benar!”[26] Natar Zainuddin, yang ‘dibuang’ oleh Belanda ke Sumatera Barat pada Mei 1923, mendukung gagasan serupa di surat kabarnya Djago-Djago, meskipun seruan di dalamnya lebih ditujukan kepada kaum proletariat. Kedua surat kabar tersebut mencari titik temu antara Islam dan komunisme dalam perjuangan mereka melawan kapitalisme dan kolonialisme.[27]
Apapun pengaruh dari perjalanan Dt. Batuah pada tahun 1923, hal itu telah mengembangkan ide-ide politiknya. Ide-ide ini telah hidup selama beberapa tahun di Padangpanjang. Rekannya, Djamaluddin Tamin, telah bergabung dengan partai komunis setahun sebelumnya,[28] dan sebagaimana yang dicatat oleh Tamin tentang sejarah partai komunis, sebuah “Bofet Merah” atau Kantin Merah telah didirikan oleh para siswa di sekolah-sekolah Padangpanjang “lima atau enam bulan sebelum Partai Komunis Indonesia lahir di Semarang” pada tahun 1920, dengan Padangpanjang saat itu sudah dikenal sebagai “kota merah di Sumatera.”[29]
Sebagai bagian dari tindakan represif terhadap aktivitas komunis pada akhir tahun 1923, Belanda mengirim patroli bersenjata untuk menangkap Datuk Batuah dan rekannya, Natar Zainuddin, pada 11 November 1923.[30] Penangkapan mereka dimaksudkan untuk meredamradikalisme yang berkembang di kalangan mahasiswa dan pemuda lainnya di Padangpanjang dan di tempat lain di Sumatera Barat.[31] Meskipun asisten residen Belanda telah mengatakan bahwa setelah Batuah dan Zainuddin disingkirkan, gerakan itu akan berakhir, pada bulan Juli 1924, setengah tahun setelah penahanan mereka, pihak berwenang mengakui bahwa di Sumatera Barat terdapat lebih banyak Komunis daripada sebelumnya.[32]
Di Silungkang, akar Sarikat Rakyat dan gerakan Komunis agak berbeda dengan di Padangpanjang, meskipun siswa dan guru sekolah swasta juga berperan dalam gerakan tersebut. Namun, dukungan utama dan kepemimpinan dari Sarikat Islam dan Sarikat Rakyat di Silungkang datang dari komunitas pedagang kecil yang terikat dengan industri tekstil bersama dengan pengaruh dari organisasi pekerja kereta api dan buruh tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto.
Terletak di lembah sempit yang terpencil sekitar lima puluh mil tenggara Padang Panjang, Silungkang, kota kecil dengan sekitar tiga ratus rumah tangga, terletak di jalur kereta api antara Solok dan Sawahlunto. Kota ini terkenal di seluruh Nusantara dengan tekstilnya. Perusahaan- perusahaan lokalnya melakukan kampanye iklan yang massif, mengirimkan katalog mereka ke seluruh Hindia Belanda dan bahkan ke negara-negara di Asia dan Eropa.[33] Mulai sekitar tahun 1912 beberapa pedagang dari Silungkang telah menetap di dekat tambang Ombilin untuk memberikan pelayanan kepada pejabat pemerintah. Mereka mendirikan usaha baru dan membuka toko yang menjual tekstil dan barang kebutuhan pokok.[34] Namun, para wanita penenun kain tetap di Silungkang, mereka membentuk koperasi untuk mendistribusikan tekstil, salah seorang anggotanya diberitakan menghadiri pameran dagang di Brussel pada tahun 1918 untuk menunjukkan keterampilan menenunnya.[35]
Seorang pedagang lokal, Sulaiman Labai, telah mendirikan cabang Sarikat Islam di Silungkang pada tahun 1914. Dia serta para pengikutnya memiliki hubungan dekat dengan para pemimpin serikat pekerja di tambang Ombilin. Salah seorang pemuda yang kemudian memimpin pemberontakan di Silungkang, Abdul Muluk Nasution, dalam memoarnya pada masa itu, menyebut Labai sebagai “seorang intelektual lokal; seorang ahli agama Islam dan ahli pidato,” dan dia ingat bahwa “selama berjam-jam kami, kaum muda, terpesona olehnya ketika mendengarkan pidato atau ceritanya, terkadang tentang Islam, terkadang tentang politik dan terkadang cerita 1001 malam.”[36]
Sulaiman Labai menjadi semacam legenda di wilayah ini. Dalam sebuah cerita pada tahun 1918, ia bersama dengan beberapa lusin pengikutnya, memaksa kepala stasiun setempat untuk menyerahkan dua gerbong beras sebuah kereta api yang menuju Sawahlunto yang berhenti di Silungkang, dan dia kemudian membagikan makanan itu kepada orang-orang yang kelaparan di kota tersebut. Sebelum dia melakukan tindakan tersebut, Labai telah mempelajari undang-undang kedaruratan, sehingga otoritas Belanda hanya memiliki alasan untuk menahannya selama beberapa hari sebelum mereka harus membebaskannya dengan peringatan. Tindakannya yang berani menarik banyak anggota baru ke Sarikat Islam dan ketika pada tahun 1924 Sarikat Islam Silungkang berubah menjadi Sarikat Rakyat yang disponsori oleh komunis, sebagian besar anggota mengikutinya ke dalam organisasi baru itu.[37]
Sasaran utama tindakan represif Belanda di Sumatera Barat bukanlah para penenun dan pedagang Silungkang, melainkan para aktivis di tambang Ombilin dan para pengorganisir politik dan serikat mereka yang dipimpin oleh Sarikat Rakyat cabang Sawahlunto. Cabang ini menerbitkan dua surat kabar yang didistribusikan secara luas tidak hanya di Sawahlunto tetapi di banyak kota dan desa lain di Sumatera Barat serta memiliki pembaca yang meningkat menjadi sepuluh ribu setelah Belanda menangkap pemimpinnya pada tahun 1924 dan 1925.[38]
Padang, kota pelabuhan terpenting di Sumatera Barat, dengan populasi sekitar 45.000 jiwa,[39] adalah pusat kegiatan politik utama ketiga di Sumatera Barat. Di sanalah para pedagang pribumi berskala besar yang memberikan dukungan mereka terhadap sekolah-sekolah, masyarakat sosial dan keagamaan serta dukungan bagi pengembangan organisasi politik komunis dan juga kegiatan antikolonial secara umum.
Sarikat Usaha didirikan di Padang pada tahun 1914. Sekretarisnya adalah Mohd. Taher Marah Sutan, “seorang idealis pekerja keras” yang bekerja sebagai juru tulis di pelabuhan, dan penyelenggaranya, Sutan Said Ali, yang mengajar di sekolah Adabiah yang juga seorang penulis.[40] Dorongan utama di balik pembentukan Sarikat Usaha adalah mirip dengan Sarikat Islam di Jawa, sebuah upaya oleh para pedagang pribumi di kota pelabuhan untuk melakukan proteksi dari dominasi perdagangan Belanda dan Cina.[41] Diantara para saudagar Padang yang terkenal adalah Abdullah Basa Bandaro, seorang pria yang seperti dijelaskan oleh Taufik Abdullah, “menjaga hubungan baik dengan pejabat Belanda di Padang” dan berhubungan erat dengan Abdullah Ahmad dalam mendirikan sekolah Adabiah.[42] Namun Basa Bandaro pada awal 1920-an juga merupakan penyokong keuangan utama Djago-Djago, Pemandangan Islam, dan surat kabar lainnya yang diterbitkan oleh Sarikat Rakyat di Padangpanjang. Dia adalah salah satu pendukung utama Tan Malaka dan penyalur utama dalam mendistribusikan karya dan pamflet Tan Malaka kepada para pengikutnya di Jawa.[43] Pada awal 1920-an Sarikat Usaha telah menjadi organisasi payung bagi kelompok-kelompok politik dan agama yang condong ke arah politik Tan Malaka.[44] Pada bulan Maret 1923, Sutan Said Ali meninggalkan Sarikat Usaha untuk membantu mendirikan cabang lokal partai komunis, tetapi ia segera ditangkap dan menghabiskan beberapa bulan dipenjara di Jawa.
Padang adalah kota yang menjadi sasaran Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa sebagai pusat pengembangan komunisme di Sumatera Barat. Kepala cabang partai ini di Padang adalah Magas Abdul Madjid, seorang pemuda, lahir di Sumatera Barat tetapi dengan seorang ibu Jawa, yang bersekolah di sekolah Inggris di Singapura dan sekembalinya ke Jawa telah menjadi aktif dalam gerakan komunis. Di Semarang ia bertemu Semaun dan para pemimpin PKI lainnya yang mengangkatnya sebagai propagandis resmi komunis untuk Sumatera Barat.[45] Cabang komunis di Padang awalnya tidak terlalu berhasil dalam menyebarkan propagandanya. Magas dan para pengikut mudanya “tidak dianggap serius” dan hanya mendapat sedikit dukungan.[46] Baru pada awal tahun 1924, setelah penangkapan Belanda terhadap Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dan penggerebekan berikutnya di rumah-rumah tokoh komunis Sumatera Barat yang terkenal, pusat operasi komunis pindah ke Padang. Tidak berapa lama kemudian Magas ditangkap dan pada akhir 1924 dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara.[47] Sutan Said Ali, yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1923, mengambil alih komunis bagian Padang dan ia menjadi perwakilan Sumatera Barat di Komite Pusat Partai Komunis.[48] Di bawah kepemimpinannya, anggota partai komunis di Padang bertambah menjadi hampir dua ratus pada akhir tahun 1925.[49]
*Versi sebelumnya dari artikel ini diberikan sebagai ceramah untuk Program Asia Tenggara di Cornell University pada tanggal 15 Februari 1996. Penelitian untuk artikel ini dilakukan pada tahun 1995 sebagai bagian dari proyek yang lebih besar tentang sejarah modern Sumatera Barat dibawah hibah dari Dewan Riset Ilmu Sosial (Social Science Reseacrh Council). Saya ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka.
**Artikel ini diterbitkan untuk pendidikan tidak untuk tujuan komersil. Diterjemahkan oleh Alif Maulana dari Audrey Kahin, The 1927 Communist Uprising: A Reappraisal, (Indonesia, vol 62, 1996).
Ilustrasi @teawithami
Catatan kaki:
[1] Harry J. Benda dan Ruth T. McVey, ed., The Communist Uprisings of 1926 – 1927 in Indonesia: Key Documents (Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1960), hal. 115 – 116. Dalam volume ini, dokumennya berjudul “The Course of the Communist Movement on the West Coast of Sumatra,” yang merupakan terjemahan dari bagian I (“De Gang der Communistische Beweging ter Sumatra’s Westkust”) dalam Rapport van de Commissie van Onderzoek, vol. 1 (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1928), hal. 1 – 92. Bagian kedua dari Rapport van de Commissie van Onderzoek, “Oorzaken en Gevolgen van het Communisme ter Westkust,” diterjemahkan menjadi “The Development of the Communist Movement on the West Coast of Sumatra,” dalam B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, bagian I (The Hague: Van Hoeve, 1955), hal. 83 – 166.
[2] Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir pada tahun 1897 di Pandam Gadang dekat Suliki, Sumatera Barat. Setelah bersekolah di SMA di Bukittinggi ia dilatih sebagai guru di Belanda. Padatahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan mengajar pertama kali di sebuah perkebunan di Sumatera Timur, kemudian pindah ke Semarang pada tahun 1921 dimana ia mendirikan sekolah berdasarkan prinsip Komunis. Ia menggantikan Semaun sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir tahun 1921. Kemudian diasingkan oleh Belanda pada bulan Maret 1922. Pertama kali ia pergi ke Belanda dan kemudian ke Uni Soviet di mana pada pertengahan tahun 1923 ia diangkat sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Ia mendirikan kantor pusatnya di Kanton pada Desember 1923, lalu pindah ke Manila pada 1925 dan pada 1926 ke Singapura. Tentang Tan Malaka, lihat khususnya Harry A. Poeze, Tan Malaka: Levensloop van 1897 tot 1945 (Den Haag: Smits, 1976); lihat juga Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of Revolution (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 269 – 274.
[3] Tentang pemberontakan Banten, lihat Michael Charles Williams, Komunisme, Agama, dan Pemberontakan di Banten (Athena, Ohio: Pusat Studi Internasional Universitas Ohio, 1990). Tentang pemerontakan di Batavia, lihat Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), hal. 343 – 344.
[4] Charles O. van der Plas, “Gegevens betreffende de godsdienstige stroomingen in het gewest Sumatra’s Westkust” (Weltevreden, 16 Mei 1929), hal. 3.
[5] Tentang Perang Paderi, lihat Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 385 – 492; Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy (London & Malmo: Curzon Press, 1983), hal. 117 – 225. Tentang pemberontakan tahun 1908, lihat Ken Young, Islamic Peasants and the State: the 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra (New Haven: Yale Southeast Asia Studies Monograph 40, 1994)
[6] Young, Islamic Peasants, hal. 224.
[7] Ibid., hal. 228 – 229; Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 218 – 219.
[8] Lihat Schrieke, Indonesian Sociological Studies, hal. 96 – 99, ia mencatat dampaknya masih terasa hingga 1929.
[9] Tentang hubungan antara kelompok-kelompok Islam independen dan kelas-kelas pedagang pada akhir abad ke-19, lihat Young, Islamic Peasants, hal. 101—103.
[10] Tampaknya ada penegasan dalam pengantar Benda dan McVey terhadap terjemahan bahasa Inggris dari dokumen Belanda tentang pemberontakan 1926/27, bahwa “Wilayah Minangkabau adalah contoh yang baik dari ‘komunitas tertutup’ yang terpapar oleh gelombang disintegratif dunia modern.” Penelitian sejarah baru-baru ini, terutama dari Christine Dobbin, Jane Drakard, dan Ken Young telah menunjukkan sejumlah kekuatan dan kontak dataran tinggi Sumatera Barat dengan dunia luar jauh sebelum abad kedua puluh.
[11] Sensus penduduk tahun 1930 memperkirakan penduduk Padangpanjang berjumlah 6.842 jiwa pada tahun 1920 dan meningkat menjadi 9.609 jiwa pada tahun 1930.
[12] Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera (Medan: Pustaka Nasional, 1950), hal. 40.
[13] Schrieke mencatat bahwa kata kapitalisme “’diterjemahkan’ ke dalam bahasa Minangkabau, sebagai kapi, bahasa Minangkabau yang berarti dengan kafir, ditambah setali, potongan dua puluh lima sen Belanda.” Ini, kemudian, menggabungkan menjadi “perasaan perlawanan terhadap orang-orang kapi dan terhadap pemerintah yang memaksa mengambil pajak.” Schrieke, Indonesian Sociological Studies, hal. 156 – 157.
[14] Beberapa rekan senior dalam kaum muda tersebut yang terkenal adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Syekh Mohammad Djamil Djambek dan Dr. H. Abdullah Ahmad. Ketiga orang ini kembali ke Sumatera Barat dari Mekah pada dekade awal abad ke-20 dan sangat aktif dalam mereformasi pendidikan Islam. Tentang mereka, lihat Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971), Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 – 1942 (Singapore: Oxford University Press, 1973), dan Hamka, Ajahku, cetakan ketiga (Jakarta: Djajamurni, 1967).
[15] H. Abdoel Malik Karim Amrullah (Hamka), “Saja Teringat,” dalam Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah School Poeteri Padang Pandjang (Padangpanjang: Dinijjah School Poeteri, [1938]), hal. 26. Ridha was dianggap oleh beberapa orang sebagai “bapak nasionalisme Arab” dan digambarkan sebagai “pemikir muslim paling berpengaruh di generasinya.” Lihat Edward Mortimer, Faith & Power: The Politics of Islam (New York: Random House, 1982), hal. 247, 249.
[16] Hamka, “Saja Teringat,” hal. 26; Deliar Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 41.
[17] Hamka, “Saja Teringat,” hal. 24 – 26. Hamka mencatat bahwa sekolah Adabiah yang didirikan Abdullah Ahmad menerima subsidi. Pemerintah kolonial memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah swasta dengan guru-guru berkulifikasi yang memberikan pengajaran dalam beberapa bidang seperti menulis, membaca dan arimatika. “Vereeniging-Vereeniging di Sumatra,” Disarikan dari Oetoesan Melajoe, December 1917, No. 243 (Van Vollenhoven Institute Library, Leiden).
[18] Menurut Deliar Noer nama Al Munir berarti “yang menyinari” dan berpedoman pada Al Manar yang didirikan di Kairo oleh Rasjid Ridha pada tahun 1898 dan dipimpin olehnya.
[19] Doenia Achirat (Fort de Kock), 10 Juli 1924. Ini adalah kemunculan Al Munir di Sumatera Barat. Surat kabar dengan bahasa Arab dan diterbitkan dari tahun 1911 – 1915 ketika pabrik percetakannya hancur terbakar. Mahmud Junus, “Peranan Surau dan Masjarakat,” Tulisan ini dipresentasikan dalam seminar “Islam di Minangkabau,” 23 – 26 Juli 1969 (stensil, Minang Permai), hal. 10.
[20] H. M. D. Datuk Palimo Kajo, “Riwajat Ringkas Thawalib Padangpandjang,” Tulisan ini dipresentasikan saat upacara pembukaan asrama baru dan perayaan ulang tahun Thawalib Padangpanjang ke-55, 11 September 1966 (Naskah dalam kepemilikan penulis), hal. 9.
[21] Hamka, Ajahku, hal. 132.
[22] Lihat J. Th. Petrus Blumberger, De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie (Haarlem: Tjeenk Willink, 1935), hal. 40 – 41. Dt. Batuah lahir pada tahun 1895 di Koto Laweh, dekat Padangpanjang. Setelah tamat dari sekolah dasar Belanda, ia pergi belajar ke Mekah selama 6 tahun (1909 – 1915) sebelum akhirnya kembali ke Sumatera Barat dan menjadi murid dari Haji Rasul. Dia juga mengajar di Koto Laweh. Lihat Hamka, Ajahku, hal. 130 – 131; Mardjani Martamin et al., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, 1977/1978), hal. 95.
[23] Natar Zainuddin lahir di Sumatera Barat, tetapi dibawah ke Aceh sejak kecil. Dia pernah bekerja sebagai konduktor trem sebelum dikirim kembali ke Sumatera Barat pada bulan Mei 1923 dibawah kebijakan pemerintah kolonial yang memulangkan orang-orang yang dianggap berbahaya ke kampung halamannya. Lihat Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 103; dan R. Kern, “Politiek Toestand ter Sumatra’s Westkust; Instelling Minangkabauraad, Adviz aan G.G. 30 Juni 1924” (Collection Kern: Wd Adviseur Inlandse Zaken [Adviz] 1920 – 1926) [selanjutnya adalah Kern Collection] (Microfilm 617, Kroch Library, Cornell University), # 144, pp. 19 – 21
[24] Takashi Shiraishi, An Age in Motion (Ithaca: Cornell University Press, 1990), hal. 265.
[25] Ibid., hal. 261 – 262. Haji Batuah mungkin saja menghadiri kongres ini. dan patut dicatat bahwa laporan pidato Misbach dibuat oleh Landjoemin Datuk Toemenggoeng, seorang agen Minangkabau dari Dinas Penerangan Belanda yang akan berperan dalam memerangi pengaruh Komunis di Sumatera Barat selama beberapa tahun ke depan.
[26] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 103.
[27] Kern, “Politieke Toestand,” (Koleksi Kern # 144), hal. 21 – 23. Djago-Djago dan Pemandangan Islam tidak sendirian dalam hal ini. Doenia Achirat, yang diterbitkan di Bukittinggi (Fort de Kock), juga membahas persoalan serupa, dengan alasan: “komunisme tidak mencampuri urusan agama dan setiap komunis dapat menjalankan agamanya sendiri… seperti yang kita ketahui, di bawah Islam, seseorang dituntut aktif di tengah masyarakat dan tentu saja Nabi Muhammad sangat mencintai orang miskin. Ini adalah satu hal yang dianggap paling penting oleh komunisme.” Doenia Achirat, 24 Mei 1924.
[28] “Afschrift Proces Verbaal” untuk Djamaloedin Tamin, 11 Desember 1932 di Batavia, hal. 2. (Mr. 963 geh/33 Algemene Rijksarchief [selanjutnya ARA]). Saya berterima kasih kepada Takashi Shiraishi karena mengizinkan saya untuk menyalin dokumen ini. Lahir di Koto Gadang, dekat Bukittinggi, pada tahun 1900, Djamaluddin Tamin lulus dari sekolah dasar negeri pada tahun 1913 dan merupakan pendiri Sarikat Islam di Sumatera Barat. Dia telah menjadi guru dan pengurus di sekolah Thawalib sejak 1918. Lihat juga Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, diterjemahkan dan diperkenalkan oleh Helen Jarvis. 3 jilid (Athena: Ohio University Center of International Studies, 1991), 3: 355 –356.
[29] Djamaluddin Tamim, Sedjarah PKI, jilid I (naskah.), hal. 10. “Boffet Merah” juga disebutkan oleh H. Datuk Palimo Kajo dalam bukunya “Riwajat Ringkas Thawalib Padangpandjang,” hal.9, dan dalam D.P. Murad, ed., Sungaipuar (Jakarta: Yayasan Sungaipuar, 1966), hal. 41.
[30] Lihat Doenia Achirat, 16 November 1923, dan Ibid., 26 November 1923, yang mencantumkan penangkapan dan penggerebekan lain yang dilakukan pemerintah secara bersamaan.
[31] Doenia Achirat melaporkan banyak pertemuan untuk melakukan protes yang diselenggarakan oleh Sarikat Islam dan partai komunis selama beberapa bulan berikutnya. Djamaluddin Tamin sendiri ditangkap pada Desember 1923 karena artikel yang ia terbitkan di Pemandangan Islam (mungkin memprotes penangkapan rekan-rekannya). Dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada bulan Mei 1924 dan menghabiskan lima belas bulan di penjara. Ia dibebaskan pada bulan September 1925. Doenia Achirat, 10 Mei 1924; “Afschrift Proces Verbaal” untuk Djamaloedin Tamin, hal. 1.
[32] “Voorstel om Natar Zainoedin en Hadji Datoeq Batoewah te Intemeren, Adviz aan G.G., 23 Juli 1924,” (Kern Collection, #145), hal. 6. Baru pada tahun 1924 apa yang disebut “Sekolah Rakyat” didirikan di Padangpanjang, meniru jaringan sekolah radikal yang pertama kali didirikan di Semarang oleh pemimpin Komunis Tan Malaka yang diasingkan di Filipina.
[33] A. Muluk Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926 – 1927 (Jakarta: Mutiara, 1981), hal. 45 – 46.
[34] Amri Marzali, “Orang Silungkang di Jakarta,” (Tesis, Universitas Gajah Mada, 1973), hal. 31.
[35] Ibid., hal. 35. Nawir Said, Pemberontakan Silungkang 1927 Sumatra Barat (Jakarta: Pentja, 1963), hal. 7. Lihat juga entri untuk “Silungkang” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-lndie, vol. 3 (Den Haag: Nijhoff, 1919), hal. 774, yang menggambarkan kurangnya lahan subur di daerah itu, menulis, “Para wanita menenun sebagai alat penghidupan. Wanita lokal dan wanita Eropa yang bersimpati akan hal ini telah menangani masalah ini dan membentuk organisasi koperasi yang membeli bahan dan menjual potongan pakaian jadi dengan harga tetap baik ke pedagang keliling atau di pasar yang lebih besar. Jadi Silungkang telah menjadi pusat seni tekstil yang terkenal.”
[36] Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 50.
[37] Ibid., hal. 47-48. Pada kongres khusus yang diadakan pada bulan Maret 1923, partai komunis memutuskan untuk mendirikan sebuah badan untuk menyaingi Sarikat Islam dimana pun berada; badan baru ini disebut Sarikat Rakyat dan akan disubordinasi langsung ke Partai Komunis Indonesia (PKI) itu sendiri. Lihat McVey, Bangkitnya Komunisme Indonesia, hal. 155 – 157.
[38] Nawawi Arief, pemimpin Suara Tambang ditangkap pada bulan Februari 1924 serta Idrus, pemimpin Panas, dan seorang mantan pemimpin komunis di Padang ditangkap pada tahun 1925. Nasution, Pemberontakan Sarikat Rakyat, hal. 60; Doenia Achirat, 5 Maret 1924. Menurut Mestika Zed, yang memiliki akses ke salinan Suara Tambang, “itu tidak hanya melaporkan berita harian, tetapi juga melaporkan dan menyelidiki insiden sebelumnya seperti pemogokan oleh pekerja adat karena perlakuan buruk oleh mandor tambang batu bara di sana.” Lihat Mestika Zed, “Pemberontakan Silungkang pada Tahun 1927: Suatu Studi tentang Gerakan Sosial di Sumatera Barat” (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 1980), hal. 115.
[39] Populasi Padang meningkat dari 38.169 jiwa pada 1920 menjadi 52.052 di tahun 1930 (sekitar 5 persennya adalah orang Eropa dan penduduk Tionghoa sekitar 20 persen).
[40] Lihat Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs, ed. C. L. M. Penders (Singapore: Gunung Agung, 1981), hal. 32 – 36 tentang pengaruh dari Taher Marah Sutan and Sutan Said Ali. Marah Sutan hanya bersekolah hingga kelas 5 di sekolah dasar, tapi menurut Hatta, Marah Sutan “sangat tertarik dalam pemajuan pendidikan anak muda, ia percaya bahwa hanya melalui pengetahuan rasional dan saintifiklah masyarakat yang bertanggung jawab bisa tercipta.” Ibid., hal. 32. Lihat juga A. A. Navis, “Bank Nasional dalam Sejarah Nasional” (naskah.), hal. 86 – 88.
[41] Hatta menggambarkan kantor Sarikat Usaha sebagai “tempat bertemunya sejumlah pemimpin dan intelektual di Padang.” Hatta, Indonesian Patriot, hal. 32.
[42] Lihat Abdullah, Schools and Politics, hal. 25.
[43] Tamin, Sedjarah PKI, hal. 15.
[44] Navis, “Bank Nasional,” hal. 95.
[45] Magas adalah kepala Sarikat Rakyat. Doenia Achirat, 5 December 1923. Dia dilaporkan menerima gaji 40 gulden sebulan dari PKI. Lihat Toemenggoeng, “Geheime Nota (Kern Collection, # 146), hal. 1”; dan “Politieke Toestand ter Sumatra’s Westkust: Instelling Minangkabauraad. Adviz. aan G.G. 30 Juni, 1924 (Kern Collection # 144), hal. 18.” Pemimpin Sarikat Rakyat di Padang lainnya adalah A. Wahab (sekretaris), Hamzah, K. W. A. Wahab (seorang Jawa) dan Kaharoedin. (Ibid.)
[46] “Nota voor den Adviseur voor Inlandsche Zaken: De jongste gebeurtenissen ter Westkust van Sumatra,” ditandatangani oleh Toemenggoeng (Kern Collection # 148), hal. 8.
[47] Dia ditangkap pada tanggal 7 Maret 1924 dan dihukum pada bulan November. Doenia Achirat, 12 Maret dan 10 November 1924.
[48] Ibid., 26 November 1923.
[49] Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 99. Menurut catatan PKI, sampai akhir tahun 1925, cabang Padang memiliki 190 orang anggota, Padangpanjang 38 orang, Silungkang 19 orang, Solok 25 orang, dan Sawahlunto 13 orang. Ibid., hal. 106, n. 21.