Silakan tulis kata kunci “Bundo Kanduang” di mesin pencari Anda. Maka yang Anda dapati adalah jurnal-jurnal ilmiah serta artikel-artikel yang sebagian besarnya menampilkan Bundo Kanduang sebagai sosok hebat, memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakatnya sehingga lebih bebas untuk mengembangkan potensi, menjaga martabatnya, serta lebih bebas mengemukakan pendapat. Gambaran umum tentang Bundo Kanduang ini kemudian diproyeksikan secara serampangan terhadap seluruh perempuan Minangkabau. Dan karena Sumatera Barat yang juga secara serampangan disamakan dengan Minangkabau, maka konsep Bundo Kanduang pun diproyeksikan secara ‘brutal’ terhadap perempuan Sumatera Barat.
Berdasarkan pengamatan empiris cara pandang yang kelewat general itu juga saya temui dalam berbagai forum diskusi serta percakapan sehari-hari. Wacana yang kini berkembang bahkan lebih jauh dari itu. Dalam membicarakan gagasan-gagasan feminis, banyak kenalan yang saya temui menganggap feminisme tidak relevan dengan Minangkabau. Karena Minangkabau, dengan sistem matrilinealnya dan para Bundo Kanduangnya, dianggap sudah ‘feminis’ dengan sendirinya. Bahkan ada yang mengatakan kalau Minangkabau dari sononya sudah ‘beyond feminis’. Disebut-sebutlah Rahmah el-Junusiah, Rohana Kuddus, atau Rasuna Said sebagai prototype Bundo Kanduang—produk kebudayaan yang ‘beyond feminis’ tadi. Dan karenanya, Sumatera Barat, yang dianggap sama dengan Minangkabau yang beyond feminis, tidak membutuhkan feminisme. (Hal ini makin nampak terang dalam gerakan penolakan RUU-PKS yang dianggap oleh sebagian mahasiswa di Sumatera Barat kental dengan gagasan feminis yang berlawanan dengan norma-norma budaya Minangkabau.)
Cerita tersebut memang indah. Bayangkan, tanpa tercampuri gagasan-gagasan Dunia Barat darimana kolonialisme yang jahat itu berasal, suatu kebudayaan di nusantara sudah memiliki kebudayaan yang sama canggihnya bahkan lebih unggul. Saat Eropa masih terkungkung patriarki, di Nusantara, tepatnya di Minangkabau, perempuan sudah punya privilese sedemikian rupa. Betapa indah. Dan karena ceritanya indah, maka orang-orang dengan gembira mengedarkannya dari mulut ke mulut, dari satu artikel ke artikel lain. Dari orang awan sampai kalangan feminis sendiri, yang curiga dengan Feminisme Barat dan mencari-cari bentuk ‘Feminisme Nusantara’, tak jarang yang percaya sepenuhnya dengan cerita indah ini. Lambat laun, orang pun beranggapan bahwa kondisi perempuan di Minangkabau dengan segala privilesenya baik-baik saja adanya. Orang pun akhirnya memiliki anggapan yang sama terhadap kondisi perempuan di Sumatera Barat. Berdasarkan anggapan keliru inilah muncul pernyataan terburu-buru bahwa ‘Sumbar tidak butuh feminisme’.
Tetapi yang namanya cerita, apalagi yang indah-indah, belum tentu benar semua. Di masa lalu, sebagian besar cerita indah tentang perempuan yang berdaya dan berkuasa itu hanya dialami oleh para perempuan keturunan bangsawan Minangkabau serta perempuan dari keluarga pegawai negeri masa kolonial yang muncul berkat mobilitas sosial yang terjadi pada masa tersebut. Sementara itu apa yang terjadi pada perempuan kelas bawah yang mengalami berbagai hambatan untuk melakukan mobilitas sosial, nyaris tidak dapat diketahui.
Hal krusial itulah yang sangat sering diabaikan: tidak semua perempuan di Sumatera Barat adalah perempuan Minangkabau dan tidak semua perempuan Minangkabau adalah Bundo Kanduang. Kita harus membedakan antara perempuan di Sumatera Barat dan perempuan Minangkabau. Yang pertama merupakan perempuan yang ada di Provinsi Sumatera Barat—Provinsi yang terlanjur identik dengan Minangkabau; sedang yang kedua merupakan perempuan dari etnis Minangkabau. Perempuan Minangkabau pun secara kasar terbagi dalam dua golongan, ada yang berasal dari keturunan bangsawan dan ada warga ‘kelas dua’ dari keturunan pendatang yang dengan satu dan lain cara menjadi bagian dari etnis Minangkabau.
Dengan membedakan begini, kita akan dapat melihat secara lebih jernih kondisi perempuan di Sumatera Barat dan dengan demikian kita dapat menimbang sejauh mana Sumatera Barat membutuhkan gagasan-gagasan feminis. Sejumlah pertanyaan perlu untuk diajukan. Misalnya, apakah dimensi patriarkis dalam kebudayaan Minangkabau sebagai kebudayaan dominan di Sumatera Barat berkontribusi terhadap ketidakadilan berbasis jender di Sumatera Barat? Jika benar, adakah perangkat budaya Minangkabau (atau Islam) yang mampu menetralisir hal tersebut? Atau apakah benar semua perempuan di Sumatera Barat berada dalam kondisinya yang normal, dan karena itu kampanye tentang kesadaran jender serta dorongan terhadap legislasi pro-kesetaraan jender tidak dibutuhkan? (soal ini akan coba saya bahas lebih jauh dalam tulisan di bagian II).
Sebelum menjawab itu semua, saya mengajak kita semua untuk mulai membicarakan persoalan perempuan di Sumatera Barat terlepas dari anggapan-anggapan keliru seperti di atas tadi. Pandangan yang kelewat general terhadap perempuan di Sumatera Barat justru akan mengaburkan realitas persoalan jender yang jauh lebih kompleks.
Membedakan Perempuan Minangkabau dan Perempuan di Sumatera Barat
Tidak semua perempuan di Sumatera Barat berada dalam sistem sosial yang membuat dirinya ‘aman’ serta memiliki ‘kebebasan’. Di Sumatera Barat, provinsi di mana mayoritas penduduknya adalah etnis Minang, tersebar para perempuan non-Minang. Mereka berasal dari keluarga transmigran atau keluarga yang karena sebab tertentu berimigrasi dari wilayah lain (Ini belum lagi kalau kita membicarakan perempuan Mentawai). Para perempuan non-Minang ini tentu saja bukan Bundo Kanduang—mereka bukan keturunan urang asa (orang asal, orang asli = bangsawan). Mereka tidak menguasai sawah, tanah, serta rumah pusaka, yang secara teori bakal menjamin kesejahteraan serta posisi yang bagus dalam masyarakat. Singkatnya, mereka tidak punya privilese sebagaimana ‘Bundo Kanduang’.
Para perempuan tersebut bekerja di perkebunan-perkebunan swasta, pertokoan, atau sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di kota-kota utama di Sumatera Barat. Mereka tidak memiliki jaring pengaman berdasarkan sistem kekerabatan untuk melindungi dirinya dari tindak kekerasan. Singkat kata, mereka berada dalam posisi yang rentan. Para perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di kota Padang, contohnya. Mereka bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa perlindungan serta regulasi yang jelas. Mereka dibayar di bawah upah minimum regional (UMR) dengan jam kerja yang panjang tanpa hari libur, bahkan ada yang melapor menerima tindak kekerasan dari majikannya. Mereka tidak berani bersuara untuk menuntut hak-haknya[1].
Kekerasan terhadap perempuan (dan anak perempuan)—baik kekerasan dalam rumah tangga mau pun kekerasan seksual—di Sumatera Barat terus terjadi dari tahun ke tahun. Antara tahun 2013 dan 2019 kekerasan terhadap perempuan rata-rata mencapai 80-100 kasus pertahun. Kasus tersebut adalah yang tercatat dalam laporan, belum termasuk kemungkinan adanya korban kekerasan yang takut melapor. Umumnya korban berasal dari lapisan masyarakat bawah[2], yang berarti mereka bukan bagian dari keluarga bangsawan darimana cerita-cerita indah tentang para Bundo Kanduang yang digdaya berasal.
Perempuan Minangkabau dan Struktur Sosial yang Hierarkis
Menjadi perempuan Minangkabau pun sesungguhnya tak otomatis membuat semua perempuan berada dalam kondisi yang ‘aman’. Selain Bundo Kanduang yang terkenal itu, juga terdapat perempuan dari keluarga pendatang yang berinduksemang kepada salah satu kaum di Minangkabau. Mereka disebut kemenakan bawah lutut. Ini adalah kategori kekerabatan baru untuk hamba sahaya yang di masa lalu menghamba pada kaum tertentu. Setelah otoritas kolonial melarang perbudakan, maka muncul istilah kemenakan bawah lutut. Perempuan kemenakan bawah lutut ini, sama rentannya dengan perempuan non-Minang.
Walaupun mereka dianggap dunsanak (kerabat) oleh induk semangnya, namun mereka tidak berhak menguasai sumber-sumber ekonomi seperti sawah dan kebun. Mereka cuma mendapat hak pakai atas beberapa bidang tanah yang sewaktu-waktu dapat dicabut. Untuk dapat berdaya dan kemudian ‘naik kelas’, mereka harus berusaha tanpa sepenuhnya bergantung pada sumber-sumber ekonomi tersebut. Meski mereka berada dalam ‘lindungan’ suatu kaum, tapi itu tidak otomatis membuat perempuan dari kalangan ‘kelas dua’ ini memiliki privelese yang sama dengan perempuan bangsawan dari kaum induk semangnya.
Jadi, di Sumatera Barat terdapat perempuan yang berasal dari keturunan bangsawan, dan perempuan ‘kelas dua’, non-bangsawan. Namun, realitas perempuan ‘kelas dua’ di Sumatera Barat, terdistorsi oleh ideal Bundo Kanduang. Keberadaan mereka terbenam di bawah cerita indah tentang Bundo Kanduang yang digdaya.
Asal-usul Bundo Kanduang dan Politik Representasi Perempuan Sumatera Barat
Setelah memaparkan kondisi-kondisi umum perempuan non-bangsawan di Sumatera Barat, sekarang pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah: kenapa para perempuan ‘kelas dua’ tersebut seolah menjadi invisible, sehingga segala problem yang mereka alami juga luput dari perhatian publik dan sampai taraf tertentu juga luput dari perhatian pemerintah?[3] Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menelusuri sejarah politik representasi Bundo Kanduang serta hubungannya dengan politik geografi sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Sumatera Barat awalnya adalah wilayah administratif (keresidenan) kreasi Kolonial Belanda. Demi kontrol atas sumber-sumber ekonomi di Pesisir Barat Sumatera, Negara Kolonial Belanda sengaja menyesuaikan batas-batas geografis Keresidenan Sumatera Barat dengan wilayah yang dihuni etnis Minangkabau di dataran Sumatera bagian tengah. Hal tersebut disebabkan sistem pemerintahan tidak langsung Kolonial Belanda. Sistem tersebut mengharuskan mereka mengkooptasi kepala-kepala suku (bangsawan-bangsawan lokal) yang punya otoritas di wilayahnya masing-masing ke dalam birokrasi kolonial. Demi birokrasi yang lebih efisien, Kolonial Belanda kemudian melebur kawasan dataran tinggi dan daerah pesisir pantai barat menjadi satu wilayah administratif. Di wilayah adminsitratif yang dileburkan tersebut, yang sangat identik dengan wilayah administratif Sumatera Barat hari ini, etnis Minangkabau otomatis menjadi etnis yang dominan secara politik dan budaya.
Minangkabau Raad, semacam DPRD-nya Sumatera Barat, kemudian didirikan. Dewan perwakilan yang bisa dikatakan tidak begitu berpengaruh ini, diisi oleh mayoritas etnis Minang. Pemilihan nama Minangkabau Raad (Dewan Minangkabau), bukannya Sumatera’s Westkust Raad, menunjukkan keinginan para bangsawan Minang untuk menjadi representasi resmi dari berbagai etnis yang mendiami wilayah administratif tersebut. Sejak saat itu Sumatera Barat menjadi identik dengan Minangkabau.
Dalam proses sejarah selanjutnya, Sumatera Barat menjadi makin identik dengan Minangkabau. Simbol-simbol budaya Minangkabau menjadi simbol budaya yang dominan di Provinsi Sumatera Tengah pada kurun 1950’an. Bahasa Minang, diupayakan agar menjadi bahasa utama untuk Sumatera Tengah. Bukittinggi, yang terletak wilayah inti kebudayaan Minangkabau, diposisikan sebagai Pusat Sumatera Tengah. Penulisan sejarah Minangkabau dimodifikasi sedemikan rupa sebagai legitimasi atas klaim terhadap kawasan Riau dan Jambi yang kaya dengan sumber-sumber ekonomi yang dianggap sebagai bagian dari Minangkabau Raya[4]. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, simbol-simbol kebudayaan Minangkabau menjadi simbol dominan Provinsi Sumatera Barat. Misalnya dalam soal arsitektur kantor-kantor pemerintah yang dibangun menyerupai rumah gadang. Singkatnya, dengan terus berupaya menjadi representasi atas suatu wilayah adminsitratif seperti Sumatera Tengah atau Sumatera Barat, para elit Minangkabau mempertahankan dominasi politiknya[5].
Beriringan dengan proses politik representasi tersebut, kebudayaan Minangkabau yang kompleks mengalami reduksi termasuk dalam soal identifikasi perempuan. Pada masa kolonial, Bundo Kanduang belum dikenali sebagai panggilan utama bagi perempuan Minangkabau, seperti yang secara keliru dipahami banyak orang hari ini. Setiap wilayah di Minangkabau memiliki penamaan beragam. Perempuan dari kalangan bangsawan diidentifikasi sebagai Toeankoe atau Rangkaja (rangkayo, 0rang Kaya). Perempuan-perempuan berpangkat (untuk ukuran jamannya, perempuan ini adalah perempuan madjoe, progresif) dipanggil engkoe atau sitti. Ibu pada umumnya dipanggil, amai, amak, biai, one, iniak[6] dan seterusnya.
Pada masa-masa itu, Bundo Kanduang lebih dikenal sebagai tokoh dalam kaba (sastra lisan), Cindua Mato. Kaba itu sendiri sangat populer. Dalam kaba itu, Bundo Kanduang digambarkan sebagai figur matriark yang punya kuasa di sebuah kerajaan kuno Minangkabau yaitu Pagaruyung. Dalam kisah dengan sudut pandang istana ini, Bundo Kanduang menguasai serta memerintah beberapa wilayah kerajaan Pagaruyung. Kisah ini menginsipirasi para perempuan bangsawan terdidik di Sumatera Barat. Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS), suatu organisasi perempuan bangsawan se-Sumatera yang berpusat di Minangkabau, mengadopsi kaba tersebut menjadi drama[7]. Sampai di sini, Bundo Kanduang masih dikenal sebatas sebagai figur dalam sastra lisan. Baru setelah kemerdekaan Bundo Kanduang mulai dipakai sebagai nama organisasi.
Pada 1950-an Bundo Kanduang sudah dipakai sebagai nama suatu organisasi perempuan yang merupakan eksponen dari Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), sebuah organisasi bangsawan Minangkabau. Saat itu Bundo Kanduang sebagai organisasi hanyalah salah satu dari sekian organisasi perempuan di Sumatera Barat (waktu itu berada dalam wilayah administratif Propinsi Sumatera Tengah). Dalam buku ¼ Abad Gerakan Wanita Indonesia di Sumatera Tengah (1953) yang disusun bersama oleh berbagai organisasi perempuan di Sumatera Tengah, nama organisasi Bundo Kanduang hanya disebut sekali lalu. Organisasi Bundo Kanduang hanyalah salah satu organisasi perempuan yang tidak begitu signifikan. Selain berisi berisi profil berbagai organisasi perempuan di Sumatera Tengah, buku ini juga menunjukkan keberagaman orientasi politik perempuan. Pada masa itu terdapat berbagai organisasi perempuan seperti Perwari, Aisyah, Perti Wanita, Wanita Sedar, serta Gerwis. Setiap organisasi memiliki visi politik masing-masing. Ada organisasi perempuan yang memperjuangkan perbaikan nasib perempuan dan masyarakat umum di bidang sosial dan ekonomi, ada yang menentang kebijikan negara yang merugikan perempuan, memberantas buta huruf, serta telibat dengan gerakan buruh. Pada masa-masa itu, di menjadi perempuan berarti menjadi berdaya serta terlibat dalam persoalan sosial yang konkret.
Keberagaman orientasi tersebut hilang ketika dimulainya pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Definisi mengenai keperempuanan kini ditentukan oleh rezim ototiter tersebut. Perempuan dicecoki oleh apa yang disebut Julia Suryakusuma (2008) sebagai Ibuisme Negara. Suatu idiologi yang memandang perempuan sudah seharusnya berada dalam posisi subordinat, apolitis, dan lebih berfungsi sebagai asesoris dan sekaligus berfungsi sebagai penyebar gagasan perempuan bikinan negara tersebut. Di tengah penyeragaman atas defenisi perempuan yang dilakukan Orde Baru tersebut, organisasi Bundo Kanduang dimunculkan ke permukaan dan menjadi organisasi perempuan yang berpengaruh.
Pada 1974 di bawah rezim Orde Baru, organisasi Bundo Kanduang kembali muncul di Sumatera Barat sebagai wadah bagi perempuan bangsawan Minangkabau, di samping Organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Perempuan (PKK) yang nampaknya dinilai kurang efisien untuk Sumatera Barat. Penting untuk dicatat bahwa organisasi Bundo Kanduang adalah bagian dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)—suatu organisasi penghulu yang diinisiasi oleh militer pro Orde Baru untuk mengontrol dan membersihkan para penghulu dari idiologi komunis. Organisasi Bundo Kanduang beranggotakan perempuan dari kalangan atas dan di atas kertas bertujuan untuk melestarikan Adat Minangkabau. Akan tetapi pada kenyataannya Orde Baru memanfaatkan organisasi Bundo Kanduang untuk kepentingan politiknya. Dengan mengondisikan Bundo Kanduang sebagai representasi perempuan Minangkabau, Orde Baru menginginkan munculnya tipikal perempuan tertentu yang memiliki aspirasi politik yang homogen. Sejak saat itu, bisa dikatakan Bundo Kanduang menjadi representasi resmi perempuan Minangkabau dan akhirnya perempuan Sumatera Barat[8].
Kerancuan defenisi antara Sumatera Barat sebagai Provinsi dengan Sumatera Barat sebagai kawasan yang dihuni mayoritas etnis Minangkabau sebagai akibat politik geografi Kolonial Belanda di masa lalu, akhirnya mendorong Bundo Kanduang menjadi tidak hanya representasi perempuan Minangkabau namun juga perempuan Sumatera Barat. Konsep Bundo Kanduang sejak Orde Baru sekilas nampak sebagai konsep yang cair–karena beberapa tokoh perempuan seperti istri pejabat yang non-Minang digelari Bundo Kanduang–akan tetapi ia pada dasarnya hanya mewakili perempuan dari kelas atas. Fungsinya pun tentu mirip dengan PKK, yaitu sebagai alat intervensi negara ke dalam institusi keluarga di satu sisi dan untuk menjadi ‘pusat teladan’ bagi perempuan lain di sisi satu lagi[9]. Bundo Kanduang yang hari ini secara serampangan dipakai untuk mengidentifikasi perempuan Minangkabau dan juga perempuan Sumatera Barat adalah konsep elitis yang tidak pernah benar-benar mewakili perempuan Sumatera Barat lainnya. Di luar konsep elitis tersebut, perempuan terus mengalami berbagai bentuk opresi. (*)
Ilustrator: Talia Sartika Bara.
Catatan Kaki:
[1] nuraniperempuan.org “Pekerja Rumah Tangga: Dibutuhkan Namun Diabaikan Refleksi Hari Buruh Internasional 2013” diunduh Januari 2018.
[2] Diolah dari nuraniperempuan.org “inilah Angka Kekerasan Terhadap Perempuan 4 Tahun Terakhir di Sumbar”, diunduh Januari 2018 dan “Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat di Sumbar”, https://www.tagar.id/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-di-sumbar, diakses Januari 2020.
[3] Pemerintah daerah sendiri telah menyediakan perangkat perundangan untuk menangani persoalan ketidakadilan berbasis jender (lihat Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak). Akan tetapi peraturan ini belum mencakup perlindungan terhadap hak pekerja perempuan di sektor ekonomi Informal.
[4] Pembahasan lebih jauh mengenai dinamika wilayah adminitrasi Sumatera Barat dapat dilihat dalam Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat: dari VOC Hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006 dan Gusti Asnan Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat 1950an. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 terutama bagian Zaman Baru Ekspresi Baru, hal 122-135.
[5] Salah satu kesepakatan para elit Minangkabau dengan Pemerintahan Pusat Orde Baru adalah Gubernur Sumatera Barat harus berasal dari etnis Minangkabau.
[6] Dt. Seri Maharadja, Kitab Adat Sopan Santoen Orang Minangkabau. Merapi & co: Fort de Cock, 1922.
[7] Taufik Abdullah, Beberapa Catatan Kaba Cindua Mato: Suatu Contoh Sastera Tradisional Minangkabau. Jurnal Terjmahan Alam dan Tamadun Melayu I (2009) 117-137.
[8] Untuk pembahasan mengenani organisasi Bundo Kanduang silakan liaht Israr Iskandar, Perempuan dan Mitos Demokrasi Minang. Jurnal Analisis Sejarah Universitas Andalas, Vol. 4, No. 1, 2014. Lihat juga M Nur, Bundo Kanduang di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah. Menurut M Nur, pada masa Orde Baru terdapat dua pengertian Bundo Kanduang. Yang merujuk pada perempuan dari garis keturunan Pagaruyung dan yang merujuk pada Organisasi. Akan tetapi, pembedaan ini sebetulnya tidak penting karena pengurus struktural organisasi Bundo Kanduang di tingkat provinsi dipegang oleh Bundo Kanduang dalam artian yang pertama.
[9] Untuk pembahasan mengenai PKK dan hubungannya dengan indoktrinasi idiologi negara, lihat Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara. Kobam: Jakarta, 2008.
Rujukan:
¼ Abad Gerakan Wanita Indonesia di Sumatera Tengah. Disusun oleh panitia peringatan seperempat abad gerakan wanita di Sumetera Tengah. Bukittinggi, 1953.
Asnan, Gusti, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat: dari VOC Hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006.
Asnan, Gusti, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat 1950an. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Abdullah, Taufik, Beberapa Catatan Kaba Cindua Mato: Suatu Contoh Sastera Tradisional Minangkabau. Jurnal Terjmahan Alam dan Tamadun Melayu I (2009) 117-137.
Iskandar, Israr, Perempuan dan Mitos Demokrasi Minang. Jurnal Analisis Sejarah Universitas Andalas, Vol. 4, No. 1, 2014.
Maharadja, Dt Seri, Kitab Adat Sopan Santoen Orang Minangkabau. Merapi & co: Fort de Cock, 1922.
Suryakusuma, Julia. Ibuisme Negara. Kobam: Jakarta, 2008.
1 Comment