“Masih ado juo corona pantek ko lai?” (Masih ada juga virus corona pantek ini?) ucap teman saya, Boris, memecah keheningan dari kesibukan kami masing-masing. Saya tengok ke layar telepon genggamnya, ternyata ia sedang melihat postingan tentang Omicron BA.4-BA.5, varian baru dari virus corona, yang dikhawatirkan akan masuk ke Indonesia. Melihat berita itu, saya palingkan muka dan kembali menatap layar laptop, melanjutkan kerjaan.
Akan tetapi, kira-kira lima menit kemudian, pertanyaan Boris itu masih terngiang di benak saya. Fokus saya jadi bergeser. Saya paham kalau kalimat pertanyaan yang diucapkannya itu tidak diajukan ke saya atau ke dirinya, tetapi hanya sebuah respon atas kebosanan juga keletihan perihal berita corona itu. Wajar. Tidak hanya Boris, saya juga merasakan hal yang sama. Sudah hampir dua tahun kehidupan kita disuapi informasi-informasi mengenai virus corona. Sudah hampir dua tahun pula kita merasakan segala efeknya, untuk menyebut beberapa saja: PHK besar-besaran; omzet dagangan menurun drastis; sekolah daring; sendiri di perantauan karena tidak bisa pulang kampung; terpaksa menetap di rumah kecil yang dapat memicu depresi; dan tentu saja trauma atas kematian anggota keluarga.
Memang tidak semua orang merasakan efek yang sama di situasi pandemi ini. Saya masih ingat, misalnya, pada pertengahan-awal pandemi banyak selebriti buzzer dan pejabat-pejabat yang menggaungkan #stayathome kepada para pengikutnya di media sosial. Ketika gelombang positif meningkat, gaung itu semakin menjadi-jadi dan mengarah ke penghinaan: covidiot, yang dijadikan label (idiot) bagi mereka yang tak mau mengikuti protokol kesehatan. Kubu-kubu terbentuk. ‘Kubu Berada di Rumah’ vs ‘Kubu Terpaksa tetap Bekerja di Luar Rumah’.
Jika kita lihat dengan seksama, keributan itu tidak lain dan tidak bukan merupakan puncak dari kentalnya ketimpangan sosial yang ada di tengah masyarakat, yang sama sekali berlawanan dengan ideologi negara tercinta ini: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Para selebriti dan pejabat itu memang bisa tenang duduk selonjoran berada di rumah karena rumah mereka sebesar tiga kali lapangan futsal, sedangkan seorang lain yang hidup dari berjualan batagor di gerbang sekolah hanya memiliki rumah seperempat lapangan futsal. Jangankan untuk duduk selonjoran, untuk tidur saja ia masih harus berurusan dengan angin dan air hujan yang masuk melalui lubang di atap seng dan dinding kayu.
Apa yang membuat keributan ini semakin ironis ialah masuknya peran pemerintah yang bukannya menenangkan kondisi tetapi malah menambah kesemrawutan yang terjadi di tengah masyarakat. Kita tentu saja tidak akan pernah lupa kinerja pemerintah tersayang dalam menanggulangi pandemi dan kekeruhan informasi dari awal hingga kini: mengolok-olok corona dengan padanan menjijikkan dan seksis di awal pandemi; dana bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia malah dikorupsi; peralatan kesehatan yang digunakan berkali-kali sedangkan uang operasionalnya dikorupsi; tenaga kerja kesehatan yang bertarung dengan kematian tidak digaji; kebijakan ‘absurd’ yang tidak membolehkan masyarakat mudik tapi membolehkan berwisata demi mengurangi penularan virus corona; bisnis PCR; dan seterusnya; dan seterusnya. Menjadi masuk akal jika kemudian kita memaki kondisi yang seperti itu. Kesakitan dan kepedihan yang dirasakan itulah yang membuat salah satu bagian di otak kita merespon dan memprovokasi kosa kata ajaib seperti pantek mesti dikeluarkan, mesti kita teriakan: PANTEK!
Oleh sebab si Boris memaki corona itulah saya jadi terinspirasi menulis artikel ini. Mencoba meluruskan kelindan hubungan antara makian, wabah, dan rasa sakit yang kita rasakan. Tulisan ini akan saya mulai dari pembahasan bagaimana otak kita bekerja terhadap kata makian, lalu ke bagaimana rasa sakit bisa memprovokasi kita untuk memaki, kemudian ke bagaimana nama sebuah wabah bisa bertransformasi menjadi kata makian di kemudian hari. Selamat membaca!
Dari Otak ke Memaki
Adakah manusia di bumi ini yang tidak pernah memaki barang sekali? Jika memang ada, barangkali ia adalah manusia yang, karena kelainan gen atau semacamnya, terlahir tanpa otak bagian kanan dan amigdala. Sebab, seperti yang ditulis oleh Emma Byrne dalam bukunya Swearing Is Good for You: The Amazing Science of Bad Language (2017), memaki tidak bisa dilepaskan dari kerja emosi seseorang (berang, senang, sedih, atau takut). Ia adalah hasil dari proses canggih yang terjadi di otak, terutama bagian yang mengurusi emosi kita. Itu juga berlaku untuk sebaliknya. Hanya manusia yang emosinya masih bekerjalah yang bisa merespon suatu makian. Apakah si pendengar akan senang, berang, terkejut, atau takut. Dengan kata lain, memaki adalah hal yang normal dan wajar.
Di dalam sejarah perkembangan ilmu neurosains, ada satu kasus unik yang menimpa seorang pekerja pemasangan rel kereta api di Amerika, yaitu Phineas Gage. Pada suatu hari di tahun 1848, Gage kecelakaan di tempat kerjanya. Sebatang besi, sebesar kira-kira dua jari orang dewasa dan panjangnya kira-kira satu meter, terlontar akibat sebuah ledakan yang tidak direncanakan lalu menembus rahang hingga bagian kiri tengkorak kepalanya. Ajaibnya, luka itu tidak membunuhnya. Hanya saja, ia harus menghabiskan sisa hidup tanpa mata kiri dan otak bagian kiri yang rusak.
Setelah pulih dari operasi, Gage menjalani hidup sehari-hari seperti manusia normal. Ia masih bisa bersosialisasi dengan kerabat dan teman-temannya, dan merasa semuanya baik-baik saja. Namun, orang-orang di sekitarnya merasa ia sedang tidak baik-baik saja karena dari kepribadiannya dahulu yang baik hati dan sopan, setelah kejadian itu berubah menjadi seseorang yang mudah marah, sering mengucapkan kata kotor, dan gemar memaki.
Dari kasus tersebut muncul sebuah pemahaman bahwa otak kanan berfungsi sebagai jaringan yang memproduksi emosi sedangkan otak kiri berfungsi sebagai filter dari emosi yang akan dikeluarkan. Di kemudian hari teori ini diperkuat oleh penelitian-penelitian yang dilakukan kepada pasien penderita afasia (kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan berbicara karena adanya gangguan pada otak bagian kiri) dan penderita kerusakan otak kanan. Hasil dari dua penelitian itu menjelaskan bahwa pasien dengan kerusakan otak kiri cenderung mudah memaki meski kesulitan dalam berkata, sedangkan pasien dengan kerusakan otak kanan tingkat emosinya sangat rendah, bahkan ia tidak tertawa meski tahu logika dari sebuah lelucon.
Penelitian tersebut dikerjakan oleh Profesor Diana Van Lancker dan Jeffrey Cummings pada penderita afasia dalam “Explentive: neurolinguistic and neurobehavioral perspectives on swearing” (Brains Research Reviews 31, 1999, 83-104), dan penelitian dari Dr. Lee Blonder dan Dr. Robin Heath pada penderita kerusakan otak kanan dalam “Spontaneous Humor among Right Hemisphere Stroke Servivors” (Brain and Language 93, 2005, 265-276).
Saya merasa dekat dengan kasus-kasus di atas, terutama pada efek dari pasien yang menderita gangguan otak sebelah kiri atau afasia. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar. Pada suatu pagi, sebelum berangkat sekolah, ibu memberitahu kalau tetangga di sebelah rumah, seorang nenek yang pada saat itu sering dibicarakan tetangga kompleks atas kegemarannya dalam memaki, meninggal dunia. Saya pikir itu adalah hari baik karena bisa izin untuk tidak bersekolah, tetapi ibu malah menyuruh saya tetap bersekolah dan berpesan untuk mendoakan si nenek setiba saya di sekolah.
Malamnya, sebelum tidur, ibu menasehati saya agar senantiasa melakukan perbuatan baik selama berada di dunia. Sesuatu yang buruk akan terjadi bila kita melakukan hal sebaliknya. Ibu lalu bercerita tentang tetangga saya yang baru saja meninggal. Dari pembicaraannya dengan anak si nenek, ibu mendapat fakta bahwa sejak umurnya menginjak lima puluh tahun mendiang sering memaki, tidak seperti biasanya. Kemudian beranjaklah nasehat Ibu ke dunia azab dan kalimat-kalimat yang beliau lontarkan mirip seperti judul-judul dari majalah Hidayah, yang kebetulan pada saat itu memenuhi rak buku kami dan terus bertambah di setiap bulannya.
Saya bukanlah seorang neurologis, apalagi di waktu itu, dan si nenek telah lama meninggal dunia. Akan tetapi, mungkinkah apa yang terjadi kepada si nenek sama seperti yang dialami pasien dengan gangguan otak bagian kiri? Terlepas itu benar atau tidak, saya tetap akan menarik prasangka saya waktu itu bahwa si nenek, karena suka memaki di akhir hidupnya, bisa dipastikan terjun bebas ke neraka Jahanam dengan mudahnya, seperti kisah-kisah yang disampaikan ustadz-ustadzah saya di sekolah.
PS: Namun, perlu diingat, di sini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa memaki itu baik dan bukanlah perbuatan yang tercela. Tentu saja kau sangat merugikan orang lain dan berdosa jika di sebuah WC umum kau membuka paksa pintu seseorang yang sedang berak lalu memakinya tanpa alasan. Setelah melakukan itu kau pergi begitu saja meninggalkan sekelumit masalah yang membebani tengkuk dan pantatnya. Jangankan malaikat, setan tentu akan merasa bahagia untuk tidak mendekatimu.
Baiklah, kembali ke otak bagian kanan dan kiri. Ternyata, hubungan memaki dan dua bagian otak tidak habis sampai di situ. Emma Byrne, di dalam buku yang sama, mengelaborasi lebih jauh bahwa ada bagian lain di otak kita yang cukup penting dalam memprovokasi (provoking) sekaligus mengontrol (controlling) emosi dan berfungsi sebagai perangsang untuk memberi tahu seluruh bagian otak apakah kita sedang takut, cemas, atau terangsang secara seksual, yaitu amigdala. Amigdala adalah sekelompok saraf sebesar kacang almon yang terletak di dekat pangkal telinga dan dimiliki oleh kedua bagian otak—yang juga dimiliki oleh mamalia, ikan, reptil, dan burung—yang hadir dari perkembangan evolusi manusia sejak dua ratus lima puluh miliar tahun yang lalu.
Byrne mengambil contoh dari penelitian dua orang dokter asal Skotlandia, Edward Hitchcock dan Valerie Crains, terhadap pasien yang sedang dioperasi untuk menunjukkan bagaimana amigdala bekerja. Si pasien, yang awalnya tenang, tiba-tiba menjadi berang dan memaki ketika amigdalanya distimulasi dengan sengatan listrik. Si pasien bahkan bingung mengapa ia bisa berang setelah sengatan listrik itu dimatikan. Itu tidak saja membuktikan bahwa amigdala mampu memprovokasi seseorang untuk memaki, tapi juga bagaimana kata-kata makian adalah media yang bisa mewadahi emosi yang impulsif. Si pasien tentu bisa saja mengakatan “Aduh, sakit!” atau “Aku sangat berang, jangan banyak tanya!” tetapi kata-kata makianlah yang dipilihnya. Memaki, dengan begitu, merupakan semacam jalan pintas untuk mengucapkan sesuatu yang kompleks dengan cepat.
Dari Memaki ke Rasa Sakit
Ada sebuah film dokumenter menarik berjudul History of Swear Words (2021) yang bisa membantu kita memahami bagaimana memaki bisa menambah kekuatan seseorang dalam menahan rasa sakit. Di dalam salah satu episodenya, “Sh*t”, kita diperlihatkan bagaimana orang yang memaki mampu menahan tangannya lebih lama di dalam baskom berisi air es dari pada orang yang tidak memaki. Itu adalah eksperimen yang telah dilakukan oleh Richard Stephen, seorang psikolog dan dosen senior di Keele University. Ia menjelaskan dalam artikel yang dikeluarkan Keele University, “Swearing reduce pain-but not if you do every day” (1/12/11), bahwa memaki bisa mengurangi rasa sakit jangka pendek, jika, misalnya, kita sedang tidak membawa obat penenang atau berada di tempat yang jauh dari rumah sakit. Tetapi, efeknya tidak akan sama jika kita menggunakannya setiap hari.
Benar juga apa yang dijelaskan Stephen karena ketika gigi saya sakit, tidak ada kata yang lebih asoy geboy dari pantek dan anjiang (makian dalam bahasa Minangkabau). Meski tidak menghilangkan rasa sakit, setidaknya memaki membuat saya bisa bertahan dari nyut-nyut yang mengganggu. Dari penelitian Stephen itu pula saya tahu bahwa ketika seseorang memaki, detak jantungnya mengencang dan adrenalinnya memacu—hal yang sama terjadi ketika kita melakukan olahraga ekstrim. Respon tubuh itulah yang membuat rasa sakit menjadi berkurang.
Hal lain yang juga ditemukan dari perkembangan penelitian itu, yang dikerjakan oleh murid Stephen, adalah bagaimana tingkat kekasaran kata makian mempengaruhi kekuatan yang diterima. Di dalam bahasa Inggris misalnya, kata fuck masuk ke golongan kata makian paling kasar (strong) dibanding kerabatnya yang lain: shit, christ, bum, dan lain-lain. Semakin kasar sebuah kata makian maka semakin kuat efek pengurang rasa sakitnya.
Tentu saja, rasa sakit yang bisa diredakan oleh makian tidak hanya luka fisik tapi juga psikologis/mental. Saya rasa semua orang di dunia ini pernah merasakannya. Dikucilkan di sebuah lingkungan sosial, putus cinta, merasa kesepian, susah mencari pekerjaan, tidak bisa pulang kampung karena lockdown, di-PHK perusahaan di saat pandemi, mengingat masa lalu yang menyakitkan, atau lain sebagainya. Bahkan, memaki juga bisa membantu seseorang lebih percaya diri dalam menerima penyakit yang dideritanya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sarah Seymour-Smith di Universitas Huddersfield kepada seorang lelaki yang menderita kanker testis, memaki, bagi si pasien, bisa menghidupkan semacam kekuatan baru dalam menghadapi kenyataan bahwa ia akan menghabiskan sisa hidupnya tanpa buah pelir. Dalam kesehariannya, ia begitu senang memaki terutama bersama teman-teman dekat yang memiliki masalah yang sama. Seperti merayakan hidup dengan memaki hidup itu sendiri.
Tidak heran kemudian di kondisi ketika pandemi menyerang negara ini, banyak kita dengar kata makian keluar dari mulut orang-orang—meski sebelum pandemi orang juga memaki. Terkhususnya dari mereka yang di-PHK sebelah pihak, tidak dapat bantuan sosial, para ahli yang telah menyampaikan pendapat tentang urgensi wabah tapi tidak didengarkan, tenaga kesehatan yang bekerja di garis depan tapi tidak digaji, disuruh putar balik di saat libur lebaran karena melanggar peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.
Kita bisa mengatakan bahwa kita adalah korban, tidak hanya dari virus itu sendiri, melainkan juga dari cara pemerintah menanggulanginya. Sehingga, tidak ada kata yang mampu memberi kekuatan untuk menelan rasa sakit jiwa dan rasa sakit fisik kita selain kata-kata makian. Juga di kondisi seperti itu, kata makian menjadi semacam wadah bagi kita, para rakyat berderai ini, untuk mengungkapkan kekecewaan dan kekesalan yang terlalu semrawut yang tidak dapat di akal kita lagi kepada para pemimpin negara tercinta ini.
Dari Wabah ke Kata Makian
Tidak ada yang pernah menyangka bahwa angka 19 pada tahun 2019 akan disematkan ke belakang nama dari sebuah wabah yang mematikan: Covid-19, penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis dari virus corona. Virus yang awalnya berasal dari Wuhan, China ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan sempat menyebabkan kegiatan bersosialisasi di dunia nyata antar manusia terhenti. Karena jangkauan penularannya yang luas dan sudah memakan banyak korban jiwa, pada 11 Maret 2020 lalu WHO resmi menyebut bahwa wabah Covid-19 sebagai pandemi global.
Belum sampai Covid-19 mereda, pada tahun 2022 ini dunia dihantam lagi oleh penyakit lain, yaitu cacar monyet. Wabah dari virus monkeypox ini pun sudah ditetapkan sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia oleh WHO.
Jika kita melihat ke belakang, wabah penyakit adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang manusia di bumi ini. Sebut saja Pes, wabah yang pernah melanda Eropa pada tahun 1346-1353. Luasnya persebaran dan banyaknya korban jiwa membuat wabah Pes juga dijuluki sebagai The Black Death atau wabah hitam mematikan. Juga ada Kolera, yang pertama kali muncul di Jessore, India lalu menyebar ke seluruh dunia pada tahun 1817-1823. Kemudian Flu Spanyol, yang menyerang dunia ketika sedang terjadinya Perang Dunia I di Eropa pada tahun 1918-1920. Juga SARS, HIV/AIDS dan lain sebagainya.
Kengerian atas wabah penyakit ditransfer secara turun-temurun melalui ingatan manusia, sehingga itu membuat nama dari sebuah wabah selalu diasosiasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, sesuatu yang ‘tak patut’ diucapkan. Hal itu menyebabkan ingatan buruk di masa lalu menjadi alasan yang memungkinkan perubahan makna, dari sekedar nama sebuah wabah penyakit menjadi kata makian di masa sekarang.
Salah satu contoh nama wabah yang bertransformasi menjadi kata makian adalah kata kalera di dalam bahasa Minangkabau. Pengucapan kata kalera di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau adalah hal yang tabu, dalam artian kata itu menanggung beban dari sesuatu yang tidak baik dan tidak pantas diucapkan. Di tengah masyarakat Minangkabau, kata kalerabiasanya digunakan sebagai kata makian untuk melepaskan emosi kekesalan dan kemarahan terhadap sesuatu. Baik itu dengan keadaan, orang lain, maupun diri sendiri.
Dari penelusuran sejarawan Gusti Asnan dalam bukunya Sejarah Minangkabau, Loanwords, dan Kreativitas Berbahasa Urang Awak, kata kalera berasal dari kata choledra, bahasa Yunani yang berarti saluran. Kemudian kata itu dipahami sebagai cholera atau kolera, sebuah nama dari jenis penyakit yang menular di saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri.
Persebaran penyakit kolera di Sumatra Barat bisa kita lacak dari zaman Perang Padri. Dalam “Wabah dan Penyakit Pada Masa Perang Padri”, Gusti Asnan menjelaskan bahwa kolera termasuk salah satu penyakit yang sering disebut muncul pada awal kurun waktu Perang Padri.
“Pada awal tahun 1820-an Anderson mengemukakan bahwa kolera mewabah di bagian timur Sumatra. Karena orang Minang, khususnya kaum Padri sering bepergian ke kawasan timur Sumatra diperkirakan penyakit ini juga menyebar ke kawasan pedalaman (Minangkabau),” tulis Gusti Asnan.
Karena lingkungan juga pola hidup masyarakat pada masa itu kurang bersih dan sehat, kolera cepat menyebar dari satu orang ke orang lain, dari satu daerah ke daerah lain. Tidak hanya persebarannya yang cepat, penyakit ini juga secara mengerikan dengan lekas mengambil nyawa orang yang tertular. “Dikatakan mengerikan, bahwa dalam beberapa hari saja telah jatuh korban 25 orang tentara dan anak kapal (pelaut),” tulis guru besar sejarah di Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas tersebut.
Wabah kolera terus bermunculan sampai pada tahun-tahun berikutnya. Deddy Arsya, dalam “Penyebaran Wabah dan Tindakan Antisipatif Pemerintah Kolonial di Sumatra’s Westkust (1873-1939) dalam Turast: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2015, menulis, “Wabah penyakit yang menjangkiti Sumatera Barat sejak tahun 1873 hingga tahun 1939 bervariasi. Mulai dari cacar, kolera, disentri, malaria, beri-beri, tuberculose, hingga penyakit gila.”
Di masa-masa itulah penyakit kolera diberitakan secara luas. Hal itu menyebabkan kolera “memiliki arti penting dalam ingatan orang Minang … apalagi juga disebut-sebut sebagai penyakit yang mewabah dari India dan Mekkah,” jelas Gusti Asnan lagi.
Ingatan mengerikan tentang kolera diproduksi secara turun-temurun hingga nama wabah itu beralih fungsi menjadi kata makian. Jika di dalam ilmu medis penyakit itu disebut kolera, sampai di lidah masyarakat Minangkabau dan Sumatra Barat berubah menjadi kalera.
Akan tetapi, meski kata makian kalera lahir dari jalan panjang sejarah wabah di Sumatra Barat, hari ini ia tidak lebih dari sekedar kata ‘kasar’ yang tabu untuk dibicarakan. Banyak masyarakat hari ini, terutama yang seumuran dengan saya, dari generasi Millenial dan Z tidak tahu arti sebenarnya dari kalera. Mereka hanya tahu kalau kalera adalah kata kasar yang berasal dari bahasa Minangkabau.
Pembahasan ini menjadi tanda tanya bagi saya: bagaimana nantinya nasib nama dari virus corona atau Covid-19. Hal yang pasti ialah angka 19 di belakang nama pandemi itu membuat ingatan kita tentang wabah mematikan di 2019 menjadi kuat. Kemudian mungkinkah corona pada masa yang akan datang juga akan menambah perbendaharaan kata makian di masyarakat kita? Barangkali di dalam bahasa Indonesia belum, tetapi gejalanya sudah terlacak di bahasa Belanda.
Bagi sebagian bahasa di dunia, kata makian sering diasosiasikan ke sesuatu yang berbau seksualitas, binatang, dan agama. Namun, dalam bahasa Belanda kata makian kebanyakan muncul dari nama-nama penyakit.
Valeska Schietinger dalam An Introduction to Dutch Swearing memberi rumus makian di dalam bahasa Belanda. “[Semoga kau menderita] + [masukkan penyakit yang sangat menular dan mematikan secara acak]. Itu adalah cara yang berani untuk memberitahu orang-orang bagaimana perasaan Anda yang sebenarnya tentang mereka. Kemungkinan pilihan nama penyakit untuk mendapatkan efek maksimal ialah tifus, kolera, dan kanker.” Teriakkan rumus di atas di ruang publik, setidaknya kau akan mendapat balasan makian.
Untuk melacak sejarah penggunaan kata makian di bahasa Belanda, saya kemudian mendengar hasil wawancara seorang linguis Belanda, Marten van der Meulen, dengan The World. Ia menjelaskan, “Jadi ada beberapa hipotesis tentang ini. Sebenarnya kami tidak benar-benar tahu karena kami tidak memiliki banyak sumber yang berasal dari abad ke-15 sampai abad ke-16 ketika orang benar-benar menggunakan kata-kata makian. Namun, yang kami pikirkan saat ini adalah terkait dengan kebangkitan Calvinisme, sejenis Protestantisme, di mana fokus kehidupan masyarakat bergeser dari hidup untuk akhirat menjadi hidup untuk kehidupan sekarang. Dan itu, tentu saja, menyebabkan berkurangnya kekuatan penggunaan makian agama seperti God Damn. Sehingga kata makian beralih ke penyakit.”
Marten van der Meulen juga menjelaskan bahwa kata corona sudah mulai digunakan masyarakat hari ini untuk memaki. Hal itu juga diakui oleh Ewoud Sander, jurnalis dan pengarang yang menulis tentang bahasa di koran Belanda, NRC Handelblad. “Every epidemic or pandemic that came through the Netherlands brought new curses,” tulis Dan Nosowitz dalam The Wide World of Disease-Based Dutch Profanity (“Get the corona!” is starting to make an appearance).
Penutup
Baiklah. Sampai di sini perjalanan kita mengarungi perihal wabah, rasa sakit, dan kata makian. Mulai dari memaki yang memiliki hubungan dengan emosi seseorang, kemudian memaki juga mampu menguatkan kita dari terjangan rasa sakit, dan hal itu ternyata mempengaruhi nama dari sebuah wabah menjadi kata makian di masa yang akan datang. Barangkali masih ada lubang separuh terbuka di sekujur artikel ini. Dan untuk kelalaian tersebut, saya memohon maaf. Wassalam.