Pada Desember 1957, kurang lebih satu dekade setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, suatu Seminar Sejarah diadakan di Jogyakarta. Saat itu Indonesia bisa dibilang sebagai bangsa baru. Istilah nation-building adalah salah satu kata kunci yang muncul berulang kali dalam masa-masa 1950-an tersebut. Daerah tengah bergejolak. Dewan-dewan yang dipimpin tokoh militer lokal mulai bermunculan mempertanyakan hegemoni Jakarta (dan Jawa) sebagai Pusat, terutama dalam soal ekonomi.
Bangsa baru itu tengah dalam krisis. Segala sesuatu menjadi tidak pasti, termasuk asal-usul bersama dan tujuan bersama. Suatu sejarah nasional yang bisa memberi kepastian soal asal-usul bersama serta tujuan bersama bangsa baru bernama Indonesia itu, dilihat sebagai kebutuhan mendesak. Nasionalisme sebagai ideologi bersama yang dianggap bisa mengatasi krisis tersebut mesti menjadi kerangka bagi penulisan sejarah Indonesia yang nasionalistis. Salah satu sesi dalam seminar yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan, tersebut ditujukan khusus untuk merumuskan suatu “falsafah sedjarah nasional” yang sifatnya resmi.[1]
Penulisan sejarah di Indonesia pada masa-masa itu didominasi oleh cara pandang yang disebut Anthony Reid (1983) sebagai “ortodoksi nasionalis,” dengan M Yamin sebagai idiolog utamanya. Cara pandang yang eskatologis-teleologis ini melihat bahwa nasion Indonesia telah ada di masa Majapahit, jauh sebelum datangnya penjajah Belanda yang ‘mengotori’ dan mengintervensi tumbuh kembangnya nasion Indonesia yang sebetulnya tengah dalam alur yang tepat menuju masa depan gilang gemilang. Sebagian besar buku sejarah tentang Indonesia pada masa itu memakai cara pandang ini, terutama buku-buku karya Yamin.
Dalam situasi tersebut Soedjatmoko hadir ke Seminar Sejarah pertama itu sebagai pembicara (pemrasaran) di sesi “falsafah sedjarah nasional,” serta penanggap di sesi-sesi lainnya. Pandangannya soal sejarah berlawanan dengan gelombang pasang ortodoksi nasionalis yang diwakili oleh Yamin yang juga jadi pembicara utama dalam sesi tersebut.
***
Soedjatmoko datang ke seminar tersebut membawa kertas kerja berjudul “Merintis Hari Depan: Essay Jang Diajukan Untuk Seminar Sedjarah Pertama di Djogjakarta ’75.” Dari esai tersebut tampak bahwa ia memahami pentingnya posisi narasi sejarah dalam nation-building: ia bisa menyediakan rasa pasti akan asal-usul bersama suatu bangsa, serta legitimasi bagi persatuan Indonesia yang tengah dalam krisis itu. Ia dibutuhkan untuk “mentjari jawaban daripadanja atas ketidak-pastian kehidupan kita sekarang.” Namun di saat bersamaan, ia melihat bahaya di balik penyusunan suatu sejarah nasional yang mesti “dibimbing oleh suatu konsepsi mengenai sedjarah nasional,” oleh suatu “falsafah sedjarah nasional.”
Bagi Soedjatmoko, ilmu sejarah adalah disiplin ilmu yang tidak bisa mengabdi pada ideologi politik seperti nasionalisme, meski dalam taraf tertentu, ideologi politik niscaya akan mempengaruhi cara pandang seorang sejarawan. Baginya ilmu sejarah bukanlah turunan suatu ideologi politik serta harus bebas dari intervensi kekuasaan politik. Di saat bersamaan, ilmu sejarah juga harus terlepas dari alam pikiran kebudayaan lama yang feodal dan penuh mitos. Ringkasnya, ia menekankan bahwa Ilmu sejarah adalah suatu disiplin ilmu yang haruslah independen dari hal-hal di luar domain ilmu pengetahuan. Sebagaimana ditulisnya:
“Penjelidikan ilmjiah harus bebas, apabila ia hendak memberi hasil jang berarti; ia harus punja kemerdekaan untuk merumuskan serta menjiarkan pendapat2 serta kesimpulan2 jang mungkin berlainan dengan idiologi politik jang berkuasa, atau dengan mythos2 atau pendapat2 jang umum diterima pada suatu waktu.”[2]
Jika ilmu-ilmu, termasuk ilmu sejarah, bisa independen dan mendapat ruang gerak yang bebas, menurutnya akan terlihat betapa ia mengandung “unsur revolusioner jang mahakuat.” Ia melihat bahwa berkat iklim kebebasan akademik di Barat, dimana dunia akademik dinilainya cenderung lebih bebas, sarjana Belanda seperti Van Leur justru tampil terdepan dalam melawan mitos-mitos ciptaan Belanda sendiri. Meski begitu, ia tetap menggarisbawahi bahwa ilmu yang tumbuh di Barat belum tentu sepenuhnya cocok dipakai untuk mempelajari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tidaklah sama dengan masyarakat di Barat. Karenanya, teori-teori nasionalisme yang beredar di Indonesia saa itu, harus dipakai secara hati-hati sebab ia dirumuskan berdasarkan tipologi-tipologi sosial dalam masyarakat Barat. (Saat itu, setidaknya ada dua teori utama tentang nasionalisme yang menjadi rujukan kalangan intelektual di Indonesia, yaitu teori dari Ernest Reenan dan Joseph Stalin)
***
Masa lalu, masa kini, dan masa depan, saling terhubung. Bagaimana suatu masyarakat melihat masa lalu, akan turut menentukan cara masyarakat itu memandang hari kini, serta masa depan. Soedjatmoko memandang hubungan masyarakat dan sejarah dalam kesadaran macam itu. Menurutnya, pandangan yang benar dan objektif akan masa lalu dapat menjadi pijakan guna mengambil sikap yang tepat di hari ini dan di masa depan. Ia mengidealkan munculnya manusia Indonesia yang bukan objek pasif di hadapan sejarah, namun subjek aktif yang punya daya gerak serta imajinasi kreatif untuk membayangkan kemungkinan terbentuknya tata kehidupan yang baru.
Akan tetapi, ia melihat manusia Indonesia saat itu masihlah terikat dengan budaya masyarakat agraris yang feodal dan statis. Dalam masyarakat seperti itu, menurut Soedjatmoko, kekuatan supranatural yang tampak dalam kultus Ratu Adil, dipercaya sebagai satu-satunya faktor penentu sejarah: di sana manusia memandang dirinya sebagai objek pasif di hadapan sejarah. Bukannya manusia, tapi hal-hal transendental-lah yang dianggap sebagai penentu sejarah. Inilah yang disebutnya “rasa hajat a-historic.”
Dan suatu sejarah Indonesia yang nasionalistis, yang ditulis di bawah tuntunan “falsafah sedjarah nasional,” seperti karya-karya Yamin, baginya hanyalah bungkus baru untuk mengemas cara pandang lama yang kental dengan “rasa hajat a-historic” tadi. Demikian juga dengan apa yang kemudian disebutnya “teleologi psuedo-marxis” yang juga populer pada masa itu dan menyusupi penulisan sejarah. Pandangan dengan dimensi eskatologis yang kental ini dilihatnya masih berakar pada kebudayaan feodal di Indonesia dimana manusia sepenuhnya jadi boneka dari determinan-determinan di luar dirinya. Dalam bungkus baru inilah psuedo-marxisme, nasionalisme, dan lapisan-lapisan kebudayaan yang lebih tua bertumpang tindih satu sama lain.[3]
***
Selain menekankan pentingnya independensi ilmu sejarah serta keterputusan radikal dengan masa lalu feodal sebagai syaratnya, Soedjatmoko juga menekankan soal pentingnya sumber sejarah yang beragam dan valid. Baginya masalah penulisan sejarah juga berkaitan dengan perlunya penelitian lebih jauh terhadap sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber sejarah yang valid harus tersedia terlebih dahulu sebagai dasar bagi penulisan sejarah Indonesia yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tanpa sumber yang valid, menurutnya, maka penulis sejarah akan terus memproduksi mitos-mitos macam “6000 tahun merah-putih.”
Pada 1965, ia menjadi editor utama buku Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Buku ini merupakan sekumpulan tulisan dari para peneliti Indonesia lintas-negara di bidang sejarah dan arkeologi. Soedjatmoko sendiri menulis sebuah esai di buku ini dengan judul “Sejarawan Indonesia dan Zamannya.” Ia juga menulis kata pengantar untuk buku ini. Sebagian isi buku membahas persoalan-persoalan dalam penulisan sejarah serta ilmu sejarah di Indonesia, separo lainnya berisi ulasan mengenai sumber-sumber sejarah di luar negeri, seperti Jepang, Portugis, atau Uni Soviet, yang terkait dengan sejarah Indonesia serta kemungkinan untuk mengeksplorasinya secara lebih jauh. Buku ini juga menekankan soal pentingnya validasi sumber-sumber arkeologis bagi penulisan sejarah.
Penerbitan buku tersebut adalah bagian dari misi Soedjatmoko untuk menyediakan sumber sejarah yang tidak hanya memadai namun juga lintas-nasional. Dengan memanfaatkan sumber-sumber dari berbagai negara, ia ingin menyediakan landasan bagi penulisan sejarah Indonesia, yang dalam bahasanya sendiri, “bersifat internasional.” (Misalnya, ia menganjurkan penekanan lebih dalam mengenai “keadaan dan faktor2 internasional jang mempengaruhi revolusi Indonesia serta berdirinja Republik Indonesia.”) Dengan kata lain, ia menganjurkan penulisan sejarah yang tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun juga berperspektif global.
Penulisan sejarah yang “bersifat internasional” ini menurutnya akan mencegah munculnya xenophobia dan sauvinisme dalam masyarakat Indonesia akibat mengonsumsi narasi sejarah nasional Indonesia-sentris dalam pengertian yang negatif, yang terlalu terpusat ke Indonesia dan cenderung melihat sejarah Indonesia berjalan sendiri tanpa hubungan berarti dengan jalinan peristiwa di kawasan lain.
Terbatasnya sumber-sumber sejarah, terutama sumber arkeologis, untuk kajian sejarah di luar Jawa, menurutnya juga ikut mengukuhkan Jawasentrisme dan penulisan sejarah Indonesia. Akibatnya adalah kegagalan dalam memahami realitas masyarakat luar Jawa yang kadar nasionalismenya dinilai rendah pada masa itu. Ia menilai, jika penelitian sejarah di luar Jawa diperbanyak maka akan tampak bahwa “pengalaman pendjadjahaan Belanda jang berbeda-beda di Jawa dan diluar Djawa […] telah membawa reaksi jang berbeda2.” Dan dengan demikian, akar historis gejolak di daerah bisa ditelusuri guna mencari kemungkinan resolusi. Namun itu semua tidak mungkin karena penelitian dan penulisan sejarah terpusat ke Jawa.
Tanpa ilmu sejarah yang independen, tanpa keterputusan radikal dengan kebudayaan lama yang feodal, dan tanpa sumber-sumber yang valid dan beragam, baginya belumlah dimungkinkan untuk menulis suatu sejarah tentang Indonesia. Namun begitu, sebagaimana yang diyakininya sendiri, manusia bisa menjadi subjek aktif di hadapan sejarah. Di hadapan zaman yang menolaknya, ia memilih berdaya. Buku Historiografi Indonesia itu mesti dilihat sebagai bagian dari upayanya, sebagai manusia historis yang terlibat aktif menentukan jalan sejarah, dalam ”merintis hari depan.”
***
Dalam esainya pada buku Historiografi Indonesia itu, dengan nada cemas ia berkata bahwa untuk waktu yang lama sejarawan Indonesia akan terjebak dalam kerja menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat mitos-mitos lama ataupun mitos-mitos baru—mitos-mitos yang akan melegitimasi nilai-nilai yang ditolak keras-keras oleh Soedjatmoko.
Apa yang dicemaskan Soedjatmoto terjadi. Pada 1975, dua dekade setelah ia mengeditori Historiografi Indonesia, sebuah buku teks standar sejarah nasional Indonesia, 5 jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI), diterbitkan. Sebuah Sejarah Resmi (Offycial History) akhirnya lahir.
SNI yang kemudian banyak dikecam tersebut, tak hanya menjadi sumber legitimasi bagi mitos-mitos baru seperti agungnya militerisme, namun juga bagi suatu Family State yang feodal dan patriarkis dimana Suharto menjadi the supreme father dengan segenap bangsa Indonesia sebagai anak-anaknya yang lugu. SNI dirancang untuk menghapus ingatan bangsa Indonesia tentang revolusi, tentang mobilisasi massa, demi menciptakan ‘massa mengambang’ yang terdepolitisasi.[4] Ia juga teks, yang tidak hanya mengisolasi sejarah Indonesia dari jalinan peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat global, namun juga Jawasentris. Seperti dikatakan Michael Wood (2013: 303-305), SNI disusun sedemikian rupa demi membangun sebuah ‘Majapahit Baru’—demi memberi bungkus baru bagi tata kehidupan lama yang feodal dan statis dimana manusianya terkungkung dalam “suasana hidup jang tak bersedjarah, jang a-historic.” (*)
Catatan kaki:
[1] Dalam sesi ini Soedjatmoko berhadapan dengan Yamin yang bersikukuh bahwa sebuah falsafah sejarah nasional harus ada sebagai titik tolak penulisan sejarah nasional Indonesia.
[2] Soedjatmoko “Merintis Hari Depan: Essay Jang Diajukan Untuk Seminar Sedjarah Pertama di Djogjakarta ‘75”. Hal. 14-15.
[3] Lihat esai Seodjatmoko “Sejarawan Indonesia dan Zamannya” dalam Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995) Hal. 365. Buku ini terbit pertama kali pada 1965 dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
[4] SNI telah dikritik oleh banyak sejarawan serta imuan politik. Diantaranya Bambang Purwanto, Asvi Warman Adam, Katharine McGregor, Michael Wood, Max Lane, David Bourchier, dan lainnya.
Rujukan:
Soedjatmoko, dkk (ed). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995.
Soedjatmoko, dkk (ed). An Introduction to Indonesian Historiography. Jakarta: Equinox Publishing, 2007.
Soedjatmoko. “Merintis Hari Depan: Essay Jang Diajukan Untuk Seminar Sedjarah Pertama di Djogjakarta ’75.” (Naskah diunduh dari https://membacasoedjatmoko.com)
Reid, Anthony dan David Marr (ed). Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia Mencari Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti pers, 1983.
Wood, Michael. Sejarah Resmi Indonesia Modern: Versi Orde Baru dan Para Penantangnya.Yogyakarta: Ombak, 2013.