Hikayat Padi dan Penghormatan
Orang Talang Mamak tak punya cerita khusus tentang asal-usul padi sebagaimana di kalangan orang Jawa yang punya hikayat Dewi Sri, atau masyarakat Dayak Kodori yang punya cerita asal-usul padi dari seorang anak yang melanggar pantangan. Cerita-cerita itu berhubungan dengan keagungan langit. Maka sebagaimana hakikat langit, cerita yang turun dari sana bersifat wingit (suci, keramat), dan lebih dari itu bernilai universal. Persis air hujan, di bagian tanah mana pun ia turun, akan sama-sama menciptakan kesegaran dan kesuburan.
Begitulah, secara garis besar, hikayat Jawa dan Dayak itu merepresentasikan kepercayaan orang Talang Mamak juga, sekalipun mereka berada jauh di Indragiri Hulu. Toh mereka sama percaya bahwa padi adalah tumbuhan yang sangat dihormati karena dikirim penguasa langit untuk menjaga kehidupan di bumi. Karena itu, “roh” padi diyakini terhubung dengan petala langit dan semesta bumi. Bukan hanya dengan segala yang hidup, juga dengan yang mati. Dari dunia kasat mata sampai dunia halus yang tak tercandra. Kita bisa saja mengartikan “roh” padi itu sebagai eksistensi padi, semacam bentuk penghormatan atas siklus dan proses padi menjadi beras kemudian menjadi nasi. Nasi dicerna buat memenuhi kebutuhan pangan manusia.
Dari situlah manusia hidup meneruskan silsilahnya. Berkat roh padi yang menyusup ke dalam roh mereka. Saya teringat pada masa kecil, jika saya dan adik-adik sampai menyisakan nasi di piring, ibu akan mengingatkan,”Habiskan, nanti nasinya menangis…”
Nasi yang bersisa bisa bersedih, mungkin karena merasa tersisih atau merasa tak dilibatkan dalam penyatuan “roh” di badan, yang artinya mengabaikan sumbangsihnya dalam urusan pangan. Jika ada sebagian kecil nasi yang terpaksa dibuang, misal karena terlanjur basi, maka ibu mengingatkan untuk tidak dihamburkan atau dibuang sembarangan. Harus dialas daun pisang, supaya semut atau ayam-ayam yang akan memakannya tetap secara pantas.
Di masyarakat Talang Mamak, padi dihormati sepenuh hati. Tradisi mereka melibatkan beras dari padi ladang dalam ritus-ritus penting. Sejumlah upacara dianggap memenuhi syarat jika beras yang ditaburkan untuk persembahan, dan nasi yang dihidangkan, berasal dari padi ladang. Mengapa mereka keukueh (bersikeras) memakai padi ladang sebagai syarat sah sebuah upacara, pertama-tama tentu terkait dengan warisan nenek moyang. Tapi warisan itu sendiri terkait erat dengan lingkungan di mana mereka dapat menghasilkan bahan upacara, dalam hal ini keberadaan huma tempat mereka bisa menghasilkan padi ladang.
Kedua, dan ini yang penting, syarat itu sebenarnya bentuk penegasan sikap pada kemandirian pangan. Sebagai masyarakat peladang, mereka punya ladang atau huma untuk lahan tanam. Apa yang ditanam itulah yang dipanen dan dikonsumsi. Saya teringat sebuah novel Suparto Brata, Tak Ada Nasi Lain (2013). Judul ini terdengar sederhana, tapi pikirkanlah, apakah ada nasi lain, kecuali nasi yang berasal dari beras? Itu juga berarti tak ada beras lain kecuali yang dihasilkan dari padi. Dan bagi orang Talang Mamak apa yang ditanam dan dirawat sebagai padi itu, tidak lain tidak bukan adalah padi ladang, sebagaimana diwariskan leluhur dan sesuai dengan lingkungan mereka tinggal. Ladang, dengan demikian, merupakan wilayah demarkasi bagi padi—padi ladang—yang muaranya adalah kedaulatan pangan. Tak ada beras dari hasil membeli, tak ada beras pasar, alih-alih beras impor.
Itulah yang digariskan dalam tataran ideal. Itulah ancangan yang digariskan nenek moyang. Jika sekarang tataran itu bergeser, berubah bahkan porak-poranda, tentu saja lain cerita. Cerita getir, tentu saja.
Akan tetapi sebagaimana Pak Agiran yang masih mempercayai tuah padi ladang, sikap itu juga tersua pada keyakinan Pak Batin Irasan yang kami temui di rumahnya kemudian. Bila Pak Agiran masih bersemangat menceritakan siasatnya menghadapi perubahan hidup sehari-hari, Pak Batin Irasan lebih hikmat berkisah tentang keagungan padi.
Pak Agiran memberi titah pada dirinya sendiri untuk mewajibkan keluarganya bertanam padi ladang. Semacam keharusan di antara kesibukan mengurus kelapa sawit. Baginya, bertanam padi itu wajib sebagai pengaman pangan, sementara berkebun sawit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bila hasil panen sawit buruk, katakanlah harga anjlok atau panen sedikit, maka padi yang disimpan bisa diturunkan. Kesannya memang seperti cadangan. Tapi itulah yang terbaik, ketika hasil panen padi kini tidak banyak seperti dulu, maklum lahan makin tak subur, hantaman banjir, serangan hama dan burung-burung pemangsa. Sehari-hari memang terpaksa harus membeli beras dari pasar atau toko sembako, tapi sepanjang ada pangan “cadangan”, hidup relatif lebih aman.
Sementara Pak Batin Irasan, seperti biasa, selalu berbicara hal-hal menyangkut kebiasaan leluhur dan ritual, sesuai posisinya sebagai kepala adat. Pak Batin bicara proses berhuma yang ditandai berbagai ritual, mulai membuka hutan, membakar dan membersihkan lahan, membibit, menanam hingga menuai, semua melibatkan alam sekala dan niskala.
Dulu, kata Pak Batin, begitu seseorang berniat behuma, maka dio berhadapan dengan rangkaian awal upacara. Sejak menentukan lokasi, lalu marintis atau membuka lahan. Setelah itu lanjut dengan malambas, minta izin kepada penghuni gaib hutan sekitar. Kemenyan dibakar. Tepung tawar dan sirih pinang disajikan di dalam limas, wadah yang terbuat dari daun pisang. Limas lain berisi daun sitawar-sidingin, poleh dan keladi hitam. Bahkan parang dan kapak yang digunakan membuka lahan juga diperlihatkan kepada Petala Guru.
Intinya adalah bagaimana mereka memperlakukan padi sebagai siklus dan proses hidup, dari hutan menjadi lahan, dari benih menjadi padi. Proses-proses itu masih akan berlanjut dalam ritual marintis, membentuk lahan menjadi kawasan ladang; manabas, membersihkan lahan; mamaron, memotong dan menyisihkan kayu-kayu; membuat pondok, sampai menugal, menggara hingga menuai. Apa yang diceritakan ulang Pak Batin itu sudah terdokumentasi dengan baik dalam buku Memori Kolektif: Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak (2022) yang disusun anak-anak Talang Mamak sendiri.
Lebih dari itu, bagi Ida, hasil perbincangan kami dengan Pak Irasan ibarat menjelajah motif dan warna dari ritual orang Talang Mamak. Salah satunya berasal dari konfirmasi atas properti dalam upacara kematian. Dalam upacara itu, terdapat rumah-rumahan dari kayu yang disebut bangkaran. Kayu atau papannya yang horisontal maupun menyilang miring disebut birai. Birai, kata Pak Batin, tak boleh polos. Karena itu mereka membuat dekorasi minimalis berupa garis miring dan bulatan-bulatan berupa titik hitam. Warna hitam itu didapatkan dari arang, dan sekarang diganti dengan bagian dalam batu baterai yang sengaja dihancurkan—hitamnya lebih pekat dan dapat bertahan lama.
Di sisi lain, juga ada warna putih yang didapatkan dari guratan kapur. Warna merah, sementara itu, didapatkan dari darah ayam yang dipotong dan dicipratkan bersama mantra-mantra keselamatan. Di bagian bubungan atap bangkaran itu terdapat pahatan burung enggang menghadap matahari terbenam. Itu simbol perjalanan ke dunia berikutnya; dan burung enggang akan membawa roh terbang ke sana.
Ida berhasil mengolah filosofi itu dalam sebuah motif yang diberi nama motif Tolak Bala. Konsepnya sebagai berikut:
Motif Tolak Bala berbentuk geometris persegi empat, bentuk garis geometriknya berpola zig zag, pengulangan garis bentuk sudut lancip secara teratur (berirama). Di dalam bidang segi empat tersebut terdapat bentuk lancip Tumpal dengan posisi diagonal, geometri lingkaran, setengah lingkaran (kurva), kesatuan cecek-cecek berjumlah lima cecek, dan kesatuan nitik yang berjumlah lima pula. Semua bentuk geometrik itu kecuali bentuk nitik/wajik, dibuat berdasarkan penggalian corak Suku Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau, di mana terdapat hiasan pada papan birai bangkah/pondok kecil di atas makam dalam upacara pemakaman mereka.
Desain Motif Talang Mamak ini saya namai Motif Tolak Bala. Pengulangan garis zig zag bentuk sudut lancip ini menyerupai bentuk garis pinggiran/seret pada pakem pola bidang Corak Batik Keraton yang berbentuk Untu Walang (gigi belalang) yang bermakna tolak bala, sama dengan makna bentuk Tumpal pada pola bidang Batik Pesisiran.
Bentuk garis sudut lancip melambangkan pertahanan untuk menghalau hal-hal buruk, seperti senjata atau pagar yang melindungi dari serangan atau bahaya. Sementara itu, bentuk lingkaran dengan kesatuan cecek berjumlah lima melambangkan kepercayaan/religi yang diyakini oleh masyarakat Talang Mamak di Talang Sungai Parit. Sedangkan kesatuan nitik yang berbentuk wajik bermakna menitik, yaitu meniliti dengan seksama.
Motif Tolak Bala ini menggunakan dasar warna hitam dan corak sebagian besar berdasar warna dari kain mori, yaitu putih melambangkan keseimbangan baik dan buruk; warna biru pada bentuk wajik di antara persilangan repetisi motif geometris segi empat sebagai pancer/pusat simbol pengendali dan kebijaksanaan. Dalam ajaran Jawa istilah pancer terdapat dalam filosofi “Papat Kiblat Lima Pancer” artinya Empat Arah Mata Angin dan pusat adalah diri. Konsep ini menekankan keseimbangan dan keselarasan dalam hidup sebagai manusia dengan sesama, lingkungan dan alam semesta serta pentingnya memiliki pandangan yang luas dan menyeluruh.
Tolak Bala adalah harapan, keseimbangan dan pengendalian dalam laku kehidupan, menjaga nilai-nilai kebaikan adat istiadat dan sejarah, baik spiritual maupun kultural. Bala atau bahaya tidak hanya berbentuk wadag atau sesuatu yang datang dari luar, tetapi segala bahaya juga datang dari dalam diri bahkan bisa jadi lebih berbahaya daripada serangan atau ancaman yang datang dari luar diri (Nur Wahida Idris, “Konsep Motif Batik Tolak Bala”, 2025).
Bercakap-cakap dengan Padi
Sejumlah etnik di Nusantara, memosisikan padi sama dengan manusia, putri, pangeran atau pengantin. Anna Lowenhaupt Tsing dalam bukunya, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (YOI, 1998) menceritakan dengan menarik perlakuan orang Dayak Meratus atas padi dan benih padi. Padi menjadi kawan bercakap, seperti terlihat dalam percakapan Awat Kilay, salah seorang petani di Pegunungan Meratus. “Galuh, jangan pergi begitu saja/ Jika hari ini tidak beruntung, carilah hari lain yang beruntung/ Carilah hari baik, hari yang menguntungkan/ Capailah kekuasaan.”
Awat Kilay, sebagaimana para petani lainnya di Meratus, seturut catatan Tsing, amat menyanjung dan memanjakan padi, menyapanya sebagai gadis jelita (“galuh” atau “diang” dalam bahasa Banjar). Ia disuruh menjadi muda lagi (baanum diri)supaya penampilannya menarik ketika bertemu kawan-kawannya di perjalanan (1998: 225).
Saya sendiri pernah menyaksikan bagaimana masyarakat adat Meratus memuliakan padi di Balai Malaris, Loksado. Saat padi bunting (mulai mengandung bulir) diadakan permohonan keselamatan dalam upacara basambuk umang. Para petani, dipimpin Batin Damang Kusal, menari mengelilingi tangkalan sambil membawa ikatan padi. Padi itu dipersembahkan kepada para perempuan yang duduk di sepanjang lingkaran yang menyambut dengan mantra dan tabuhan. Padi dan perempuan dianggap serumpun, sama-sama bermakna bagi kehidupan.
Di kalangan masyarakat Lamaholot, Flores, NTT, padi juga diperlakukan sama dengan manusia, sebagaimana diceritakan dalam cerpen “Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang” (Kompas, 19 April 2020) karya Silvester Petara Hurit.
……Ketika benih sudah diantar ke tanah, langit dan bumi kawin. Hujan turun. Padi tumbuh dan membiak di atas tanah berbatu sekalipun….bukan hanya kamu yang hidup di atas tanah ini. Sudah beratus bahkan beribu-ribu tahun leluhurmu hidup di atas tanah yang sama, menanam padi yang sama dengan tata dan cara kerja yang juga sama. Padi itu manusia. Jika setia, ia tak mungkin meninggalkanmu.
Cerpen ini mengisahkan tentang kepulangan Nara, seorang anak kampung Lamaholot, setelah begitu lama ia merantau di kota. Di kampung, ia kembali menemukan kebijakan lokal leluhurnya, salah satunya dalam hal bertanam padi ladang. Ia menjumpai kakeknya, Ba Tala yang masih setia dengan itu semua. Penghormatan Ba Tala kepada padi melibatkan semesta.
Maklum, di Lamaholot, padi adalah tipologi manusia setia yang membalas kebaikan dengan kebaikan. Benih padi yang akan diantar ke ladang ibarat seorang gadis yang diberi pakaian pengantin. Ia akan dikurbankan. Ia akan mati demi berlangsungnya kehidupan. Pengorbanan yang sama dilakukan Dewi Sri dalam hikayat padi di Jawa dan oleh seorang anak dalam hikayat padi di kalangan Dayak Ot Danum. Atau pengorbanan anak yatim piatu yang menggulingkan badannya di tengah ladang, lalu ia menjelma benih padi, dalam kepercayaan masyarakat adat Nggolo, Donggala.
Bagi Ba Tala, beras yang dibeli di warung tak sama dengan yang ditanam di ladang sendiri. Makan dari tanah sendiri berarti menyatu dengan tanah, udara, langit dan air. Walau sedikit segera kenyang dan membuat fisik kuat bertahan. Nikmat dan syukur mengenyangkan hati, menenangkan pikiran. Padi hasil panen disimpan di keban (lumbung), mengamankan lambung dari rasa lapar, menenteramkan hati dan pikiran. Ketenangan alam desa dengan demikian sejajar dengan ketenangan batin penghuninya.
Ucapan sang kakek merasuk bagai mantra pengikat batin bagi Nara. Ia yang sudah hidup merantau selama 25 tahun, seolah dipanggil Ibu Tanah dan Bapa Langit untuk pulang; kembali berladang padi. “Berladang buat kita dekat dengan tanah, dengan leluhur, alam dan kehidupan. Memiliki kehidupan membuat batin penuh dan tenang. Yang lahir adalah berbagi rasa sayang dan belas kasih,” kali ini ayah Nara yang berkata, seolah melanjutkan kata-kata sang kakek yang mengalir penuh makna.
Apa yang disampaikan Ba Tala dan ayah Nara, tak jauh berbeda dengan ungkapan Pak Agiran. Katanya, leluhur Talang Mamak percaya bahwa padi ada di dunia ini satu paket dengan tanah, air dan udara. Peladang melengkapinya dengan api. “Api itu bisa berupa pedang atau kapak yang ketajamannya akan membersihkan tanah. Api itu juga bisa semangat kita untuk mengolah tanah, mengalirkan air dan memanggil udara. Dan tentu api yang sebenarnya api, yang bisa merebus air dan memasak nasi,” kata Pak Agiran dengan semangat berapi-api.
Sebermula adalah benih padi. Akar-akarnya ditampung tanah. Petani membuka huma, dengan api. Membersihkan lahan, juga dengan api. Demi menampung anak-anaknya yang banyak. Setelah ditebar dengan tugal, dibasuh air dan dinafasi udara, benih berbiak, meninggi dan berbuah. Padi. Tak usah membeli beras. Bagi Pak Agiran dan umumnya orang Talang Mamak, dulu membeli beras hampir tak dikenal, untuk tidak mengatakannya ganjil. Padi ladang cukup memberi mereka makan sepanjang musim. Sebab beras dari padi ladang jauh lebih mengenyangkan; sedikit saja dimasak periuk akan melimpah. Bau berasnya harum, wanginya tercium dari dapur sampai ke beranda. Itulah perumpamaan yang disampaikan perempuan-perempuan Talang Mamak yang pernah saya jumpai.
Akan tetapi semua sudah berubah. Dalam cerita kepulangan Nara, ia menemukan kampung yang dulu dipenuhi pohon-pohon besar, sekarang sudah tak lagi ada. Ada pihak lain yang lebih berkuasa memerintahkan menebangnya dengan menghembuskan isu bahwa pohon-pohon besar itu sarang makhluk halus dan roh jahat. Tetua adat yang menolak dikriminalisasi dan dijatuhi hukuman dengan tuduhan bermaksud mendirikan agama baru. Tradisi berladang pun sudah mati. Tak banyak orang menanam padi, jagung, ubi, singkong, kacang tanah, jewawut dan gandum. Mereka beralih menanam kacang mente. Tanaman ini, meski mungkin tak serakus kelapa sawit dalam menghisap sumber air dan hara tanah, tapi juga menutup luasan lahan dengan tajuknya sehingga tak bisa ditanami tanaman lain, persis efek kelapa sawit. Dalam beberapa hal, tanaman jambu mente bisa merepresentasikan kelapa sawit.
Rupa-rupanya perubahan itu bukan tanpa maksud. Kampung mereka yang indah ternyata telah diincar para investor untuk dikembangkan sebagai tempat pariwisata premium. Tanah dan ladang warga dikuasai pengusaha dan dilegitimasi penguasa.
Begitulah, saat Nara dan keluarganya yang masih setia mengantar benih padi pengantin ke ladang, mereka dihadang sekelompok orang asing. Seseorang dengan wajah sedingin es mengeluarkan selembar surat. Itu bukti bahwa ladang mereka telah dibeli oleh Tuan James.
“Siapa yang menjualnya?! Apa selembar kertas bisa mengalihkan milik kami sejak leluhur kami dari berabad-abad yang lalu?” ayah Nara, seorang petani sejati, berontak tapi sia-sia. Tombak yang dihunusnya dibalas letusan senapan. Selesai sudah satu babak kehidupan. Putus sudah siklus hidup di bumi.
Di Talang Sungai Parit tak ada pihak yang menunjukkan sertifikat atau akta jual-beli. Tak ada yang menghunus parang dan tak ada letusan senapan. Tapi bayangkanlah, pengakuan Pak Dukun, tak kalah membuat hati nelangsa. Segalanya berlangsung dalam sunyi, sebagaimana saya tulis di catatan sebelumnya, “Menjejak ke Talang Mamak” (Langgar.co, Februari 2023).
Dalam tulisan itu saya mengutip Pak Dukun Marusi, balian Talang Mamak di Talang sungai Parit. Ia menceritakan nasibnya yang amblas berhadapan dengan perusahaan pemegang HGU. “Kebun karet saya habis dibabat,” katanya dengan nada tertahan.
Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa yang dikerahkan perusahaan. Ia yang hari itu tak ke ladang, diberi tahu oleh peladang lain bahwa pohon karetnya dicabut eksevator. Pak Dukun bergegas datang, tapi hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang. Tak ada ganti rugi, kecuali uang empat juta diserahkan belakangan. Itu lebih terasa sebagai penghinaan.
“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!” aku Pak Dukun waktu itu.
Pak Dukun, meskipun secara status sosial termasuk petinggi adat, namun dalam status ekonomi terbilang petani kecil. Boleh jadi ia potret petani kecil Talang Mamak lainnya yang berhadapan secara mengenaskan dengan perusahaan besar. Sementara di sisi lain, kita tahu, Riau, merupakan provinsi dengan lahan sawit terluas di Indonesia, dan mungkin di dunia. (*)
Foto: Motif Batik Tolak Bala.