Artikel

Selembar Batik dan Sehampar Padi Ladang (Melihat Sandang-Pangan Masyarakat Adat Talang Mamak, Bagian II)

Di Ladang Padi Pak Agiran

 

(Sambungan Bagian II)

Pada hari ketiga, kami turun ke ladang padi. Melalui anggota Taji Talang Parit (komunitas anak muda Talang Mamak), kami terhubung dengan Pak Agiran, seorang warga Talang Sungai Parit yang kebetulan punya padi ladang yang sedang dipanen. Kami diminta segera datang sebab dalam beberapa hari ke depan padinya akan selesai dituai.

Selepas dua hari pelatihan batik, kami segera berkunjung ke ladangnya yang terletak di sebelah Sungai Ekok. Jalan ke ladang terendam banjir. Kami harus menembus luapan air mula-mula selutut lalu sepinggang. Ada sebuah perahu kecil tertambat di batas kampung, tapi kami sengaja tidak menggunakannya. Selain tak muat, juga merepotkan menyongsong arus. Kami—saya, Ida, ditemani dua orang anggota Taji Talang Parit, Imron dan Herianto—memilih berjalan kaki di dalam air yang keruh kekuningan.

Kata Herianto, pada musim kemarau, jalur ini merupakan jalan kebun yang dapat dilewati  sepeda motor, hingga mencapai ke beberapa petak kebun dan ladang warga di sekitarnya. Bila musim hujan, sungai kecil di tepinya dengan cepat akan meluap. Alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit menghabiskan pohon-pohon dan hutan sehingga hampir semua kawasan di Talang Sungai Parit akan mengalami situasi yang sama tiap kali musim hujan tiba.

Dari jauh, Herianto sudah bersorak memberi isyarat kedatangan kami kepada Pak Agiran. Peladang itu membalas dengan sorakan panjang menandai keberadaan. Serentak burung-burung beterbangan dari belukar. Dari sisa tajuk pepohonan, monyet-monyet berlompatan.

Sorakan keberadaan ini menarik dipikirkan. Bagaimana di tengah luapan banjir, belukar dan sisa pepohonan, kita menduga tidak akan ada penghuninya selain mungkin burung-burung atau kawanan monyet. Namun jika kita bersorak dengan suatu isyarat yang saling dimengerti, maka akan ada sahutan. Tak mesti dari pemilik ladang. Bisa juga dari orang-orang yang kebetulan berada di sekitar kawasan, mungkin mereka sedang mencari ikan, mengumpulkan kayu bakar, mencari upahan di kebun atau menunggui padi ladang.

Dan konon, dalam suatu waktu, bisa saja yang menyahut adalah makhluk tak kasat mata yang juga berhak menunjukkan keberadaannya. Seseorang berteriak, “Hooiiii…!!” atau “Uwiiik…!!” yang panjang, lalu terdengar sesayup sahutan di seberang. Tapi ada kalanya tak ada siapa-siapa. Ladang dan hutan sedang sepi, dan suara yang bersipongang di udara lengang tak lain gema suara kita sendiri. Menandai keberadaan diri kita sendiri.

Ketika akhirnya kami sampai di hamparan ladang padi milik Pak Agiran, laki-laki 65 tahun itu sudah menunggu di atas pondok bersama istrinya. Selembar papan di penutu masih basah bekas cucian kaki mereka, membuat jejak di tangga. Menandakan bahwa suami-istri itu baru saja naik ke pondok, meninggalkan sejenak kesibukan mereka yang sedang menuai padi ladang. Tersenyum ramah, Pak Agiran mempersilahkan kami naik.

Herianto, yang memanggil Pak Agiran dengan “Nek” atau “Nenek” (itu panggilan untuk laki maupun perempuan tua) naik paling awal, menyusul Imron dan kemudian Ida.

Saya menyempatkan diri lebih dulu berkeliling ke hamparan padi Pak Agiran yang luasnya mungkin sekitar seperempat hektar. Seluruh lahan itu terendam banjir. Untunglah batang-batang padinya sudah sempurna tinggi dengan juluran tangkai buah yang terlihat sudah tua meski jarang-jarang. Bulir masak itu tak lagi menjadi serbuan burung karena sudah keras. Burung-burung pemakan padi menyukai bulir yang masih lunak atau dalam istilah peladang “sedang menyantan”.

Itulah saat tersibuk bagi petani padi ladang, sebagaimana pernah saya saksikan di ladang padi Pak Dana tahun lalu. Ibaratnya sedetik pun Pak Dana dan istrinya tak boleh beranjak dari tengah ladang jika tak ingin gerombolan pipit, tempua dan bondau meraok serentak ke bulir-bulir padi. Musim menuai tentu juga waktu sibuk, namun mereka bisa mengatur jadwal karena tak lagi ada yang diawasi. Kecuali dalam situasi yang dialami Pak Agiran saat ini: padinya terendam banjir, jadi harus segera dituai sebelum batangnya membusuk.

Keseluruhan lahan Pak Agiran, saya taksir hampir dua hektar, sebagian besar ditanami kelapa sawit, dalam usia bisa dipanen. Namun ada pula sebagian berupa belukar dengan pohon sialang (bekas hinggapan lebah madu) mencuat di tengah-tengahnya. Tampaknya dulu bekas lahan sawit juga, tapi pertumbuhannya kurang baik sehingga dibiarkan kembali bersemak.

Ketika saya menyusul naik ke pondok, cerita sudah mengalir.

Pondok Pak Agiran berukuran 2 x 3 meter, cukup untuk tempat menunggui padi sejak mulai tumbuh, membulir dan memancarkan buah. Kadang mereka bermalam di sana. Pondok bertiang kayu setinggi lebih kurang 1,5 meter itu memiliki sebuah dapur kecil dengan rangka yang dibuat menjorok ke luar. Tempat sebuah tungku terletak untuk memasak makanan atau sekadar memanaskan kopi.

Saat kami datang, Pak Agiran dan istrinya tidak menyalakan api. Mereka gelagapan meminta maaf sebab gula dan kopi baru saja habis dan mereka lupa membawa lagi dari rumah. Ada pun kami menyesali diri mengapa tak membeli gula kopi dan membawanya bersama penganan ke mari. Pak Agiran meminta maaf atas kehabisan gula-kopi, kami pun minta maaf tidak membawa gula-kopi dan penganan. Pak Agiran bilang tak apa, kami juga bilang tak apa. Toh percakapan  tetap bisa berlangsung di antara asap rokok dan tembakau lintingan.

Padi ladang, kata Pak Agiran, perlu terus ditanam dan benihnya dilestarikan. Hanya, katanya, ia harus ikut bertanam sawit juga karena bisa panen dalam hitungan bulan. Dulu, Pak Agiran, sebagaimana orang Talang Mamak, turut berkebun karet, tapi setelah karet tak lagi produktif dan harganya mandeg, mau tak mau sawit menjadi pilihan. Sedangkan bertanam padi bagi Pak Agiran semacam kewajiban.

“Ibaratnya, sawit untuk kebutuhan harian, padi untuk kebutuhan pokok. Kita harus pandai-pandai mengatur,” Pak Agiran menyalakan rokok. Lalu setelah menghisapnya panjang, ia bilang,”Hanya saja keduanya kini menghadapi masalah…”

“Masalah apa, Pak?” meski sudah tahu bahwa kedua tanaman ini, terlebih-lebih sawit, punya masalah, tapi saya tetap bertanya untuk mengetahui detailnya.

“Dalam menanam padi ladang kami terhalang peraturan pemerintah: dilarang membakar ladang untuk bertanam padi. Padahal dengan membakar itu kerja kami terbantu, semak dan ranting jadi cepat bersih, abunya jadi pupuk. Maklum kami bekerja manual. Ibaratnya hanya dengan mengandalkan lengan dan tangan. Kapak dan parang. Kalau dilarang membakar, bagaimana kami hendak membersihkan lahan agak luas? Padahal, sejak moyang sampai sekarang kami punya cara membakar, tak seperti perusahaan yang bakar seenaknya sampai menimbulkan kabut asap berbulan-bulan. Kenapa pemerintah pukul rata begitu kepada kami?”

Apa yang dikisahkan Pak Agiran sudah pernah saya dengar dalam kunjungan tahun sebelumnya. Pak Dana dan Pak Kepala Desa Talang Sungai Parit, Sudiman, lebih kurang menceritakan hal yang sama. Banyak peladang yang ditangkap, dibawa ke kantor polisi, meski sejauh ini di Desa Talang Sungai Parit belum pernah sampai disidangkan. Namun itu sudah cukup membuat orang Talang Mamak menjadi takut ber-huma, mempraktekkan cara berladang padi ala leluhur. Di desa lain, kasusnya ada yang sampai ke pengadilan. Misalnya seperti dialami Sona binti Kulupmat, perempuan adat Talang Mamak dari Desa Sanglap Kecamatan Batang Cenaku, Indragiri Hulu. Ia dituduh membakar lahan gara-gara membersihkan ladang untuk bertanam padi (Mongabay, 18 Maret 2025).

Lalu masalah kelapa sawit juga pernah saya catat dan tulis, misalnya tentang perusahaan mencaplok hutan ulayat dan mengambil sepihak tanah adat Talang Mamak. Tempat-tempat keramat yang disucikan seperti hutan larangan, mata air, lubuk sumber ikan dan pohon-pohon sialang, habis ditebangi dan diganti sawit. Itu berhubungan dengan perusahaan besar. Tak terbayangkan, ternyata ada masalah lain yang diam-diam menyulitkan para petani: pencurian buah sawit. Dan itu nyaris terang-terangan.

“Saya beberapa kali menjumpai maling di kebun saya, yang di sana, Pak,” Pak Agiran menunjuk kebun sawitnya yang terletak di balik ladang padi. “Mereka berombongan, tak ada takutnya, kita malah yang takut.”

“Berarti kenal orangnya, Pak?” Tanya saya.

“Iya, jelas kenal. Orang-orang kampung juga. Sesama kita juga.”

“Mereka terdesak hidup. Tak punya lahan. Malas cari upah ke kebun orang. Tapi masih suka makan pil,” istri Pak Agiran menimpal. Kami tahu apa yang dimaksud. Bukan rahasia bahwa pil ekstasi sudah merajalela masuk ke kampung-kampung.

Ujung dari persoalan kriminal tentu saja ke penegak hukum. Karena itu saya bertanya apakah kasus pencurian sawit sudah pernah dilaporkan ke polisi?

“Wah, sudah tak terhitung kalinya warga sini melapor ke Polsek, Pak. Tapi tak ada tindakan. Kata mereka, jika sawit yang dicuri belum sebanyak dua ton, laporan belum akan diproses. Konon katanya itu ada dalam undang-undang…,” Pak Agiran terdengar menghempaskan nafas putus asa. Lalu geleng-geleng kepala.

Sungguh aneh, pikir saya. Bagaimanakah membayangkan hukum baru bertindak jika perbuatan kriminal dihitung dengan “quota”? Banyak atau sedikit tetap saja mencuri, tetap saja ada yang dirugikan dan pihak lain dibuat tak nyaman. Tapi begitulah kisah nyata yang dialami petani kecil seperti Pak Agiran. Hasil panen tak seberapa dan harga tak pasti, sementara pencuri buah sawit dibiarkan oleh penegak hukum dengan dalih tak masuk akal.

“Kami saja panen tak pernah sampai satu ton, Pak. Bagaimana baru ditindak setelah dicuri dua ton? Memangnya kami perusahaan besar?” nada Pak Agiran berkobar menahan marah. “Semoga dalam pemilihan kepala desa nanti ada calon yang punya program mengatasi pencurian sawit. Itu yang akan kita pilih. Bukan begitu, Her, Imron?” ia cepat meredakan kemarahannya dengan melirik Herianto dan Imron.

“Iya, Nek, kita dukung kalau ada kepala desa dan aparatnya membuat tim keamanan kebun sawit,” jawab Herianto bersemangat.

“Iya, setuju,” balas Imron yang pendiam.

Percakapan terus berlangsung di antara suara burung bukakak yang bergema serak di tepi sungai kecil tak jauh dari pondok. Kata istri Pak Agiran, pasti si burung sedang pesta ikan sebab ikan-ikan banyak muncul di tengah banjir. Dulu, ketika rumpun rumbai masih tumbuh dengan baik di kawasan Talang Mamak, burung bukakak banyak bersarang di sana. Namun tanaman pembuat tikar itu sudah musnah seiring terbukanya lahan untuk perkebunan sawit.

“Bayangkan, sekarang kami harus membeli tikar rumbai ke pasar,” kata Pak Agiran masygul. “Dulu rumbai masih tersisa di sekitar hutan Payakumbuh, tak jauh dari perkebunan PT Inecda. Amai-amai Talang Mamak sering memetik daunnya ke sana untuk dibuat tikar dan anyaman. Eh, besoknya dibabat habis oleh pihak perusahaan sebagai larangan bahwa kami tak boleh masuk ke lahan mereka…padahal itu lahan ulayat kami,” Pak Agiran marah dan sedih.

“Padahal tikar rumbai itu juga untuk alas jenazah dalam upacara kematian,” kata istri Pak Agiran, menambah murung suasana. “Sekarang yang tersisa rumpun agam. Memang bisa dibuat tikar atau anyaman, tapi tak sekuat daun rumbai. Lagi pula daunnya pendek-pendek…”

“Lagi pula,” sela Pak Agiran,”Tikar agam tak bisa dipakai untuk alas jenazah yang meninggal…Sejak zaman tetua, kita gunakan tikar rumbai…”

Setelah cerita burung bukaka, tikar rumbai, pohon sialang dan aneka daun untuk obat, dengan segala kemurungannya, kami kembali kepada padi—dengan segala harapannya.

“Benih yang kami tanam sampai hari ini merupakan benih warisan dari nenek moyang,” mata Pak Agiran berbinar. “Semua ada cara menjaga dan menempatkannya. Saat ditanam jenis padi ucir dengan padi pulut harus dipisahkan antara utara dan selatan. Begitu pula setelah panen, di atas pondok ini saja mereka harus menempati posisi sesuai arah mata angin tempatnya dulu ditanam. Begitu pula jika sudah dirontokkan menjadi gabah, di dalam lumbung atau di atas rumah mereka juga harus ‘tidur’ terpisah…”

Padi ucir adalah padi untuk dimasak sehari-hari, sedangkan padi pulut merupakan padi ketan untuk penganan. Tim Taji Talang Parit dalam buku Profil Desa Talang Sungai Parit mencatat setidaknya ada 26 jenis padi ucir di kawasan Talang Mamak. Di antaranya adalah padi putan, padi sembilan buku, padi ranik, padi siak, padi kartu, padi bungin, padi paya, padi mayang dan padi duku. Sedangkan padi pulut antara lain pulut baok, pulut tulang, pulut santan, pulut sangkak, pulut lupa kaki dan pulut daun tebu (2024: 89).

Di antara jenis-jenis tersebut, ada beberapa jenis terbilang langka, seperti padi putih randah, padi perak, padi gading, padi pak alon, padi baur kail, padi kuku baning, padi bunga selasih dan pulut hitam—pulut yang paling digemari dan dulu amat dominan sebagai bahan penganan. Pulut paling enak adalah pulut lupa kaki, tapi saya segera teringat koreksian Jois Adisti, rekan kami yang sudah lama masuk ke kampung-kampung Talang Mamak.

Di suatu kesempatan, Jois bilang, yang benar itu pulut lupa laki. Ia mengaku pernah mendapat penjelasan soal nama itu dari warga. Konon itu berasal dari gambaran jika sang istri lagi memakannya sampai “lupa laki” (suami), saking enaknya. Mungkin sama enaknya dengan bareh (beras) Solok sebagaimana digambarkan dalam sebuah lagu tentang menantu yang lahap makan sampai “indak nampak mintuo lalu” (tidak kelihatan mertua lewat).

Tapi saya pikir, selain itu saya salin seperti aslinya dari buku susunan Tim Taji Talang Parit, “lupa kaki” mungkin juga nama yang pas untuk menggambarkan enaknya jenis pulut tersebut. Bayangkan, seseorang sampai lupa kaki untuk berdiri atau beranjak, saking enaknya makan penganan dari si pulut. Dan lagi pula itu lebih netral, tidak bias gender, seolah-olah hanya perempuan yang tergoda nikmatnya si pulut ajaib, padahal dalam kasus buah khuldi, bukankah Adam dan Hawa sama-sama memakannya?

Terlepas dari intermezo ini, saya bersyukur bisa melihat langsung beberapa jenis padi yang dicatat dalam buku profil desa tersebut. Saat itu, di tengah cerita tentang jenis-jenis benih padi yang masih lestari, Pak Agiran memberi isyarat kepada istrinya untuk mengeluarkan tangkai-tangkai padi yang baru dituai dari dalam keranjang. Istri Pak Agiran mengeluarkan pelan-pelan, dan setiap bertemu satu jenis ia tunjukkan kepada kami.

“Ini tandan salak!”

“Ini sembilan buku!”

“Karintil!”

“Karto!”

“Kumpal!”

“Puti tinggi!”

“Gading!”

“Dan ini padi paya!”

Setiap jenis padi menunjukkan bulir buah yang lebih besar, bentuknya relatif bervariasi. Ada yang bulat bundar, agak pipih atau lonjong. Benang tangkai tempat buliran itu hinggap juga lebih panjang, berliku dan membentuk ujung dengan sulur kecil. Sekilas saya lihat seperti gambar padi dan kapas yang terdapat dalam lambang negara, burung Garuda, sila kelima. Padi merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, dan kapas merupakan sumber bahan pakaian yang menjadi kebutuhan dasar manusia dalam melindungi diri. Jadi dalam konteks yang agak spesifik, padi dan kapas itu merujuk pangan dan sandang. Sehingga secara sederhana dapat dibayangkan, bahwa sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu baru bisa dianggap tercapai jika kebutuhan sandang dan pangan rakyat terpenuhi secara layak!

Akan tetapi, jika kita lihat kenyataan hari ini, jauh panggang dari api. Kita bisa saja merujuk pernyataan “Guru Bangsa”, Buya Ahmad Syafii Maarif, yang menyebut bahwa sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan sila yang “yatim-piatu”. Yakni, sila yang tak diurus secara serius, terlantar, karena pihak yang seharusnya bertungkus-lumus mengurusnya justru disibukkan dengan agenda pribadi dan kepentingan kelompok!

Menurut Pak Agiran, padi ladang memang memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan padi sawah. “Batang padi ladang tinggi-tinggi, makanya ada yang sampai sembilan ruas atau sembilan buku. Daunnya tegak dan tangkainya keras,” kata lelaki energik itu sambil mengembuskan asap rokok. Kemudian dengan agak berbisik ia katakan,”Padi ladang juga tahan hama dan cuaca, merawatnya tak terlalu sulit. Bisa ditanam secara tumpang sari di antara tanaman lain selagi tanamannya belum terlalu tinggi.”

Saya bisa memahami kenapa ia setengah berbisik. Kata “hama” dianggap sensitif untuk diucapkan di tengah ladang. Pak Agiran termasuk berhati-hati soal itu. Bahkan ketika Ida menyebut “Lancang Kuning” sebagai perahu tradisional Riau yang indah, Pak Agiran secepatnya menarok telunjuknya di bibir. Menurutnya, tidak boleh mengucapkan itu di ladang karena bertuah. Ida cepat paham, dan bagaimanapun ia tetap mencatat ciri-ciri khusus padi ladang untuk memberi karakter motif yang akan dia desain.

Saat menyusun kembali jenis-jenis padi yang terhampar di lantai pondok, saya baru menyadari bahwa padi dari semua jenis benih ditanam bercampur. Ini membuat saya agak heran membayangkan rasa berasnya. Pak Agiran yang mengetahui keheranan saya menjelaskan,“Semua benih ditanam bersama, kecuali padi paya yang memang khusus di tempat basah, dan padi pulut yang harus terpisah. Kami belum sempat menuai padi pulut, di sana,” Pak Agiran menunjuk ke luar pondok, ke bagian terujung dari ladangnya.

“Apakah dengan dicampur begitu rasa berasnya tidak aneh, Pak?” Tanya saya.

“Tidak,” jawab Pak Agiran.”Kecuali jika tercampur padi pulut. Ibaratnya pulut itu jantannya, dan padi ucir betinanya,” ia membuat umpama.

Ida minta izin mengumpulkan jenis-jenis padi yang baru dikeluarkan istri Pak Agiran. Padi itu masih utuh dengan tangkainya (karena proses panennya dengan tuai). Pak Agiran dan istrinya malah mengizinkan kami untuk membawa padi itu. Kami dengan gembira membungkusnya hati-hati ke dalam daun pisang, setelah sebelumnya saya foto dan memberi keterangan berdasarkan nama-namanya. Itulah nanti diolah  Ida jadi motif batik padi ladang.

Tak mudah membuat motif yang Ida bayangkan. Meskipun padi merupakan tanaman yang bersifat artistik, di mana setiap bagiannya akan tampak menarik, tapi ia menginginkan tampilan padi ladang yang memiliki ciri-ciri khusus, seperti batangnya yang tinggi, ruasnya banyak, malainya tak terlalu melambai, tahan cuaca dan hama serta buliran buahnya besar-besar. Hal itu menyiratkan sifat-sifat ketangguhan, elegan dan tak banyak menuntut.

Ida malah lebih dulu berhasil membuat motif Tolak Bala yang berangkat dari ritual dan prosesi adat masyarakat Talang Mamak. Untuk motif padi ladang, ia butuh waktu lebih lama. Memberi aksentuasi khas kepada padi yang sudah banyak dieksplorasi itu sungguh tidak mudah, jika tak ingin kemunculannya bersifat umum. Maka Ida memokuskan pada sifat dan ciri padi ladang yang sejak awal sudah tampak khas.

Ia merancang batang dan tangkai padi yang jangkung, dengan daun-daun cenderung tegak, meskipun batangnya dibuat miring. Kemiringan itu merujuk motif lerek (lereng) yang menjadi salah satu pola utama dalam batik Jawa. Namun di sini, lerek itu berangkat dari kondisi padi ladang yang siap panen, biasanya akan tampak seolah merebahkan diri. Ada pun makna khususnya ialah keberlanjutan, regenerasi, sekaligus memuat sifat padi dalam pengertian umum; makin berisi makin merunduk. Butiran-butiran padi teronggok dalam susunan yang rapi di antara batang padi, menyimbolkan pikiran bernas, kemuliaan dan kemakmuran. (*)

(Bersambung ke Bagian III).

Foto: Berbincang dengan Pak Agiran di pondok ladangnya.

About author

Raudal Tanjung Banua, tinggal di Bantul. Bukunya antara lain, Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).
Related posts
Artikel

Sastra dan Tari, Galuh dan Pram

Artikel

Laboratorium Pavlov dan Aksi Damai

Artikel

Femisida: Ketika Menjadi Perempuan Bisa Berujung Maut

Artikel

Selembar Batik dan Sehampar Padi Ladang (Melihat Sandang-Pangan Masyarakat Adat Talang Mamak, Bagian IV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *