Pertemuan dengan Riverside Forest merupakan ketidaksengajaan yang akan terus saya syukuri. Beberapa minggu yang lalu, seperti biasanya saya menutup malam dengan berseluncur di dunia maya, membuka salah satu website yang memuat konten-konten budaya populer, membaca beberapa artikel yang kemudian mempertemukan saya dengan Riverside Forest, punk football dari Bandung.
Setelah riset kecil-kecilan, saya mengontak salah satu kenalan media yang berada di Kota Bandung untuk dapat dihubungkan dengan Riverside Forest. Tak perlu waktu lama saya mendapatkan kontak salah satu pengelola Riverside Forest, Kang Akbar. Kamipun janjian wawancara atau lebih tepatnya ngobrol-ngobrol santai by phone seputar Riverside, punk football, dan sepakbola Indonesia.
***
Riverside Forest betul-betul berbeda dengan klub-klub sepakbola lain di tanah air. Mengusung semangat kolektif klub ini benar-benar dimiliki oleh supporter, Birds Death Brigade. Tak ada segelintir pemodal yang menguasi dan mendikte klub. Tak ada permainan-permainan di bawah meja. Laporan keuangannya sangat transparan, bisa dilihat siapa saja di akun IG resmi klub @riversideforest_. Keputusan-keputusan penting diambil bersama. Tak ada perbedaan mendasar antara manejemen, pemain, dan suporter: semua setara. Klub ini juga tidak memusingkan prestasi, menolak rivalitas negatif, rasisme, serta praktek-praktek kotor dalam dunia sepakbola.
Salah satu persoalan yang disorot Riverside ialah adanya jurang yang amat lebar dan dalam antara manajeman suatu klub dengan supporternya sendiri. Supporter nyaris tak punya peran dalam menentukan orientasi klub, tak bisa ikut bersuara saat ada yang tak beres, padahal supporterlah yang jadi fondasi klub bola.
“Elit-elit supporter yang menempeli manajemen, mencari makan dan mencari duit di klub tersebut, membuat kami semakin muak,” tambahnya.
Saat merasa hanya dijadikan sekedar komoditas oleh klub yang dulu mereka dukung, maka Kang Akbar dan kawan-kawannya memutuskan untuk mendirikan klub bola sendiri. “Kami kecawa terhadap manajemen dan memutuskan untuk tidak lagi peduli pada klub tersebut. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa lahirnya Riverside Forest bukanlah untuk melawan ataupun menandingi klub lokal asal bandung tersebut, tegas Kang Akbar.
Terbentuklah Riverside Forest di akhir 2021. Birds Death Brigade adalah nama supporternya yang, berbeda dengan klub umumnya, punya posisi setara dengan manajemen. Riverside kemudian kerap mengikuti liga dan kompetisi amatir yang ketika itu tengah marak di seantero Bandung.
***
Dari namanya, klub bola ini akan mengingatkan pada nama-nama klub sepakbola di Inggris seperti Nottingham Forest dan Forest Green Rovers. Akbar pun berkisah soal hari-hari awal lahirnya Riverside dan asal-usul nama itu sendiri.
“Itu berawal dari tempat nongkrong kami di Taman Sari yang diapit oleh tiga kampus dimana kawan-kawan setongkrongan berkuliah,” akbar mulai bertutur.
Taman Sari sendiri merupakan Hutan Paru-paru Kota Bandung. Di sekitarnya berdiri kampus UNISBA, ITB, dan UNPAS. Di salah satu sisinya, mengalir Sungai Cikapundung. Di daerah itulah Akbar dan kawan-kawan sering nongkrong. Di samping sama-sama menggemari sepakbola, mereka juga penikmat band-band dari Inggris, sepakbola Inggris, juga budaya-budaya populer Inggris,“lalu kepikiran, bagus juga kalau dikasih nama Riverside Forest.”
Jadi, Riverside mengacu pada Sungai Cikapundung dan Forest merujuk pada Taman Sari sebagai Hutan Paru-paru Kota Bandung. “Ya tidak terlalu filosofis juga [nama Riverside Forest], kami cuma mencocokkan hal-hal yang kami senangi aja, haha.”
Di daerah Taman Sari itulah awalnya mereka mulai merancang Riverside Forest, dari mulai konsep hingga manajerial. Mereka mulai melakukan riset lebih dalam soal punk football di Eropa, khususnya Inggris, dan menemukan sebuah buku berjudul Punk Football The Rise of Fan Ownership in English Football yang ditulis oleh Jim Keoghan.
Jim sendiri berasal dari Liverpool dan merupakan fans klub Everton FC yang juga sudah jenuh dengan sepakbola modern di Inggris. Akbar kemudian mengontak Jim untuk ngobrol soal tata kelola klub sepakbola secara mandiri. Jim memberi tanggapan yang baik, dan memesan bukunya tentu saja. Dari mempelajari buku itu disertai obrolan dengan dengan Jim, mereka punya gambaran sistem yang bakal diterapkan untuk Riverside Forest.
Kesetaraan antar pemain, manajemen, dan supporter, mereka sokong dengan pendanaan lewat mekanisme crowdfunding dan penjualan merchandise yang seluruh keuntungannya dialirkan ke kas klub. Sama sekali tidak ada investor. Klub dimiliki bersama. Jajaran manajemennya sendiri, bekerja secara sukarela tanpa mengambil gaji dari klub. Tranparansi keuangan klub dari terus diupdate pada halaman sosial media Riverside, hal yang satupun klub sepakbola Indonesia tidak berani lakukan
Untuk hal-hal teknis dalam sepakbola seperti manajerial dan staff kepelatihan Riverside Forest masih memaksimalkan sumber daya yang ada pada lingkaran mereka. Seperti, untuk direktur utama dipilih kawan yang memang sudah memiliki pengalaman mengurusi perusahaan-perusahaan, dan untuk keuangan diurusi oleh seorang kawan yang pernah bekerja di instansi perpajakan. Untuk legal ada kawan yang pernah sekolah hukum.
“Kami juga sudah mempelajari klub-klub di Eropa terkait pendataan supporter. Seperti yang jadi member klub nanti akan dapat keuntungan seperti menerima informasi rilis merhcandise lebih awal dan menjadi prioritas klub. Terkait tiket terusan, karena kita belum punya jadwal yang pasti dan stadion permanen jadi belum bisa dipakai, karena belum ada benefit yang bisa diterima oleh pemegang tiket terusannya,” terang Akbar.
Kolaborasi adalah satu kata kunci yang disebutkan Akbar soal keberlanjutan klub. Riverside kerap berkolaborasi dengan komunitas serta band lokal untuk menghasilkan kas klub. Pada 2021 mereka berkolaborsi dengan grup musik Teenage Death Star untuk merilis merchandise berupa t-shirt. Mereka juga pernah kemudian berkolaborasi dengan grup musik lainnya, The Dare, untuk merilis jersey klub.
Selain tempat belajar bersama, Riverside bagi Akbar adalah ruang untuk belajar berpikir adil dan konsisten.
“Kita teriak-teriak anti mafia sepakbola, tapi di tongkrongan masih pasang parlay atau judi bola. Itukan berarti juga mendukung untuk mafia sepakbola tetap tumbuh subur yang membuat kita jadi gak adil sejak dari dalam pikiran. Ya, jadi begitulah,”
***
Seiring waktu, Riverside mulai mendapat sorotan, bahkan di luar ekspetasi Akbar sendiri. Semangat yang mereka usung serta nilai-nilai yang diperjuangkannya, membuat Riverside diterima luas di kalangan anak muda. Hari ke hari, Riverside kian populer. Jersey yang mereka rilis, bisa ludes dalam hitungan menit.
Basis suppoternya terus berkembang, makin militan, memenuhi tribun di tiap pertandingan. Tidak hanya dari Bandung, sebagian juga sengaja datang dari Sleman, Tangerang, dan Jogjakarta. “Riverside memang sudah bukan cuma milik warga kota bandung saja. Kita juga kaget ada media dari Padang yang mau ngeliput, biasanya dari pulau jawa saja. Walaupun kemudian juga sudah ada beberapa media Eropa untuk meliput.”
Namun popularitas yang didapatnya itu ada harganya. Karena sering menyuarakan persoalan-persoalan di dunia sepakbola lokal dan nasional serta isu sosial di luar lapangan, nampaknya ada beberapa pihak yang merasa terancam.
Beberapa kali mereka ditolak untuk bermain oleh panitia kompetisi amatir di Bandung. Untuk tetap bisa bermain bola dan menyuarakan pesan-pesannya, mereka terpaksa harus bermain di luar Bandung. “Karena supporter kami terlalu banyak katanya, itu salah satu alasannya, yang tidak masuk akal.”
Investor mulai mendekat. “Salah satunya juga investor klub Liga 1, yang sangat mengapresiasi langkah kami dan juga membeli beberapa rilisan merchandise Riverside sembari mengode kalau butuh apa-apa kabarin aja dia siap support. Tapi setelah melihat backgroundnya kami menggelengkan kepala saja, enggak deh, makasih,” tawa Akbar terburai.
“Bukan apa-apa, karena ketika investor masuk kita pasti didikte oleh mereka, terus klub ini mau dibawa seenaknya saja, juga secara emosional kita juga gak terlalu mengenal mereka, nanti repot”.
***
Akhir tahun 2023 ini, Kompetisi Liga 3 Indonesia 2023-2024 bakal dimulai. Riverside Forest tengah menyiapkan diri untuk ikut mengarungi kompetisi profesional pertama mereka. Sejumlah rencana terkait syarat-syarat administratif hingga pendanaan, telah mereka rancang untuk satu musim. Jajaran kepelatihan dan skuad sudah disiapkan, termasuk scouting untuk menjaring bakat-bakat baru.
Bahkan, kata Akbar, pemain yang telah bergabung rela gajinya dipotong dan dimasukkan ke kas klub. “Akan tetapi untuk hal yang seperti ini kami tetap profesional, jangan sampai kita mengeksploitasi para pemain, jangan sampai kita melakukan hal-hal yang kita kritik sebelumnya itu.”
“Kedepannya juga kami juga sudah bisa ikut kongres PSSI. Hal yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, dari sekedar nongkrong-nongkrong saja hingga bisa punya hak dalam kongres PSSI. Tentu jadi hal baru bagi kami. Tapi tetap benang merahnya harus kita jaga dan konsisten dalam jalan kami,” janji Akbar lebih jauh.
Keikutsertaan Riverside Forest pada kompetisi Liga 3 musim 2023–2024 merupakan pilihan yang ditentukan bersama-bersama dengan para supporter. Keputusan yang diambil dengan jajak pendapat ini juga tak lepas dari kritik.
“Banyak yang mengatakan sepakbola kolektif yang katanya anti-FIFA dan anti-PSSI kok masuk juga ke dalam kubangan yang sama?. Hal ini juga bukan tanpa sebab,” jelas Akbar.
Sebagai sebuah tim sepakbola, kata Akbar, Riverside butuh turnamen atau kompetisi untuk diikuti. Sebagai punk football mereka juga butuh panggung untuk terus menyuarakan pesan-pesannya.
Akbar lantas menganalogikan posisi Riverside saat ini dengan kisah grup musik Rage Againts the Machine (RATM). Ketika RATM gabung ke major label, lanjut Akbar, mereka berkata itu tidak akan melunturkan prinsipnya. RATM justru berkata dengan gabung major label, pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan pun mendapat panggung yang lebih besar, suara mereka jadi lebih lantang dan luas jangkauannya.
“Kurang lebih seperti itu juga dengan Riverside. Dengan kita masuk ke Liga 3 mungkin kita akan dapat lebih merasakan secara empiris apa-apa yang kita kritik tadi. Kita juga bisa menyampaikan pesan-pesan lebih luas. Tujuan utamanya sih itu, terkait prestasi mah belakangan aja sama kami.”
Yang jelas, sambungnya, “kami ingin bersenang-senang, belajar mengelola klub secara mandiri, sambil terus menyuarakan kebobrokan dan ketidakadilan di dunia sepakbola khususnya dalam negeri,” jelas Kang Akbar.
***
Tapi mendirikan punk football dan bersenang-senang di lapangan saja ternyata belumlah cukup. Di luar lapangan ketidakadilan juga terjadi. Di samping menjadi latar bagi bobroknya industri sepakbola modern yang penuh tipu daya, Bandung juga kota yang penuh konflik sosial. Penggusuran-penggusuran misalnya.
Dalam konflik seperti itu, Riverside kerap diajak oleh kelompok-kelompok yang bersolidaritas dengan warga terancam penggusuran. Misalnya bikin event sepakbola di Dago Elos, salah satu titik penggusuran di Bandung.
“Ada kelompok-kelompok yang mengajak berkolaborasi terkait suatu isu, seperti penggusuran dan konflik di Dago Elos, kita coba bikin event sepakbola, sepakbola sebagai alat perlawanan lah, kurang lebih seperti itu,” jelasnya.
Meski begitu, Akbar menekankan bahwa Riverside punya keterbatasan tersendiri. Riverside, kata Akbar, memahami kapasitasnya sendiri sebagai kelompok penggemar bola yang lebih cendrung terfokus pada isu-isu dunia sepakbola. “Untuk isu-isu sosial seperti itu, seperti konflik, tentu sudah ada pos-posnya, ada teman-teman lain yang lebih paham,” katanya.
Lebih kurang begitulah Riverside memahami Punk Football. Punk Football tidak hanya ditafsirkan sebagai perlawanan terhadap kapitalisasi sepakbola namun juga perlawanan di luar lapangan. Karena itu pula Riverside sering disebut ‘klub bola kiri’.
“Nah, ini perlu diluruskan kembali. Memang banyak yang mengira Riverside merupakan klub sepakbola yang kekiri-kirian, akan tetapi, sedari awal kami telah sepakat bahwa kami apolitis dan tidak memihak pada pilihan politik manapun,” jelasnya sambil menambahkan bahwa ia akhirnya menyerahkan penilaian macam itu ke publik.
Pandangan politik adalah pilihan personal bagi tiap komponen Riverside. Tiap orang di Riverside mungkin saja punya kecendrungan politiknya sendiri. Riverside tak perlu memproklamirkan diri sebagai pengusung idiologi politik A atau B.
Namun, tambah Akbar, “intinya, kami berada pada di sisi yang tertindas aja, udah.”
***
Setelah telfon ditutup, saya berpikir bahwa hal ini to good to be true untuk terjadi di Indonesia. Membayangkan sebuah klub sepakbola yang dikelola secara egaliter dan transparan, seperti yang telah berkembang di Eropa, memberikan secercah harapan pada kondisi sepakbola lokal yang rasa-rasanya telah lama tidak dapat saya nikmati.
Dengan hal tersebut saya mempunyai alasan lagi untuk mengikuti sepakbola nasional dan mulai hari itu saya merupakan pendukung Riverside Forest. Keep The Black Flag Flying High! (*)
Editor Randi Reimena