Artikel

Pandeka Razali dari Tanah Taban

Saya datang ke Pariaman setelah acara pesona Hoyak Tabuik usai, Basapa telah selesai, sementara  acara Muluik belum dimulai. Saya memang tidak datang untuk acara-acara tersebut. Ada hal lain yang membuat saya tertarik datang ke daerah pesisir barat pantai Sumatera itu: sebuah sasaran silat.

Perjalanan saya mulai dari kota Padang. Siang itu cuaca begitu panas. Matahari seperti bola api raksasa di tengah langit biru. Beberapa awan dalam jumlah kecil terpencar-pencar. Dari kampus Universitas Andalas, saya melewati jalan raya by pass  menuju daerah Katapiang. Setelah sampai di Katapiang, saya menuju Ulakan dimana saya melihat plang sasaran silat bertebaran sepanjang jalan—sasaran silat Kapak Balam, Silat Sungai Pagu dan Anduang Puyuah dan banyak lagi. Betapa banyak sasaran silat di kawasan ini.

Kawasan ini dulunya terkenal sebagai bandar dagang yang sibuk. Para pedagang dari berbagai wilayah melakukan transaksi di sini, dimana para pendekar dibutuhkan dalam jasa-jasa pengamanan dan pengawalan. Kini, berdasarkan pendataan yang dilakukan Pak Chan (Pendiri Perguruan Silat Talago Biru Indonesia) bersama Dinas Kebudayaan Sumbar, kota Pariaman dan kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah dengan sasaran silat tradisi terbanyak di Sumbar. Di sini terdapat setidaknya 700 sasaran silat tradisi.

Dari ratusan sasaran tersebut, saya akan mendatangi salah satu sasaran. Di sasaran itu saya akan menemui seorang tuo silek tangguh. Saya pertama kali melihatnya di gelanggang pada tahun 2015. Pada acara Suaro Mupakaik Anak Urang Kurai (Sumarak). Saat itu tuo silek tersebut menutup gelanggang dengan dewan guru Satria Muda Indonesia (PPS SMI) Haji Syofyan Nadar. Usianya sudah lanjut, namun ia bisa mengimbangi kecepatan Syofyan Nadar. Sesekali kunciannya menyulitkan. Saya sangat terpesona dengan sikap pasang kuda-kuda dan ketangkasan geraknya.

Dalam perjalanan, jaringan pada ponsel saya tiba-tiba hilang. Google map yang saya jadikan sebagai satu-satunya pedoman untuk penunjuk jalan berhenti beroperasi. Kartu paket internet harga mahasiswa saya menyerah. Beberapa meter di depan jalan tempat saya menepikan motor terdengar gelak tawa di sebuah warung kopi. Saya mendatangi warung tersebut dan memesan minum. Di dalam warung lelaki muda dan tua berbaur di meja-meja sambil bermain domino, kartu remi dan ceki. Beberapa ada yang bermain gitar sambil bernyanyi.

“Panas berdengkang seperti ini kepala kerbau saja bisa dibuat retak, apalagi kepala kita. Lebih baik esok hari saja saya lanjutkan memanen.” Seorang lelaki dengan topi ladang menghampiri meja tempat saya duduk dan bergabung dengan mandannya. Tak ada kerja keras yang terlalu di sini. Kalau hari panas, orang mengaso, berdendang berlagu-lagu saja sambil goyang-goyang kangkung. Minuman yang saya pesan pun datang.

“Mau pergi ke mana, Yuang?” Tanya pemilik warung kepada saya. “Ke Tanah Taban, Mak. Ke rumah Bapak Razali.” Jawab saya sambil menyeruput minuman dingin. “Ooo, kamu lurus saja, setelah mesjid ada gang di sebelah kiri masuk saja ke dalam. Rumahnya di sebelah kiri setelah kebun kelapa”

Setelah minuman tandas, perjalanan saya lanjutkan dengan mengikuti intruksi wanita pemilik warung. Beberapa menit berkendara, saya menemukan mesjid, dan gang kecil di sebelah kiri. Saya masuk ke dalam gang, ada kebun kelapa dan menemukan rumah bata permanen. Suasana rumah tampak sunyi. Beberapa kali saya memanggil tidak ada yang menyahut. Di ujung kiri halaman rumah ada laga-laga berlantai tanah. Ada mading yang bertuliskan “Perguruan Silat Minang Bugih Lamo” Korong Tanah Taban, Limau Puruik, V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman.

Setelah memanggil untuk kesekian kalinya, dari dalam rumah keluar seorang wanita paruh baya memakai tingkuluak. “Cari siapa yuang? Dari mana?” tanya wanita itu. “Mencari inyiak Razali, Mak. Saya dari Padang. Inyiak ada dirumah, Mak?” tanya saya kepada beliau. “Ajo ke balai pergi rapat adat, Yuang. Ini kartu namanya. Telpon saja, kalau memang ada urusan penting temui saja ke sana. Tidak jauh dari sini.”

Setelah menerima kartu nama dan diberitahu alamat tempat rapat adat, saya pergi menuju tempat tuo tersebut. Sesampainya di tempat musyawarah, saya menelepon nomor yang tertera pada kartu nama. Beberapa detik nada ‘tut’ terdengar “Halo, Assalamualaikum. Ini dengan siapa?” terdengar suara seorang lelaki agak sengau. “Saya dari Padang, Nyiak. Mau bertemu dengan inyiak.” Jawab saya.

“Tunggu sebentar.” Sambungan telepon terputus. Dari balik pintu gedung pertemuan keluar seorang lelaki paruh baya. Tubuhnya tinggi, memakai peci hitam, lehernya terbalut kain sarung bugis, tubuhnya ramping, memakai celana hitam, baju batik lengan panjang. Ia tersenyum kepada saya. Beberapa giginya telah lepas. Saya langsung menyalami beliau.

“Ayoklah kita ke rumah. Sambil makan siang.” Ucap tuo silek tersebut kepada saya.

Ketika si tuo silek telah berada di atas motor, ada yang memanggilnya. “Jo. Bagaimana dengan rapatnya?” tanya seorang laki-laki kepada si tuo silek. “Apapun keputusannya, saya terima. Ini ada cucu dari Padang yang datang menemui saya.” Jawab si tuo silek sambil tertawa. Saya mengikuti si tuo silek di belakang. Sesampainya di rumah, saya dipersilahkan duduk di teras rumah. Selang beberapa saat, wanita paruh baya yang tadi saya temui datang menghidangkan air.

“Ini istri saya, Yuang.” Ucap si tuo silek pada saya. “Iya, Nyiak. Tadi amak yang memberikan kartu nama.” Jawab saya. Si tuo silek mengeluarkan ponselnya dari saku celana, kemudian ia melakukan percakapan entah dengan siapa, lalu panggilan disudahi. Kami berbincang tentang hal-hal yang dibahas dalam rapat adat yang ia ikuti tadi.

Dua orang lelaki datang membawa plastik jinjingan yang berisi nasi bungkus. Kemudian ada dua lelaki usia dini yang diantar orang tuanya. Mereka mendatangi tuo silek tersebut dan menyalami. “Kenalkan ini Reza dan yang satunya lagi Ai. Mereka ini anak sasian saya.” Saya menyalami mereka berdua.

“Ayo makan dulu. Nantilah kita mengeluarkan matras dan bersilat setelah makan.” Ucap si tuo silek. Saya terkejut, kenapa si tuo silek seolah bisa membaca niat saya. Nasi yang ada di dalam mulut nyaris tersembur keluar. Melihat saya tersedak si tuo silek tertawa. “Ya sudah pasti kamu datang ke sini untuk perihal silat. kalau tidak ada urusannya dengan silat, saya tidak akan meninggalkan rapat adat tadi, Yuang. Apa perguruan kamu? Di mana sasarannya?” Saya jawab satu-satu.

Si tuo silek mengangguk-angkuk “Guru ayahmu dan kamu itu pernah satu sasaran dengan saya. Dia Murid pak Pian Putiah itu.” Ucap beliau. Selesai makan, dan merokok. Kami mengambil matras di gudang penyimpanan. Dan membentangkannya di laga-laga.

Nama tuo silek yang saya temui ini Bagindo Razali. Razali merupakan salah satu tokoh silat yang berpengaruh di Padang Pariaman. Perguruan silat Bugih Lamo yang ia dirikan mengembangkan aliran silat tradisi Sunua. Razali mempelajari silat silat Sunua pertama kali pada tahun 1976. Ia belajar di Sungai Garinggiang dengan Buya Karunia. Orang Sunua Ulakan yang menetap di Sungai Garinggiang. Kemudian Razali pernah belajar beberapa jurus (sambuik) dan kuncian dengan saudara seperguruan Buya Karunia yang bernama Nochad.

Awal mula  Razali belajar silat karena di tempat ia tinggal, segala permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat seringkali bermuara pada pertarungan. Perkara tanah, ladang dan kebun bisa berkakhir dengan pertarungan seandainya tidak selesai dengan cara baik-baik.

Pada agenda silat di Sumbar, Razali dan muridnya menjadi langganan juara. Tak jarang Razali sebagai tuo silek yang membuka gelanggang perlombaan serta menjadi tuo silek yang melakukan pemeriksaan senjata peserta sebelum memasuki gelanggang pertandingan.

Seorang tuo silek Kumango asal Solok Bio-bio—Haji Tarmizi Akbar  (Kobar)—dewan guru PPS SMI dengan terang-terangan memuji kemampuan Razali. “Ajo itu sosok yang penting di kampungnya. Kemampuan penguasaan sambuik dan gerakannya masih kokoh. Ia bisa berkelakar dengan siapa saja di luar gelanggang dan begitu disegani ketika memasuki gelanggang.” Waktu itu saya bertemu Haji Kobar pada acara festival pencak silat internasional tahun 2018 di Payakumbuh.

Setelah selesai memasang matras, Reza dan pasangannya memasuki gelanggang. Mereka memberikan salam penghormatan sekaligus meminta izin kepada nyiak Razali.  Langkah Tigo menjadi pembuka gerak. Kemudian dilanjutkan dengan Langkah Ampek. Reza dan pasangannya silih berganti melakukan sambuik dan buka kuncian. Jarak serang yang mereka bangun begitu rapat. Serangan yang dilancarkan begitu cepat dan mengincar area mematikan. Daerah jakun, kemudian satu jengkal di bawah jakun, dan sejengkal lagi di bawahnya. Setelah melakukan gerakan tangan kosong, permainan dilanjutkan dengan Kuku Alang. Intensitas gerakan yang mereka bangun makin cepat.

Sore itu saya melihat hal yang lebih berbahaya dari amuk ombak pada saat musim pasang. Sesekali gemeretak bunyi sendi beradu sendi, permainan senjata yang berada di antara hidup dan mati. Pembatasnya hanya sepersekian mili angin lalu pada rongga tubuh mereka. Setelah beberapa kali bergantian menyerang dan mengunci, permainan diakhiri.

“Jika ada orang yang mengaku pernah belajar silat Pariaman, tapi ketika di ats gelanggang tidak memakai Langkah Tigo dan Langkah Ampek berarti mereka hanya belajar di Pariaman saja. Bukan belajar silat tradisi Pariaman.” Ucap Razali kepada saya. Sorot matanya  begitu dalam menatap saya.

Razali juga mengatakan perihal bagaimana ia mengajarkan ilmu silat Sunua kepada anak sasian atau kepada calaon anak sasian. Dari sikap, adab dan tutur kata mereka saja, Nyiak Razali sudah mengetahui. “Dari niat mereka itulah saya bersikap kepada mereka. Apa yang mereka tanam maka itu yang akan mereka tuai. Saya bisa merasakan dan melihat mana anak sasian yang menjadikan silat hanya sebagai jembatan atau jalan untuk tujuan utama mereka. Dan mana yang menjadikan silat sebagai pakaian badan dan sebagai sumber amal jariah bagi mereka. Karena silat Sunua Bugih Lamo berlandaskan kepada ketaatan dan mewakili rukun islam.” Suaranya begitu lantang ketika menjabarkan perihal silat Sunua kepada saya.

Langit sore Korong Tanah Tanah Taban berangsur-angsur diselimuti awan gelap. Saya berpamitan dengan tuo silek Razali, Reza dan rekan-rekan perguruan Silat Bugih Lamo yang lain. Razali melepas saya dengan senyuman khasnya. Saya bersalaman lebih lama dari salam sebelumnya. (*)

Editor: Randi Reimena

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *