Artikel

Pandeka Rajo Api


Tujuh orang pendekar yang menguasai aliran silat Taralak asal Maninjau datang ke Bukittinggi. Mereka menemui pendekar muda asal nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya, yang sedang mengadu nasib di Pakan Kurai. Maksud dari kedatangan mereka untuk memperingatkan pendekar muda tersebut supaya tidak mengajarkan ilmu silat Taralak ke orang umum, ke orang-orang Kurai. Bagi mereka, silat Taralak adalah sesuatu yang sakral dan tidak untuk diajarkan pada sembarang orang.


Namun peringatan dari tujuh pendekar itu tidak dihiraukan oleh si pendekar muda. Sang guru telah berwasiat kepadanya, bahwa ilmu silat Taralak yang ia kuasai harus diajarkan ke orang lain. Setidaknya ia harus mengajarkan kepada 5 orang semasa hidupnya. Penolakan tersebut berujung pada pertarungan.


Si pendekar muda berdoa kepada Tuhan supaya diberikan kekuatan untuk menghadapi tujuh pendekar tesebut. Atas usaha dan izin Tuhan, ia berhasil mengirim pulang tujuh pendekar tersebut ke Maninjau dengan kepala tertunduk. Sampai sekarang, ia masih giat mengembangkan aliran silat Taralak. Dan saya akan menemui beliau bersama ayah. Beliau tinggal di Bukittinggi.


Jarak tempuh nagari Balai Gurah, kampung saya, ke kota Bukittinggi kurang lebih dua puluh menit. Dari Balai Gurah yang mendung, saya dan ayah menuju kota Bukittinggi menggunakan sepeda motor. Beberapa menit berkendara, kami sampai di Pasar Aur Kuning. Siang itu Aur Kuning begitu ramai. Jalanan macet, angkutan kota memberhentikan penumpangnya di tengah jalan. Kuli angkut keluar masuk toko mengangkut grosiran yang dibeli para tauke. Polisi duduk-duduk santai di pos-nya sambil ketawa-ketawa. Mereka main HP, merokok sambil sesekali menyeruput kopi. Banyak pedagang dan masyarakat melabeli pasar Aur Kuning dengan Tanah Abang-nya Sumbar. Lantaran barang yang disediakan serba ada dan harganya murah. Mulai dari gamis ukhti jaman kini, hingga kutang dan sempak kakak naughty.


Setelah cukup lama menahan panasnya terik matahari di tengah kemacetan Aur Kuning, kami sampai di Tarok. Perjalanan kami lanjutkan menuju Kecamatan Guguk Panjang. Selang beberapa menit kami sudah sampai di rumah pendekar Taralak tersebut. Kami berhenti di depan pagar rumahnya. Ayah saya mengeluarkan HP lalu menekan tombol panggilan pada salah satu kontak. “Halo. Assalamualaikum, Pak, saya sudah di depan rumah.”


Ketika pembicaraan di telepon berakhir, pintu rumah dibukakan oleh seorang kakek. Tingginya kira-kira 165cm, kepalanya ditutupi dengan kopiah bewarna hitam, memakai baju koko putih, celana dasar hitam, kumis dan jenggotnya sudah memutih. Ia tersenyum dan mempersilakan kami masuk. Ayah menyalaminya dengan wajah sumringah. Anaknya menghidangkan kopi dan kudapan.


Ternyata pendekar muda yang pernah melumpuhkan tujuh pendekar Taralak tersebut sudah memasuki usia lanjut. Namanya Afrizal Chan Sutan Rajo Mudo (Pak Chan). Ia mulai belajar silat sejak usia dini di Koto Kaciak. Salah satu nagari di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Pak Chan belajar silat aliran Taralak dengan empat orang yang berbeda. Mulai dari aliran Taralak Jantan dengan Zaidin Sutan Sampono dan Alam Sutan Muhidin, sampai aliran Taralak Batino dan Silek Gadang dengan seorang Angku Tarekat yang bernama Angku Tameh dan Rasyidin.


“Sebelum belajar ke guru yang lain, saya harus mendapat izin dari guru saya sebelumnya terlebih dahulu. Kalau tidak meminta izin, saraik yang saya bawa ke guru yang berikutnya tidak akan diterima. Karena bagi mereka silat bukan hanya sekedar ilmu untuk membela diri. Tapi ilmu yang melingkupi lahir dan batin manusia.”


Pak Chan merupakan pendiri perguruan Silat Talago Biru Indonesia. Perguruan silat yang mengembangkan aliran silat tradisi Taralak. Perguruan Silat Talago Biru Indonesia (PS Talago Biru Indonesia) telah membuka unit di berbagai daerah. Mulai dari Agam, Pasaman, Bukittinggi, dan Pariaman. Di luar Sumbar unitnya ada di Lubuk Linggau, Batam, Pekanbaru, Medan, dan Jambi. Bahkan telah sampai ke luar negeri—Mesir.
Pak Chan adalah tuo silek yang berperan dalam agenda-agenda pencak silat di Sumbar. Mulai dari festival silat tradisi, pengkaderan dewan juri silat, dan ketua official tim pada sebuah pertandingan. Banyak proses yang telah ia lalui. Ia juga bercerita kepada saya bagaimana sulitnya mengembangkan silat Taralak pada tahun-tahun awal ketika datang ke Bukittinggi.


“Awalnya saya dan beberapa rekan dari Koto Kaciak mengajar silat masih dalam bentuk persatuan. Jadwal latihan kami masih tidak menentu. Karena sulitnya memberikan pemahaman kepada masyarakat Kurai saat itu. Jika mau membuka sasana latihan, isi perut kami ditanya. Padahal saya dan rekan yang lain mengajarkan silat bukan untuk meraup keuntungan. Hanya menjalankan amanah guru kami. Kemudian pada tahun 80-an bela diri asing seperti Tako (Karate), Taek Kwon Do mulai masuk dan mulai pesat perkembangannya di Bukittinggi.” Ucap tuo silek berusia 68 tahun tersebut.


Setelah beberapa tahun membuka sasaran dalam bentuk persatuan, pada 4 April tahun 1987 ia membentuk perguruan silat Talago Biru Indonesia. Pak Chan membuat dua metode penerimaan anggota. Untuk tahap awal, pendaftaran menggunakan formulir. Jika pesilat Talago Biru Indonesia sudah layak mengambil aliran silat tradisi, barulah pesilat melengkapi syaratnya secara tradisi. “Jika pada awal penerimaan kita menerapkan persyaratan yang rumit, hal tersebut tidak akan membuat masyarakat tertarik belajar silat. Makanya saya berbenah dan mengadaptasi beberapa metode penerimaan murid pada Tako dan Taek Kwon Do.”


Perguruan ini berkedudukan di Jakarta dan berkedudukan teknis di Maninjau, Sumatera Barat. Falsafah dari PPS Talago Biru Indonesia ialah Luruih, Bana, Saba, Lillah (Lurus, Benar, Sabar, Lillahi ta’ala). Artinya, seluruh pendekar, maupun guru di perguruan ini, harus mengutamakan budi baik, berkata benar, sabar, dan segala perbuatan harus lillahi ta’ala. PPS Talago Biru Indonesia telah banyak berkontribusi dalam pengembangan aliran Silek Taralak. Pak Chan berkedudukan sebagai guru besar (tuo silek), kemudian ada guru utama sebanyak 26 orang, guru sebanyak 47 orang, pendekar utama sebanyak 20 orang, dan pendekar sebanyak 16 orang. Mereka dilantik pada tanggal 1 Juli tahun 2017 di Maninjau.


Tidak hanya berproses di Talago Biru Indonesia, Pak Chan juga aktif bersama perguruan silat Satria Muda Indonesia (SMI), Sin Lam Ba. Di perguruan silat Sin Lam Ba, Pak Chan menciptakan 15 jurus utama. Dari 15 jurus utama tersebut dipecah menjadi 200 jurus dan dibagi menjadi 9 tingkatan.


Pernah seorang bule asal Jerman datang ke Bukittinggi untuk menguji kemampuan para pesilat di Bukittinggi. Ia menguasai ilmu bela diri Karate, Tai Chi, dan Kungfu. Beberapa pendekar di Betawi telah ia kalahkan. Di Bukittinggi si bule ingin bertarung melawan Syofyan Nadar dan Tarmizi Akbar (Kobar)—(anggota dewan guru PPS SMI). Syofyan dan Kobar waktu itu baru pulang melatih dari Cilodong—markas kesatuan kopasus.


“Sebelum si bule Jerman menghadapi Syofyan dan Kobar, saya yang maju terlebih dahulu. Tujuannya, untuk menjaga marwah mereka berdua sebagai dewan guru. Jika saya kalah, barulah ia menghadapi dewan guru tersebut. Atas izin Tuhan, si bule yang katanya ahli bela diri tersebut bertekuk lutut di hadapan saya, Syofyan, dan Kobar. Dan ia tertarik belajar silat Minangkabau. Kalau atas nama silat kita bersatu! Ibarat tubuh, jika satu bagian terluka, semua anggota tubuh harus merasakannya.” Bola Mata Pak Chan berbinar-binar ketika bercerita kepada kami berdua.


Pada tahun 2017 lalu, Pak Chan dipercaya memimpin tim official Kabupaten Agam pada kejuaraan silat tradisi Galanggang Siliah Baganti (GSB) tingkat Sumbar di Lubuk Basung. Ayah saya juga termasuk ke dalam tim tersebut. “Pada gelaran GSB 2017 tersebut, terasa begitu berat bagi saya ketika memulai proses latihan. Bagaimana tidak, pesilat dari daerah lain yang mengikuti GSB waktu itu tangguh-tangguh. Pelatih dan perangkat tim mereka pernah menjadi pemenang pada GSB sebelumnya. Sedangkan tim saya mayoritas pemula. Ditambah lagi kabupaten Agam tahun 2017 berstatus sebagai juara bertahan.” Mata Pak Chan fokus kepada ayah saya. Ayah hanya bisa tertawa menjawab tatapan penuh makna tersebut.


“Berkat rahmat Allah, kerja sama tim, dan ketekunan atlet menjalani metode latihan yang saya dan tim terapkan, alllhamdulillah kami berhasil menjadi pemenang. Kami antar sampai anak-anak ke panggung juara. Ada yang menangis haru, bersorak-sorak ketika mendengar nama mereka diumumkan keluar menjadi pemenang, dan beberapa official yang pura-pura tegar. Padahal air matanya yang berlinang tinggal menunggu hitungan detik saja jatuh ke matras.” Tetiba muka ayah saya memerah. Saya tertawa bersama pak Chan. Kopi pun makin nikmat terasa di lidah. Ternyata ayah saya sentimental juga pada situasi tertentu.


Pandeka Rajo Api—begitulah orang memanggil Pak Chan ketika hendak memasuki gelanggang. Sampai sekarang Pak Chan juga tidak tau pasti arti dari Pandeka Rajo Api yang disematkan kepada dirinya.


“Gelar Pandeka Rajo Api itu lekat dengan saya pada suatu acara silat di Padang Panjang tahun 2009. Begitulah kita hidup di Minang, tidak lepas dari gelar balai dan gelanggang. Bahkan gelar adat yang kita sandang setelah menikah lesap saja dalam diri masing-masing.” Ungkap Pak Chan sambil tertawa. Sosoknya begitu ramah pada siang menjelang sore itu. Sangat berbeda ketika ia berada di atas gelanggang lengkap dengan pakaian silat tradisi–saya melihat sosok tuo silek yang tangguh nan sangar.


Pak Chan masih akan terus bersilat. Usia bukan penghalang baginya. Ia akan terus bersilat sampai Tuhan mengutus malaikat Izrail mencabut nyawanya.

“Ketika para ulama berdiri di atas mimbar menyampaikan ajaran-ajaran islam yang telah mereka pelajari, saya berdiri di atas gelanggang. Jika seorang pesilat terlintas di pikirannya untuk berhenti pada suatu kedaan, lebih baik tidak mengikuti sedari awal. Kita masih butuh penerus.” Ada air yang tetiba menganak di sudut matanya. Jernih seperti air di telaga biru. Mengalun bening dan menggetarkan. (*)

Editor: Randi Reimena

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *