Tahun 2023 lalu, ketika diminta menjadi narasumber untuk Peringatan 99 Tahun Sastrawan AA Navis, di FISIP Universitas Andalas, saya menyampaikan satu pokok pikiran, yang dimulai dengan sebuah pertanyaan: Apakah kita benar-benar sudah siap merayakan AA Navis?
Meskipun AA Navis (1924-2003) adalah tokoh sastra yang melampaui Sumatra Barat, saya menggunakan kata “kita” untuk merujuk masyarakat Minangkabau, khususnya kaum terpelajarnya, sesuai dengan konteks acara. Dalam hal itu, saya berpendapat bahwa kita hanya siap merayakan nama besar penulis cerpen terkenal “Robohnya Surau Kami” tersebut, namun kita tidak benar-benar siap dengan posisi yang diambil AA Navis terhadap kebudayaan Minangkabau.
Kalau hanya sekadar merayakan nama besar, siapa saja bisa “berjoget dan bernyanyi”, bahkan dengan suara paling bising dan gerak-gerik yang tak kalah agresif. Lain halnya kalau kita menukik langsung ke lapangan kebudayaan di Sumatra Barat, bakal terlihat jelas bahwa posisi yang diambil Navis selama hidupnya berbenturan dengan perangai kolektif masyarakat Minangkabau, baik dahulu maupun sekarang.
Posisi yang saya maksudkan itu, di antaranya, sikap keras Navis menolak praktik feodal yang seringkali ditampakkan seakan-akan demokrasi, pembenaran atas sikap tidak bertanggungjawab yang dibungkus dengan melodrama, penciptaan dongeng serba-bisa yang diklaim sebagai sejarah, dan tabiat primordial yang dinarasikan sebagai kepedulian terhadap tradisi, sebagaimana terjadi secara khas di Minangkabau. Sering saya perhatikan, bila berhadapan dengan persoalan sama yang pernah dihadapi Navis tersebut, kita lebih memilih menjadi “tuli dan buta”. Main aman.
Sebagai orang Minangkabau, Navis tak hanya memainkan peran aktif dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat dan menulis sejumlah karya sastra untuk menawarkan sudut pandang alternatif, tetapi secara intens ia mempelajari budaya Minangkabau hingga menghasilkan berbagai kertas kerja hingga buku yang sampai sekarang menjadi rujukan utama bagi kaum akademis. Bahkan kaum akademis yang mencela ketika Navis mengerjakan buku tentang Minangkabau itu sampai sekarang tak satupun berhasil menulis buku bacaan wajib tentang Minangkabau, malah ikut mengutip buku itu. Bahkan kerja akademik Navis di bidang studi Minangkabau berdampak panjang pada pendirian Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Entah berapa banyak orang yang mendapatkan manfaat pada keberadaan institusi arsip ini.
Namun, sayangnya, semasa hidupnya ia masih saja dicela sebagai “bukan orang Minang” karena garis keturunannya tak sejalan dengan sistem matrilineal! Padahal, dengan segala keterlibatan dan kontribusinya, Navis membuktikan tanpa tanding bahwa matrilinealisme bukan satu-satunya jalan untuk “menjadi Minangkabau”. Sekali lagi, “menjadi Minangkabau” tidak harus dengan adanya garis keturunan ibu Minangkabau. Pandangan ini tentu tidak akan disenangi oleh para penghamba budaya lokal, sekalipun kajian akademik terbaru sudah membuktikan bahwa tidak hanya suku, ras pun hasil konstruksi. Oleh sebab itu, lebih sayang lagi, sampai saat ini pemujaan berlebihan pada garis keturunan ibu masih terjadi dan terus memakan banyak korban. Melakukan politisasi atas garis keturunan ibu untuk merampas hak, menghambat karir, menyingkirkan, hingga mengabaikan orang tertentu adalah bagian dari sikap pemujaan berlebihan pada garis keturunan. Perilaku purba ini terus dilanggengkan oleh sejumlah orang ketika di saat yang sama mereka turut “berjoget dan bernyanyi” merayakan hari kelahiran AA Navis.
Singkat kata, sebagaimana saya sampaikan di acara peringatan 99 Tahun AA Navis tersebut, kita setiap tahun bisa saja merayakan AA Navis yang jelas-jelas kontra terhadap primordialisme, hanya saja di saat yang sama kita tak jarang ikut mempraktikkan perilaku primordial Minangkabau dengan rasa percaya diri yang tak karu-karuan. Dan karena terlanjur peduli hanya pada kebesaran nama seseorang (tentu agar bisa menebeng di atasnya), kita tidak pernah benar-benar punya kepedulian untuk terus mengikat erat nama besar itu dengan kerja-kerja memproduksi sumber pengetahuan yang dapat terus diperbarui. Ini bukan persoalan kemarin sore.
Tan Malaka (1897-1949) adalah tokoh publik lainnya yang sejak dulu diperlakukan sebatas nama besar saja oleh perangai kolektif kita ini. Dalam banyak kesempatan, para akademisi hingga politisi tak henti-henti mengeluh soal tidak adanya lagi tokoh besar dari Minangkabau, tentu tanpa ketinggalan menyebut nama Tan Malaka. Tapi tak ada satupun langkah serius untuk membuat semacam lembaga ilmu pengetahuan yang kokoh dibangun berdasarkan warisan karya-karya, baik yang ditulis oleh atau tentang Tan Malaka. Jangankan memandang pemikiran Tan Malaka sebagai khazanah pengetahuan yang masih terbuka untuk digali kembali, kita malah terkurung dalam doktrin Orde Baru yang menyudutkan tokoh besar itu sebagai pengkhianat bangsa. Jangankan menggali pengetahuan dari karya-karyanya, diskusi buku dan pemutaran film tentang Tan Malaka di Padang saja dibubarkan oleh aparat. Ah, akan terlalu miris kalau kita sebut pula apa yang dinamakan Museum Tan Malaka di Suliki itu, yang nasibnya sangat memilukan, dan sudah seperti rumah tak layak huni, sementara para elite terus saja mengeluh soal tak ada tokoh besar dari Sumbar.
Begitu juga Buya Hamka (1908-1981). Kita tidak ragu lagi kalau kutipan Hamka muncul di mana-mana, apalagi di sosial media, dan namanya tak kalah populernya hingga saat ini. Rumah masa kecil Hamka di Maninjau juga menjadi tempat wisata. Tapi perhatian kita tidak lebih dari itu dan hanya bangga sampai di sana saja. Justru kawan-kawan akademisi di Malaysia yang lebih serius menjadikan karya-karya Hamka sebagai warisan ilmu pengetahuan yang tak habis-habis digarap, yakni dalam bentuk Hamka Centre. Lembaga riset ini tahun lalu membuat seminar khusus Hamka dan dari skema yang mereka buat kita mendapatkan suatu lanskap keilmuan dan pengaruh Hamka yang tak kalah menarik.
Di tangan mereka yang serius mengelola ilmu pengetahuan itu, jauh berbeda dari apa yang dilakukan di Minangkabau, Hamka tak berhenti di nama besar aja. Tetapi dikokohkan dengan cabang keilmuan yang terkait dengannya, seperti tafsir, fiqih dan ushul fiqih, sastra Islam, perbandingan agama, sufisme, kelompok minoritas, filsafat, historiografi, novel, jurnalisme, dakwah, media, sosial dan politik, otobiografi dan catatan perjalanan, persoalan gender, fatwa, reformisme, kepemimpinan, dan lainnya.
Masih banyak nama-nama lain yang dapat kita sebut dengan kemirisan yang tak kalah menyakitkan. Tidak cuma tokoh yang jadi besar di era awal kemerdekaan tersebut, bahkan tokoh yang baru meninggal dalam satu dekade belakangan juga dirayakan sekaligus diabaikan dengan cara yang sama sebagaimana tokoh yang disebutkan tadi. Sebut saja misalnya Wisran Hadi (1945-2011) dan Buya Ahmad Syafii Maarif (1935-2022). Selain upaya terbatas yang dilakukan keluarga atau orang terdekat, warisan karya kedua tokoh ini belum dikelola secara serius dan digali sebagai sumber pengetahuan yang dapat terus dikembang-luaskan. Tentu saja ada beberapa langkah kultural yang dilakukan orang-orang terdekat mereka untuk menggali warisan karya mereka, tapi tak ada dukungan penuh agar langkah itu tetap terus berjalan. Malah sebaliknya, dengan suatu dan lain cara, tak sedikit kita yang diam-diam merasa “lega” karena dua tokoh pengkritik keras kehidupan sosial Minangkabau itu “tidak lagi membuat gaduh”.
Di tengah situasi seperti itu, kepada siapa kita berharap agar warisan intelektual dari para tokoh-tokoh itu dikelola dengan sangat serius? Pihak pertama yang kita bayangkan tentu saja pemerintah. Tapi, menyebut pemerintah akan lebih banyak membuat kita patah semangat daripada sedikit optimis. Yang terbayang pertama kali bagi saya adalah raut muka ketidakpedulian dari wajah para abdi negara. Secara struktural tentunya sampai sekarang peran pemerintah sangat penting tapi secara sosial-politik saya belum menemukan tanda-tanda akan ada langkah yang lebih baik dari kaum birokrat yang hanya sibuk mengurus nama baik daerah dengan cara instan itu.
Lebih ironisnya, jangankan membuat terobosan untuk mengelola warisan ilmu pengetahuan, kini pemerintah daerah malah ikut menjadi pelaku yang turut menjalankan perangai kolektif tersebut. Apa akal kita lagi? Dalam beberapa hari ini beredar berita tentang rencana Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk mengubah nama Masjid Raya Sumatra Barat menjadi Masjid Raya Ahmad Khatib al Minangkabawi. Gubernur Mahyeldi, dengan keyakinannya yang terlalu berlebihan bahwa ia sangat peduli dengan adat dan agama di Minangkabau, lagi-lagi membuat langkah besar yang jalan di tempat.
Sekilas, rencana tersebut tampak sangat tepat untuk membangun semacam situs memori terhadap Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi (1860-1916), yang akan membuat nama ulama besar ini kembali muncul sebagai memori kolektif orang Minangkabau. Orang yang tidak tahu, baik dari dalam maupun luar Sumatra Barat, katakanlah akan bertanya-tanya tentang tokoh yang jadi nama Masjid itu dan kemudian mereka mengunjungi museum, perpustakaan, atau pusat studi yang disokong secara profesional oleh pemerintah untuk mencari tahu tentang riwayat hidup utuh hingga karya-karya lengkapnya.
Namun begitu, kejadian demikian hanyalah khayalan tingkat tinggi dan tak pernah bisa terjadi karena memang upaya pemberian nama tidak sepaket dengan upaya mengelola khazanah karya Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi secara serius. Padahal, gambaran di atas cuma gambaran paling normatif saja dan itu saja sudah terlihat mustahil dikerjakan oleh pemerintah kita. Apalagi kalau kita bayangkan gambaran yang lebih progresif dari itu semua, maka akan semakin tidak masuk akal rasanya Gubernur dan pendukungnya akan memikirkan lebih jauh.
Bahkan, kalau ditimbang-timbang lebih dalam lagi, penggantian nama itu hanya layak dilakukan jika sejak awal pemberian nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi benar-benar sudah tepat sebagai nama sebuah Masjid Raya. Tulisan budayawan sekaligus dosen UIN Imam Bonjol, Zelfeni Wimra, di laman opini Langgam justru meyakinkan kita bahwa sebesar apapun nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi tetap saja itu bukan pilihan yang bijaksana untuk nama Masjid yang didirikan di Sumatra Barat, apalagi ditambah adanya unsur-unsur strategi pariwisata yang ujung-ujung semua ini kembali lagi ke urusan lagu galas belaka. Dan sejauh ini belum ada alternatif dari pihak lain yang dapat menjelaskan mengapa nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi lebih tepat digunakan. Tentu saja alternatif yang saya maksudkan adalah suatu argumen yang serius, bukan percakapan mengawang-awang di kedai kopi.
Lalu, bila penggunaan nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi terus dipaksakan sementara semua itu dilakukan tanpa ada keseriusan mengelola warisan pengetahuan secara profesional, saya curiga bahwa upaya itu tak akan lebih baik dari sekadar pemberian nama jalan raya. Contoh yang cukup baru saya temukan yaitu ketika banyak orang mengetahui Rasuna Said (1910-1965) dan sebagian besar mengaku pertama kali mengetahuinya dari nama jalan. Sebagai perkenalan awal tentu saja tak masalah bila nama seorang tokoh dikenali dari nama jalan, tapi kalau berhenti di situ saja tentu ironis jadinya, dan memang itulah yang kerap terjadi saat ini. Oleh sebab itu, sangat wajar ketika generasi muda hari ini ada yang berkata bahwa mereka baru tahu kalau Rasuna Said itu ternyata seorang perempuan, itupun setelah sebuah media daring membuat konten tentang tokoh itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ketika ia mendengar nama Rasuna Said maka yang terbayang satu-satunya hanyalah deretan ruko di jalan itu. Ini konsekuensi yang sangat wajar ketika sebuah nama hanya jadi situs memori belaka tanpa meneruskannya menjadi suatu tata kelola ilmu pengetahuan.
Adapun soal tata kelola ilmu pengetahuan, sebagaimana sejak tadi saya sebutkan, bukanlah sekadar menjadikan sebuah rumah atau ruangan sebagai tempat menyimpan koleksi buku, kumpulan karya, sejumlah foto, dan perkakas yang dipakai oleh tokoh besar tersebut. Tentu saja upaya melakukan pelestarian seperti ini sangat penting bahkan sangat fondasional. Setelah pelestarian ini dilakukan, setelah itu mesti dilanjutkan dengan suatu program berkelanjutan untuk mengkaji dan mengaji kandungan ilmu pengetahuan dalam karya-karya para tokoh besar itu, entah itu melalui penelitian jangka panjang, seminar lintas disiplin, penerbitan jurnal, beasiswa, penghargaan, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, barulah kemudian kita dapat mengolah dan mengeksplorasi kandungan ilmu pengetahuan tersebut, misalnya, dengan melakukan kerja adaptasi, transformasi media, rekonstruksi visual, dan sebagainya.
Singkat kata, melalui gambaran yang sangat simpel ini, tata kelola ilmu pengetahuan tidak bisa dilakukan hanya dengan modal motivasi “yang penting sudah ada”, melainkan mesti dimulai dari cetak biru yang terukur dan dijalankan oleh tenaga profesional. Tapi, lagi-lagi, saya tidak yakin pemerintah Sumatra Barat akan memberikan perhatian seserius itu. Saya lebih yakin bahwa pemerintahan daerah itu paling-paling merasa tak habis pikir mengapa mereka harus menganggarkan biaya besar hanya untuk mengurus tata kelola ilmu pengetahuan. Tentu saja dalam mental pragmatis pejabat, menjual nama besar saja sudah menguntungkan daripada mengurus warisan pengetahuan.
Apa akal kita lagi?
Sebenarnya ada yang lebih saya cemaskan. Kalau saya coba-coba pertimbangkan kondisi psikologi-sosial kita sebagai “orang kalah” yang senang berhalusinasi sebagai “pihak menang”, maka pemakaian nama ulama yang pernah menjadi imam Mazhab Syafi’i di Mekah ini berpotensi digunakan sebagai validasi psikologis bahwa kita sudah hebat sejak dulunya. Masalahnya, validasi semacam ini bergerak menjadi keangkuhan primordial, yakni dengan mengatakan bahwa saking hebatnya orang Minang, para pendiri NU dan Muhammadiyah dulunya justru belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi di Masjidil Haram. Dan saya sudah dapat menebak kelanjutannya, sebagaimana yang sering terdengar: “Jangan kami pula yang diajarkan soal agama, guru kalian aja dulu belajar sama orang kampung kami!” Betapa miris, nama ulama besar berpotensi hanya jadi sarana bagi kita untuk menepuk-nepuk dada di tengah gelanggang.
Semoga kita segera insyaf bahwa hanya orang-orang kalah yang suka menjadikan masa lalu hanya sebagai bahan untuk dilap-lap terus menerus. Dan hanya orang-orang kalah yang menjadikan kejayaan masa lalu sebagai alat untuk menutupi ketidakmampuan hari ini. Kalau orang yang benar-benar bermental menang tak akan melakukan itu sebab pihak menang hanya akan disibukkan oleh upaya menggali ilmu pengetahuan dari segala warisan yang ada.
Kini, mari sama-sama kita lihat apakah nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi benar-benar akan dijadikan nama Masjid Raya dan apakah ada argumen berbobot menopang pemilihan nama tersebut, tentunya selain argumen yang ditegakkan di atas mental primordial. Dan mari sama-sama kita lihat apakah semua itu hanya berhenti pada pemberian nama saja atau memang ada sikap bertanggungjawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari para ulama Minangkabau. Mari kita lihat apakah kita masih seperti dulu: “orang kalah” yang kepandaiannya hanya merayakan nama besar. (*)