Artikel

Modifikasi Tambo dan Intelektualitas Orang Minang

“Orang melayu selalu berang atas banyaknya spekulasi yang mengungkapkan bahwa bangsa mereka sedang mengalami kemunduran,” tulis Raffles pada 1818. Raffles menduga bahwa bangsa Melayu tengah mengalami kemerosotan yang sama seperti yang diamatinya di Jawa. Kemerosotan itu bagi Raffles adalah akibat dari pengaruh jahat Monopoli Belanda, musuh Inggris dalam perniagaan (Anthony Reid, Sumatera Tempoe Doeloe. 2014; 196-204).

Sebetulnya tidak begitu jelas motif utama Raffles ketika ia bertekad mencari sisa peradaban gemilang Melayu sampai ke pedalaman Minangkabau. Apakah hal itu didorong ambisi intelektualnya ataukah didorong keinginan membuktikan ketidakbecusan musuh dagangnya?

Yang jelas, pada masa-masa itu, Dunia Melayu sudah menghubungkan diri dengan sejarah kejayaan Izkandar Zulkarnain—sumber legitimasi kejayaan yang bukan berasal dari khazanah mitologi lokal. Seperti dipaparkan Henri Chambert-Loir dalam Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-kawan (2014; 7-35), mulai sejak abad ke-14, legenda Iskandar Zulkarnain sangat-sangatlah populer di Dunia Melayu.

Figur Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great, Iskandar Agung) yang cerdas dan bertuah itu, menurut Chambert-Loir, diintrodusir oleh banyak komunitas di Dunia Melayu untuk menyelaraskan mitos lokal agar sesuai dengan kepercayaan baru, yaitu Islam. Namun, pada saat yang sama kita tidak dapat menahan kecurigaan bahwa  mitos itu merupakan semacam legitimasi baru atas kebesaran masing-masing komunitas di Dunia Melayu. Upaya mencari legitimasi baru tersebut mencerminkan hilangnya fungsi mitologi lokal sebagai sumber kejayaan. Beriringan dengan datangnya Kurun Niaga, mitologi lama tidak lagi memadai. Mitos tentang leluhur tiga laki-laki bersaudara yang lebih tua, kini dimodifikasi. Dalam Tambo, tiga leluhur itu kini dihubungkan dengan Iskandar Zulkarnain yang agung lagi mashyur.

***

Pada akhir 1942, sebuah tim yang dibentuk pemerintahan militer Jepang baru saja kembali dari suatu investigasi lapangan di Sumatera. Sebagian catatan investigasi itu mereka publikasikan di sebuah surat kabar di Singapura. Menurut tim tersebut orang Minang “lebih intelektuil dibanding etnis lain di Indonesia”, tulis Akira Oki dalam tesisnya Social Change in West Sumatran Village: 1908-1945 (1977; 214).

Namun, Oki menambahkan, pujian tersebut sebetulnya berasal dari keterpesonaan Gubernur Yano Kenzo akan Minangkabau, terlebih oleh keterkaitan asal-usul nenek moyang orang Minang dan orang Jepang. Yano juga melihat Minangkabau dan matrilinealnya sebagai sesuatu yang eksotis. Dalam wawancara dengan Oki, kebanyakan mantan administrator Jepang di Sumatera Barat juga mengaku sangat terpesona oleh Tambo Minangkabau. Semua itu ditambah fakta bahwa dalam masa-masa awal pendudukan, wilayah Sumatera Barat relatif lebih aman ketimbang daerah lain di Sumatera. Dengan kata lain, Sumatera Barat lebih cepat beradaptasi dengan pemerintahan militer serta terkesan ‘patuh’ di mata Jepang karena itulah dibilang intelek.

Pujian yang dilebih-lebihkan itu jelas bagian dari strategi “menggaet hati rakyat”-nya Jepang. Tujuannya tentu saja untuk memanipulasi kesadaran orang banyak dan ujung-ujungnya membuat orang menjadi tukang amin. Tidak bisa dipastikan bagaimana kadar kesungungguhan Jepang, melalui Gubernur Yano, menyebarkan cerita tentang betapa inteleknya orang Minang itu ke tengah-tengah masyarakat. Namun mengingat intensitas serta massifnya propaganda Jepang, boleh dikatakan Jepang ikut andil menanamkan semacam ‘ilusi kebesaran’, walau sebelum Jepang pun gejala ini nampaknya telah muncul.

Efek buruk ilusi kebesaran ini sangat terasa begitu Jepang cabut. Pada masa revolusi, orang sudah tidak boleh mengkritisi (adat) Minangkabau yang telah dikultuskan sedemikian rupa. Seolah membuktikan pendapat Raffles di atas, Buya Hamka nyaris dibunuh orang-orang yang kesal karena Hamka membuat tulisan-tulisan yang tergolong kritis terhadap kebudayaan Minangkabau. Dalam bukunya, Islam dan Adat Minangkabau (1984),  yang terbit pertama kali tahun 1946, Hamka memperlihatkan keresahannya akan banyaknya orang Minang yang terbawa-bawa intelek hanya karena sebagian kecil keturunan Minang mendapat ketenaran sebagai Orang Besar. Sementara mereka sendiri enggan untuk membuka pikiran serta belajar. Keberhasilan Syahrir, Hatta dkk., mereka anggap sebagai bukti “adat Minang yang tinggi” semata, ketimbang kerja intelektual.

Secara tersirat Hamka menyampaikan dalam masa kemerdekaan orang harus mulai belajar pada berbagai kebudayaan dan melepaskan diri dari sejarah serba besar-besaran yang dapat menjebak orang menjadi merasa besar sendiri, dan akhirnya merasa benar sendiri. Sementara dunia luar terus berubah, jaman melaju tak terbendung bagai air bah. Hamka, ringkasnya, mengecam orang-orang yang secara ajaib mengira diri sudah intelek semenjak lahir dan karena itu tidak mau lagi belajar.

Kepada penyuka ilusi dan lebih suka membangga-banggakan Syahrir, A Rivai, Syekh Khatib Al-Minangkabawi, dll., Hamka seperti berseru dengan sia-sia: Perkataan itu adalah untuk memukul diri Tuan sendiri!

Beberapa saat menjelang PRRI digempur tentara pusat, James Mossman, seorang jurnalis perang asal Inggris yang meliput PRRI di Sumatera Tengah, mewawancarai Sjafruddin Prawiranegara. Ia menanyakan bagaimana pendapat Sjafruddin mengenai pasukan musuh yang telah mengepung Sumatera Tengah, serta strategi dan kesiapan militer PRRI dalam situasi tersebut. Sambil terkekeh, Sjafruddin menjawab “Mereka tidak akan bisa melukai kami. Tuhan menyertai kami”.  And the rest is history…

***

Barangkali ada yang bertanya: apa pula kaitan asal-usul orang Minang dengan orang Jepang?

Jadi begini. Ketika Gubernur Yano mendirikan Balai Penyelidikan Masyarakat Minangkabau, semacam lembaga kebudayaan untuk mengumpulkan informasi demi kepentingan Pemerintahan Militer Jepang, beberapa orang Minang tampaknya telah memodifikasi Tambo (sejarah lisan) Minangkabau. Tambo yang sebelumnya mengisahkan salah seorang saudara dari leluhur orang Minangkabau yang berlayar ke Timur dan menjadi raja di Cina, diubah sedikit. Kepada orang Jepang, dikatakanlah kalau Timur itu tepatnya Jepang, di mana saudara Si Raja menjadi kaisar.

Maka bersaudaralah mereka dalam persaudaraan yang unik. Tidak jelas siapa yang tua atau yang muda. Yang jelas sama-sama Asia, sama-sama Timur. Namun bagi Jepang, tentu saja mereka adalah Saudara Tua yang jauh lebih pantas untuk menjajah saudara-saudara mudanya ketimbang penjajah kulit putih kafir yang entah siapa itu.

Pada 1950-an, beberapa tahun setelah Jepang cabut, menurut sejarawan Gusti asnan dalam bukunya, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat 1950-an (2007) Tambo lagi-lagi dimodifikasi. Saat itu, seiring dengan menguatnya tuntutan desentralisasi kekuasaan serta kebijakan transmigrasi dari pemerintah pusat, tiba-tiba dalam Tambo muncul sentimen anti-Jawa. Jika dalam Tambo yang diproduksi pada 1930-an tidak dikatakan dengan jelas identitas para penyerbu yang pernah masuk ke dataran tinggi Minangkabau pada masa lalu, maka pada era 1950-an dalam Tambo dikatakan bahwa para penyerbu tersebut adalah orang yang datang dari Jawa. (*)

 

 

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *