Artikel

Minangkabau yang Tak Pernah Dijajah

Di suatu senja di akhir Juni yang basah, saya nyaris saja mati. Saya yang saat itu makan bakwan bersama tabahnya hujan bulan Juni sambil scroll sana scroll sini di media sosial, tercekik karena melihat video berjudul “orang Minang Tak Pernah DiJajah Belanda ??” yang melintas di layar hape.

Wah! Luar biasa, pikir saya. Betapa agung Minangkabau saya ini, batin saya.

Kekaguman saya tambah menjadi-jadi setelah melihat bahwa vidio di kanal Mulifa Chanel itu telah ditonton lebih dari 10 ribu kali. Orang-orang yang menonton sudah pasti sebagian besarnya orang Minang. Betapa besar perhatian kami terhadap sejarah sendiri, apalagi kisah sejarahnya seperti ini.

Bayangkan, orang-orang Belanda yang superior itu ternyata tak pernah berhasil menjajah Minangkabau. Dan tak hanya lebih unggul dibanding Belanda, di tingkat nasional pun Minangkabau jawara soal ini. Menurut narator dalam video itu yang bernama Dafan Mulifa, Minangkabau tidak seperti wilayah Nusantara lainnya yang pernah kena jajah selama 350 tahun.

“Nusantara mungkin saja dijajah selama 350 tahun, namun Minangkabau ini tidak pernah dijajah,” terang Mulifa dengan bangga. Buktinya, lanjutnya, “Minangkabau hanya berperang dan berperang”.

Dengan mata berbinar-binar saya terus ikuti penjelasan Mulifa.

“Tidak ada yang menjadi kuli kontrak, yang ada hanya menjadi buangan dan masuk bui karena perjuangan melawan Belanda atau dihukum Rodi karena tidak mau membayar Belasting!” sergahnya.

Kalau kalian tidak sempat menonton video tersebut, bayangkan saja Mulifa tengah berpidato layaknya pemimpin-pemimpin besar dunia, lengkap dengan vokal yang gahar dan gestur badan yang tegap. Semakin ditonton, semakin vidio itu membuat rasa bangga saya makin menjadi-jadi. Menggelepar, membara-bara.

“Orang Minang tidak mau dijajah, mereka lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah!”

Saya nyaris saja meneriakkan takbir seandainya tidak ada iklan pinjaman on-line yang tiba-tiba lewat di layar hape. Seketika saya ingat tunggakan uang kos, alas kasur yang kumal, loteng yang bocor, dan beasiswa doktoral yang entah kapan akan diraih.

Setelah terbang tinggi-tinggi berkat rasa bangga kesukuan yang memang mengenakkan itu, saya jatuh ke bumi. Tersadar. Bakwan dingin yang nyaris membunuh saya, tinggal separo. Saya makan lambat-lambat karena cuma bakwan bajingan yang telah layu itulah satu-satunya pengisi perut hari ini.

Besok belum tentu mau makan apa. Maka saya buka laptop dan mulai menulis.

***

Orang-orang menyukai ilusi. Saat berilusi orang bisa membayangkan sesuatu yang tak nyata demi membuat hati nyaman, tentram, serta penuh bangga pada saat yang sama.

Dafan Mulifa, Youtuber yang membuat vidio itu, disebut sebagai ahli hipnotis oleh beberapa media. Dengan penuh percaya diri dia melontarkan klaim-klaim bombastis dengan pilihan diksi yang sensasional. Apakah ini teknik hipnotis saya tidak begitu tahu.

Yang jelas berapa pengguna Youtube menyatakan sepakat dengan teori tersebut di kolom komentar. Menurut mereka memang begitulah sejarah yang sebenarnya: bahwa Minangkabau tidak pernah kena jajah dan bahwa orang Minang lebih memilih berperang daripada kena jajah.

Menurut teori tersebut penjajahan baru terjadi jika pihak yang hendak dijajah tidak mengangkat senjata dan berperang. Selama ada orang Minang yang berperang melawan Belanda, selama itu pula tidak ada penjajahan di Minangkabau.

Sayangnya Minangkabau kena jajah itu nyata adanya.

Sejak invasi pertama Belanda ke dataran tinggi Minangkabau dalam suatu kampanye militer besar-besaran pada masa Perang Paderi, Belanda telah mengubah banyak segi dalam masyarakat yang kini menyebut diri Minangkabau.

Sejak saat itu terjadi rekayasa sosial besar-besaran, baik lewat perang maupun cara-cara halus. Benteng-benteng, sekolah-sekolah, gedung pengadilan dan penjara, saluran irigasi, jaringan kereta api dan jalan raya, dibangun. Tatatan Adat, tatanan agama, dan aturan sosial umumnya, dimodifikasi sedemikian rupa untuk mempermudah para Datuk dan kaum berpendidikan yang, karena berbagai sebab, tertarik untuk bekerjasama dengan Belanda. Beberapa fitur baru seperti jabatan-jabatan yang dikaitkan-paksa dengan Adat, bermunculan. Semua dirancang guna memastikan optimalnya produksi dan monopoli barang-barang dagangan. Dan dalam sistem ini masyarakat ditempatkan sebagai objek jajahan.

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di wilayah Minangkabau pada masa yang sama seperti sebagian elit Adat yang tidak ikut berperang? Apakah mereka tidak orang Minang? Ataukah mereka penghianat?

Malahan merekalah yang paling terdepan mengibarkan panji-panji Minangkabau di masanya. Mereka memberi nama Minangkabauraad bagi majelis perwakilan bumiputra dalam sistem pemerintahan kolonial. Mereka membuat partai berdasarkan Adat Minangkabau. Membuat kelompok studi soal Minangkabau, menerbitkan koran atas nama Adat. Dan yang patut sekali dicatat, pada masa itu mereka berada di barisan paling muka saat ada yang mengganggu gugat sistem matrilineal.

Ini belum lagi kita sebut kaum terdidik, para elit modern, yang muncul pada peralihan dari abad 19 ke abad 20 itu. Tidak semua dari mereka berperang, malah sebagian besar dari mereka memasuki sekolah agar bisa bekerja sebagai tukang hitung di gudang-gudang kopi milik Belanda atau jadi guru di sekolah pemerintah kolonial. Apakah mereka bukan orang Minang?

***

Teori ngawur tersebut tentu saja gampang buat dipatahkan. Namun ada persoalan yang lebih serius.

Di balik ilusi bahwa Minangkabau tak pernah dijajah bercokol satu obsesi akan kemurnian dan keaslian Minangkabau. Inilah yang membuat sebagian orang kesulitan menerima kenyataan bahwa Minangkabau pernah terjajah. Ini juga mungkin yang membuat sebagian orang gampang tersinggung ketika merasa kemurnian itu diacak-acak.

Karena tak pernah dijajah, secara ras dan budaya ia bisa dibayangkan masihlah murni tanpa terjamah sedikitpun oleh tangan-tangan penjajah kafir yang kotor. Dan karena lebih murni dan asli inilah ia akhirnya bisa dilihat sebagai lebih unggul dari kawasan lain di Nusantara yang telah tidak murni dan asli karena telah dijajah selama 350 tahun.

Cerita sejarah seperti itu jelas tak ada faedahnya kecuali mempertebal rasa bangga yang semu dan ilusif dan menipu. Dan bukankah perut lapar tidak bisa diisi dengan ilusi soal kebesaran? Untuk membuktikannya, saya ambil selembar kertas A4 dan saya tulis besar-besar: MINANGKABAU CAHAYA SEMESTA. Saya makan kertas itu, dan tercekik. (*)

 

Ilustrasi: Lukisan Rumah Gadang dan Candi Sari di pameran di Paris 1900

Sumber: (@nederlands_indie)

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *