Artikel

Menyoal Female Gaze dalam Film Yuni

Pada 9 Desember 2021, Yuni (sebuah film ber-genre Drama/Coming-of-age) yang disutradarai oleh Kamila Andini rilis. Yuni memperlihatkan suatu sudut pandang yang melawan arus tentang bagaimana perempuan dalam media pada umumnya, yang dinamakan dengan Female Gaze (Tatapan Wanita). Sebelum lebih lanjut membahas tentang bagaimana Female Gaze dalam Yuni, hendaknya kita sama-sama mulai merenungkan mengenai bagaimana media, terutama tontonan, condong memperlihatkan perempuan sebagai “objek perhiasan” semata tanpa kontribusi khusus terhadap plot cerita, serta pengembangan karakter yang tidak sedominan karakter laki-laki. Hal ini kemudian dicetuskan oleh Laura Mulvey sebagai “Male Gaze” dalam esai yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975).

Male Gaze (Tatapan Pria) adalah tindakan menggambarkan wanita dan dunia. Hal tersebut, selain dalam perfilman bisa juga ditemui dalam seni rupa dan literatur, dari perspektif pria maskulin dan cis-heteroseksual yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual untuk menyenangkan pemirsa pria dengan memakai tiga perspektif tatapan pria: (1) pengambilan gambar, (2) dari sudut pandang aktor pria, (3) dari sudut pandang penonton pria. Konsep ini cukup mirip dengan skopofilia yang berasal dari bahasa Latin “skopia” yang berarti “pengamatan” dan “philia” yang berarti “cenderung/kecenderungan” atau “cinta/kecintaan”, sebuah frasa yang digunakan Sigmund Freud ketika seseorang mendapatkan kepuasan seksual saat memandang orang lain, atau dikenal juga dengan istilah voyeurisme dalam bahasa Inggris.

Tentu kita tidak asing dengan bagaimana media di Indonesia masih erat dengan Male Gaze. Bisa dilihat dari pemberitaan mengenai kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual dengan judul yang eksploitatif pada pengalaman traumatis penyintas. Biasanya dengan judul yang dimulai dengan awalan kalimat seperti “Remaja Cantik Diperkosa”, ketimbang menekankan judul pada tindakan pelaku yang tidak berperikemanusiaan. Begitu juga pemberitaan mengenai prestasi yang diraih oleh perempuan, biasanya tidak menonjolkan prestasi tersebut sebagai sorot utama, malah mengganti fokus pada kecantikan perempuan tersebut, atau bahkan hanya menampilkan foto selfie mereka tanpa terlalu banyak kalimat penjelasannya.

Contohnya, salah satu artikel olahraga di sebuah media daring yang ditulis oleh reporter laki-laki dengan judul “Duh, Pose Mengangkang Bidadari Bulutangkis Australia Bikin Ngilu”, yang mana sudahlah mengobjektifikasi, tidak etis dan tidak substantif. Kita juga dapat menjumpai hal yang serupa dalam beberapa acara reality show atau ajang kompetisi, yang memfokuskan lensa pada lekuk tubuh perempuan sembari sesekali diiringi lelucon seksis, ketimbang menyorot apa yang ia sampaikan. Seperti yang dapat kita lihat pada beberapa siaran infotainment, ajang kompetisi seperti Indonesian Idol dan X-Factor, talkshow seperti Bukan Empat Mata, bagaimana Vega Darwanti diperlakukan baik oleh Tukul Arwana maupun oleh bintang-bintang tamu.

Hal yang sama dapat pula kita jumpai dalam beberapa film, yang menyorot lekuk tubuh perempuan dengan zoom in (pembesaran) yang hampir memenuhi layar, semua lekuk tersebut disorot dengan gerakan kamera slow motion dan dengan latar suara sensual, serta pakaian terlalu minim dan ketat yang jika dalam dunia nyata akan tidak nyaman sekali untuk bergerak dengan pakaian demikian. Pada film-film tersebut perempuan tidak ditonjolkan sebagai tokoh yang “utuh”, melainkan hanya “potongan-potongan” tubuh saja, yang tidak memiliki emosi dan pendapat pribadi selain untuk memuaskan tokoh dan penonton laki-laki. Antara lain hal tersebut dapat kita jumpai dalam bagaimana film-film Marvel dan DC menggambarkan tokoh superhero perempuan.

Sebagaimana dalam produksi DC, terdapat tokoh Harley Quinn (Margot Robbie) dalam Suicide Squad (2016) adalah bentuk dari Male Gaze, sementara Harley Quinn dalam Birds of Prey (2020) adalah bentuk dari Female Gaze, dan bagaimana tokoh Wonder Women (2017) yang diperankan oleh Gal Gadot, meskipun plot cerita berfokus pada tokoh perempuan nyatanya masih tidak terlepas dari Male Gaze. Sementara pada Marvel dapat dijumpai tokoh Black Widow yang diperankan oleh Scarlett Johansson tidak terlepas dari Male Gaze, terutama dalam Iron Man 2 (2010), yang kemudian secara bertahap berkurang hingga lebih condong pada Female Gaze dalam Black Widow (2021).

Di Indonesia sendiri film-film dengan Male Gaze yang kental dapat kita jumpai pada serial Warkop DKI pra-90an, dan beberapa judul film-film horor Indonesia yang lekat dengan penggunaan kata “perawan” dan “janda”, seperti Tali Pocong Perawan, Perawan Seberang, Misteri Janda Kembang, dan Pelukan Janda Hantu Bolong, yang secara judul sudah tendensius.

Dalam dunia yang patriarkis, Male Gaze bukan lagi sebuah pewajaran melainkan sebuah keumuman bagaimana media memproyeksikan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Sebagai media yang sering dikonsumsi, maka secara langsung dan tak langsung, Male Gaze terinternalisasi pada pikiran sadar dan bawah sadar kita, mempengaruhi bagaimana perempuan melihat tubuh dan kemampuan mereka sendiri dalam beraktivitas, dan mempengaruhi bagaimana laki-laki memandang dan memperlakukan perempuan hanya sebatas objek.

Di tengah ramainya karya audio visual yang menjadikan perempuan sebagai objek pasif dalam fantasi penonton laki-laki, Yuni (2021) menjadi salah satu film yang menawarkan Female Gaze sebagai antitesis dari Male Gaze. Female Gaze menawarkan sorot bahwa tokoh perempuan memiliki perasaan, pengalaman, dan pemikiran yang sama validnya dengan tokoh laki-laki. Female Gaze bukan berarti menukar bagaimana pengobjektifikasian seksual antara laki-laki dan perempuan, melainkan mengganti apa yang semula hanya dianggap objek untuk dilihat menjadi subjek yang berdaya.

Sekilas mengenai karakter, Yuni sebagai arketipe yang memiliki rasa penasaran yang besar dibandingkan dengan teman-teman satu gengnya, lebih vokal, dan memiliki keinginan untuk mencapai banyak hal yang mana hal tersebut bertentangan dengan lingkungannya yang masih patriarkis. Yuni bergulat antara keinginannya untuk berkuliah dan mengeksplorasi dunia luar dengan tiga lamaran laki-laki dan mitos perempuan dilarang menolak lamaran tiga kali.

Beberapa scene dalam film ini yang menekankan Female Gaze-nya antara lain: Pertama, pada menit-menit pertama film dimulai, tokoh Yuni (Arawinda Kirana) tampak sedang memakai seragamnya, alih-alih menyorot semua lekuk badan Yuni, kamera tetap berfokus pada titik-titik yang sama hingga Yuni selesai memakai seragamnya. Kedua, sesampainya di sekolah para siswi dikumpulkan dalam sebuah ruangan kelas, lalu disampaikan mengenai kenakalan remaja dan wacana bahwa sekolahnya akan mewajibkan tes keperawanan. Dalam scene ini, di tengah redupnya ruangan, diperlihatkan wajah Yuni dan sorot matanya yang melihat ke sekitar, menyiratkan rasa penasaran terhadap hal lain yang kebanyakan orang anggap tidak penting, daripada presentasi yang sedang berlangsung.

Ketiga, saat penggambaran Yuni dan kawan-kawannya membahas tentang rumor mengenai teman seangkatan mereka yang hamil, alih-alih kamera berfokus pada perut teman yang dirumorkan, kamera malah berfokus pada ekspresi kaget dan penasaran Yuni serta kawan-kawannya saat membicarakan hal yang dianggap tabu tersebut. Keempat, ketika Yuni sedang bermain di taman dengan teman-temannya dan mereka berbicara tentang banyak hal, lalu muncul pembicaraan mengenai apa dan bagaimana masturbasi itu, yang kemudian dilanjutkan pada beberapa menit berikutnya terlihat Yuni sedang sendiri di kamarnya yang redup dan dengan penasaran mencari tahu di Google Search tentang masturbasi. Pada saat Yuni mencobanya kamera tidak memperlihatkan bagian-bagian tertentu tubuh Yuni, melainkan Yuni secara keseluruhan yang terlihat ragu dan kaku. Kelima, saat adegan seksual antara Yuni dan Yoga (Kevin Ardillova), alih-alih menyorot bagian tubuh tertentu, kamera masih dengan perspektif yang sama, fokus kepada ekspresi wajah dan kecanggungan antara mereka berdua.

Yuni (2021) memanglah bukan film yang tanpa cela, ada beberapa pertanyaan saya yang tidak terjawab saat menontonnya, seperti mengapa Yuni hanya mencuri barang-barang berwarna ungu? Terlepas dari warna tersebut sebagai simbol perlawanan perempuan, masih belum terang alasan mengapa Yuni melakukan hal tersebut. Kemudian, adanya tugas tambahan untuk menambah nilai bahasa Indonesia Yuni? Bukannya hal tersebut tidak terdapat dalam kurikulum?

Tentu, dengan segala konflik cerita dan pergulatan nilai antara tokoh utama dan lingkungannya, tidak heran Yuni (2021) memenangkan Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. Yuni (2021) memang tidak serta-merta menjadi satu-satunya film yang mengangkat isu kesetaraan gender dengan metode Female Gaze, beberapa film lokal seperti Perempuan Berkalung Sorban (2009), 3 Srikandi (2016), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), dan banyak lagi, dan semoga semakin bertambah. Dari beberapa judul tersebut dapat disimak pula bahwa dalam beberapa film tersebut terdapat sutradara perempuan sebagai penggarapnya, seperti Ginatri S. dan Mouly Surya, sementara, sejauh ini rasio jumlah antara sutradara laki-laki dan perempuan masih belum berimbang dan masih didominasi oleh laki-laki. Salah satu solusi mengenai problem Male Gaze adalah diperlukannya perspektif oleh dan langsung dari perempuan tentang bagaimana mereka seharusnya direpresentasikan oleh media. Hendaknya Female Gaze menjadi sebuah holy grail dalam perfilman untuk menawarkan sebuah antitesis dari Male Gaze yang mainstream. Mengutip dari Suci Cute pokoknya PPRRIIIDOM ABIZZZZ! (*)

 

Editor: Adi Osman

About author

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *