
Dalam kehidupan masyarakat kapitalis modern muncul kontradiksi-kontradiksi, frustasi-frustasi, dan penindasan-penindasan yang tak lagi tampak. Seluruh lini kehidupan masyarakat bersekongkol untuk menimbulkan kesan bahwa semua hal baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, segala hal efisien, produktif, lancar, dan bermanfaat. Kondisi inilah yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai verblendungszusammenhang.
Verblendungszusammenhang dapat diartikan sebagai delusion context, dan dalam hal ini yaitu false consciousness atau kesadaran palsu yang muncul dalam masyarakat kapitalisme modern — masyarakat ini tidak hanya tertindas, tetapi juga tidak menyadari bahwa mereka tertindas. “Semacam selubung menyeluruh yang membutakan kita terhadap kenyataan yang sebenarnya, yang perlu disobek” tulis Franz Magnis Suseno dalam kata pengantarnya pada buku Dilema Usaha Manusia Rasional Teori Kritis Sekolah Frankfurt yang ditulis oleh Sindhunata.
Menurut Horkheimer masyarakat kapitalisme modern ini didominasi oleh rasionalitas instrumental, yaitu sebuah cara pikir yang hanya berfokus pada efisiensi, fungsi, dan hasil akhir tanpa mempertimbangkan nilai etis dan sisi manusiawi yang lebih dalam. Melakukan penilaian seperti apakah sesuatu lebih menguntungkan alih-alih apakah sesuatu tersebut lebih adil atau manusiawi. Kondisi seperti ini mendorong Horkheimer dan kawan-kawan untuk melakukan analisa dan kritik kondisi masyarakat, bukan hanya soal ekonomi-politik seperti marxisme, akan tetapi lebih dalam pada kesadaran dan relasi sosial masyarakat yang dibentuk oleh struktur kekuasaan kapitalisme.
Kritik Masyarakat Kapitalisme Modern
Pemahaman tentang masyarakat kapitalisme modern coba dijelaskan oleh Herbert Marcuse — salah satu pendiri Sekolah Frankfurt dalam karyanya yang berjudul Manusia Satu Dimensi (One-Dimensional Man). Dalam teori ini, Marcuse menggunakan kritik Marx terhadap kapitalisme dengan membagi masyarakat menjadi dua bentuk. Bentuk pertama, adalah masyarakat yang didasarkan pada eksploitasi dan pemiskinan tenaga kerja. Sedangkan bentuk kedua, adalah masyarakat yang sudah tidak didasarkan lagi pada kedua prilaku yang tidak manusiawi yang ada pada bentuk pertama. Dalam bentuk masyarakat ini, masyarakat hidup dengan keberlimpahan berbagai kebutuhan hidup (komoditas). Dan oleh sebab itu, masyarakat, yaitu kelas pekerja dalam bentuk ini dapat hidup sejahtera, dan berkecukupan sehingga dapat dianggap tidak ada lagi penindasan dan pemiskinan.
Berdasarkan pada pembagian dua bentuk masyarakat tersebut, Marcuse melakukan pendimensian. Masyarakat bentuk pertama (tereksploitasi dan tertindas) disebut dimensi negatif, dan bentuk kedua disebut dimensi positif. Karena, dalam perkembangan masyarakat kapitalisme, masyarakat bentuk pertama telah teralienasi atau ditiadakan. Sehingga masyarakat hari ini (modern) adalah hanya masyarakat bentuk kedua. Dengan kata lain, masyarakat hari ini adalah masyarakat satu dimensi.
Pertanyaannya adalah — apakah masyarakat satu dimensi ini benar-benar telah terbebas dari eksploitasi dan pemiskinan. Menggunakan psikoanalisis Freudian, yang menjelaskan bahwa moralitas, kebudayaan, dan peradaban manusia hari ini adalah akibat dari pengalihan (sublimasi) hasrat seksual manusia. Marcuse menyebutkan semenjak masyarakat telah terbagi menjadi kelas-kelas yang saling bertentangan dan berlawanan (teori kelas marx), kebudayaan dan peradaban hanya ditujukan untuk kepentingan kelas yang berkuasa. Sublimasi ini yang menurut Marcuse merupakan upaya penina-bobokan masyarakat kapitalisme modern yang berkelimpahan komoditas, bahwa sebenarnya mereka sedang dibodohi oleh kelas kapitalis melalui skema manusia satu dimensi. Manusia yang seakan-akan sejahtera, tidak tereksploitasi, dan tidak termiskinkan, tetapi pada kenyataannya mereka sedang mengalami eksploitasi dan pemiskinan habis-habisan, dalam kemanusiaan yang secara diam-diam sedang dihancurkan.
Hal ini menjelaskan perbedaan konteks eksploitasi masyarakat di era kapitalisme klasik dan kapitalisme modern. Dalam kapitalisme klasik, eksploitasi dilakukan secara paksa. Kelas pekerja dipaksa bekerja 18 jam sehari. Diupah rendah, dan dalam kondisi kehidupan yang mengenaskan, miskin dan penyakitan. Sedangkan dalam kapitalisme modern, eksploitasi dilakukan secara samar, halus, yang pelan-pelan menghisap. Kelas pekerja bekerja hanya 8 jam, disejahterakan hidupnya, dan berbagai jaminan sosial dan asuransi yang diberikan. Namun, dalam kondisi tersebut mereka tidak sadar kalau sebenarnya hasil kerja mereka dieksploitasi melalui mekanisme perampasan nilai lebih, kesejahteraan yang dinikmati dari eksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja manusia di negara-negara lain, dan jaminan sosial yang pada dasarnya mereka bayar sendiri yang seakan-akan bagian dari kedermawanan kelas kapitalis. Dan hal terpenting menurut Marcuse yang menyebabkan perbedaan kondisi masyarakat kapitalisme klasik dan modern yaitu perkembangan teknologi yang menggantikan tenaga kerja buruh, dan ekspansi negara-negara yang belum melek teknologi.
Perkembangan teknologi menyebabkan produksi berlimpah, sehingga membuat kapitalisme modern mencari cara agar produk yang melimpah ini dapat diserap pasar. Yaitu dengan mengkonstruksi kebutuhan manusia, merangsang kebutuhan terhadap konsumsi komoditas, sehingga masyarakat akan selalu merasa butuh terhadap produk-produk yang ditawakan oleh kapitalis. Dan untuk keluar dari pembodohan dan serangan terhadap berbagai kebutuhan palsu tersebut, manusia harus melakukan desbulimasi. Yaitu dengan mengembangkan nalar kritis yang dengan sadar menolak berbagai bentuk pembodohan dan tawaran-tawaran kebutuhan palsu tersebut.
Kritik tajam terhadap masyarakat kapitalisme modern juga diberikan oleh pentolan Sekolah Frankfurt lainnya, yaitu Theodow W. Adorno. Dengan tegas Adorno menyebutkan bahwa budaya massa atau budaya populer yang dikonsumsi masyarakat hari ini adalah hasil produksi dari industri budaya yang hanya bertujuan untuk mengeksploitasi manusia demi keuntungan (akumulasi kapital) semata, dan bukan untuk memanusiakan manusia. Melalui budaya populer, kapitalisme menggiring masyarakat untuk meyakini kalau harga dari sebuah komoditas dan tindakan konsumtif (konsumerisme) adalah segala-galanya, yang disebut Marx sebagai “fetishisme komoditas”. Dengan manipulasi tersebut, Adorno menyebutkan bahwa kelas kapitalis tidak hanya dapat dengan mudah memasarkan berbagai bentuk produksi dengan harga yang sangat menguntungkan, yaitu realisasi nilai produksi yang lebih mudah, tetapi juga menciptakan kesadaran palsu (false consciousness). Seperti ketika kita merasa lebih bangga, hebat, dan bermartabat apabila dapat membeli produk yang mahal dan merasa puas bahwa dengan hal tersebut kita bukanlah manusia murahan. Melalui budaya populer, kesadar kritis manusia dilumpuhkan, dan digiring mengonformitaskan dirinya dalam budaya hasil produksi kapitalisme.
Adorno menjelaskan bahwa kapitalisme berupaya untuk menyeragamkan kesadaran massa atau konsumen melalui industri kebudayaan. Menjadikan masyarakat sebagai objek industri kebudayaan. Melalui itu, kesadaran manusia dikondisikan sebagai objek untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Kesadaran manusia digiring dalam kekonyolan dan kedangkalan. Kesadaran manusia dihancurkan, begitupun kreativitas, dan rasa estetika yang mereka miliki. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang destruktif. Budaya populer akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Adorno menyebutkan untuk mengatasi keadaan ini diperlukan pemberontakan, yaitu dengan mengubah kesadaran pasif, menjadi kesadaran kritis.
Sedangkan menurut Horkheimer, sang founding father Sekolah Frankfurt, menjelaskan bahwa kapitalisme adalah akibat dari filsafat positivisme yang menjadi biang kerok terpisahnya antara pikiran manusia dan kepentingan manusia, antara ilmu pengetahuan dan dunia praksis, dan antara tekonologi dan humanisme, dan positivisme-lah yang menjadi ibu kandung dari lahirnya modernitas yang tidak rasional. Modernitas yang tidak rasional ini adalah cerminan masyarakat kapitalisme modern — yang tidak menempatkan hasil karya manusia secara manusiawi karena hasil karya itu tidak berada dibawah kontrol kehendak manusia yang sadar, akan tetapi bergerak secara otomatis oleh modal yang tidak sadar.
Menurut Horkheimer masyarakat yang berada dalam kondisi seperti itu tidak menyadari kenyataan. Mereka menyerahkan dirinya pada kebuasan modal yang menguasai cara berpikir dan bertindak masyarakat, yang Horkheimer sebut dengan manusia yang hidup dalam kebebasan semu. Kebebasan yang dalam kenyataannya diperbudak oleh kepentingan modal atau kapitalisme. Bayangan ini yang hanya khayalan ideologis. Klaim kenetralan ilmu pengetahuan dan filsafat (positivisme) pada zaman kapitalisme hanyalah khayalan atau ilusi. Pada kenyataannya tidak ada teori yang netral dan bebas nilai. Bahwa kenetralan teori itu bersifat semu — sebab sebagai suatu sikap, kenetralan itu membiarkan keadaan seperti adanya. Dengan begitu, kenetralan tersebut bukan lagi sikap netral, melainkan sikap yang mendukung dan memihak keadaan yang ada (kapitalisme modern).
Pandangan Horkheimer kemudian dipertajam oleh sang murid Jurgen Habermas, bahwa positivisme dapat menjebak para penganutnya dengan memisahkan antara kepentingan teknik dan kepentingan praktis. Dan yang menjadi sumbangsih terbesar Habermas dengan keberaniannya melakukan penilaian ulang terhadap teori materialisme dialektika sejarah Marx dan kapitalisme modern. Habermas menyebut bahwa karya Marx telah terkubur dalam beton instrumental positivisme. Memaknai ulang kepentingan praktis dalam filsafat Hegel, Habermas menyebutkan bahwa tidak hanya mengenai kepentingan teknik (kerja), tetapi lebih luas mengenai komunikasi, yaitu pembentukan kesadaran sosial atau pemahaman bersama. Habermas menilai manusia memiliki kepentingan untuk berkomunikasi secara bebas melalui ruang publik agar aspirasinya dapat diserap dan realisasikan untuk membangun kepentingan bersama. Akan tetapi, kepentingan ini terdistorsi dalam kehidupan masyarakat kapitalisme. Arus komunikasi hanya ditujukan untuk memperlancar kepentingan modal, dan dimonopoli, dominasi, oleh segelintir individu dan kelas penguasa. Ruang publik seperti televisi, koran, media, pendidikan dikuasai dan diatur oleh kapitalisme. Opini publik direduksi menjadi pelayan kepentingan kapitalis dan penguasa, yang menyebabkan hancurnya kepentingan emansipatoris kolektif.
Berbagai pandangan kritis terhadap kapitalisme mutakhir atau modern tersebut — dibawah Horkheimer kemudian secara bertahap dielobarasi dengan sistematis yang bermuara pada pembentukan aliran pemikiran (mazhab). Ide-ide utama “Teori kritis” kemudian dirumuskan ke dalam berbagai bahan bacaan utama, dan sejak saat itu “Mazhab Frankfurt” memainkan perannya yang mempengaruhi pemikiran sosial di Jerman, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Serikat.
Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Teori Kritis dikembangkan untuk menciptakan kesadaran yang kritis dan secara hakikatnya disebut Horkheimer akan menjadi aufklärung, yang berarti membuat cerah — menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang tidak manusiawi terhadap kesadaran manusia. Menjadi emansipatoris dengan mengungkap pengandaian-pengandaian dari sistem yang ada. Mengungkap bahwa sebenarnya produksi tidak untuk memenuhi kebetuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan, dimanipulasi untuk kepentingan produksi. Sebagai pewaris cita-cita Karl Marx. Sebuah teori yang menjadi emansipatoris: teori yang bercita-cita mengembalikan kemerdekaan dan masa depan umat manusia. Teori Kritis tidak hanya untuk menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkategorisasikan, dan mengatur, melainkan untuk mengubah. Bukan filsafatnya, melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Yang berangkat dari kritik terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan positivis yang berkembang pada masa sebelumnya.
Kepentingan emansipatoris dalam teori kritis menjadi bagian penting dalam gagasan Habermas. Dan bagaimana teori menjadi menjadi emansipatoris, menurut Horkheimer, Pertama, Ia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat. Kedua, ia harus berpikir secara “historis”. Ketiga, Ia tidak memisahkan yang teori dan yang praktis. Dengan memenuhi unsur-unsur tersebut, Horkheimer yakin bahwa teori kritis dapat membentuk kesadaran untuk menjebol masyarakat yang irasional. Yaitu suatu kondisi ketika individu tidak menanyakan lagi tuntutan-tuntutan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Tuntutan-tuntutan tersebut berlaku seterusnya. Individu tinggal meniru dan menyesuaikan diri begitu saja kepada tuntutan-tuntutan tersebut. Penyesuain diri secara otomatis tanpa sikap kritis dan sadar ini dianggap bukan hal yang manusiawi lagi, ia menjadi alamiah, dan oleh sebab itu disebut irasional.
Dengan kondisi tersebut, dijelaskan bahwa kebebasan individu hari ini bersifat semu sebab kebebasan itu hanya dibayangkan sedangkan kenyataannya individu diperbudak secara tidak sadar oleh masyarakat yang digerakkan oleh modal. Situasi di mana masyarakat dibangun berdasarkan penindasan dari kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik, jadi sama sekali bukan hasil dari spontanis yang sadar dari individu yang bebas. Dalam hal ini Horkheimer mengutip Marx dalam “dialektika pekerjaan” di mana situasi ekonomi dan kebudayaan tidak lagi dikuasai oleh kehendak sadar manusia, akan tetapi dikuasai oleh modal. Modal inilah yang menggerakkan masyarakat dan menentukan masyarakat. Karena individu tidak lagi punya kontrol terhadap modal tersebut, secara alamiah — di luar kesadarannya Ia harus menyesuaikan diri dalam masyarakat yang dikuasai modal tersebut.
Dalam analisa Mazhab Frankfurt, krisis kapitalisme liberal akan berujung pada kapitalisme negara. Pada tahap ini campur tangan negara menjadi makin besar, dengan menasionalisasi kebijakan, sektor-sektor yang memegang kunci ekonomi, perpajakan, dan subsidi yang ditentukan oleh negara. Sehingga tidak lagi jelas batas antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Sering kali untuk melebarkan kekuasaan ekonomi dipakai sarana-sarana teror secara politik. Sebaliknya, untuk memperkokoh kekuasaan politik, diperlukan pengisapan ekonomi dengan merekayasa kebutuhan-kebutuhan masyarakat — menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang menggiring masyarakat ke jurang konsumerisme, sementara individu tidak berkuasa apa-apa lagi.
Terang dijelaskan bahwa Mazhab Frankfurt berakar pada kritik ekonomi-politik Marx, akan tetapi situasi kompleks yang tidak menentu pasca perang dan kesalahan Marx dalam memprediksi tumbangnya kapitalisme membuat kondisi ini tidak bisa dianalisa dari sudut pandang ekonomi saja. Mazhab Frankfurt memasukkan sosiologi politik dan teori kebudayaan yang menjadi bagian penting dalam analisanya. Sehingga, ini menjadi pembeda antara Mazhab Frankfurt dari para marxis pendahulunya: mereka tidak sekaku pemikir marxis yang mendasarkan diri pada perspektif ekonomi saja, melainkan lebih fleksibel dalam bidang sosiologi politik dan kebudayaan.
Menolak pendogmaan pikiran-pikiran Marx seperti para marxis sebelumnya — mereka beranggapan bahwa analisa masyarakat era Marx berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini (masyarakat kapitalis modern). Akan tetapi, tetap berlandaskan pada esensi ajaran Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu, pengisapan, dan penindasan.
Teori Kritis meramu Idealisme Kant dan Hegel, marxisme, serta psikoanalisa Freud. terkait psikoanalisa Freud, Horkheimer beranggapan bahwa konsep ini dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman modern di mana terjadinya pergeseran kapitalisme liberal menjadi kapitalisme monopolis dan kapitalisme negara (kesalahan prediksi marx terkait tumbangnya kapitalisme). Dan keempat aliran filsafat tersebut bukan hanya merupakan titik tolak dan cara kerja, melainkan juga sebagai objek kritis yang memantapkan teori kritis Mazhab Frankfurt. Dengan beberapa modifikasi agar tetap relevan dengan zaman.
Menggunakan psikoanalisa Freud, Mazhab Frankfurt menjelaskan bahwa kaum proletar yang dulu diharapkan sebagai agen perubahan masyarakat sudah tidak dapat diharapkan lagi sebagai kelas yang revolusioner. Karena mereka telah menganggap menjadi borjuis adalah tipe ideal, dan dalam diri mereka juga terdapat bourgeois trait (naluri kaum borjuis). Analisa terkait melemahnya unsur-unsur kerevolusioneran kelas proletar ini akibat manipulasi kapitalisme negara. Temuan ini didapat Horkheimer pada saat masa pengasingannya di Amerika. Melalui penyelidikan empiris antropologis baru yang ia sebut kepribadian authoritarian. Yaitu, orang yang takluk secara mekanis terhadap nilai-nilai konvensional; taat buta pada otoritas, dibarengi kebencian buta terhadap semua musuhnya dan orang di luarnya; anti terhadap instrospeksi; pemikirannya stereotipe kaku; gemar bertakhayul, pemfitnah secara setengah moralis dan setengan sinis terhadap martabat manusia; suka memproyeksikan diri. Observasi yang kemudian menjadi karya mereka lainnya The Authoritarian Personality.
Kritik Teori Kritis
Setelah periode puncak pada 1950-1970an — Mazhab Frankfurt mengalami kemerosotan semenjak meninggalnya Adorno pada tahun 1969 dan Horkheimer pada tahun 1973. Walaupun pada periode kedua Mazhab Frankfurt dibawah Habermas masih terus produktif dan tetap kuat secara fundamental. Kemunduran ini ditenggarai beberapa hal, pembangkanan ide awal teori kritis atas marxisme berujung pada keputusasaan dan pesimisme total. Oleh para pengkritik, teori kritis terus direduksi hingga akhirnya dianggap sebagai nasihat moral semata.
Mazhab Frankfurt dianggap telah begitu jauh keluar dari ajaran-ajaran Marxisme yang mengawali eksistensinya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam merumuskan teori sosial terus diperdebatkan oleh bentuk-bentuk baru pemikiran marxis. Walaupun tetap, beberapa konsep utama Mazhab Frankfurt telah meresap ke dalam karya-karya ilmuwan sosial marxis maupun non-marxis.
Teori kritis memang melepaskan hampir semua pokok fundamental ajaran Marx. Hal tersebut menjadi tragika sendiri bagi teori kritis; meninggalkan kepicikan Marxisme klasik, sekaligus tetap bertolak dari pengandaian-pengandaian fundamental Marx. Walaupun begitu, Mazhab Frankfurt dinilai selalu tepat terkait analisanya terhadap masyarakat kapitalisme modern serta kritik terhadap ideologi, dominasi, dan manipulasi budaya dianggap sangat penting. Akan tetapi mereka justru gagal dalam klaimnya sebagai katalisator suatu praksis emansipatoris.(*)
Editor Randi Reimena