Artikel

Menyantap Rendang Babi Sambil Memakai Baju Koko

Kalau kita mendengar lagu pop Minang (tak usah jauh-jauh amat, cukup dalam tiga dekade terakhir ini saja), begitu mudah menemukan bukti bahwa tak sedikit dari lagu yang terkenal itu berasal dari lagu-lagu pop berbagai kebudayaan dunia. Sekadar beberapa contoh, mulai dari lagu pop India era “Kuch Kuch Hota Hai” sampai “Ya Mustafa” lagu pop Mesir itu, berjejak keras-pekat dalam lagu Minang. Bahkan dari lagu pop etnis lain di Indonesia, seperti “Raja Doli” yang menggunakan tangga nada lagu Batak, hingga nada dasar pop Barat yang berketuntang dalam lagu “Oto Datsun”.

Tapi, sejauh yang saya tahu, kebanyakan orang Minang beranggapan karya tersebut adalah lagu Minang belaka. Alasannya, karena menggunakan bahasa Minang, dendang Minang, dan instrumen musik Minang. Pada taraf tertentu, penyebutan elemen-elemen itu benar. Namun, persoalannya, pengukuhan bahwa karya-karya itu adalah lagu Minang (bahkan menggunakan klaim asli!) hanya dilihat dari aspek budaya Minang yang terdapat dalam lagu itu saja. Itu pun hanya via elemen-elemen yang paling kentara saja. Unsur-unsur lain di dalam lagu itu, misalnya seperti dari tangga nada dan melodi dasarnya, yang terang-benderang berakar dari kebudayaan lain, tiada masuk pertimbangan sama sekali.

Ada paradoks di sana. Masyarakat Minang begitu santai, bahkan sangat terbuka, menyerap unsur-unsur kebudayaan lain, yang kemudian dipadu-padankan dengan kebudayaannya sendiri. Tapi, pada gilirannya, sikap terbuka itu ditebas habis dan hanya menyisakan primordialisme belaka terutama ketika politik identitas sedang laku di pasaran. Kaji lama soal keaslian disebarluaskan ke mana-mana. Segala unsur kebudayaan lain yang sudah diserap itu, sekalipun sudah berubah fungsi dan nilainya sedemikian rupa dalam produk budaya Minang, hanya dilihat dengan buta mata dan didengar dengan tuli telinga. Bahkan, menjadi sebuah kekonyolan yang tak terelakkan, ada yang berusaha mencari-cari cara, dengan mencocok-cocokkan ini dan itu, untuk menunjukkan bahwa semua elemen-elemen kebudayaan lain tersebut di zaman ketumbar dulu berasal dari Minangkabau. Yang penting dagangan laku, sekalipun ‘paco-paco’ mesti disorakkan sebagai ‘selendang’.

Kondisi ini menjadi semakin ironis tatkala ada pihak yang berhasil mengeruhkan suasana dengan menaikkan isu rendang daging babi, seakan-akan jenis ‘kuliner campuran’ seperti itu adalah alien yang bakal membuat kekacauan di bumi. Sudah dapat diduga, serupa kuda lepas di tengah pasar, sebagian masyarakat Minangkabau yang selama ini sudah termakan kaji soal keaslian itu, menyepak tak berkeruncingan ke mana-mana. Tawuran soal identitas Minangkabau pun tak terhindarkan. Kategori-kategori hitam-putih tentang mana yang Minang dan mana yang bukan Minang pun dengan cepat menjadi batu yang melayang dan berserakan di mana-mana, bahkan turut melukai orang-orang yang tak terlibat sama sekali dengan persoalan tersebut. Sementara itu, pihak-pihak yang mencari keuntungan di tengah suasana seperti ini, tentu saja, duduk santai menonton sambil makan kacang.

Apa akal kita lagi?

Dalam proses berkebudayaan yang sudah berjalan selama beratus abad, orang Minangkabau sudah lama terbuka dalam hal penggunaan kembali aspek-aspek dari kebudayaan lain di dalam produk kebudayaan mereka sendiri. Tak cuma dalam musik pop, bahkan dalam hal pakaian kebesaran adat Minang pun sudah ada perayaan atas ketidakaslian. Bukankah “baju guntiang Cino” dan “kain Bugih” hanyalah sedikit dari contoh umum tentang penyerapan orang Minang atas unsur kebudayaan Tionghoa dan Bugis? Begitu juga sebaliknya, warga kebudayaan lain pun melakukan hal sama terhadap berbagai kebudayaan di dunia ini, termasuk pada kebudayaan Minang. Oleh sebab itu, varian rendang babi adalah hal tak terelakkan dari proses kita berkebudayaan di dunia yang terdiri dari banyak benua dan samudra ini. Justru, menurut saya, penamaan ‘rendang babi’ adalah sebuah sikap rendah hati untuk mengakui bahwa mereka mengambil cara memasaknya dari kebudayaan Minang namun dengan bahan daging yang mereka sesuaikan dengan kebutuhan komunitas mereka sendiri. Sekali lagi, disesuaikan dengan kebutuhan komunitas mereka sendiri dan bukan sebagai pemaksaan untuk mengganti daging sapi atau kerbau dengan daging babi.

Bukankah hal yang sama juga terjadi pada baju koko? Tak terbantahkan lagi, baju jenis ini justru berurat-berakar dari kebudayaan Tionghoa. Masyarakat Indonesia pun, termasuk warga Minangkabau, telah menyerapnya sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kebutuhan komunitas kultural masing-masing. Sebagaimana juga rendang babi tadi, istilah “baju koko” pun adalah sebentuk pengakuan atas riwayat kampung halaman dari pakaian yang kini identik untuk beribadah tersebut. Tidak ada yang mau melakukan hal konyol dengan cara memprotes tak karu-karuan perihal baju koko yang telah diidentikkan dengan agama dan budaya tertentu, sekalipun fungsi dan nilainya sudah jelas-jelas tidak sama dengan budaya dan agama di kampung halaman baju tersebut.

Mari kita ajukan pertanyaan dari dua arah: apakah munculnya varian rendang babi akan merusak akidah umat Islam yang beretnis Minangkabau? Dan apakah munculnya varian baju koko akan merusak sendi-sendi kebudayaan Tionghoa? Jawabannya: tidak sama sekali. Cara warga suatu kebudayaan memaknai kebudayaan mereka sendiri dan cara warga suatu kebudayaan menyerap unsur kebudayaan lain adalah dua hal yang tidak berada dalam hubungan saling meniadakan. Ia berada di ruang yang berbeda namun tetap dihubungkan oleh banyak pintu. Masyarakat Tionghoa tetap melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya sesuai kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya sendiri meski di luar sana warga kebudayaan lain dengan suatu dan lain cara telah menyerapkan dan memperbagaikan unsur-unsur kebudayaan mereka. Ini juga tidak akan jauh berbeda dengan kondisi kebudayaan Minangkabau sendiri. Varian rendang babi akan tetap jadi salah satu contoh lumrah dari persilangan warisan budaya Minang dengan kebudayaan-kebudayaan lain dan hal itu tak akan membuat Minangkabau tiba-tiba jadi tunggul kayu. Bukankah semakin banyak suatu kebudayaan diserap dengan berbagai cara oleh kebudayaan lain maka semakin menunjukkan semacam pengakuan atas sejenis ‘kebesaran’ dari kebudayaan tersebut?

Bila kita kembali pada contoh dari khazanah lagu pop Minang tadi, maka saya belum menemukan contoh yang menunjukkan kebudayaan Batak, Mesir, India, Barat, dan budaya lain di Indonesia ini tiba-tiba karam hanya karena unsur-unsur tertentu dari khazanah musik mereka diserap dan diperbagaikan dalam produk budaya Minangkabau. Kalaupun akan ada potensi timbulnya persoalan serius, mungkin pada wilayah industri hak cipta, yaitu perihal legalitas dari lagu-lagu pop Minang dalam menggunakan secara terang-terangan bagian-bagian tertentu dari lagu milik pihak lain.

Betapa mudah kita dihasut menggunakan isu identitas. Untuk menghindarinya, tak ada cara lain selain merenovasi terus-menerus cara kita memaknai identitas budaya. Perkembangan kebudayaan-kebudayaan di dunia ini akan selalu dengan cara saling meminjam satu sama lain. Itu sebabnya identitas selalu bersifat cair, tak stabil, dan mustahil dibekukan. Mengurung diri dalam etalase, atau apa pun itu namanya, hanyalah untuk kebudayaan yang gemar jalan di tempat.

Bila kita masih bersikukuh pada kehendak untuk menjadi asli, maka seseorang yang menyantap rendang babi sambil memakai baju koko bisa saja menjadi pemantik yang tepat untuk menciptakan dunia yang luluh lantak. Bersitegang soal keaslian identitas adalah cara cepat untuk saling menghancurkan dan bukan hal baru bahwa tindakan saling serang perkara identitas adalah mesin-mesin politik-ekonomi yang dirancang sedemikian rupa oleh pihak tertentu. Di zaman sekarang ini, perang dunia tidak terjadi seperti perumpamaan dua gajah yang baku hantam di antara kawanan semut, melainkan kecamuk laga ayam sekandang. (*)

 

 

 

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

5 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *