Indonesia benar-benar darurat kasus kekerasan seksual, dan parahnya hal itu justru banyak terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi siapapun, terutama peserta didik. Komnas Perempuan pada tahun 2020 mencatat 5 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, dua di antaranya dilakukan oleh tenaga pengajar dengan jumlah 7 orang korban.[1] Sedangkan dalam catatan KPAI di tahun 2021, terdapat 18 kasus di lembaga pendidikan di 9 provinsi yang tersebar di 17 kabupaten/kota, di mana 55% pelakunya adalah tenaga pengajar. Namun angka yang lebih mencengangkan diungkap oleh Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, per Januari hingga Juli 2021 saja terjadi setidaknya 2.500 kasus kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan. Jumlah ini melampaui catatan Kemendikbud satu tahun sebelumnya yang mencatat setidaknya 2.400 kasus.
Khusus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Nadiem menyebut bahwa 77% dosen mengakui bahwa kekerasan seksual memang ada di kampus. Angka itu diiringi dengan ironi ketika 66% dosen mengaku tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang diketahuinya.
Alasannya ada dua, nama baik kampus dan stigma negatif kepada korban.
Alasan kedua adalah pembenaran yang ironis. Indonesia bukanlah negara yang ramah pada korban kejahatan seksual. Bukannya melindungi, masyarakat justru menyalahkan korban. Cara pandang seperti ini telah menjadi penyakit sekaligus aib bagi Indonesia yang kerap mengaku mengistimewakan perempuan, namun justru menyudutkannya ketika kasus-kasus kekerasan seksual menerpa. Keadaan itu memperparah nasib buruk penyintas.
Sedangkan alasan pertama adalah yang terburuk. Pengabaian kasus kekerasan seksual tidaklah sebanding dengan nama baik kampus dan justru mengandung efek disruptif. Pelaku tetap pada kedudukan semula, dan korban tidak mendapat jaminan pemulihan. Parahnya lagi korban tetap berhubungan secara kelembagaan dengan pelaku.
Atas dasar itulah Mendikbud Ristek meregulasikan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud PKS). Namun beberapa ketentuan dalam regulasi Nadiem ditentang banyak pihak yang menilai Permendikbud PKS melegalkan seks bebas di perguruan tinggi. Tulisan ini berupaya mendudukkan diskursus tersebut.
Catatan Kritis untuk Peraturan Diskresi
Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), Peraturan Menteri memang tidak dicantumkan sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan berjenjang di antara 7 jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Namun pada Pasal 8, Peraturan Menteri dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Sedangkan pada bagian Penjelasan Pasal 8 Ayat (1), dinyatakan bahwa Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Ketentuan UU PPP di atas adalah pisau analisa yang dapat digunakan untuk memahami apa dan bagaimana sejatinya isi pengaturan Peraturan Menteri; bahwa ia merupakan peraturan yang pembentukannya didasari oleh delegasi kewenangan. Delegasi dalam perundang-undangan merupakan penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang kewenangan asal (delegans) kepada penerima delegasi (delegatoris). Pendelegasian itu disertai tanggung jawab pelaksanaan kewenangan kepada delegatoris, dan di saat bersamaan tanggung jawab delegans dibatasi.[2]
Hanya saja, peraturan delegasi itu berkarakter pelimpahan wewenang kepada suatu organ negara untuk mengatur lebih lanjut norma tertentu atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan keadaan yang terjadi dalam Permendikbud PKS adalah penciptaan kewenangan melalui pengaturan norma yang tidak/belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tepatnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual.
Hal itu dapat dilihat pada 10 dari 11 peraturan perundang-undangan di atas Peraturan Menteri yang dijadikan konsideran Mengingat, di dalamnya terdapat 3 undang-undang dan masing-masing 1 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Dari 2 jenis peraturan perundang-undangan terakhir inilah Kemendikbud Ristek memperoleh kewenangan membentuk regulasi. Hanya saja, di antara 11 peraturan perundang-undangan yang dijadikan konsideran Mengingat, tidak satupun yang mengatur tentang kekerasan seksual. Artinya, Permendikbud PKS bukanlah produk delegasi, melainkan diskresi.
Ketentuan tentang diskresi dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (9) UU Administrasi Pemerintahan, bahwa diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan.
Di sinilah masalah terlihat. Seharusnya peraturan diskresi mengikat ke dalam. Bagi Permendikbud Ristek, semestinya hanya mengikat subjek hukum yang merupakan civitas academica. Namun yang terjadi adalah ditariknya subjek hukum di luar civitas academica. Pengaturan ini ditemukan pada Pasal 1 Ayat (12) yang menempatkan masyarakat umum sebagai korban, Pasal 1 Ayat (13) yang menempatkan masyarakat umum sebagai pelaku (terlapor), Pasal 4 huruf e yang menempatkan masyarakat umum sebagai sasaran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam hubungan interaksi dengan civitas academica ketika pelaksanaan Tri Dharma, dan Pasal 22 Ayat (1) yang menempatkan masyarakat umum sebagai korban atau saksi.
Selama ia merupakan peraturan diskresi, keterlibatan masyarakat umum terbatas pada korban atau saksi, sebab subjek penghukuman (subjectum juris) dalam Permendikbud PKS hanyalah civitas academica. Sedangkan terkait keberadaan masyarakat umum sebagai pelaku, seharusnya ketentuan itu diatur oleh peraturan yang lebih tinggi terlepas dari kejahatan yang dilakukan ketika Tri Dharma dilaksanakan, dan ketentuan itu secara proporsional seharusnya diatur dengan undang-undang.
Lantas apakah hal itu menjadikan Permendikbud PKS sebagai regulasi cacat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak cukup hanya dengan melihatnya dari segi teori kebijakan diskresi sebagai aturan yang bersifat mengikat ke dalam. Sebab dari segi lain, kebijakan diskresi juga mempertimbangkan keadaan di mana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mengatur sebuah keadaan seperti kasus kekerasan seksual yang merupakan kejahatan yang terjadi dalam skala massif di institusi pendidikan seperti kampus.
Selain itu terdapat juga segi stagnasi pemerintahan yang penuh tarik ulur dalam pembahasan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Bahkan hingga bergantinya judul rancangan undang-undang tersebut menjadi tindak pidana kekerasan seksual, produk hukum yang lama ditunggu itupun belum kunjung disahkan. Sementara, di saat yang sama korban kekerasan seksual terus tertambah.
Untuk kembali mengingatkan, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex) yang mengharuskan negara cepat tanggap dalam membaca kebutuhan masyarakat luas.
Hadirnya Permendikbud PKS mesti dilihat dengan cara pandang ini. Permendikbud PKS bermasalah secara teori, namun secara etis ia dapat dibenarkan. Lebih dari itu, di tengah kondisi saat ini, ia adalah keharusan!
Fenomena ini dapat dianalogikan secara sederhana. Bayangkan seorang ibu akan memasak sayur untuk makan keluarga, namun di rumahnya belum tersedia bahan-bahan yang diperlukan. Maka ibu tersebut memerintahkan kepada anaknya untuk membeli kebutuhan memasak sayur dan memberinya catatan belanja. Dalam catatan itu tercantum apa-apa saja yang harus dibeli: bayam, minyak goreng dan bawang. Secara teori, si anak hanya berwenang membeli bumbu sebatas yang diperintahkan ibunya dalam kertas catatan. Sesampainya si anak di kedai sayuran, ia teringat si ibu melupakan garam dalam daftar belanjaan sehingga ia memutuskan untuk membeli garam secukupnya untuk keperluan memasak sayur. Apakah tindakan si anak merupakan bentuk ketidakpatuhan atau bahkan pembangkangan? Justru yang ia lakukan adalah upaya mengisi ruang yang kosong sebab kealpaan si ibu. Keadaan itulah yang terjadi pada Permendikbud PKS, ia mengisi ruang kosong sebagai bentuk respon cepat Mendikbud Ristek guna menjawab kebutuhan dunia pendidikan yang dikotori predator seksual, di mana peraturan kebijakan (beleid) itu dibenarkan secara administrasi.
Tentang Frasa “tanpa persetujuan korban”
Secara umum konstruksi pengaturan Permendikbud PKS terbilang progresif karena tidak hanya menjangkau civitas akademica yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Namun pengaturannya menyentuh hingga masyarakat umum yang bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengan civitas akademika ketika Tri Dharma diaktualkan. Selain itu paradigma korban tidak sebatas mahasiswa, juga mencakup dosen, tenaga kependidikan dan masyarakat umum, serta pelaku yang turut menjangkau empat elemen tersebut. Kekerasan seksual juga dikonstruksikan mengakomodir beragam bentuk, verbal, nonverbal, langsung dan tidak langsung. Misalnya dari komunikasi pesan singkat atau dunia maya.
Hanya saja jangkauan luas itu masih mendapat penolakan dari kalangan konservatif karena keberadaan frasa “tanpa persetujuan korban” di Pasal 5 Ayat (2). Frasa itu pula yang memunculkan nuansa liberal pada Permendikbud PKS yang oleh kalangan penolak Permendikbud PKS dilihat seolah memperbolehkan zina. Dengan alasan ini, bahkan ada yang menuntut dicabutnya Permendikbud PKS.
Penilaian itu perlu didudukkan benar. Sungguhkah frasa “tanpa persetujuan korban” memperbolehkan zina? Guna menjawab diskursus ini, adalah keniscayaan untuk merunutnya dari ketentuan hukum pidana.
Kekerasan seksual merupakan perbuatan pidana, hal itu sahih adanya. Sebagai jaring hukum perbuatan pidana, Indonesia memiliki induk peraturan beradasarkan KUHP yang memuat ketentuan hukum tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Secara garis besar, kejahatan terhadap kesusilaan berdasarkan KUHP dapat dicarah kepada tiga isu besar; perzinahan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.
Perbuatan zina (overspel) diatur pada Pasal 284 (Ayat 1) KUHP yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai hubungan badan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana salah satu atau keduanya terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Kemudian Pasal 284 Ayat (2) KUHP mengatur penuntutan hanya dapat dilakukan setelah didahului oleh pengaduan dari pasangan yang dinikahi secara sah. Artinya ketentuan perzinahan berdasarkan hukum nasional Indonesia merupakan delik aduan yang baru dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana bilamana terdapat pihak yang memperkarakannya secara hukum. Terlepas dari pasangan sah pelaku mengetahui terjadinya hubungan badan antara pasangannya dengan orang lain, perbuatan itu tetap tidak dapat dihukum bila tidak diperkarakan. Bila ditinjau lebih jauh berdasarkan ketentuan KUHP, hubungan badan antara pria dan wanita yang keduanya lajang dan dilakukan atas dasar suka sama suka bukanlah sebuah perbuatan zina dan tidak dapat dipidanakan.
Sementara aturan hukum tentang pemerkosaan terdapat di Pasal 285 KUHP yang mengatur perbuatan didahului kekerasan atau ancaman, Pasal 286 KUHP yang mengatur pemerkosaan terhadap korban dalam keadaan tidak sadarkan diri, dan Pasal 287 KUHP terhadap korban di bawah umur. Ketentuan hukum sepanjang pemerkosaan merupakan delik biasa yang mengakibatkan pelaku dapat langsung dipidanakan tanpa mengharuskan didahului pengaduan oleh korban.
Sedangkan ketentuan ihwal pelecehan seksual merentang pada 8 pasal dengan 13 norma dari Pasal 289 KUHP sampai Pasal 296 KUHP yang mengatur tentang modus perbuatan, siapa pelaku, korban yang ditentukan berdasarkan usia dewasa, akibat perbuatan yang menimbulkan luka fisik bahkan kematian, dilakukan terhadap sesama jenis, hingga membantu atau membiarkan terjadinya pelecehan seksual. Serupa dengan perzinahan, pelecehan seksual juga merupakan delik aduan yang berdasarkan Pasal 293 Ayat (2) KUHP penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan korban. Sementara KUHP yang merupakan undang-undang pengalihbahasaan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvS-NI, 1918), tidak pernah diterjemahkan secara resmi oleh Indonesia.[3] Hal itu mengakibatkan pelecehan seksual dibahasakan dengan berbagai istilah, misalnya pencabulan. Bahkan KUHP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi pelecehan seksual, sehingga mengakibatkan paradigma pelecehan seksual sebatas perbuatan yang dilakukan melalui kontak fisik, misalnya sentuhan pada organ intim.
Dari tiga kelompok kejahatan terhadap kesusilaan itu dapat dilihat bahwa KUHP memisahkan perbuatan seksual berdasarkan dua diskursus: pertama, jenis perbuatan; kedua, delik.
Kembali pada pengaturan Pasal 5 Ayat (2) Permendikbud PKS. Sejatinya frasa “tanpa persetujuan korban” berada pada posisi reflektif terhadap ketentuan kejahatan kesusilaan di dalam KUHP. Namun demikian, ketentuan Permendikbud PKS tidak membatasi kejahatan kesusilaan berdasarkan jenisnya sebagaimana yang terjadi pada KUHP. Permendikbud PKS justru merangkum tiga isu kejahatan itu menjadi satu bentuk kejahatan kesusilaan.
Ketentuan itulah yang tercermin dari pengaturan Pasal 5 Ayat (2) Permendikbud PKS yang tidak membatasi kegiatan seksual sebatas sebagai hubungan kelamin sebagaimana ketentuan ihwal pemerkosaan dan perzinahan dalam KUHP, atau pelecehan seksual yang semata kontak fisik sebagaimana paradigma awam. Khusus pelecehan seksual, sejatinya perbuatan itu mencakup diskriminasi fisik, gender, eksibisionis, tatapan berahi, rayuan, lelucon, hingga sanksi bernuansa seksual, yang keseluruhannya tidak membutuhkan kontak fisik dan kerap dianggap remeh dan bukan masalah oleh sebagian pihak.
Sementara frasa “tanpa persetujuan korban” adalah bentuk pembatasan perbuatan kejahatan seksual itu sendiri. Hal ini justru sejalan dengan ketentuan KUHP yang menempatkan perzinahan dan pelecehan seksual sebagai delik aduan yang meniscayakan adanya ketidaksetujuan pihak yang dirugikan. Sedangkan pemerkosaan jelas-jelas merupakan sebuah perbuatan seksual badaniah yang tidak disetujui korban dan dapat dipidanakan seketika perbuatan itu selesai dilakukan. Artinya, bilamana hubungan kelamin itu dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, perbuatan itu bukanlah sebuah pemerkosaan, dan di sinilah terdapat batasan norma bagi negara.
Sebagai pengandaian berdasarkan ketentuan Permendikbud PKS dan KUHP, katakanlah misalnya terjadi hubungan seksual di antara mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, atau masyarakat umum. Sepanjang hubungan itu dilakukan secara sadar atas dasar suka sama suka dan terjadi di ruang privat, negara tidak boleh melakukan pemidanaan. Sekalipun menyimpang dari tata susila yang berlaku di masyarakat, namun dengan diaturnya larangan hubungan seksual tanpa membatasinya dengan persetujuan kedua belah pihak, norma hukum itu mengakibatkan negara terlampau jauh memasuki ruang privat masyarakat. Akibat yang ditimbulkan dari pengaturan itu berdampak luas hingga kepada pelaku nikah siri yang rentan dikriminalisasi.
Terhitung September 2021 saja, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mencatatkan angka 177.796 pernihakan siri yang didaftarkan melalui isbath nikah. Di kota Padang sendiri, pernikahan siri tercatat lebih dari 1.000 kasus pada tahun 2021, dan sekali lagi angka itu diperoleh dari data isbath nikah. Artinya, jumlah nyata pernikahan siri tidak pernah mencapai jumlah pasti dan hanya diperoleh dari upaya pencatatan pernikahan. Sedangkan kenyataannya, surat keterangan nikah siri tidak berlaku di Pengadilan Agama dalam proses isbath nikah, dan tidak dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Agama.[4] Keadaan inilah yang menjadi imbas langsung apabila norma hukum, Permendikbud PKS khususnya dan KUHP secara umum, tidak membatasi hubungan seksual berdasarkan pemaksaan. Sedangkan surat keterangan nikah siri tidak diakui keabsahannya di Pengadilan Agama, bagaimana mungkin surat itu dapat dipergunakan sebagai alat bukti di peradilan pidana jikalau bercinta adalah sebuah kejahatan bagi negara yang melegalkan pembunuhan? Kriminalisasi itu berpotensi menjadi fenomena hukum skala raksasa.
Artinya anggapan Permendikbud PKS memperbolehkan seks bebas di perguruan tinggi adalah klaim keliru dan hanya stigma negatif kalangan penolak yang menghendaki hubungan seksual sebagai perbuatan pidana. Sedangkan pada kenyataannya, mereka tidak menjangkau logika pengaturan norma dan efek sistemik sebuah perbuatan yang dilarang secara hukum.
Selain itu frasa “tanpa persetujuan korban” juga sejalan dengan judul peraturan, yakni Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Artinya, kekerasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara paksa. Kalaulah Permendikbud PKS tidak memuat frasa “tanpa persetujuan korban”, regulasi itu bukanlah ihwal kekerasan seksual, namun hubungan seksual yang tetap saja tidak boleh diatur dalam Peraturan Menteri.
Analisa teoritis di atas secara jelas menggambarkan letak Permendikbud PKS sebagai instrumen hukum yang sejalan dengan ketentuan-ketentuan KUHP, bahwa sebagai peraturan diskresi yang diregulasikan sebagai respon cepat atas kejahatan yang belum memiliki payung hukum, Permendikbud PKS tidak boleh menambah norma materil di luar KUHP. Inilah yang disebut sebagai harmonisasi jenjang norma. Dengan kata lain, pengaturan itu hanyalah bentuk keterikatan norma antara peraturan menteri dengan undang-undang. Di sinilah analisa kembali dipertemukan dengan kenyataan bahwa Permendikbud PKS tidak mungkin melarang adanya hubungan seksual di luar hubungan perkawinan yang sah karena rentan menjadi alat kriminalisasi.
***
Permendikbud PKS memang tidak sempurna, namun pencabutan satu-satunya regulasi dalam peraturan perundangan-undangan yang berupaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di Perguruan Tinggi itu bukanlah langkah bijaksana untuk menjawab persoalan. Bahkan ketidaksempurnaan itu diakibatkan oleh kegagalan negara untuk lekas merespon isu kekerasan seksual di masyarakat, khususunya di ruang perguruan tinggi. Sebab, urgensi saat ini adalah pengesahan rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual untuk mengisi ruang kosong cantolan aturan hukum kekerasan seksual. Di sisi itulah kalangan penolak Permendikbud PKS absen. (*)
Catatan Kaki:
[1]Komisi Nasional Perempuan, Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, Jakarta, 5 Maret 2021, hlm. 71-72.
[2]A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita VI, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 347.
[3]KUHP kerap disebut sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun kenyataannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak memuat ketentuan hukum pidana sebagaimana kandungan kitab undang-undang hukum pidana, sebab ia hanyalah bentuk pengakuan berlakunya ketentuan hukum pidana Hindia Belanda sebagai pengejawantahan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 berbentuk ratifikasi hukum pidana Hindia Belanda yang memuat ketentuan tentang penyesuaian norma-norma pidana.
[4]Wawancara dengan Desri Yanri, S.H., M.H, Advokat dan Konsultan Hukum Keluarga. Ketua Pos Bantuan Hukum Pengadilan Agama Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman (30 Januari 2022).
Editor: Randi Reimena
Ilustrasi: @teawithami