Artikel

Masalah Etis Pernikahan Hakim MK

Pemberitaan rencana pernikahan salah satu hakim Mahkamah Konstitusional (MK) tengah ramai diperbincangkan. Yang menjadi buah bibir adalah siapa yang akan ia persunting. Berdasarkan informasi dari berbagai media, rencana yang telah dipatrikan melalui lamaran 12 Maret lalu itu, ditujukan kepada adik kandung Presiden. Kesiapan acara yang akan menjadi agenda penting kepala negara ini dibuktikan dengan kepastian waktu resepsi yang akan digelar Mei mendatang di Solo.

Tidak ada yang salah dengan pernikahan sepasang anak cucu Adam, bukankah cinta akan senantiasa tumbuh dan bermekaran sepanjang usia manusia? Namun hubungan semenda antara hakim MK dengan Presiden yang tercipta dari perkawinan itu bukanlah persoalan sepele. Hakim MK tersebut harus menanggung konsekuensi etis jabatan atas percintaannya. Bagaimana mungkin ia akan bertahan dari tudingan tidak imparsial sedangkan Presiden adalah kakak iparnya?

Dalam kode etik, jamak diketahui bahwa hakim yang mengadili perkara harus bebas dari keberpihakan dan wajib terhindar dari konflik kepentingan. Posisi netral itu ditujukan agar terciptanya peradilan yang diisi oleh hakim-hakim imparsial, sehingga keputusannya dapat mencapai keadilan yang semula transenden namun dikonstruksikan secara konkret melalui putusan.

Ihwal keberpihakan dan konflik kepentingan adalah diskursus klasik, terutama menyangkut hubungan keluarga. Pada peradilan umum di lingkungan MA misalnya, hal itu diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Salah satu ketentuan di dalamnya melarang seorang hakim mengadili suatu perkara di mana anggota keluarganya menjadi pihak berperkara atau pihak yang memiliki kepentingan dalam perkara tersebut.

Di MK juga terdapat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 9/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagai upaya nyata institusi MK untuk menjaga sikap dan memagari imparsialitas Hakim Konstitusi. PMK Nomor 9/PMK/2006 merupakan upaya akomodatif atas Bangalore Principles of Judicial Conduct yang disusun para hakim dari beberapa negara sebagai standar kode etik, sehingga PMK Nomor 9/PMK/2006 mengandung enam prinsip utama yang berlaku global. Enam prinsip itu meliputi independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kebersamaan.

Empat dari enam prinsip inilah yang berpotensi dilanggar hakim MK tersebut, sebab MK mengemban enam tugas konstitusional yang keseluruhannya bersinggungan secara langsung dengan Presiden. Dari sisi tugas utama misalnya, pengujian undang-undang tidak lain adalah proses konstitusional untuk mengadili kerja legislasi di mana Presiden termasuk di dalamnya. Kemudian dalam soal memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Jamak diketahui sekalipun perlembagaan negara memisahkan cabang kekuasaan berdasarkan jenisnya, namun sistem ketatanegaraan tidak akan bisa berjalan tanpa melibatkan kewenangan eksekutorial yang berada di tangan Presiden.

Hal sama juga terjadi pada sengketa hasil pemilu; bukankah Presiden berasal dari satu partai politik yang berkoalisi dengan beberapa partai politik lainnya? Artinya sengketa hasil pemilu sarat dengan kepentingan kelompok tempat basis politik Presiden bersarang. Sedangkan kewenangan memutus pembubaran partai politik dan kewajiban mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam mekanisme pemakzulan, meski belum pernah dilakukan, adalah keniscayaan politik yang dalam keadaan apa pun akan melibatkan eksekutif.

Dari hubungan semenda itu, dalam hal apakah hakim MK yang bersangkutan dapat menggaransikan independensinya untuk tidak berpihak atas nama integritas yang telah tergadai? Sedangkan keputusannya untuk menikahi adik Presiden, meskipun tidak melanggar kesopanan, adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan selama ia masih menduduki jabatan yang dikonstruksikan sebagai negarawan.

Berbeda dari peradilan umum di mana larangan mengadili perkara yang berkaitan dengan keluarga diiringi dengan jumlah hakim yang melebihi kebutuhan majelis, MK tidak memiliki “hakim cadangan” yang bisa masuk sebagai “pemain pengganti”. Bahkan penerapan Prinsip Ketakberpihakan dalam PMK Nomor 9/PMK/2006 mengharuskan seorang Hakim Konstitusi untuk mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara apabila terdapat anggota keluarganya yang memiliki kepentingan langsung terhadap putusan. Akibatnya, hubungan semenda ini seharusnya ditafsirkan sebagai keadaan yang mengakibatkan hakim MK tersebut berhalangan untuk tetap memenuhi tugasnya sebagai Hakim Konstitusi.

Sekali lagi, cinta akan senantiasa tumbuh bermekaran sepanjang usia manusia dan jatuh cinta bukanlah sebuah kejahatan. Namun hakim MK yang bersangkutan semestinya paham alur dan patut, bahwa jabatan yang diembannya mengakibatkan kasmaran itu patut dipertanyakan kepantasannya. Bahwa terdapat kode etik yang memagari, di mana etika merupakan pencegahan, bukan penindakan. Artinya, ia sepantasnya lebih dulu mundur sebagai Hakim Konstitusi sebelum pinangan diutarakan. Bahkan langkah itu pun tidak menutup logika konspiratif yang dapat mempertanyakan hubungan pribadi antara seorang Hakim Konstitusi dengan Presiden. Sungguh demikian, setidaknya ia masih bisa memungut kepingan etika bila dengan besar hati mengundurkan diri sebelum akad nikah dilangsungkan Mei mendatang. Di sinilah hakim MK itu bertemu dengan petuah Earl Warren, law is floating in the sea of ethics. (*)

 

 

About author

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *