Artikel

Malu di Siberut

Malam itu, di tengah keasyikan saling berbagi cerita di antara kami bertiga—saya, Teu Supi, dan Saimut (menantu Teu Supi)—, sembari menikmati roti dan kopi-manis-banyak-gula, tiba-tiba saya kepingin kencing. Mungkin karena udara malam di Madobag, Siberut, Mentawai, cukup dingin bagi saya yang kelewat terbiasa dengan udara panas di Serang, Banten. Tapi yang pasti, karena kantung kemih saya sudah terasa begitu berat dan cairan di dalamnya mendesak-desak untuk dikeluarkan. Maka, sebagaimana “adab-sopan-santun” yang telah diajarkan guru sekolah dasar saya di Serang dulu, saya pun “pamit-izin-ke-belakang” untuk membuang air-kecil.

Dengan tampak agak terpaksa, Saimut beranjak dan membukakan pintu belakang rumah mertuanya itu untuk saya. Lalu ia menyorotkan senter ke semak-semak di antara pohon kelapa, rambutan, dan nanas yang jaraknya sekitar 100-an meter dari rumah.

“Di sana saja,” katanya, sebelum ia menyerahkan senter itu kepada saya.

Saya memasang senter yang menyala itu di kepala, beranjak ke semak-semak, lalu kencing begitu saja tanpa sedikit pun merasa bersalah. Setelah lega, saya kembali kepada Saimut yang masih mematung di tiang pintu sembari memunggungi saya. Seolah ia tak peduli pada perasaan takut yang menyerang saya karena membayangkan hantu, ular, atau apa pun yang mungkin sedang mengintai dari balik semak, dari ladang gelap dan basah di belakang rumah. Tapi, ketika saya hendak melintasi ambang pintu dapur sembari berupaya membetulkan ritsleting dan mengencangkan ikat pinggang, tiba-tiba Saimut mencengkeram lengan saya dan menarik saya kembali ke luar.

“Kancingkan di sini!” katanya, penuh penekanan.

Saya terkejut dan bertanya, “Kenapa?”, sembari diliputi parasaan tidak mengenakkan. Apakah saya melakukan kesalahan?

“Malu sama Bapak.”

Malu? Saya tidak mengerti.Tapi saya terus saja menggumamkan kata itu berulang-ulang dan membubuhinya dengan tanda tanya besar. Apa yang membuatnya “malu”? Kenapa harus “malu”? Apakah saya “tidak-tahu-malu”? Tapi Saimut tak mampu menjelaskan dengan baik—atau mungkin saya yang kelewat dungu untuk memahami penjelasannya—perihal rasa “malu” yang dibicarakannya malam itu.

Maka keesokan harinya, kepada orang-orang yang saya temui—orang-orang yang dituakan dan dihormati di Madobag—, saya lebih banyak bertanya mengenai apa-apa yang boleh dan tidak boleh saya ucapkan dan lakukan selama tinggal di sana, yang mungkin berpotensi melanggar tabu atau adab yang berlaku dalam perikehidupan mereka. Saya pun menyimak setiap cerita, mencoba memahami berbagai peristiwa, memperhatikan dengan saksama, merekam dan mencatatnya dengan baik. Catatan-catatan dan rekaman-rekaman yang tentu saja akan saya butuhkan dalam upaya memahami hidup dan kehidupan orang Mentawai, khususnya orang Siberut Selatan.

Sebagai seorang sasareu (orang luar Mentawai) yang tengah mempelajari dengan meleburkan diri ke dalam kehidupan orang Mentawai, saya sadar bahwa saya “tak boleh” terjebak dalam sikap dan persepsi yang keliru. Apalagi, saya telah “membatasi diri” agar tidak semena-mena menggunakan nilai-nilai yang melekat atau dilekatkan suatu konstruksi budaya tertentu—kebudayaan Sunda dalam diri saya, misalnya—, dan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk menjustifikasi kebudayaan orang Mentawai. Tidak. Saya tak ingin terjatuh pada kesimpulan-kesimpulan keliru sebagaimana simpulan seorang kawan dari suatu lembaga swadaya masyarakat—seperti saya dengar sendiri dari yang bersangkutan—, yang telah menjustifikasi bahwa anak-anak sekolah dasar di Desa Madobag itu “pemalas”. Ia “menuduh” anak-anak itu “pemalas” hanya karena mereka enggan merawat “sepetak taman bunga” yang telah diinisiasi lembaganya di sekolah-sekolah itu, bahkan diperlombakan antarkelas pula, tapi sehari kemudian malah membiarkan seisi “taman-kecil-buatan” itu layu dan nelangsa.

Alei, agaknya ia lupa bahwa anak-anak sekolah dasar di Madobag itu, setiap saat hidup dan tenggelam di dalam “taman bunga” itu sendiri. Tidakkah ia memeriksa bahwa di halaman dan pekarangan rumah-rumah mereka, juga di ladang-ladang mereka, selalu saja ditumbuhi semak kembang sepatu dan berbagai bunga-bunga lain yang melulu mekar sepanjang waktu tanpa mengenal musim.Tidakkah ia memperhatikan bahwa dalam setiap pesta daur hidup yang dipergelarkan berulang-ulang di sepanjang kehidupan yang dilalui, mereka selalu berhias sedemikian rupa dengan bunga-bunga dan daun-daunan sura penuh warna. Lantas, untuk apa lagi “sepetak-taman-bunga” jika kita hidup di dalam “taman-bunga-raya-di-semesta”?

Barangkali, anak-anak sekolah dasar di kota-kota memang akan “bersuka cita” merawat “sepetak taman bunga” semacam itu, sebab mereka telah lama kehilangan halaman dan pekarangan, dan hanya mampu membaui bunga-bunga plastik di dalam pesta-pesta yang digelar di dalam ruangan; atau orang-orang kota memang merasa perlu meromantisir keindahan sepetak taman sembari merawat bunga-bunga yang dikurung-dibatasi-pot-pot yang diletak-gantungkan di beranda. Mungkin. Dan mungkin juga ia sekadar menjalankan program kerja lembaganya secara top-down, tanpa mau memperhatikan alam lingkungan sekitar, dan sembari membayangkan bahwa anak-anak di Madobag sama belaka dengan anak-anak di kota-kota dan bisa “dibebani” harapan-semu-orang-kota yang sama pula. Padahal, bagi saya, tidak semestinya begitu. Sebab alam dan lingkungan yang tengah disentuhnya itu, alam dengan segala kebaikannya itu, telah menyediakan dan merawat “taman-bunga-di-semesta” yang dapat dinikmati dan diresapi anak-anak Madobag kapan saja, yang berbeda sama sekali dengan “sepetak-taman-bunga” yang diangan orang kota. Jadi, masih perlukah “sepetak-taman-bunga-buatan” diperkenalkan kepada anak-anak Madobag?

Untuk itu, sekali lagi, saya berupaya memahami sedalam-dalamnya, berupaya menghindari simpulan-simpulan tergesa, apalagi semena-mena menjustifikasi atas apa-apa yang mungkin tidak bersesuai dengan apa yang sebelumnya saya yakini. Tak.

Dan bagaimanapun, dalam menyelami suatu masyarakat tertentu, saya mengamini “konsep pemahaman” (understanding) sebagaimana dicanangkan William Dilthey—yang sebagiannya dikembangkan Paul Ricoeur menjadi “konsep apropriasi” itu. Maka, kemudian, saya berupaya keras untuk mencapai makna dalam wacana lisan orang-orang Siberut seperti yang terkandung di dalam tradisi lisan, cerita rakyat, mitos, dongeng, legenda, dan lainnya; berupaya mengerti ide dan perasaan yang mereka ekspresikan; dan berupaya memasuki pikiran mereka sehingga saya mampu berpikir sebagai mana mereka berpikir. Tapi, tentu saja dengan tetap bersikap kritis kepada diri sendiri dan tetap memperhatikan kesalingbergantungan antarpengalaman, antara ekspresi dan pemahaman, dan khususnya antara pengalaman dan pemahaman saya dengan pengalaman dan pemahaman orang Siberut.

Hanya saja, ternyata pemahaman saya tentang konsep “malu” itu belum juga memadai setelah dua bulan saya tinggal bersama-sama mereka, setelah saya menenggelamkan diri dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan, hingga jadwal residensi berakhir dan saya harus meninggalkan Siberut dan kembali ke kampus. Namun sekali lagi, konsep terkait rasa “malu” dalam perikehidupan orang Siberut itu, entah mengapa menjadi semacam sanitu (hantu) yang terus saja membayangi benak dan mengganggu pikiran saya. Ia mengikuti ke mana pun saya pergi, dan berkelebat di mana pun saya rehat kopi.

Dan saya terus saja bertanya-tanya dan merenungi konsep “malu” itu sedemikian rupa. Adakah konsep “malu” itu memang cukup penting dalam kehidupan sosial orang-orang Siberut? Atau jangan-jangan, saya yang justru telah gagal dalam memahami beberapa peristiwa-cerita-paparan yang saya alami, simak, dan perhatikan selama melakukan residensi itu, dan gagal pula memahami berbagai-bagai referensi tentang Mentawai yang saya suntuki sejak 2014 lalu, sehingga saya menganggap konsep “malu” di Siberut itu sebagai sesuatu yang begitu penting dan mesti dipikir-renungkan secara mendalam, secara baik-dan-benar?

Hingga malam itu, ketika saya hendak menulis esai sederhana ini, sembari membongkar lagi catatan-catatan lapangan dan mendengarkan lagi berbagai percakapan dan wawancara-wawancara yang saya lakukan, sembari juga membacai ulang berbagai cerita rakyat, dongeng, mitos, legenda, yang saya dapatkan dan yang telah dituliskan para peneliti lain, saya tersentak pada sebuah kesadaran bahwa orang Siberut tidak pernah membicarakan soal “buang-air” di depan orang lain, apalagi di depan seorang mertua.

Pertanyaan mengapa  menyeruak lagi di  dalam seruang kepala saya yang tak kunjung cerdas ini.

Tapi, saya cukup merasa beruntung, sebab dari sebuah rekaman wawancara yang saya lakukan dengan Dr. Juniator Tulius (Antropolog Mentawai)—pada 5 November 2018—, saya mendengarkan lagi paparannya yang terperinci terkait sejarah perubahan sosial yang dialami masyarakat Mentawai dari tahun ke tahun; tentang hubungan kekerabatan orang Mentawai (antara ipar dan ipar, adik dan kakak, paman dan keponakan, antarsepupu, mertua dan menantu); tentang tanah ulayat; dan lain sebagainya. Dari rekaman itu pula, saya mendapati suatu penjelasan yang menarik atas sebuah kisahan di masa lampau, tentang dua orang ipar yang sedang bersama-sama mencari ikan yang berkait dengan konsep “malu” yang tengah menggangu saya itu.

Konon, ketika para ipar itu sedang mencari ikan, tiba-tiba si adik ipar “kebelet” dan menyampaikannya secara lancang kepada kakak iparnya itu, bahwa dia ingin pergi dan buang-air. Mendengar pernyataan itu, si kakak ipar merasa direndahkan, dipermalukan, tidak dihargai, lantaran dengan perkataannya itu si adik ipar seolah hendak membuang kotoran di wajahnya. Sementara si adik ipar, konon, memang sengaja berniat melecehkan si kakak iparnya yang mungkin telah membuatnya sakit hati. Begitulah keduanya kemudian saling melukai, dan si kakak ipar membunuh si adik ipar yang lancang itu. Hal yang sama mungkin tidak akan sekadar menyebabkan perkelahian, saling tikam, tapi malah saling serang dan berperang.

Saya terguncang. “Jadi, ketika para ipar itu sedang bersama, mestinya si adik ipar menahan diri?” Tanya saya ketika itu.

“Iya. Dia mestinya menahan diri, dan merasa malu kepada kakak iparnya itu,” kata Tulius dalam rekaman wawancara tersebut. “Atau kalaupun sudah tidak kuat menahan diri, mestinya dia pergi begitu saja sejauh-jauhnya, agar kakak iparnya tidak tahu kalau dia buang-air.”

Aih, jika di antara para ipar saja pelanggaran terhadap konsep “malu” itu dapat berakibat begitu fatal, bagaimana jika hal itu terjadi dalam hubungan antara menantu dan mertua, antara anak dan orang tua? Saya tak berani membayangkan.

Selain itu, Tulius menambahkan bahwa dalam kasus yang lebih “ringan”, misalnya ketika seorang lelaki hendak pergi memancing dan ia sedang bersampan bersama iparnya, baik itu suami dari kakak atau adik perempuannya, adalah pantang baginya untuk buang angin atau kepingin buang air kecil. Lelaki itu mestinya merasa “malu” berbuat hal semacam itu di depan iparnya, sebab si ipar akan merasa tidak dihargai, dan lelaki itu akan dianggap secara tidak langsung telah menghina adik atau kakak kandungnya sendiri yang telah diperistri si ipar itu. Begitupun sebaliknya, si ipar tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh atau saru ketika berada di dekat kakak atau adik istrinya. Perkataan tidak senonoh yang diucapkan di depan saudara ipar yang adik atau kakaknya diperisti, adalah penghinaan bagi saudara ipar sekaligus bagi istrinya sendiri. Si ipar mestinya merasa “malu” karena saudara iparnya akan merasa dihina, seolah ia tengah menelanjangi istrinya—adik atau kakak kandung mereka—di depan mata kepala mereka sendiri. Itu memalukan sekaligus mempermalukan.

“Sebetulnya ada banyak tabu dan pantangan yang bisa ditemukan di Mentawai. Namun beberapa nilai atau norma itu mulai pudar, dan berganti dengan aturan agama atau pemerintah,” kata Tulius.

Dalam pada itu, saya jadi teringat pada toilet-toilet umum yang dibangun pemerintah daerah setempat di Dusun Puro—yang sempat saya singgahi selama beberapa waktu—yang tampaknya dibiarkan terbengkalai begitu saja. Dan konon, menurut keterangan salah seorang warga yang saya wawancarai, toilet-toilet umum itu tidak pernah mereka gunakan sama sekali sejak dibangun sampai hari itu. Apa sebab? Tentu saja tak lain tak bukan adalah persoalan rasa “malu” itu lagi. Mereka, orang-orang Siberut, “malu” kepada sanak saudaranya jika mereka ketahuan baru saja buang-air; yang dalam hal ini dapat berarti baru saja keluar dari toilet umum itu. Dan sebagai toilet umum yang diletakkan di tempat terbuka, di tengah-tengah perkampungan pula, tentu saja toilet itu berpotensi membikin malu dan mempermalukan diri sendiri.

Barangkali, bagi orang-orang Siberut, urusan buang-air adalah urusan orang per orang yang “tabu” untuk diketahui orang lain, apalagi diketahui sanak saudara sendiri, dan sama sekali bukan sebuah tema yang layak diperbincangkan. Bahkan, tak peduli apakah projek pembangunan toilet umum di dusun itu telah menghabiskan dana puluhan atau ratusan juta, dan demi menyelenggarakan program “kebersihan atau kesehatan” bagi masyarakatnya, ia akan menjadi sesuatu yang tak berguna ketika tak bersesuai dengan konsep perikehidupan yang berlaku di dalam “masyarakat sasaran”. Setidak berguna “adab-sopan-santun” yang saya usung tinggi-tinggi itu, seolah itulah satu-satunya “adab” yang paling purna; yang pada kenyataannya sama sekali tak berlaku di Siberut dan malah berpotensi menyinggung perasaan mereka.

Sementara itu, saya juga menandai-menggarisbawahi-memaknai kisah-kisah yang berkait dengan konsep “malu” yang telah ditemukan dan ditulis para peneliti lain. Di antaranya, tentang seorang perempuan-pertama yang “malu” dan “membuat malu” keluarganya lantaran bunting sebelum dipestakan sehingga ia harus terusir dan berlayar bersama seekor anjing; tentang seorang ayah yang “seharusnya merasa malu” jika harus mencari-cari anak gadisnya yang pergi atau dibawa lari seseorang lelaki yang hendak menikahi anak gadisnya itu; tentang seorang ayah yang terpaksa membunuh seekor babi karena merasa “malu” melihat sepasang babi itu kawin seenaknya di depan rumahnya, sementara di beranda itu hanya ada dia dan menantu perempuannya; tentang tulou (denda) yang berlaku bagi suatu keluarga yang telah “mempermalukan” salah seseorang anggota keluarga lainnya. Bahkan, menurut Tulius (2012) dalam simpulan penelitiannya terkait memori dalam Family Story: Oral Tradition, Memories of the Past, and Contemporary Conflicts over Land in Mentawai–Indonesia, orang-orang Mentawai cenderung tidak mau mengingat atau melupakan peristiwa-peristiwa tertentu yang berkait dengan tindakan “memalukan”—tanda kutip dari saya—, atau peristiwa-peristiwa yang terkait pengayauan di masa lalu, karena keduanya dapat membawa dampak buruk bagi anggota keluarga mereka.

Jadi, simpulan sementara saya, konsep “malu” orang Siberut itu benar-benar penting bagi perikehidupan mereka dan mungkin dapat menjadi refleksi bagi kita—atau paling tidak bagi saya—yang belakangan cenderung mengabaikan atau kehilangan rasa “malu”. Sebab, ia tidak hanya terepresentasi dalam sikap dan kehidupan sehari-hari, tapi juga tercatat dalam kisah-kisah dan sejarah masa lalu orang Siberut. Dan barangkali, konsep “malu” tersebut perlu juga mendapatkan perhatian yang memadai, guna memaknai ulang berbagai peristiwa masa lalu mereka dan untuk lebih memahami dinamika masyarakat Siberut hari ini; atau untuk mereinterpretasi tradisi lisan, cerita rakyat, mitos, dongeng, ataupun legenda orang Mentawai yang selama ini dianggap merupakan pembalikan-pembalikan dari keadaan sebenarnya (inversi simbolik); atau paling tidak, untuk lebih memahami mengapa orang Mentawai tampak “mendua”—paradoks, ambivalen, dan selalu memberi celah bagi negosiasi—dalam banyak hal, baik dalam hubungan mereka dengan tanah, dengan hutan, dengan sasareu, dengan berbagai program dan kebijakan pemerintah di masa lalu maupun di masa kini, bahkan dengan agama, sebagaimana dipaparkan Darmanto dan Abidah B. Setyowati dengan amat baik dalam Berebut Hutan Siberut; Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi (2012). Walaupun untuk saat ini, saya tidak tahu pasti apakah rasa “malu”, seharusnya “malu”, tindakan “memalukan”, atau merasa “dipermalukan” dan berbagai pantang-larang yang begitu banyak itu masih bertahan dalam sendi-sendi perikehidupan mereka? Atau barangkali, konsep terkait “malu” atau “tabu” itu kini hanya bertahan dalam beberapa kasus tertentu, dan “tersingkir” dalam konteks kasus yang lain—seiring perubahan, “pembentukan” identitas, dan dinamika kehidupan masyarakat Siberut yang terus berkembang sedemikian laju; atau telah tergantikan oleh nilai dan norma agama dan aturan pemerintah.

Dan boleh jadi, pikiran-pikiran saya tentang “malu” ini pun keliru. Untuk itu, tentu sudah seharusnya saya merasa “malu” karena kemungkinan keliru dalam upaya memahami konsep“malu”orang-orang Siberut itu. Dan semoga tak ada yang merasa “dipermalukan” oleh esai sederhana ini.

Mohon maaf saraina (saudara), dan masurak bagatta (terima kasih banyak). [*]

 

Ilusitrasi oleh Amalia Putri.

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *