Artikel

Lidahmu Beracun, Pak

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengklaim memiliki big data 110 juta rakyat Indonesia yang mendukung penundaan pemilu 2024. LBP menegaskan memiliki teknologi canggih untuk membaca preferensi masyarakat yang menginginkan penundaan pemilu. Namun LBP enggan membuktikan klaimnya tersebut dengan dalih tidak perlu.

Sementara itu, mengutip Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45), Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, berujar hanya 10.852 akun twitter yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung dalam pembicaraan jabatan Presiden tiga periode dengan mayoritas menolak. Dari 18 juta pengguna Twitter di Indonesia itu, hanya sekitar 10 ribu atau 0,055 persen yang aktif bicara mengenai perpanjangan masa jabatan Presiden.

Artinya klaim 110 juta dari LBP layak dan patut dipertanyakan, mengingat jarak data yang mencolok antara yang disampaikan oleh LBP dan Ismail Fahmi. Akan tetapi, pernyataan LBP bisa disikapi dengan dua cara: pertama, memaklumi; dan kedua melawannya.

Memaklumi LBP

Ada sebuah asas atau adagium yang sangat mafhum di kalangan praktisi hukum, terutama praktisi hukum yang kerap menghadapi proses litigasi, yaitu: “actori incumbit probatio, actori onus probandi”. Yang dalam terjemahan bebasnya diartikan, “siapa yang mendalilkan, dialah yang harus membuktikan”.

Terkait klaim 110 juta masyarakat yang mendukung penundaan pemilu jelas harus dibuktikan oleh LBP. Sebab beliaulah yang mendalilkan hal tersebut. Apalagi data yang ditampilkan tidak tanggung-tanggung dengan menyatakan memiliki alat canggih yang mampu membaca preferensi masyarakat.

Sebagai seorang pejabat negara, tentu pertanyaan harus ditujukan kepada LBP, apakah alat canggih beserta data tersebut merupakan milik pemerintah, milik LBP secara pribadi, atau data milik tim politik Jokowi/relawan pendukung Jokowi yang bekerja di luar pemerintahan? Kenyataan demikian jelas tak terjawab, karena sejauh ini LBP sama sekali tak ingin membuktikan klaimnya dengan membuka data.

Akan tetapi, di sisi lain, kita tidak perlu terlalu rumit memikirkan ucapan LBP. Sebab, kalimat atau perbuatan tidak bertanggungjawab semacam itu keluar dari mulut seorang LBP adalah hal yang lumrah. Sekadar mengingatkan, pada masa awal Covid-19 menghantam Indonesia, Faisal Basri berucap kalau LBP lebih berbahaya daripada virus Corona.

Apalagi memberitahu atau mengajarinya tentang asas hukum. Kita sama mengetahui, LBP adalah orang yang kaya pengalaman, berprestasi, serba bisa, kantor serta lapangan, sipil ataupun militer, dan tentu senior secara usia. Walaupun kalimat yang baru saja dibaca tersebut adalah kalimat penuh basa-basi dan erat sekali dengan kultur feodalisme, bagaimanapun, seorang pejabat sekelas menteri, sekalipun tak ada urusan dengan pengadilan, ia tidak boleh bertindak dan berucap tanpa dasar dan bukti yang jelas.

Namun di sinilah kembali kita harus memaklumi. Bukan LBP namanya kalau tidak memunculkan perhatian dan kekhawatiran secara bersamaan. Walau tidak selalu, tapi seringkali kita menyaksikan kalau tindakannya dengan setumpuk jabatan yang diemban, dalam ruang yang dapat diperdebatkan, telah melanggar aturan hukum, dan postulat-postulat dasar dalam bernegara. Kalau tidak yakin, google masih merekam peristiwa negeri ini sampai hari ini. Hanya butuh beberapa kliping peristiwa untuk menjawabnya.

Melawan LBP

Terlepas benar atau salah, klaim usulan penundaan pemilu harus dilawan. Apalagi telah terang-terangan dinyatakan. Namun begitu, sepanjang tidak terbukti, ucapan LBP ini jelas berbahaya dan mengandung muatan informasi yang keliru, berpotensi menciptakan kegaduhan atau keonaran.  Walau harus segera dibatasi, tidak perlu berharap Polri akan menindaknya.

Upaya penundaan pemilu adalah persoalan serius. Ia merupakan kejahatan terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi, melawan semangat reformasi dan upaya demokratisasi yang terus diupayakan sejak amendemen UUD 1945. Apabila membaca laporan Majalah Tempo, upaya penundaan pemilu erat kaitannya dengan langkah merajut semua fondasi investasi pemindahan Ibu Kota Negara agar ia memiliki daya ikat secara bisnis dengan semua stakeholder atau “shareholder” yang ada.

Amat masuk akal LBP berucap tentang klaim penundaan pemilu. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, rapor kinerjanya jelas berkaitan dengan sumber pendanaan pemindahan Ibu Kota Negara. Terlepas kepada siapa rapor itu dipertanggungjawabkan.

Setidaknya usulan tambahan waktu 3 tahun masa jabatan Jokowi yang disampaikan oleh LBP, cukup masuk akal untuk mengikat para investor secara perdata (business to business). Dengan begitu, apabila di kemudian hari terjadi pembatalan kontrak investasi Ibu Kota Negara, berpotensi akan menimbulkan kerugian yang besar terhadap negara. Ikatan yang dijalin oleh Jokowi dan tim dengan para investor itu, akan membuat proyek ambisius pemindahan Ibu Kota Negara tersebut sulit untuk dianulir. Dari titik ini hanya ada satu kata, “Lawan!”. (*)

Ilustrasi: @graphirate

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *