Artikel

Kurikulum Merdeka untuk Pol PP Payakumbuh

Kalau bukan informasi dari Buya Habiburrahman, dan kemudian berita paling aktual di Sudut Payakumbuh, tidaklah saya mengetahui sedikit pun tentang peristiwa yang hangat dibicarakan di media sosial beberapa hari ini. Pada Selasa (1/8/2023) lalu, Satpol PP Kota Payakumbuh, Sumatra Barat, menangkap sejumlah siswa yang cabut dari sekolah. Para siswa itu dikumpulkan, dikelilingi sejumlah personel Pol PP, dan mereka disuruh membotakkan kepala sendiri.

Ibu Dewi Novita, Sekretaris Satpol PP Kota Payakumbuh, juga membagikan video pembotakan tersebut di akun Instagram-nya. “Kami dari Satpol PP tidak akan mencukur rambut kalian tapi kami serahkan kepada kalian sendiri, jadi kalau mamak-mamak kalian ada yang komplen rambutnya dicukur, komplennya ke kalian sendiri.” Begitu keterangan yang dituliskan Ibu Dewi dalam mendudukkan logika berpikirnya.

Berbagai pandangan sudah disampaikan oleh banyak pihak atas kejadian tersebut. Ada banyak perspektif yang bermanfaat untuk Satpol PP dan kita semua sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, saya hanya ingin membahas relasi antara Satpol PP dan Kurikulum Merdeka yang telah diterapkan secara bertahap di sekolah-sekolah di Indonesia selama lebih kurang tiga tahun ini.

Tidak ada kaitan langsung antara Satpol PP dan kebijakan Kurikulum Merdeka. Satpol PP merupakan institusi di bawah Kementerian Dalam Negeri sedangkan  Kurikulum Merdeka adalah kebijakan di bawah Kemendikbudristek. Akan tetapi, dalam kasus penangkapan dan pembotakan siswa ini, terjalin suatu simpul yang jelas antara keduanya. Yang ditangkap Pol PP adalah remaja yang menggunakan seragam sekolah, selama jam sekolah, dan yang tak kalah penting: mereka dihukum dalam status sebagai siswa sekolah, dan oleh karena itu berhubungan dengan konteks sistem pendidikan saat ini yang menerapkan Kurikulum Merdeka.

Saya berharap, melalui tulisan ini, barangkali saja Satpol PP mendapatkan inspirasi untuk merancang strategi-strategi baru dalam menghadapi siswa yang bolos ketika jam pelajaran. Ijinkan saya menjabarkan dua saja dari sekian banyak kata kunci utama dalam Kurikulum Merdeka, yakni Berpusat Pada Murid dan Pembelajaran Berdiferensiasi. Saya pilih dua ini karena sesuai isu yang sedang kita bahas.

Dua Kata Kunci

Salah satu prinsip Kurikulum Merdeka, sejauh yang saya pahami, adalah pembelajaran yang berpusat pada murid. Aktivitas belajar-mengajar yang dilakukan pendidik di dalam kelas mesti mempertimbangkan kondisi, kebutuhan, dan persoalan murid itu sendiri. Para pendidik harus lebih memahami setiap murid secara mendalam. Bukan sekadar tahu informasi umum belaka seperti layaknya dalam biodata. Dengan begitu, perhatian yang harus diberikan guru tak hanya pada murid yang “patuh dan rajin belajar” tetapi juga yang “malas dan tidak menunjukkan minat sama sekali”. Bahkan yang disebutkan terakhir ini wajib untuk diperlakukan strategi khusus yang tak kalah serius dibanding yang disebutkan awal.

Berpusat pada murid, dalam istilah sederhana, berarti meletakkan keberbagaian kapasitas murid sebagai pertimbangan utama dalam menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan di kelas. Artinya, mendidik murid mesti menggunakan cara-cara yang sesuai dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing, baik secara kognitif, psikologis, afektif, dan sebagainya. Dengan begitu, suatu kelebihan ataupun keunikan dapat dimaksimalkan dan suatu kelemahan dapat diminimalkan, yang mana keduanya dilakukan tanpa menyeragamkan para murid.

Konsekuensi logis dari model pembelajaran yang berpusat pada murid ini adalah terciptanya pembelajaran berdiferensiasi. Artinya, ini adalah pembelajaran mesti dibuat bervariasi sesuai dengan kondisi-kondisi yang tak bisa disamakan antara satu murid dengan murid lain, bahkan satu sekolah dengan sekolah lain. Kondisi yang tidak bisa disamakan itu di antaranya terkait pemahaman murid yang berbeda-beda, lingkungan sekolah yang tak sama, ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, dan sebagainya.

Sebagai seseorang yang menjalani masa sekolah (lebih kurang dua puluh tahun lalu) dengan ketimpangan perhatian antara “murid rajin” dan “murid malas”, saya merasa prinsip Kurikulum Merdeka ini justru merangkul dengan seerat-eratnya para siswa yang dianggap “lemah”. Berbeda dengan masa saya sekolah yang hanya mementingkan “anak juara” dan meminggirkan “anak nakal”, pada saat sekarang justru semua murid dipetakan sesuai kapasitas masing-masing dan pemetaan ini bukan untuk meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain, melainkan untuk menentukan metode pembelajaran seperti apa yang cocok untuk masing-masing mereka sehingga setiap murid pada akhirnya mencapai hasil yang sama-sama maksimal.

Mencari Pendekatan Baru

Bagaimana dengan sekolah yang mempunyai siswa bolos? Sesuai dengan yang saya sampaikan di atas, kebiasaan bolos yang dilakukan murid alangkah lebih baik bila disikapi dengan prinsip Kurikulum Merdeka. Bukan dengan cara zaman dahulu seperti pembotakan di ruang publik.

Saya tahu bahwa masa saya sekolah dan masa Ibu Dewi tidaklah jauh berbeda, yakni masa ketika “cara militer” masih menjadi metode yang lumrah dipakai untuk mendidik siswa yang dianggap bermasalah. Tindakan kekerasan hingga mempermalukan di depan publik dianggap biasa dengan alasan untuk kebaikan. Padahal, kekerasan dan mempermalukan di tengah publik hanya memberikan efek jera sesaat, namun menimbulkan “tekanan mental” dan “dendam” yang terselubung dan panjang.

Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib sangat patut kita jadikan teladan bagi mental dan moral generasi kita yang dibesarkan di zaman Orde Baru ini: “Didiklah anak sesuai zamannya, karena mereka hidup di zamannya dan bukan di zamanmu.” Dan di zaman ini sudah ada kebijakan Kurikulum Merdeka dan kita tak lagi zaman Orde Baru.

Kalau sekolah menerapkan pembelajaran yang berpusat pada murid, maka siswa-siswa yang gemar bolos itu tentunya akan dirangkul lebih dekat sesuai dengan kondisi-kondisi yang tentu lebih dipahami oleh sekolah masing-masing, dan kemudian digali persoalan-persoalannya (asesmen), hingga pada akhirnya ditemukan variasi pembelajaran yang paling tepat untuk mereka. Dengan kata lain, kita butuh pendekatan baru dan wadahnya sudah disediakan Kemendikbudristek RI.

Tanpa melakukan itu, kita tak akan pernah tahu apakah siswa yang suka bolos itu, sebagai contoh, mempunyai gaya belajar yang kuat pada aspek visual, bunyi, atau kinetik. Tentu banyak sekali aspek yang harus diketahui dari seorang siswa demi mendapatkan metode pembelajaran yang tepat, namun yang jelas dari banyak praktik baik yang dilakukan para guru dan sekolah di penjuru Indonesia, kita dapat melihat bahwa upaya-upaya untuk melakukan pembelajaran yang berpusat pada murid dan pembelajaran berdiferensiasi bukanlah hal mustahil sama sekali.

Saya cukup sering bercakap panjang dengan para guru dari berbagai daerah di Indonesia. Untuk menghadapi berbagai persoalan siswa, mereka mau tidak mau harus belajar dan meningkatkan kompetensinya. Tidak sedikit para guru di negeri kita ini yang pada akhirnya menemukan strategi-strategi jitu dalam menyelesaikan persoalan siswa.

Ada yang mencoba menyampaikan pelajaran agama dengan menggunakan format game. Ada pula yang mengajarkan matematika sambil bermain di luar kelas. Ada pula yang menggabungkan pelajaran seni dengan pelajaran fisika. Dengan cara seperti itu, banyak  siswa yang mengatakan langsung bahwa mereka jadi suka mata pelajaran tertentu karena kreativitas gurunya dalam mengajar.

Yang tak kalah berharga adalah pengakuan dari para guru tersebut bahwa selama ini mereka terlalu memaksa para murid untuk menerima pelajaran dengan metode yang seragam. Baru belakangan mereka menyadari bahwa ternyata cara yang paling tepat adalah guru mesti menemukan berbagai strategi kreatif dan inovatif untuk memberikan tempat tumbuh yang layak bagi murid tanpa harus memperlakukan “murid rajin” dan “murid malas” sebagai “bawang merah dan bawang putih”.  Pengakuan dan perubahan seperti ini merupakan capaian penting dalam upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya orang Minang tak akan sulit memahami model belajar seperti itu, karena model pendidikan di Surau mempunyai banyak irisan dengan yang diterapkan melalui Kurikulum Merdeka. Itupun kalau selama ini kita benar-benar peduli pada Surau dan bukan sebatas lagu dagang oleh pemerintah daerah aja.

Komunikasi Pol PP dan Dinas Pendidikan

Ada sebuah peribahasa klasik yang mengatakan, “kalau kamu hanya punya palu, jangan jadikan semuanya sebagai paku.” Tentu saja, perlu upaya bersama-sama agar tidak semuanya dijadikan paku. Sebagai langkah awal, kita harus lebih sadar dan mau mencari tahu tentang keterbatasan palu, sehingga kita pun bisa membuat alat baru yang bisa membuat hal-hal lain selain paku juga turut berguna.

Dalam konteks banyaknya siswa sekolah yang bolos di Payakumbuh, tidak ada salahnya Satpol PP Payakumbuh mau mempertimbangkan terlebih dahulu strategi pendidikan saat ini yang sangat mementingkan upaya-upaya memecahkan masalah secara kreatif daripada upaya-upaya memberikan hukuman yang represif dan cenderung sensasional.

Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan sekali komunikasi berkala yang dapat dilakukan Satpol PP dengan Dinas Pendidikan atau sekolah untuk menyelesaikan persoalan siswa bolos. Komunikasi itu tentu bukan untuk berkolaborasi dalam melanjutkan cara-cara lama tersebut, melainkan untuk membangun pembelajaran yang berpihak pada murid sebagai upaya memaksimalkan penerapan Kurikulum Merdeka, sesuai batas gerak masing-masing.

Ini jelas bukan tugas guru, sekolah, atau Dinas Pendidikan saja, tetapi semua elemen pemerintah dan masyarakat, termasuk Satpol PP. Sekarang ini, tak hanya kolaborasi antar sekolah, kesempatan suatu sekolah untuk bekerjasama dengan pihak luar sekolah juga semakin terbuka lebar. Bila dalam konteks yang tepat dan edukatif, misalnya, Satpol PP bisa saja menjadi salah satu pihak yang dapat mendukung pembelajaran yang berpihak pada murid, apapun itu bentuknya di kemudian hari. Setahu saya, Kurikulum Merdeka memberikan ruang bagi seluruh elemen untuk berkolaborasi dalam menciptakan pembelajaran yang inklusif bagi peserta didik.

Akhir kata, dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan zaman ini, semoga kita dapat membangun ekosistem pendidikan yang aman, nyaman, dan layak bagi peserta didik di Payakumbuh tercinta.

Sudilah kiranya Sobat Pol PP sekalian untuk melapangkan dada menerima uluran tangan saya bila ada hal-hal yang tidak berkenan dalam tulisan ini. Kepada manusia saya minta maaf, kepada Allah SWT saya minta ampun. Semoga maksud di dalamnya dapat ditangkap dengan tepat. Saya hanya berupaya agar benang yang kusut jangan sampai tersangkut pula di kaki ayam. Tidak dapat akal lagi. (*)

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *