Artikel

Ironisme Gerakan Sosial Muhammadiyah

Kemarin (29 April 2022) di laman resmi akun Instagram dari Persyarikatan Muhammadiyah ada postingan berjudul “Teologi Al-Ma’un”, yang intinya menjelaskan secara ringkas perihal suatu ajaran yang bersumber dari surat Al-Ma’un dalam Al-Quran perihal keadilan sosial. Umat Islam tentu saja tahu bahwa dalam surat tersebut terdapat suatu penegasan atas kewajiban orang Islam untuk menciptakan keadilan sosial dan kemudian itu menjadi fondasi dari gerakan sosial Islam yang dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Postingan tersebut muncul tepat ketika seorang sahabat saya sedang berbagi cerita tentang kepedihan yang disebabkan oleh upah kerjanya yang tak lancar. Sementara kebutuhan hidupnya semakin mendesak. Satu-satunya kerja yang bisa dilakukannya pun tak begitu banyak membantu. Ia bekerja sebagai buruh pendidikan di suatu institusi pendidikan Muhammadiyah. Kejadian seperti ini bukan sekali saja. Beberapa hari sebelumnya, di saat teman saya menceritakan hal yang persis sama, soal macetnya upah kerjanya di kampus Muhammadiyah, dan tak berapa lama kemudian ada pula postingan kabar gembira di akun resmi Muhammadiyah tentang triliunan total aset Muhammadiyah saat ini serta rencana-rencana ekonomi yang perlu dilakukan. Ini jelas suatu “kebetulan” yang menarik sekalipun tidak bisa dianggap sepele.

Saya termenung cukup lama. Tak sanggup membayangkan ada seseorang yang sedang “menahan lapar sendiri” sementara di depan matanya terlihat orang lain sedang menyenandungkan “lagu yang sangat merdu” tentang “kesejahteraan hidup orang banyak”. Kondisi itu menjadi semakin pahit ketika pada kenyataannya mereka berdua berada di bawah kibaran bendera perjuangan yang sama. Betapa lintuh hati kita dibuatnya.

Saya menelpon beberapa kawan untuk menceritakan kejadian itu dan mereka baru bisa membantu dengan memberikan kepada saya suatu wejangan soal “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Bagi saya, adagium terkenal dari KH Ahmad Dahlan itu sangatlah tinggi relevansinya dan sekaligus indah [semoga Allah SWT memberikan tempat paling baik kepada beliau], hanya saja tidak bisa dipakai secara manasuka di persoalan sini. Bahkan sangat keliru bila digunakan untuk melumrahkan nasib beberapa contoh pengajar di atas. Mengapa?

Standar dari apa yang disebut dengan “mencari hidup” di Muhammadiyah itu adalah tidak sama satu sama lain. Ini tak hanya berpotensi jadi standar ganda, tetapi juga standar manasuka. Bila misalnya, ketika para buruh pendidikan tersebut berharap segera menerima upah yang tak seberapa itu dan kemudian dianggap sebagai semacam tindakan tidak etis sebagai aksi “mencari hidup” di Muhammadiyah, maka konsekuensi logisnya betapa lebih banyak lagi yang bahkan dapat disebut “terlalu mencari hidup” di persyarikatan ini.

Secara nominal, bila kita andaikan bahwa standar dari sesuatu yang disebut “mencari hidup” dan “tidak mencari hidup” itu adalah angka rata-rata upah pengajar tersebut, maka istilah apa yang mesti kita gunakan untuk menyebut orang Muhammadiyah lain yang memperoleh pemasukan lebih tinggi, bahkan sangat jauh lebih tinggi, daripada angka rata-rata itu? Mengapa etika “jangan mencari hidup” itu hanya disorongkan kepada kaum buruh di Muhammadiyah belaka dan tidak dibentangkan pada semua individu, apalagi petinggi, di dalam organisasi tersebut?

Bukankah sangat banyak orang Muhammadiyah yang berkarir di Muhammadiyah, yang kemudian mendapatkan pekerjaan berkelas di luar persyarikatan, disebabkan oleh identitas Muhammadiyah yang dibawanya? Sudah sangat jelas bahwa, di zaman serba berkemajuan ini, tindakan “mencari hidup [modal simbolik]” di Muhammadiyah menjadi bagian dari tindakan “mencari hidup [modal ekonomi]” di luar organisasi, bukan?

Dengan kata lain, bila ada yang menggunakan adagium “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”  untuk menganggap sepele persoalan yang dihadapi para buruh pendidikan tersebut, maka jelas-jelas itu suatu tindakan yang senyata-nyatanya berat sebelah. Bahkan layak disebut biadab.

Saya perlu menekankan bahwa tulisan ini bukanlah sebatas pamflet yang dibuat untuk menuntut institusi-institusi pendidikan tertentu agar sesegera mungkin memberikan upah para buruhnya. Toh, kita tahu,  urusan ketepatan dan kelayakan upah untuk semua buruh di institusi pendidikan Muhammadiyah tetap saja tergantung kesadaran teologis dari otoritas institusi terkait. Itu pun kalau kesadaran teologis itu benar-benar bisa dibuatnya jadi kenyataan.

Hanya saja, bila saya boleh meneruskan pendapat, saya berharap sekali perkara mekanisme kesejahteraan para buruh pendidikan di semua institusi yang berjalin-kelindan dengan Muhammadiyah ini benar-benar menjadi poin pembahasan utama-berkelanjutan di forum apa pun yang paling tepat untuk membahasnya. Bagi saya, melalui dua kali kebetulan tadi sudah cukup untuk menyatakan bahwa Muhammadiyah perlu membongkar ulang mekanisme pengelolaan aset dan dengan demikian distribusi kesejahteraan di dalam masyarakat Muhammadiyah itu sendiri. Bagaimanapun juga, sebuah persyarikatan yang mengedepankan gerakan untuk keadilan sosial ini mesti terlebih dahulu memastikan bahwa distribusi kesejahteraan untuk para buruhnya juga berjalan secara adil.

Kita semua tahu bahwa gerakan sosial Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah berusia lebih dari seabad ini tidak perlu diragukan lagi. Kontribusi persyarikatan ini di gerakan untuk menyelesaikan ketidakadilan sosial tidak hanya dalam bentuk sekolah, rumah sakit, beasiswa, panti asuhan, badan zakat, dll untuk kebutuhan masyarakat di Indonesia saja, tetapi juga menyebar ke kebutuhan umat Islam di dunia. Bahkan di era teknologi informasi ini, atas segala kontribusi yang telah dibuktikan, Muhammadiyah punya bahan yang melimpah-ruah untuk merepresentasikan diri sebagai salah satu gerakan sosial Islam tersebar di dunia.

Dan justru oleh sebab itu, kita semua tak ingin bahwa Persyarikatan Muhammadiyah terus-menerus memproduksi ironisme dan heroisme dengan sama kuatnya. Nama besar Muhammadiyah di bidang pendidikan yang terus dikibar-kibarkan ke mana-mana itu harus seimbang dengan kepedulian besar pada nasib buruh-buruh pendidikannya yang hidup lintang-pukang di seluruh penjuru negeri. Sorak-sorai gerakan Muhammadiyah ke tingkat global sebaiknya dilakukan tanpa meluputkan sunyi-sepi kondisi Muhammadiyah di tingkat daerah. Kabar baik yang terus dipublikasikan oleh semua corong Muhammadiyah alangkah lebih baik bila juga seimbang dengan ikhtiar mencari-mendengar-merespons kabar-kabar malang perihal nasib pejuang-pejuang Muhammadiyah, di mana pun berada.

Bukankah semuanya harus seimbang sampai ke tingkat urat-akar kehidupan sosial dan bukan sebatas di tingkat pucuk-pucuk narasi belaka? Kata seorang sahabat saya yang suka bercanda: “Yang seimbang dalam pergerakan kader Muhammadiyah hanya aspek akademik dan aspek spiritual belaka, selain itu berat sebelah.” Karena saya tidak berbakat bercanda, maka saya jawab dengan serius: “Loh? Kalau memang dua aspek itu sudah seimbang, mustahil hal-hal lain jadi timpang!”.

Saya menulis ini tiada maksud untuk membikin kerdil atas suatu keagungan yang sudah mendarah-daging dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Sebelum mengetik tulisan ini, saya sudah berpikir ulang berkali-kali. Barangkali saja ini semua hanya sebatas keharuan yang berlebih-lebihan dalam diri saya. Jangan-jangan para pengajar itu adalah manusia yang mempunyai kezuhudan dan keikhlasan level tertinggi dan tentu saja berbanding terbalik dengan diri saya yang tak berdaya ini. Dan jangan-jangan yang dibutuhkan oleh Muhammadiyah selama ini memanglah orang-orang zuhud serta ikhlas level tinggi saja [yang bisa menjadi bahan kampanye “militansi Muhammadiyah”] dan bukan orang-orang yang lancang tak karu-karuan seperti saya. Lagi-lagi, ini membuat saya jadi ragu-ragu untuk menulis.  Sebenarnya, semua pendapat saya ini bukan hal baru sama sekali. Sudah banyak yang menulis pandangan serupa. Namun, selama ketimpangan masih kentara, peringatan seperti ini tak akan kadaluarsa, siapa pun itu yang melakukannya.

Akhir kata, ijinkan saya yang hamba sahaya ini memohon maaf dan ampun yang sebesar-besarnya atas segala keterbatasan dan ketidaktahuan. Semoga saya dan kita semua diberi hidayah oleh Allah SWT agar menjadi “Muhammadiyah” [umat Nabi Muhammad SAW] yang sebenar-benarnya. Allahumma shalli ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallim.(*)

*Penulis adalah anggota Jaringan Islam Berkemanjuan (JIB) dan Kader Muhammadiyah

Ilustrasi diambil dari Muhammadiyah.org.id

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *