Artikel

Identitas Lambung

Di tahun 2002, saya kehabisan uang di atas bus dari Jakarta menuju Padang. Saya dimarahi penjaga di satu rumah makan di Lubuk Linggau karena tidak membayar biaya masuk toilet seharga 100 rupiah. Ketika bus berhenti di Gunung Medan, ini perhentian terakhir sebelum sampai di Kota Padang, saya didera oleh rasa lapar yang benar-benar tak tertahankan. Uang saya sudah ludes sejak dari Bakauheni, dan saya mesti makan. Untungnya, saya ingat pembicaraan orang-orang tua yang gagal di rantau: kalau kau benar-benar tidak punya uang, tapi perutmu lapar, carilah daun dan masuklah rumah makan. Setelah makan, kau pergi dan berikan daun itu ke kasir.

Saya kira itu hanya bohong-bohongan saja, sebab kita susah membedakan perbincangan orang-orang tua di warung kopi, mana yang nyata dan khayalan semata. Orang sekarang menyebutnya dengan istilah yang anggun sekaligus licik, mitos. Namun, apa mau dikata, tidak ada pilihan lain. Saya pun mempraktikkan mitos aneh tersebut dengan yakin. Sebab, orang lapar begitu mudah yakin. Saya makan rendang dengan lahap. Setelah kenyang, saya mendatangi kasir. Saya berikan daun yang saya petik di pinggir jalan depan rumah makan. Karena sudah kenyang, keyakinan saya memudar dan daun itu saya berikan dengan gugup. “Uang saya tidak ada, Pak,” kata saya pada kasirnya yang berkumis dan berpakaian necis.

“Sudah, saya mengerti,” katanya seakan-akan kalau daun sudah diberikan, tidak perlu lagi mengatakan ‘saya tidak punya uang’. Ia memasukkan daun yang saya kasih ke laci, sebagaimana ia memasukkan uang dari pembeli lainnya. Dan saya lega, betapa aneh dua helai daun selebar  tiga sentimeter bisa menggantikan sepiring nasi dengan rendang. Bus meluncur kembali, Gunung Medan tinggal di belakang. Lima jam berikutnya, saya tiba di Kota Padang yang berantakan.

Saya bertanya-tanya. Entah sejak kapan daun itu menjadi tanda yang mewakili orang lapar tapi tidak punya uang untuk membeli nasi. Di Minangkabau, mengatakan tidak punya uang itu memalukan. Sama halnya bagaimana banyak orang tidak mau memasang stiker pemberian pemerintah bertuliskan ‘Rumah Tangga Miskin’ di pintu rumah mereka. Barangkali, inilah yang membuat saya belajar bahwa rumah makan Padang bukan semata tempat transaksi jual beli makanan. Kata bapak saya, mendirikan rumah makan bukan soal kau punya modal dan cakap meracik bumbu, tapi ada yang lebih krusial dari itu. Makanya, di warung bapak saya tidak pernah dipersoalkan siapa yang tidak membayar. Berapa uang di lacimu, itulah rezekimu.

Setahun setelah itu, ketika saya sedang duduk di satu rumah makan di Gunung Pangilun, Kota Padang, seorang lelaki tua  mempraktikkan hal yang sama dengan saya. Namun, kasir rumah makan itu bingung. “Pak, ini daun. Kok bayarnya pakai daun? Kalau tidak ada uang jangan makan!” Saya masih ingat kata-katanya. Anehnya lagi, lelaki tua itu justru lebih bingung, kok bisa orang rumah makan tidak paham tanda yang dia berikan. Dua bulan setelah kejadian itu, rumah makan itu gulung tikar. Tentunya bukan karena daun yang diberikan orang tua tersebut.

Tahun 2010, di satu Rumah Makan Padang di Flores, saya makan dan bercerita ngalor-ngidul dengan pemilik hingga sampai pada bahasan apa itu identitas rumah makan Padang, yang tentu tidak hanya makanan enak dan logo rumah adat bagonjong.

“Kalau kita buka rumah makan, ya kita melayani orang yang lapar itu. Uang, ha, itu urusan nomor sekian lah itu. Setelah makan mereka akan bertanya berapa harga, baru kita sebutkan. Artinya, mereka akan membayar kebaikan kita menyediakan makanan enak buat perut mereka yang lapar. Jangan seperti Keefce, orang belum makan sudah minta bayaran, kita pula yang ambil sendiri. Jangan beri harga yang tidak mampu orang membayarnya. Itu mencari laba saja kita namanya. Kalau mereka tidak membayar, artinya mereka tidak punya uang. Tidak. Itu bukan resiko membuka rumah makan. Memang begitu membuka rumah makan,”  kata pemilik rumah makan yang menggantung foto Angku Salih pada dinding warungnya, seorang ulama tarekat yang dihormati atas keteladanannya di pantai utara Minangkabau.

Kepekaan moral seperti ini yang entah masih menjadi ‘identitas yang tidak bisa ditawar’ bagi rumah makan Padang hari ini, entah tidak. Barangkali berangkat dari hal-hal mendasar tersebut, rumah makan Padang kaki lima menyebut dirinya Ampera, akronim dari amanat penderitaan rakyat yang bergelora pada tahun 60-an, sebagaimana perjuangan itu dimulai dari lambung.

Walau bukan pencetus demokrasi, Rumah Makan Padang telah menawarkan sesuatu yang demokratis dari hal paling mendasar: lambung, lagi. Makan mana yang suka. Dan lagi, rumah makan Padang, kata seorang peneliti di Universitas Gajah Mada Mirna Yusuf, pada mulanya sebuah usaha bersama di mana ada sistem ‘mato’ yang mengaturnya. Rumah makan bukan kepemilikan pribadi, maka tidak ada karyawan dalam sistem. One of the keys to Padang’s restaurant success is the application of the mato system (profit sharing).

Kini, rumah makan Padang, walau telah ada di Batavia sejak awal abad ke-20, tersebar di seluruh provinsi di Indonesia ini dianggap akan tercemari citra halalnya. Bagaimana mungkin seorang penjual rendang babi yang tokonya sudah tutup bisa membuat kisruh orang Minangkabau di media sosial? Kenapa tersinggung hanya karena bumbu warisan leluhur dipadu dengan daging babi? Bukankah warisan luhur yang ikut bersama rendang adalah juga melayani rasa lapar?  Bagaimana bisa, masakan yang dinobatkan CNN Travel sebagai masakan terenak di dunia (ini suatu yang sangat membanggakan bagi orang Minangkabau) itu kini melahirkan persiteruan yang tidak jelas ujung pangkalnya?

Tentu saja kita tidak bisa menjawabnya dengan pantun amburadul yang ke-27.137 ditulis oleh mantan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno Dt. Bandaro Basa: Bandara lama di Polonia / Ke Kualanamu kini beralih //Rendang mendapat pengakuan dunia / Perhatian kita juga harus lebih//  Lupakan pantun yang tidak menyelesaikan apa-apa, dan orang Minang tentu tidak akan tersinggung dengan berjilid-jilid pantun seperti itu walau sejatinya telah menciderai cukup serius kesusastraan Minangkabau, warisan leluhur yang mengasah ketajaman nalar dan ide dalam mencari kata mufakat.

Jangan-jangan benar anggapan yang mengatakan orang Minang tersinggung karena benteng terakhir mereka–biar masih dianggap masyarakat berperadaban tinggi, bukan Melayu rendah–ternoda oleh rendang Babiambo? Bila kuliner ternoda, rusaklah susu sebelanga. Ada yang berpendapat begitu. Adakah yang bisa dibanggakan orang Minang selain rendang dan rumah makan, masa lalu, seloka adat yang tak terpakai, petuah-petuah agung yang tak tercermin? (*)

 

Foto oleh Fatris MF.

About author

Penulis catatan perjalanan.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *