Kita hidup di negeri yang riuh. Riuh oleh percakapan politik yang tak berujung, drama selebriti yang berganti setiap minggu, hingga tarian viral TikTok yang memabukkan mata. Namun ketika seorang perempuan terbunuh semata-mata karena ia adalah perempuan, dunia ini tiba-tiba membisu. Sunyi menganga, seolah nyawa yang melayang itu tak lebih dari debu yang tertiup angin.
Mengenal Femisida
Femisida, istilah yang masih asing di telinga banyak orang, padahal kasusnya berseliweran hampir tiap bulan. Femisida pada dasarnya adalah pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gender mereka sebagai perempuan, bukan karena kecelakaan, apalagi insiden acak, tapi karena kebencian yang sudah sistemik dan terstruktur.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh aktivis bernama Diana Russell, bersama Jill Radford, pada tahun 1992. Mereka mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan perempuan yang didorong oleh kebencian terhadap perempuan (misogini) dan ketidaksetaraan gender. Jadi perempuan dibunuh bukan karena mereka bersalah, melainkan karena tubuh dan keberadaan mereka dianggap mengganggu tatanan patriarki yang telah mengakar. Karena mereka berani berkata “tidak” dalam dunia yang mengharapkan mereka untuk selalu berkata “ya”.
Jadi apa bedanya femisida dengan pembunuhan biasa? Femisida punya akar ideologis. Femisida muncul dari anggapan bahwa perempuan itu inferior, “kelas dua”, disposable, bisa dikontrol, dan kalau melawan… boleh dibunuh. Maka tak heran jika pelakunya seringkali berasal dari orang terdekat, seperti pacar, mantan pacar bahkan oleh orang yang memiliki hubungan sedarah. Karena cinta dan kepemilikan bisa saja bercampur aduk. Lalu kekerasan jadi manifestasi frustasi saat kontrol mereka diganggu.
Potret Kelam Femisida di Dunia
Femisida merupakan bentuk paling ekstrim dari kekerasan berbasis gender, dan data global menunjukkan realitas yang mencekam. Menurut laporan terbaru dari UN Women dan UNODC, sekitar 85.000 perempuan dibunuh di seluruh dunia pada tahun 2023, dan sekitar 60% di antaranya terjadi di lingkungan rumah tangga, dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga yang seharusnya melindungi mereka. Rata-rata, 140 perempuan dibunuh setiap harinya oleh seseorang yang seharusnya menjadi tempat berlindung mereka.
Secara regional, Afrika mencatat angka tertinggi dengan 2,9 femisida per 100.000 perempuan, atau sekitar 21.700 korban jiwa melayang sia-sia. Disusul oleh Amerika dengan 8.300 kasus, dan Asia mencatatkan tingkat yang tampak lebih rendah yaitu 0,8 per 100.000 perempuan. Tapi jangan salah, angka di Asia ini seperti fenomena gunung es: yang terlihat hanya ujungnya. Sisanya tenggelam dalam sistem pelaporan yang lemah dan tidak adanya kategori femisida dalam hukum pidana.
Brasil mencatat 1.467 kasus femisida di tahun 2023, meningkat dari tahun sebelumnya (1.400 kasus). Meksiko, yang kerap menjadi sorotan karena tingginya kekerasan terhadap perempuan, mencatat lebih dari 1.000 kasus femisida setiap tahunnya. El Salvador bahkan mencatat tingkat femisida 6,5 per 100.000 perempuan—salah satu yang tertinggi di dunia. Sementara Afrika Selatan melaporkan tingkat femisida sekitar 9,0 per 100.000 perempuan, menjadikannya salah satu negara paling berbahaya di dunia bagi perempuan.
Realitas Femisida di Indonesia
Di Indonesia pun tidak jauh berbeda, hanya saja kita lebih mahir dalam menutup-nutupi. Media kita lebih suka menyoroti ‘motif asmara’ ketimbang menyebutnya apa adanya: femisida. Dan ironisnya, masyarakat kita lebih memahami drama perselingkuhan artis daripada menyadari bahwa di balik layar, nyawa perempuan terus melayang. Seolah pembunuhan bisa diromantisasi dengan kata-kata yang lebih mudah ditelan. Padahal fenomena ini memiliki pola sistemik yang sangat jelas dan mengerikan.
Komnas Perempuan mencatat 307 kasus femisida pada tahun 2022, tapi angka ini turun menjadi 159 kasus pada 2023. Jangan buru-buru bernapas lega, angka ini turun bukan karena kekerasan berkurang, melainkan karena banyak kasus yang tidak terklasifikasi sebagai femisida. Bagaimana bisa mengkategorikan sesuatu yang tak punya tempat dalam hukum kita?
Laporan dari Jakarta Feminist menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 180 kasus femisida yang tersebar di 38 provinsi, seperti wabah yang tak kunjung reda. Tahun 2024? Angka ini melonjak menjadi 204 kasus.
Artinya, hampir setiap dua hari, seorang perempuan dibunuh karena tidak lebih dari status gendernya semata.
Sayangnya, hingga kini, Indonesia belum memiliki UU khusus yang mengatur femisida secara eksplisit. Pembunuhan terhadap perempuan masih diproses sebagai pembunuhan umum tanpa mempertimbangkan konteks gender, relasi kuasa, atau pola kekerasan sebelumnya. Hal ini diperparah oleh sikap media yang cenderung mengaburkan akar masalah dengan narasi romantisasi, menjadikan korban sebagai objek sensasi alih-alih subjek perlindungan hukum.
Sebagian orang mungkin mencibir, mengira femisida cuma sebuah istilah akademis atau jargon kaum feminis yang terlampau dramatis. Tapi coba pikir, bisakah kamu pastikan teman, tetangga, atau bahkan dirimu sendiri (jika kamu perempuan) aman dari ini? Kalau kamu perempuan, kamu pasti pernah merasa waspada sepanjang perjalanan pulang. Pegang tas erat-erat, pura-pura telepon seseorang, atau kirim share location ke teman terdekat. Bukan karena kamu paranoid. Tapi karena kamu tahu: Jadi perempuan itu berbahaya!
Media Mainstream yang Cenderung Tutup Mata
Coba buka media nasional. Seberapa sering kamu lihat kata “femisida” sebagai headline? Nyaris tak ada. Terakhir muncul di 2023. Dua tahun yang lalu. Mengapa? Karena nyawa perempuan tidak cukup menjual untuk dijadikan clickbait.
Kamu mungkin masih ingat kasus viral Vina dan Eky di Cirebon, atau Feby Ardiansyah yang dibunuh pacarnya sendiri. Sayangnya, tidak semua kasus viral. Banyak yang hilang begitu saja dalam berita kecil di pojok media lokal, atau lebih parah lagi, tidak dilaporkan sama sekali.
Komnas Perempuan mencatat bahwa 7 dari 10 kasus kekerasan terhadap perempuan tidak pernah dilaporkan, karena korban takut, malu, atau tidak percaya sistem akan melindungi mereka. CATAHU 2023 juga mencatat angka yang memilukan bahwa 62% korban kekerasan tidak melapor karena takut dipermalukan. Ini menyiratkan secara tidak langsung bahwa masyarakat lebih peduli pada reputasi daripada keselamatan nyawa manusia.
Femisida adalah puncak dari gunung es kekerasan berbasis gender. Sebelum seorang perempuan dibunuh, dia telah mengalami berlapis-lapis kekerasan yang diabaikan, dari pelecehan di jalanan, kekerasan verbal dari orang tua, pemaksaan pernikahan, kontrol terhadap pakaian dan tubuhnya, sampai gaslighting yang membuatnya ragu atas realitasnya sendiri.
Masalahnya bukan hanya pembunuhan itu sendiri, tapi juga bagaimana kita menormalisasi pola kekerasan yang mendahuluinya. Perempuan diancam, dikuntit, dikekang, disiksa secara emosional dan fisik selama berbulan-bulan sebelum akhirnya dibunuh. Tapi semua itu tak dianggap serius. Kita masih menganggap kekerasan dalam pacaran itu urusan pribadi yang tak pantas untuk dicampuri. Kita masih menganggap rumah tangga adalah wilayah privat di mana negara dan orang lain tak berhak campur tangan.
Jadi kalau kamu pikir rumah adalah tempat paling aman, pikir lagi. Banyak perempuan dibunuh justru di ruang yang mereka sebut-sebut sebagai “tempat aman”.
Budaya Victim Blaming
Ketika kita membaca berita tentang perempuan yang dibunuh, pertanyaan pertama yang muncul selalu seputar korban: “Dia memakai pakaian yang bagaimana?” “Pulang jam berapa?” “Memangnya dia tidak tahu kalau cowoknya itu temperamen?” “Dia berselingkuh, ya?” Seolah hidup perempuan hanya memiliki nilai jika sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Satu langkah keluar dari skrip patriarki yang telah ditetapkan? Bersiaplah untuk dihakimi. Atau dibunuh. Atau keduanya.
Victim blaming adalah bentuk kekerasan lanjutan yang lebih busuk dari kekerasan fisik itu sendiri. Komentar-komentar seperti, “Sudah tahu pacarnya kasar, kenapa masih mau?” atau “Pasti perempuannya juga yang mancing-mancing,” bukan hanya tidak sensitif. Itu adalah manifestasi kebodohan kolektif yang dikamuflase sebagai opini yang berbobot.
Seorang perempuan dibunuh oleh pasangannya? Judul berita: “Cemburu, Pria Habisi Nyawa Kekasih.” Seakan-akan cemburu dijadikan pembenaran. Seakan-akan perempuan patut menerima hukuman mati karena menolak, marah, atau memilih pergi. Seringnya lagi femisida malah dibungkus dengan justifikasi moral: korban terlalu genit, pakaiannya terlalu terbuka, terlalu keras kepala, terlalu banyak bicara, terlalu ‘melawan’. Tak pernah pelaku yang disebut terlalu posesif, terlalu kasar, terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup di tengah masyarakat.
Konsep “Perempuan Baik-Baik”
Istilah “perempuan baik-baik” juga menjadi racun sosial yang melanggengkan standar ganda yang kejam. Perempuan baik-baik konon harus lemah lembut, patuh tanpa syarat, sopan dalam segala situasi, tidak bersuara terlalu lantang, tidak pernah marah, tidak menggoda, tidak memakai pakaian ketat, tidak terlalu dekat dengan laki-laki, tidak terlalu banyak berpendapat. Kalau bisa, jangan terlihat terlalu pintar, apalagi terlalu ambisius.
Baik menurut standar siapa?
Lalu di mana tempat bagi perempuan yang memiliki trauma? Yang pernah dilecehkan? Yang keras kepala karena ingin hidup sesuai dengan standarnya sendiri? Yang marah karena terlalu lama dibungkam? Mereka bukan “baik-baik” menurut standar sosial, bukan?
Seolah-olah jika kamu meninggal, baru kamu ‘layak dikasihani’, asalkan sebelumnya kamu sopan, alim, tidak pernah macam-macam, dan tidak pernah keluar malam. Namun sebaliknya, jika kamu pernah keluar malam, pernah memiliki pacar, mengenakan pakaian terbuka, selamat–kematianmu akan diwajarkan.
Padahal tidak ada perempuan yang pantas dibunuh. Tidak ada manusia yang pantas disakiti hanya karena tidak sesuai dengan imajinasi moral orang lain.
Sistem yang Gagal
Femisida adalah hasil dari sistem yang secara konsisten mendidik perempuan untuk diam, menerima, dan menyembunyikan luka di balik senyuman. Sejak kecil, perempuan didoktrin untuk menjaga nama baik keluarga, untuk tidak membuat malu, untuk tidak membuka aib yang dapat mencoreng reputasi. Rasa sakit harus ditanggung dalam diam demi sebuah konsep “kehormatan” yang absurd.
Ketika mereka akhirnya berani bicara, justru mereka yang dicap sebagai aib. Rusak. Tidak suci. Seolah trauma yang mereka alami adalah konsekuensi dari kesalahan mereka sendiri.
Coba lihat di sekelilingmu, siapa yang paling sering disuruh mengalah demi ‘keharmonisan’ rumah tangga? Perempuan. Siapa yang diminta bersabar, bahkan ketika dipukul hingga berdarah? Perempuan. Laki-laki dianggap sebagai manusia dengan emosi yang wajar, sementara perempuan dianggap sebagai beban moral yang harus menanggung segala bentuk penderitaan.
Yang mengerikan dari femisida adalah betapa normalnya hal ini dianggap. Femisida tak punya nama dalam KUHP. Tak ada klasifikasi khusus dalam data resmi. Tak ada juga hukuman khusus bagi pelakunya, jangankan itu bahkan istilahnya sendiri masih dianggap asing bagi aparat penegak hukum. Bagaimana kita bisa menangani sesuatu yang tak ingin kita beri nama?
Femisida bukan cuma soal individu yang gagal mengatur emosi. Ini soal sistem dalam masyarakat yang gagal membangun struktur sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan. Kita hidup dalam masyarakat yang tidak melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, ini sebuah kondisi yang sangat berbahaya. Dan sangat amat menakutkan bagi Perempuan.
Apa yang lebih menakutkan dari laki-laki yang merasa berkuasa atas hidup perempuan? Ya masyarakat yang menganggap itu hal biasa. Dipukul? Wajar. Diperkosa? Salah sendiri. Dibunuh? Ya mungkin karena dia macam-macam.
Minimnya perhatian terhadap femisida bukan kebetulan. Ia adalah refleksi dari masyarakat yang telah terbiasa dengan kekerasan, yang telah menjadikan penderitaan perempuan sebagai latar belakang kehidupan sehari-hari. Miskinnya data, sedikitnya liputan, dan publik yang memilih mengabaikan justru membuka jalan lebar bagi kekerasan untuk terus tumbuh subur.
Femisida adalah hasil dari bobroknya sistem sosial masyarakat. Hasil dari kegagalan kita semua. Kita gagal mengajarkan bahwa posesif bukan cinta. Bahwa kekerasan bukan wujud kasih sayang. Bahwa perempuan bukan milik siapa-siapa.
Seorang peneliti dari UNODC, Dr. Elizabeth Nyamayaro, pernah bilang:
“Violence against women is not inevitable. It’s preventable. But prevention requires accountability, not apathy.”
Kekerasan terhadap perempuan bukan sesuatu yang tak bisa dicegah. Tapi untuk mencegahnya, kita harus berhenti membungkam dan menyalahkan korban.
Saatnya Peduli
Dan sebagai perempuan, saya merasakan kemuakan yang mendalam, bukan hanya terhadap keadaan dan sistem sosial di negeri ini, tetapi juga karena seolah-olah kami semua diminta menerima ancaman femisida sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Seakan menjadi perempuan berarti harus siap kapan pun, di mana pun, untuk kehilangan nyawa hanya karena hal sesepele melukai ego laki-laki yang rapuh.
Dan selama pembunuhan terhadap perempuan masih dianggap wajar, selama media masih memilih untuk membahas gosip murahan ketimbang nyawa manusia, selama sistem hukum masih lembek dan keluarga korban dipaksa damai, maka jangan kaget kalau angka femisida terus naik. Bukan karena kita tak tahu caranya menghentikannya. Tapi karena kita diam-diam… tidak peduli.
Jangan tunggu sampai yang dibunuh itu adalah seseorang yang kamu kenal. Terlebih orang yang kamu cinta! (*)
*Artikel ini ditulis oleh seseorang yang sudah muak melihat nyawa perempuan diperlakukan seperti angka statistik. Kalau kamu merasa terganggu membacanya, bagus. Itu berarti kamu masih punya hati.