Dalam dunia hukum dikenal dua macam penegak hukum: tukang hukum dan ahli hukum. Tukang hukum tak ubahnya dengan algojo. Seorang algojo tidak harus berpikir panjang lebar, berkontemplasi, serta bertanya tentang apa, mengapa dan bagaimana. Ketika perintah telah turun, atau ketika seorang telah melanggar hukum tertulis, maka algojo tanpa pikir panjang menjalankan tugasnya sebagai tukang hukum.
Berbeda jauh dengan itu, ahli hukum memiliki tugas dan kewajiban yang lebih luas. Seorang ahli hukum harus menganalisa apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana tindak pidana dilakukan. Sebab, seorang dapat dikatakan sebagai ahli hukum apabila ia mampu mengurai alasan penyebab terjadinya tindak pidana yang berimplikasi langsung pada akibat dari tindak pidana itu. Ketika analisa selesai, ahli hukum pasti menemukan fakta bahwa tidak ada satupun perbuatan yang bersifat tunggal. Inilah yang disebut teori sebab-akibat dalam hukum.
“Tidak ada ada asap tanpa ada api”, kurang lebih begitulah bentuk sederhana dari teori yang dikenal juga dengan kausalitas. Bahwa selalu ada alasan (motif) dari pelaku yang menyebabkan ia melakukan perbuatan pidana. Teori itu digunakan untuk mengetahui hal apakah yang menjadi sebab sebenarnya dari peristiwa pidana, dan apa akibatnya. Mengapa begitu? Karena KUHP hanya menyebutkan perbuatan apa saja yang dilarang dengan mencantumkan sanksi. Akan tetapi KUHP tidak mengatur secara tegas perbuatan lain yang dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Penjelasan sederhananya, setiap norma pada pasal-pasal pidana terdiri dari beberapa unsur yang dimaksudkan untuk menjangkau peristiwa konkret. Agar jelas dan ringkas, unsur-unsur itu dibangun berdasarkan tiga hal: jenis perbuatan; bagaimana cara melakukan; dan sanksi. Pada tahapnya perbuatan yang tidak diatur itu menjadi penyebab dilakukannya suatu perbuatan yang secara eksplisit diatur oleh KUHP. Namun bukan berarti KUHP abai terhadap perbuatan yang tidak diatur pada suatu pasal. Agaknya jumlah 569 pasal KUHP yang masing-masing memiliki beberapa ayat, cukup menjadi gambaran berapa banyak jenis perbuatan yang diatur dalam kitab tersebut. Belum lagi di luar KUHP terdapat tidak kurang dari 150 undang-undang yang mengatur perbuatan pidana. Maka sebab-akibat yang melatarbelakangi suatu peristiwa pidana haruslah diurai terlebih dahulu. Paling penting dari teori ini adalah hasil analisa yang pada akhirnya menemukan perbuatan lain yang mendahului perbuatan lainnya. Di sinilah analisa menemukan rentetan peristiwa, di mana perbuatan pidana menjadi klimaks dari mata rantai tersebut.
Felix K. Nesi kini berada di antara Tukang Hukum dan Ahli Hukum ini. Jumat lalu, ia ditangkap polisi. Berdasarkan keterangan dari Felix yang ia unggah melalui akun facebook–nya, beberapa bulan lampau, Romo A yang “bermasalah dengan perempuan” di paroki Tukuneno dipindahkan ke SMK Bitauni yang memiliki lebih dari seratus siswi dan berjarak sekitar 700 meter dari rumah Felix. Felix yang tidak mau Romo A menjadi musang masuk kandang ayam, menyatakan keberatannya kepada Romo Kepala Sekolah dan meminta Romo A dipindahkan. Setelah beberapa bulan, upaya Felix tidak juga membuahkan hasil. Romo A tetap damai di SMK Bitauni. Puncaknya Jumat (3/7/2020) malam, Felix membuat beberapa kaca jendela dan kursi plastik di sekolah tersebut hancur. Satu jam kemudian ia ditahan Polsek Insana atas laporan komunitas Pastoran SMK Bitauni.
Sekalipun kalimat Felix hanya menyatakan Romo A dipindahkan karena “bermasalah dengan perempuan”, sesungguhnya tiga kata dalam tanda petik itu tidak sulit untuk ditafsirkan. Hanya saja, bentuk masalahnya yang perlu didudukkan. Apakah itu pelecehan seksual, pemerkosaan atau lebih jauh lagi menghamili seorang perempuan tanpa tanggung jawab dari Romo A. Sungguhpun redaksional “bermasalah dengan perempuan” tidak eksplisit menyatakan jenis perbuatannya, ketiga kemungkinan di atas tetaplah merupakan perbuatan pidana.
Sampai di sini, hukum pidana membedakan jenis perbuatan pidana berdasarkan dua terminologi, yakni delik aduan dan delik biasa. Perbedaan terdapat dari bagaimana hasil perbuatan pidana dirasakan oleh korban. Suatu perbuatan adalah delik aduan apabila efeknya muncul setelah beberapa waktu ketika perbuatan itu dilakukan, setelah adanya rentang waktu seseorang baru menyadari ia adalah korban tindak pidana. Misalnya, pencemaran nama baik. Sebagaimana namanya, delik aduan tidak dapat melibatkan pihak ketiga untuk mengupayakan tegaknya hukum. Dengan kata lain, korbanlah yang harus melaporkan sendiri perbuatan pidana yang menimpanya. Sedangkan delik biasa adalah perbuatan pidana yang efeknya langsung muncul ketika perbuatan selesai dilakukan. Artinya, tidak ada rentang waktu yang muncul di mana seseorang menyadari dirinya adalah korban. Contohnya, pembunuhan, penganiayaan, bahkan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan.
Berbeda dari delik aduan, pada delik biasa siapapun yang mengetahui telah terjadi perbuatan pidana, ia diwajibkan untuk melapor kepada penegak hukum sebagai saksi. Begitu pentingnya keterangan saksi dalam penegakan hukum, keterangan itu merupakan sebuah alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan (Pasal 1 Angka (27) KUHAP). Pelaporan saksi dipertegas oleh Pasal 165 Ayat (1) KUHP. Bahkan berdasarkan Pasal 165 Ayat (2), apabila orang yang mengetahui tidak melaporkan, ia dapat dipidana penjara selama sembilan bulan. Sanksi penjara yang sama juga disediakan bagi orang yang menyembunyikan, menutup-nutupi serta menghalangi penyidikan dan penuntutan, berdasarkan Pasal 221 KUHP. Terlebih lagi apabila orang tersebut sejak awal mengetahui adanya niat dari pelaku namun tidak melaporkan dan perbuatan jadi dilakukan, Pasal 164 KUHP menyediakan sanksi penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Kembali pada kasus Felix. Masih berdasarkan penuturannya bahwa Pastor A “bermasalah dengan perempuan” tadi, kita pilih saja salah satu dari tiga kemungkinan, yakni pelecehan seksual. Apakah perbuatan itu dilakukan lewat intimidasi dengan memanfaatkan posisinya sebagai seorang pastor atau dilakukan atas dasar suka sama suka, tentulah belum terjawab untuk saat ini. Dan karena ini hanya artikel, bukan BAP, maka saya mengajak pembaca untuk berandai-andai, memuaskan imajinasi pada kasus Romo A tanpa melupakan bagaimana aturan hukumnya.
Skenario ini dibangun dari dua pengandaian. Pengandaian pertama, Romo A memanfaatkan profesinya sebagai agamawan untuk memuaskan dahaga seksual. Pengandaian kedua, korban adalah perempuan dewasa yang dipaksa dengan kekerasan untuk memuaskan hasrat Romo A. Maka beginilah jadinya:
Dalam KUHP, pelecehan seksual disebut sebagai perbuatan cabul yang diatur dari Pasal 289 sampai Pasal 296. Sebelum berandai-andai, terlebih dahulu harus dipahami apakah bentuk perbuatan cabul itu. Meminjam telaah R. Soesilo (1991; 212), perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan yang berdasarkan nafsu berahi. Perbuatan itu meliputi ciuman, meraba kemaluan, buah dada dan sebagainya. Pemerkosaan juga termasuk dalam pengertian perbuatan cabul yang diatur oleh Pasal 285 KUHP. Namun pengandaian dalam artikel ini “sebatas” pelecehan seksual.
Terhadap pengandaian pertama, ketentuan hukum yang digunakan adalah Pasal 294 Ayat (2) KUHP. Pada pasal ini, terdapat dua ketentuan di mana jabatan dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan cabul, yang meliputi atasan kepada bawahan (Angka 1), dan jabatan pada institusi atau lembaga sosial (Angka 2). Keduanya sama-sama diganjar dengan sanksi tujuh tahun penjara. Sedangkan terhadap pengandaian kedua, ketentuan hukum yang digunakan adalah Pasal 289 KUHP. Pasal ini menekankan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan untuk memaksa korban atau orang lain agar membiarkan dilakukannya perbuatan cabul. Ancaman pidana lebih berat, yakni sembilan tahun penjara. Jika pengandaian kita terbukti benar di kemudian hari, maka hal inilah yang harus dihadapi Romo A.
Lantas bagaimana pemecahan kaca dan perusakan kursi plastik yang dilakukan Felix? Apakah konsekuensi hukumnya?
Apabila Felix melakukannya tanpa sengaja (kealpaan), persoalan itu seyogianya berada pada lintasan hukum perdata dan diselesaikan dengan ganti rugi (Pasal 1365 KUHP Perdata). Bahkan bisa diselesaikan lewat cara kekeluargaan tanpa perlu memasuki ranah hukum. Namun sebagaimana seorang seniman yang memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial di sekitarnya, Felix melakukan perbuatan itu secara sengaja, bisa dikatakan semacam protes. Untuk perbuatannya itu, KUHP juga menyediakan sanksi bagi Felix yakni pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan berdasarkan Pasal 406. Akan tetapi benarkah keadilan tegak dengan dihukumnya Felix?
Menjadi Tukang Hukum atau Ahli Hukum?
Karena tulisan ini berbentuk artikel, bukan BAP, saya membebaskan pembaca memilih pengandaian mana yang akan digunakan, agar hasrat imajinasi yang menggelora terpuaskan untuk menghukum Romo A. Saya juga tidak menghalangi pembaca menggunakan kedua pengandaian itu sekaligus, sekiranya memilih salah satu masih belum memuaskan. Tapi saya menekankan, di luar pilihan itu ada dua hal yang tidak dapat pembaca pilih. Pertama, siapa yang harus aktif melaporkan perbuatan Romo A, kedua, siapa yang harus dipidana pada kasus itu. Di sinilah kita belajar bagaimana menjadi seorang ahli hukum.
Perihal siapa yang harus aktif melaporkan perbuatan Romo A, barangkali secara cepat bisa dijawab: korban. Akan tetapi, korban kasus seksual sesungguhnya tidak sama dengan korban tindak pidana lainnya. Para korban kasus seksual cenderung mengalami gangguan psikologis jangka panjang, sekaligus trauma fisik apabila pelecehan disertai dengan kekerasan. Terutama dalam hal psikologis, korban rentan mengalami setidaknya empat gangguan. Meliputi gangguan rasa cemas berlebihan dalam kehidupan sehari-hari, posttraumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan berupa ingatan traumatis dan bisa juga berupa mimpi buruk, histeria atau gangguan konversi dengan gejala hilangnya fungsi salah satu bagian tubuh yang diekspos pelaku pelecehan, dan disosiasi di mana korban keluar dari realitas, dengan kata lain korban seolah merasa tidak hadir di tempat di mana ia berada. Bahkan disosiasi pada taraf ekstrem dapat membuat korban berkepribadian ganda.
Sekalipun Pasal 78 Ayat (1) Angka 3 KUHP menyatakan daluarsa pengaduan kasus pelecehan seksual hingga dua belas tahun, akan tetapi tidak sedikit korban memilih diam dan tidak menuntut keadilan. Karena gangguan psikologis sangat mungkin mengakibatkan depresi. Bahkan depresi adalah pintu dari segala jenis penyakit yang bisa mengakibatkan kematian pada korban. Di sinilah orang terdekat harus mengambil peran. Hanya saja fakta pelik dikemukakan oleh Komnas Perempuan. Di Indonesia rata-rata per hari terjadi hingga 35 kasus pelecehan seksual, 70% di antaranya dilakukan oleh orang-orang terdekat. Fakta tidak kalah menyedihkan adalah banyaknya pelecehan yang dilakukan oleh orang-orang dengan profesi di bidang keagamaan. Perbuatan itu dilakukan baik dengan memanfaatkan kewibawaan profesinya, bahkan menipu dengan alasan ritus atau ritual tertentu.
Maka, yang harus aktif melaporkan perbuatan Romo A ialah para romo lainnya yang mengetahui perbuatan itu.
Sekarang analisa sampai pada titik tersulit, perihal siapa saja yang dapat dipidana. Secara jelas, Romo A harus dipidana, begitu pula dengan Felix, tidak tinggal para romo yang mengetahui perbuatan memalukan itu namun menutupinya. Hanya saja, di sinilah ‘orang hukum’ termasuk akdemisi serta mahasiswa hukum dan terutama penegak hukum tiba pada pilihan untuk menjadi tukang hukum atau ahli hukum. Tukang hukum sebagaimana algojo tidak akan berpikir panjang, semua pihak yang disebutkan itu akan diringkus. Persoalan seperi sebab-musabab terjadinya peristiwa pidana dan efeknya tidak akan ia pedulikan. Sebagai mahasiswa hukum. saya memilih menjadi ahli hukum dengan melihat kasus Felix sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri.
Aksi-reaksi, begitulah perbuatan Felix. Ia bereaksi atas aksi para romo termasuk Romo Kepala Sekolah SMK Bitauni yang tidak hirau, bahkan bisa dinilai melindungi Romo A. Dalam ilmu hukum setidaknya dikenal sepuluh teori sebab-akibat, di antaranya terdapat dua teori yang dikenal luas. Pertama adalah teori conditio sine qua non yang dicetuskan tahun 1873 oleh Paul von Buri, seorang ahli hukum yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Tinggi Jerman ketika Perang Dunia ke-II. von Buri menilai, dalam peristiwa pidana syarat dan sebab tidak dapat dibedakan, di mana syarat dan sebab adalah bagian dari rangkaian proses terjadinya akibat. Semua faktor yang terdapat dalam rentetan peristiwa pidana memiliki nilai yang sama, itulah mengapa ajaran ini juga disebut dengan equivalent theorie. Singkatnya, teori von Buri tidak memilih sebab yang paling berpengaruh atas terjadinya peristiwa pidana. Sekiranya meminjam kerangka berpikir von Buri, maka semua pihak dalam kasus yang kita bahas harus dipidana.
Namun, sebuah fakta perlu diungkap. Ajaran von Buri berada pada ranah filsafat positivisme, itulah mengapa orientasi pemikirannya sangat positivistik. Gerakan positivistik yang tumbuh subur di Jerman sejak abad ke-XIX inilah yang mengakibat negara itu berkali-kali jatuh ke tangan rezim otoriter. Para ahli hukum, terutama pengacara dan hakim Jerman kala itu, terkurung dalam slogan “bagaimanapun hukum tetaplah hukum” (Gesetz als Gesetz). Itulah mengapa mereka secara utuh menerima hukum seolah wahyu yang turun dari langit (von oben herab). Fenomena itu mengebiri nalar intelektualitas ahli hukum, yang pada akhirnya menghasilkan paradigma “laws may be law” meskipun “too evil to be obeyed”.
Teori kausalitas kedua juga dikemukakan oleh ahli hukum Jerman, Ludwig Traeger dalam karyanya Der Kausalbegriff im Straf- und Zivilrecht yang diterbitkan oleh Universitas Marburg pada tahun 1904. Kausalbegriff yang juga dikenal sebagai adequate theory, pada pokoknya adalah penyempitan fakta yang membangun rentetan peristiwa pidana. Penyempitan itu berupa saringan untuk memilah beberapa fakta hingga mengerucut pada satu fakta sebagai sebab utama yang mengakibatkan terjadinya perbuatan pidana. Berbeda dari teori von Buri yang menghasilkan begitu banyak pelaku, teori Traeger lebih praktis dengan membatasi pemidanaan hanya pada kriminalis.
Tentu muncul pertanyaan anotasi, teori manakah yang digunakan hukum pidana Indonesia? Praktisi hingga ahli hukum Indonesia memiliki penilaian beragam, beberapa menyatakan menganut aliran conditio sine qua non von Buri, ada yang menilai menganut Kausalbegriff Traeger, bahkan ada pendapat yang mengatakan teori kausalitas lainnya. Lantas, manakah yang benar? Saya cenderung tidak memihak salah satu pendapat. Sebab apabila KUHP ditelaah kembali, induk hukum pidana Indonesia itu membedakan perbuatan berdasarkan akibat yang dihasilkan. Yakni delik formil yang dianggap telah selesai ketika dilakukannya perbuatan pidana, dan delik materiil yang diangap telah selesai apabila perbuatan menghasilkan suatu akibat. Artinya, KUHP Indonesia tidak merujuk pada satu teori, bahkan tidak semua perbuatan pidana harus menggunakan teori kausalitas.
Misalnya delik formil pada Pasal 338 tentang pembunuhan biasa. Perbuatan dapat dilakukan dengan cara menusuk korban dengan benda tajam, maka tidak diperlukan teori kausalitas untuk menemukan penyebab kematian. Hanya saja penyidikan harus mencari alasan mengapa pelaku membunuh korban. Lain lagi halnya bila penyidikan menemukan hasil bahwa pelaku adalah orang suruhan, di sinilah teori kausalitas digunakan. Contoh lain, delik formil pada tindak pidana pada Pasal 160 perihal hasutan, delik bisa berubah menjadi materiil apabila hasutan itu menimbulkan kerusuhan, juga Pasal 164 KUHP yang sebelumnya telah dibahas. Di sini teori kausalitas digunakan.
Sejatinya jaksa dan hakim dibekali sifat aktif untuk mengurai peristiwa pidana, sekaligus keleluasaan penggunaan teori. Di sinilah peran penegak hukum dinilai, apakah ia seorang tukang hukum atau ahli hukum. Dengan asumsi para penegak hukum pada kasus Felix adalah ahli hukum, maka sebelum jaksa dan hakim meyakini siapa yang harus bertanggung jawab, terlebih dahulu mereka harus mengurai perbuatan apa yang mendahului sekaligus menjadi pendulum tindakan Felix.
Asumsi kemudian melangkah pada pengandaian berikutnya, bahwa jaksa dan hakim sepakat menggunakan teori Kausalbegriff Traeger. Hasilnya, perbuatan Felix hanyalah bentuk kekecewaannya pada para romo, terutama Romo Kepala Sekolah SMK Bitauni. Dengan kata lain, Felix menuntut adanya niat baik para romo beserta komunitas pastoran untuk melaporkan perbuatan memalukan Romo A, sekaligus membantu korban untuk mendapat keadilan. Singkat kata, Felix tidak dapat dipidana, karena perbuatannya justru menunjukkan adanya persekongkolan jahat yang lebih besar dalam tubuh komunitas pastoran. Sekali lagi, ini adalah pengandaian.
Lantas, apakah dengan teori itu hanya Romo A yang dapat dipidana? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Sebab sikap komunitas pastoran bisa jadi membuat jaksa dan hakim setuju dengan pengandaian artikel ini, bahwa ada persekongkolan jahat di balik jubah para romo untuk menyembunyikan perilaku buruk Romo A. Maka para romo itu juga bisa dipidana sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan kasus ini akan membuka segudang kasus lain yang serupa. Meskipun demikian, jaksa dan hakim memiliki keleluasaan. Bisa jadi teori Kausalbegriff Traeger tetap digunakan, tetapi dipersempit hingga analisa hanya menghasilkan seorang pelaku, yakni Romo A.
Selain pengandaian, skenario terburuk juga saya hadirkan. Yakni kasus tidak diperpanjang dan Romo A tetap damai di SMK Bitauni, atau menemukan kedamaian di paroki lainnya setelah kembali dipindahkan. Dengan skenario ini para penegak hukum dalam kasus Felix tidak dapat dinilai sebagai tukang hukum atau ahli hukum. Sebab mereka lebih tepat dinilai sebagai korban pelecehan sistem hukum oleh negara demokrasi. Negara yang tidak bisa membedakan cara menghukum pelaku penusukan dan pelaku penyiraman air keras berdasarkan sebab dan akibat perbuatannya. Mereka bisa dikategorikan pengidap gangguan psikologis disosiasi. Di mana para penegak hukum kehilangan kesadarannya dan terlempar jauh dari realitas, sedang mereka seharusnya dapat berpikir proporsional, adil sejak dalam pikiran. (*)
Ilustrasi oleh: Talia Bara