Tiap penulis ingin punya tempat dalam dunia kepenulisan. Mereka (mungkin) ingin dikenal sebagai penulis sesuatu. Namun, jumlah penulis sangat banyak, sedangkan tempat yang diperebutkan hanya sedikit dan sudah dihuni penulis yang punya nama. Oleh sebab itu, penulis baru perlu bekerja keras untuk memperoleh posisi.
Dalam dunia sastra, misalnya, tiap bidang sudah punya penghuni, baik puisi, cerpen novel, maupun esai. Di tempat penuh sesak itu para penulis baru berdesakan untuk menonjolkan kepala dengan karya. Khusus untuk sastra koran, pada umumnya media massa menyediakan rubrik untuk menampung puisi, cerpen, dan esai sastra. Di rubrik inilah penulis pemula bertempur dengan penulis senior untuk menerbitkan karya. Surat pemberitahuan karya tak terbit sering diterima penulis pemula. Tak sedikit penulis baru maupun calon penulis “mati” setelah sering menerima surat penolakan. Banyak pula penulis yang lulus dalam ujian kuratorial seperti itu hingga karya mereka sering terbit. Hal yang demikian juga terjadi dalam dunia kepenulisan bertema politik, ekonomi, sosial, budaya, dan tema-tema lainnya. Harus banyak peluh yang tercucur, tenaga yang terkucur, dan waktu yang tercukur untuk menjadi penulis hebat dan berbeda dengan penulis lain dalam satu medan yang sama.
Untuk mendapatkan tempat tertentu, seorang penulis bisa memilih medan yang berbeda dengan medan yang ditempuri sesama penulis pada komunitasnya. Itulah yang dilakukan penulis catatan perjalanan bernama Fatris M. Faiz. Ia awalnya menulis puisi ketika menjadi mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas. Namun, namanya sebagai penulis puisi tak menonjol. Pada akhirnya ia mencari jalan sendiri, yakni menulis catatan perjalanan. Di Sumatera Barat penulis yang sering menulis catatan perjalanan bisa dikatakan jarang. Saya sulit mencari penulis dengan label “penulis catatan perjalanan” di keningnya. Label itu hanya saya lihat pada Faiz. Kini di Sumatera Barat, bahkan di Indonesia, ia dikenal sebagai penulis catatan perjalanan. Ia sudah menulis puluhan catatan perjalanan di berbagai media massa. Tulisan itu diterbitkan ulang menjadi tiga buku: Merobek Sumatera (2015), Kabar dari Timur (2018), dan Lara Tawa Nusantara (2019).
Itu pula yang saya lakukan. Saya memilih bahasa sebagai medan tempur. Saya menemukan “jalan bahasa” ini pada 2015 dan menempuhnya hingga kini. Saya memilih jalan ini sebab tidak terlalu banyak penulis, baik di Sumatera Barat maupun di Indonesia, yang melalui jalan ini. Jumlah mereka kalah jauh daripada penulis sastra. Di beberapa media massa yang menyediakan rubrik bahasa, jumlah esai bahasa yang masuk ke redaksi sedikit. Begitulah cerita beberapa pengelola rubrik bahasa di sejumlah media kepada saya. Saya tahu itu sebab selain menceritakan “rahasia” itu, mereka mengundang saya untuk mengirimkan tulisan. Mereka juga mengundang sejumlah penulis lain untuk menulis esai bahasa karena “langkanya” naskah yang masuk. Dari banyak undangan itu, hanya beberapa penulis yang mengirimkan tulisan. Dari sana ketahuan bahwa secara kuantitas saja mereka kewalahan mengelola rubrik bahasa.
Karena tidak banyak penulis artikel bahasa, terutama yang menulis secara rutin, banyak peluang bagi penulis lain untuk menulis esai bahasa di media massa. Oleh sebab itu pula, menulis esai bahasa bisa dijadikan pekerjaan sambilan untuk mendapatkan uang. Ada tujuh media massa yang menyediakan rubrik bahasa dengan honorarium dari Rp250 ribu hingga Rp1 juta. Berikut ini media-media tersebut: (1) Jawa Pos (terbit Minggu), lingua@jawapos.co.id (600 kata); (2) Pikiran Rakyat (dulu Minggu, kini Kamis), khazanah@pikiran-rakyat.com (325—350 kata); (4); (3) Kompas (terbit Selasa), opini@kompas.com (2.750—3.000 karakter); (4) majalah Tempo (tiap edisi), pendapat@tempo.co.id (600 kata); (5) Rakyat Sultra (terbit Senin), bastra.kbsultra@gmail.com (7.000 karakter); (6) Riau Pos (terbit Minggu), kolom.bahasa@gmail.com (900—1.000 kata); (7) Lampung Post (terbit Jumat), larasbahasakbpl@gmail.com (sekitar 600—700 kata). Rubrik bahasa di tiga media yang disebutkan terakhir ini terselenggara berkat kerja sama dengan Balai Bahasa setempat.
Terlepas dari soal memilih medan tempur dan besarnya peluang di medan itu, yang paling penting dalam menulis ialah kesenangan berkarya. Saya sebenarnya memilih jalan bahasa karena suka dan nyaman menulis esai bahasa. Saya menulis puisi dan cerpen pada awal karier dalam dunia kepenulisan. Namun, saya tak menemukan keasyikan melakukannya. Dalam menulis esai bahasalah saya nyaman. Itulah alasan utama saya menulis esai bahasa di samping peluang untuk menonjol melalui bidang ini dalam dunia kepenulisan. Dengan kesenangan itu, saya menulis hampir seratus esai bahasa dalam empat tahun terakhir ini. (*)
Ilusitrasi oleh: Talia Bara