Ahistorisisme bisa dimengerti sebagai penafsiran sejarah yang tidak berdasarkan realitas sejarah. Bukannya berangkat dari realitas sejarah, dari yang historis, orang yang ahistoris justru membangun suatu argumen atau pernyataan sejarah dengan bersumberkan ideal-ideal yang dianutnya hari ini untuk dicocok-cocokkan dengan masa lalu. Entah itu idiologi, norma-norma, atau keyakinan tertentu yang dianutnya. Apa yang dikatakan seorang ahistoris tentang sejarah adalah pembayangannya sendiri mengenai sejarah, apa yang ia inginkan terjadi dalam sejarah. Dengan kata lain, ia hanya mengatakan apa yang hanya ada dalam bayangannya sendiri mengenai sejarah bukan tentang realitas sejarah itu sendiri. Inilah yang terjadi dengan para penyusun Ringkasan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang DIM (Daerah Istimewa Minangkabau).
Ahistorisisme penyusun Naskah Akademik DIM, bersumber pada ideal mereka akan Minangkabau dengan filosofi Adat Basandi Sara, Sara Basandi Kitabullah. Dalam anggapan mereka, Minangkabau dengan filosofi ABS-SBK-nya, salah satu keistimewaan Minangkabau itu, ialah sesuatu yang sempurna serta tanpa cela adanya. Sebagai sesuatu yang sempurna, ia haruslah punya asal-usul sejarah yang jelas dan panjang. Telah berurat berakar dalam masyarakat Minang serta telah terbukti ampuh sebagai bekal bagi masyarakat minang melewati berbagai tantangan sejarah. Ringkasnya, sejarah Minangkabau dan ABS-SBK-nya haruslah suatu sejarah yang sempurna pula. Dalam kerangka pikir itulah, disadari atau tidak, para penyusun naskah menulis klaim bombastisnya dalam naskah akademik tersebut:
“Perlu juga disampaikan aspek historis. Filosofi ABS-SBK lahir dalam rangka rekonsiliasi politik antara kaum agama dan kaum adat. Sebuah peristiwa politik yang menunjukkan kematangan Minangkabau pada zaman Paderi ditandai dengan rujukan “Syarak Mangato, Adat Mamakai (SM-AM)”. Rekonsiliasi ini telah melahirkan Piagam Bukit Marapalam yang dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam.”
Sebagai naskah yang bersifat akademis para penyusunnya sama sekali tidak mengajukan bukti sejarah atas klaim-klaim historisnya. Peristiwa seperti Sumpah Sati Bukti Marapalam—dimana ABS-BSK katanya dirumuskan, dianggap sebagai peristiwa sejarah yang betul-betul terjadi. Padahal, sampai saat ini tidak pernah ditemukan bukti otentik bahwa peristiwa itu betul-betul terjadi. Piagam Bukit Marapalam itu sendiri tidak jelas wujudnya. Menurut Sejarawan Taufik Abdullah ABS-SBK adalah perkembangan lanjutan dari upaya untuk mendamaikan Adat dan Agama di Minangkabau. Dari filosofi yang awalnya berbunyi “adat basandi alua, sara’ basandi adia” yang kemudian menjadi “adat basandi sara’, sara’ basandi adat” baru kemudian “adat basandi sara’, sara’ basandi Kitabullah”. Taufik tidak memberi keterangan kapan ABS-SBK pertama kali muncul. Ia hanya melihatnya sebagai perkembangan terakhir. Peristiwa Bukit Marapalam sendiri memang pernah disinggung oleh penulis adat Dt Soetan Mahdaradja di Soenting Melajoe sekitar 1921-22. Namun apa yang terjadi pada pertemuan di Bukit Marapalam itu sendiri, simpang siur. Cerita dari kaum adat berbeda dengan cerita dari kaum Islam. [1]
Yang jelas, tidak ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa ABS-SBK dirumuskan di Bukit Marapalam pada masa Paderi.
Dalam memoar Tuanku Imam Bonjol sendiri, Piagam Bukit Marapalam sama sekali tidak disinggung. Mengenai hubungan adat dan agama setelah Tuanku Imam memulihkan kembali kekuasaan kaum adat di wilayah kekuasaan Bonjol, Tuanku Imam bertutur:
“Dan kemudian itu terpakailah hukum nan sapanjang kitabullah dan penghulu dan andiko memakaikan hukum adat bersendi syarak. Dan jikalau bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu, dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat”.[2]
Jelas sekali bahwa Tuanku tidak menyebut ABS-SBK . Tuanku Imam baru sampai pada tahap “adat bersendi syarak”. Pada masa Paderi belum ada kemanunggalan adat dan agama. Adat dan agama mengatur urusan yang berbeda. Urusan berkaitan dengan adat ditangani oleh pemangku Adat sementara urusan agama ditangani oleh pemuka agama.
Fakta tersebut makin memperkuat pernyataan Taufik Abdullah bahwa ABS-SBK adalah bagian akhir dari transformasi panjang dan lama dari “adat basandi alua, sara’ basandi adia”. Ia sekaligus mempertegas pandangan sejarawan Jeff Hadller mengenai ABS-SBK. Menurutnya, ABS-SBK baru muncul pada masa kemerdekaan. Formula ABS-SBK, baru muncul dalam buku kumpulan peribahasa Minangkabau yang ditulis oleh K. St, Pamoentjak, N. St, Iskandar, dan A. Dt, Madjoindo, edisi 1956. Sedangkan dalam edisi lebih awal, yaitu edisi 1943, masih ditulis “adat bersendi sjarak, sjarak bersendi adat”.[3]
Sebagian pihak bisa berkelit bahwa peristiwa Sumpah Sati Marapalam merupakan fakta mental karena sudah dipercaya secara luas di Minangkabau (mentifact). Tapi adanya fakta bahwa sebagian besar orang Minang mempercayai ABS-SBK dirumuskan dan disepakati di Bukit Marapalam, tidak lantas membuktikan bahwa ABS-SBK dirumuskan di Bukit Marapalam itu benar adanya. Ini sama dengan kasus penganut kepercayaan bumi datar. Adanya fakta bahwa sekelompok orang sangat percaya bahwa bumi itu datar, tidak berarti bahwa bumi itu betul-betul datar. Adanya fakta bahwa sebagian besar orang Minangkabau yakin dengan adanya Piagam Bukit Marapalam itu seharusnya diarahkan pada pertanyaan: Kenapa sebagian masyarakat Minang mempercayai sesuatu yang belum tentu terjadi sampai sedemikian rupa? Jangan-jangan kita tengah dilanda semacam krisis eksistensi yang untuk mengatasinya kita sampai harus mendustakan sejarah. Jangan-jangan kita sibuk hidup dalam dunia bayang-bayang dan memalingkan punggung pada dunia nyata?
Pertanyan-pertanyaan itu jauh lebih berguna untuk menjawab tantangan hari ini. Ketimbang berangan-angan bahwa sistem matrilineal secara otomatis memberi perempuan posisi yang istimewa sebagaimana klaim penyusun Naskah Akadamik, lebih baik kita menghadapi kenyataan bahwa sampai pada akhir tahun 2019 saja, tercatat sebanyak 105 kasus kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Sumatera Barat. Persoalan mendesak ini jelas tidak akan selesai hanya dengan berkhotbah kesana kemari bahwa sistem matrilineal itu demikian istimewa dan sakti sehingga perempuan menjadi aman tentram di bawahnya. Harus ada solusi kongkret. Dan solusi kongkret hanya akan muncul dari analisa atas kondisi kongkret, bukan dari analisa yang bertolak dari angan-angan.
***
Karena membayangkan ABS-SBK sebagai sesuatu yang sempurna, dimana di bawah naungannya masyarakat Minang sejak lama sekali telah hidup tentram dan damai, maka saat mencari legitimasi historisnya para penyusun Naskah Akadmik DIM terkurung dalam angannya sendiri; jika ia sudah demikian sempurna hari ini, maka ia pasti sudah sempurna dari-sononya. Keyakinan mereka atas kesempurnaan ABS-SBK, ideal mereka atas ABS-SBK, akhirnya ikut masuk dalam narasi sejarah yang mereka karang. Dalam bagian lain Naskah Akademik DIM, penyusunnya menulis:
“Masyarakat Sumbar yang beragam mirip “Indonesia kecil” yang terdiri dari antara lain dari suku Minangkabau, Mentawai, Mandailing, dan keturunan Cina, telah hidup ratusan tahun dalam damai dan tentram. Belum pernah terjadi konflik dan gesekan antar kelompok penduduk. Hal ini sebagai bukti bahwa ABS-BSK sukes dalam mendukung keberagaman dan menghargai perbedaan”.
Benarkah kenyataannya demikian? Satu peristiwa di Pariaman pada masa lalu tentang pembunuhan dan pengusiran etnis China yang cukup terkenal itu, rasanya sudah cukup untuk mematahkan klaim spektakuler penyusun naskah bahwa selama ratusan tahun tidak ada konflik etnis di Sumatera Barat.
Lebih dari itu, apa yang berbahaya dari ahistorisisme macam ini ialah kemampunanya untuk menutup-nutupi yang seharusnya bisa dicarikan jalan keluarnya. Ini sama seperti orang menyapu debu ke bawah karpet.
Sekilas gagasan DIM tampak sebagai alternatif, tapi ia hanyalah bentuk lain dari dukungan terhadap status quo. Demi membenarkan keyakinannya atas keistimewaan Minangkabau, para penyusun naskah diam-diam justru ikut menutup-nutupi sejarah kekerasan yang pernah terjadi di Sumatera Barat. Sikap seperti ini tidak hanya vitamin bagi impunitas, namun juga berlawanan dengan masyarakat madani yang dicita-citakan para penyusun naskah.
Benarkah selama ratusan tahun ABS-SBK “sukses dalam mendukung keberagaman dan menghargai perbedaan”? Jelas tidak. Sudah banyak penelitian mengenai kekerasan tahun 1965 dan 1958 di Sumatera Barat. Penelitian Yenni Narni (2008 & 2016) atau Renny Nuryanti (2016), misalnya[4]. Ini belum penelitian-penelitan lain dalam bentuk skripsi. Dari penelitian-penelitian tersebut, jelas terungkap fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan (terhadap perempuan maupun laki-laki) sepanjang 1965-66 serta pada masa PRRI di Sumatera Barat sangat terkait dengan perbedaan pilihan politik.
Saya, termasuk beberapa teman, mengerjakan skripsi dengan topik yang kurang lebih sama. Di lapangan, kami menemukan sama sekali tidak ada bentuk “kesuksesan ABS-SBK […] dalam mendukung keberagaman dan menghargai perbedaan”. Pada 1965 orang-orang Minang lain membantai dan menganiaya orang Minang lainnya, diantara penyebabnya, karena mereka tidak seragam, karena secara pandangan politik mereka berbeda! Ini belum lagi kita bicara soal konflik berdarah-darah antar nagari, ‘cakak banyak’, yang secara berkala terus terjadi. Atau soal 1998 atau juga soal konflik antara warga dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan, seperti di Simpang Tonang, Mentawai, atau wilayah-wilayah Sumbar lainnya.
Dengan mengakui bahwa, sama seperti banyak daerah lainnya, Sumatera Barat tidak istimewa-istimewa amat karena juga punya sejarah panjang kekerasan dan konflik, kita bisa mempelajari apa yang menjadi penyebab kekerasan-kekerasan tersebut dan berupaya mengantisipasinya di hari nanti. Dari sejarah kekerasan di Sumatera Barat kita bisa tahu kalau dalam banyak konflik ada sumber daya alam yang menjadi latarnya. Ini akan mendorong kita untuk memikirkan soal distribusi sumber daya alam di Sumatera Barat, misalnya.
Karena itu semua, bisa simpulkan, sebagai produk akademik, Ringkasan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang Daerah Istimewa Minangkabau jauh dari bersifat akademis dari segi ilmu sejarah. Ia hanyalah suatu ahistorisisme, dan seperti telah dilihat, ahistorisisme bukan tidak berbahaya. Jangankan dapat menyelesaikan persoalan, ia justru bagian dari persoalan. (*)
ilustrasi: Amalia Putri
Catatan Kaki:
[1] Lihat Taufik Abdullah, “Adat and Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia, 2 October 1966. Lihat juga Taufik Abdullah “Beberapa Catatan Tentang Cindua Mato: Salah Satu Sastera Tradisional Minangkabau” Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu I (2009) 117-137, catatan kaki no., 23.
[2] Lihat Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sentra Budaya Padang, Padang: 2008, hal 38.
[3] Lihat Jeff Hadler, Sengketa Tiada Putus, Fredoom Institur, Jakarta: 2008, catatan kaki no. 25.
[4] Yenni Narny, Resilience of West Sumatran Women: Historical, Cultural and Social Impacts. Thesis. Dakin University, 2016 dan Violence in the Anti-Communist Tragedy in West Sumatera, Sub-Thesis, Australian National University, 2008. Lihat juga, Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik, Tiara Wacana. Jogyakarta, 2011.
Rujukan:
Abdullah, Taufik. (1966) Adat and Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia, 2 October.
Abdullah, Taufik. (2009) “Beberapa Catatan Tentang Cindua Mato: Salah Satu Sastera Tradisional Minangkabau” Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu I. 117-137.
Aboe Nain, Sjafnir. (2008) Tuanku Imam Bonjol, Sentra Budaya Padang, Padang.
Hadler, Jeff. (2008) Sengketa Tiada Putus. Jakarta: Freedom Institute.
Nuryanti, Reni. (2011) Perempuan Berselimut Konflik. Jogyakarta: Tiara Wacana.
Narny, Yenni. (2016) Resilience of West Sumatran Women: Historical, Cultural and Social Impacts. Thesis, Deakin University.
Narny, Yenni. (2008) Violence in the Anti-Communist Tragedy in West Sumatera. Sub-Thesis, Australian National University.