Epidemi virus corona tengah mengancam hajat hidup umat manusia. Kita dilanda ketidakpastian nasib, dan hal-hal yang nampaknya membawa secercah harapan masih belum dalam genggaman. Penularannya cepat dan tergolong mematikan. Tapi melulu merasa cemas, dan kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup bukanlah cara yang baik dalam merespon epidemi ini. Tegakkan kepala. Baca situasi. Kenali lawan. Jaga diri dan tetap jaga solidaritas terhadap sesama.
Virus Corona mengglobal dengan sangat cepat, terhitung semenjak kemunculannya pada Desember 2019 di kota Wuhan China. Indonesia sendiri mengonfirmasi kasus pertama mereka pada 2 maret 2020, yang beberapa hari kemudian menunjukan jumlah peningkatan yang signifikan. Di sinilah, perlu keseriusan pemerintahan Indonesia dalam menangani epidemi ini. Mengingat jumlah penduduk indonesia tidak sebanding dengan jumlah rumah sakit yang tersedia. Artinya, sistem kesehatan kita masih jauh dari kata memadai, untuk itu perlu kebijakan yang progressif dan tidak serampangan. Langkah-langkah seperti lockdown, melakukan tes corona massal melalui dhrive thru, membuka transparansi informasi ke publik, dan memberikan subsidi kepada masyarakat terdampak, nampaknya adalah opsi yang paling mungkin dilakukan jika pemerintah benar-benar serius menghadapi krisis ini.
Sebagai warga negara, kita tentu sadar dan merasakan, bahwa pemerintah Indonesia terkesan setengah-setengah dalam penanganan virus corona. Anjuran, sosialisasi, himbauan, dirasa tidak cukup untuk menjawab segala ancaman yang tengah kita hadapi ini. Pemeritah harus menenangkan rakyatnya dengan melakukan kebijakan nyata dalam meredam penyebaran virus corona. Dan kita sebagai rakyat berhak untuk menuntut hak-hak dasar kita sebagai warga negara yang dilindungi oleh konstitusi. Di sinilah privilej berdemokrasi, rakyat bisa mengoreksi kekuasaan agar tetap berjalan dalam koridor melalui kritikan dan dukungan. Input semacam ini diharapkan bisa dikonversi oleh pemangku kebijakan ke bentuk output. Inilah hakikat berdemokrasi.
Posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan adalah hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Maka sah-sah saja saya rasa, kita mendesak pemerintah sebagai pihak yang kita beri mandat untuk melindungi kepentingan kita sebagai rakyat. Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang berisik, sekalipun situasinya kita berada di bawah ancaman epidemi. Suara rakyat tidak boleh diabaikan begitu saja, ia harus diserap dan didengarkan. Namun realitanya, belakangan muncul anggapan bahwa rakyat tidak boleh terlalu berkomentar negatif tentang kinerja pemerintah, karena pemerintah sedang sibuk melakukan usaha yang sebaik-baiknya agar rakyat terhindar dari virus corona.
Argumen semacam ini—jika tidak boleh dibilang salah dan bebal—tentu keliru sekaligus naif. Justru pemerintah harus didorong melalui kritikan-kritikan. Dan ketika mereka mengambil langkah yang tepat, kita sebagai warga negara tentu mengapresiasi dan berkewajiban mengawal kebijakan tersebut. Tidak ada warga negara yang berharap pemerintah selalu melakukan sesuatu yang buruk agar mereka bisa terus-terusan dibully. Tidak ada!
Ia muncul, dilegitimasi, dan digaungkan terus menerus oleh kelompok-kelompok fanatik terhadap rezim yang berkuasa. Hal ini, asumsi saya, adalah produk hasil dari polarisasi politik yang tercipta akibat proses elektoral.
Masyarakat diekslusi dan diinklusi pada saat yang sama secara manipulatif menggunakan politik identitas. Sehingga politik gagasan yang mengedepankan akal sehat menjadi kabur, menyisakan fanatisme politik dengan pengkultusan dan anti kritik sebagai ciri khasnya. Sulit mengharapkan muncul dialektika dengan orang seperti ini.
Kondisi ini diperparah oleh buzzer-buzzer politik yang sengaja dipelihara untuk memengaruhi opini publik. Akibatnya, muncul apa yang dinamakan dengan fandom politik.
Fandom Politik
Fandom adalah sekumpulan penggemar yang terhubung karena memiliki satu kesamaan yakni rasa cinta terhadap idolanya. Fandom bisa juga disebut sebagai penggemar, maka selayaknya penggemar mereka biasanya sangat fanatik, ekslusif terhadap kelompok lain, dan rela melakukan apa saja demi idolanya. Fandom adalah sebuah subkultur yang tumbuh karena adanya rasa empati dan persahabatan dikarenakan menyukai suatu idola yang sama. Belakangan, istilah fandom sering digunakan oleh penggemar K-pop. Salah satu fandom yang terkenal adalah ARMY yaitu pendukung boyband BTS.
Dalam kaitannya dengan politik, jika mengacu definisi di atas, menunjukan bahwa saat ini, orang dipandang dan diklasifikasikan dari orientasi politiknya, bukan dilihat dari kapasitasnya sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk mengoreksi kekuasaan. Maka selayaknya penggemar, mereka tidak pernah melihat kesalahan yang dilakukan oleh idolanya. Alih-alih mereka siap membela mati-matian kritikan yang ditujukan kepada idolanya.
Wajar saja, muncul satu kondisi sesat berpikir yang dikenal dengan false dichotomy. Jika kita mengkritik rezim, berarti kita adalah seorang kampret. Dan jika mendukung rezim berarti kita adalah seorang cebong. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu.
Fandom politik termanifestasikan dalam bentuk cebong dan kampret. Jika diteruskan, tentu saja, ini adalah kondisi yang berbahaya apalagi kita tengah diliputi kecemasan akan epidemi corona. Orang akan malas berpendapat, memberikan kritik, dan memberikan dukungan, sebab takut dilabeli sebagai bagian dari kelompok tertentu.
Sedangkan bagi demokrasi Indonesia sendiri, efeknya jelas buruk. Stagnansi atau bahkan regresi demokrasi pasti akan terjadi jika terus-terusan begini. Sudah selayaknya kita bersikap sebagai warga negara yang rasional, dialektis, kritis, dan mengikuti anjuran dari otoritas sejauh dapat diterima akal sehat. Bukan penggemar. Sekali lagi, badai ini pasti akan berlalu. Jaga kebersihan, dan berdoa semoga keadaan segera membaik. Amin! (*)
Ilustrasi oleh: Talia Bara