Krisis ekonomi global yang meluluhlantakkan Indonesia dipertemukan dengan krisis sosial-politik-hukum di bawah kepemimpinan Soeharto, dua puluh tiga tahun silam. Tuntutan aksi massa berhasil menumbangkan Soeharto dari kursi Presiden yang menandakan berakhirnya tiga dekade kekuasaan rezim otoriter. Suatu hal yang pernah dipikir mustahil terjadi.
Momentum itu menjadi titik balik pemerintahan Presiden Soeharto sekaligus pintu bagi cita-cita kehidupan bernegara yang sehat. Sejatinya, gagasan besar Reformasi yang tersimpul pada enam poin Agenda Reformasi mengandung satu etos; pembatasan kekuasaan. Namun, beberapa catatan perlu diurai dalam praktik etos tersebut.
81,91% : 18,09%
Setelah Reformasi, parlemen Indonesia memang tidak pernah dikuasai satu partai sebagaimana Orde Baru. Sebab, gaya politik termutakhir telah bertransformasi menjadi lingkaran kekuasaan pemerintah-parlemen. Argumentasi yang menyatakan koalisi dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan memang benar, akan tetapi postur koalisi gemuk mengakibatkan pemerintahan tanpa batas.
Semula dari sembilan partai politik yang lolos ke parlemen, lima di antaranya merupakan partai pengusung Presiden pada Pemilu 2019 dengan persentase 60,69% atau 349 kursi di DPR-RI. Empat partai yang seharusnya oposisi, dua di antaranya justru menjelma sebagai pendukung pemerintah. Fenomena politik yang dianggap dagelan berubah menjadi kenyataan dengan bergabungnya Prabowo Subianto bersama Sandiaga Uno ke dalam kabinet. Prabowo paling jenaka, tidak sungkan menerima jabatan Menteri Pertahanan, hanya enam bulan sejak ia dan Jokowi bertarung mati-matian di kontestasi politik.
Meski beberapa kadernya kerap menyuarakan kritik, jabatan Prabowo menjadikan Gerindra koalisi pemerintah yang naik di tengah jalan dan menambah dukungan sebesar 13,57%. PAN juga turut beralih mendukung pemerintah dengan membawa suara tambahan sebesar 7,65%. Alhasil, total persentase dukungan pada pemerintah di parlemen menggelembung sebesar 81,91%, sementara oposisi yang terdiri dari Demokrat dengan 9,39% dan PKS dengan 8,70% hanya memenuhi 18,09%. Dalam jumlah kursi, pemerintah memasang orang dalam sebanyak 471 dari jumlah 575, menghadapi 104 kursi oposisi.
Sewajarnya parlemen memiliki komposisi proporsional agar berfungsi sebagai pengawas kerja eksekutif, dari sinilah mekanisme check and balances terjadi. Dengan ketimpangan itu, mekanisme check and balances mustahil terjadi. Parlemen sebau dengan pemerintah, kursi-kursi DPR-RI kembali menjadi notase orkestra dengan ritme monoton dari lagu gubahan Presiden bersama kawan-kawannya. Sehingga perubahan UUD 1945 hasil amandemen terdistorsi karena kembalinya pemerintahan executive heavy, dengan kata lain, Indonesia kembali menempuh jalan yang pernah dilalui pemerintahan Sukarno dan Soeharto yang otoriter itu. Imbasnya tidak menunggu waktu lama, revisi UU KPK yang meluhulantakkan dan UU Cipta Kerja yang simsalabim itu.
Memang benar bahwa tidak ada aturan hukum yang menentukan standar minimum oposisi di parlemen, setiap partai yang menginginkan peran di pemerintahan boleh-boleh saja merapat. Namun, politik juga tentang kepatutan sekalipun menitipkan harapan kepada sebuah partai, apapun manifesto politiknya, adalah perbuatan sia-sia. PDI-P sebagai pemimpin koalisi seharusnya paham benar bagaimana nasib sebuah pemerintahan totaliter. Jalannya lancar, namun menumbuhkan oposisi di luar parlemen; rakyat.
Mengantongi dukungan awal sebesar 60,69% seharusnya telah cukup membangun basis dukungan pemerintah. Bergabungnya PAN, boleh-boleh saja karena tidak begitu kentara. Namun, langkah politik PDI-P yang menundukkan Gerindra adalah pisau bermata dua; dekadensi sekaligus prestasi. PDI-P begitu pandai mengikuti petuah Machiavelli tentang lawan politik; “jadikan kawan atau hancurkan”. Ketangkasan PDI-P, saat ini, tiada duanya. Mereka berhasil menjinakkan partai yang seharusnya menjadi tanjakan terjal.
Hanya saja perlu kita renungkan, bagaimanakah nasib PDI-P kelak? Pertanyaan itu pula yang seharusnya direnungkan Golkar ketika Orde Baru. Sayangnya, Soeharto, ABRI dan barisan orang dalamnya terlalu sibuk mendulang proyek-proyek negara, dan kita tahu bagaimana nasib rezim itu.
Independensi Yudikatif?
Pasca amandemen, struktur yudikatif yang berdiri sendiri merupakan perubahan krusial. Dengan desain dua cabang, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), kekuasaan yudikatif diformulasikan begitu gagah dan independen. Akibat independensi itu bisa dilihat dari tajamnya pedang MA mengadili perkara-perkara besar. Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar (alm) tidak mungkin ditinggalkan. Selama delapan belas tahun menjabat, Artidjo tidak ragu menjatuhkan hukuman berat pada sederet kasus korupsi yang menyeret nama-nama tenar.
Paling diingat ialah kasus korupsi megaproyek Hambalang buah tangan mantan Ketua Umum Demokrat periode 2010-2013, Anas Urbaningrum. Anas, yang pernah minta gantung di Monas bila terbukti korupsi itu, kurang puas dengan putusan pengadilan banding yang sudah memberi korting satu tahun dari putusan pengadilan tingkat pertama. Ia kemudian mengajukan kasasi. Bukannya berkurang, Artidjo justru menambah hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara.
Setelah Artidjo pensiun Mei 2018, MA kehilangan taring. Para tukang gondol uang negara beramai-ramai mengajukan upaya hukum. Gayung bersambut, para Hakim Agung gemar obral hukuman untuk terdakwa kasus korupsi. Seperti Anas Urbaningrum yang kembali tampil memohon pengurangan hukuman yang dijawab dengan diskon menjadi delapan tahun penjara pada September 2020. Setidaknya terdapat dua puluh terpidana korupsi yang mendapat pengurangan hukuman oleh MA, hanya pada tahun 2020.
Sementara itu sejak berdiri tahun 2003, MK berkali-kali mengeluarkan putusan fenomenal. Putusan MK tahun 2004 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, misalnya. Para pemohon memang hanya mengajukan pengujian materiil pada tiga pasal, namun di sinilah kenegarawanan Hakim Konstitusi terlihat. Dalam pemeriksaan perkara, mereka bukan hanya menemukan tiga pasal itu inkonstitusional karena sarat upaya privatisasi sumber daya listrik, Hakim Konstitusi juga mendapati ketiganya sebagai jantung undang-undang yang diperkarakan. Maka, MK memutus keseluruhan undang-undang itu tidak berlaku.
Hanya saja, MK harus menerima malu akibat ulah hakimnya. Akil Mochtar yang diciduk atas setumpuk kasus sengketa Pilkada pada Oktober 2013, dan Patrialis Akbar yang diciduk Januari 2017 atas kasus suap perkara pengujian undang-undang. Kita berharap tidak ada lagi Hakim Konstitusi penerima suap, karena hakim adalah wakil Tuhan yang memiliki putusan-putusan adil sebagai mahkota. Namun apa yang terjadi bila hakim telah mengganti sifat ketuhanan di balik toganya dengan naluri politik?
Indonesia dikejutkan dengan pengundangan tiga undang-undang bermasalah dalam waktu berdekatan, revisi UU KPK, UU Cipta Kerja dan revisi UU MK. Putusan MK atas pengujiannya begitu menyita perhatian publik.
Tentang KPK, indikasi pelemahan telah tercium sejak 2018 setelah MK menyatakan KPK merupakan objek angket DPR-RI. Cukup mengajukan data 274 orang anggota DPR-RI dan DPRD yang ditangkap KPK sejak 2004 untuk mengetahui niat buruk hak angket tersebut. Bahkan MK, penafsir tunggal konstitusi itu, inkonsisten untuk menentukan apa jenis kelamin KPK di antara tiga cabang kekuasaan negara. Kegagapan MK dapat dilacak dari sekian banyak putusan yang menyigi posisi KPK dalam formasi ketatanegaraan sejak tahun 2006.
Siapapun tahu dalih memperkuat KPK melalui perubahan undang-undangnya adalah sebuah kebohongan, dan putusan MK yang menolak permohonan uji konstitusionalitas revisi UU KPK telah cukup menampilkan peradilan konstitusi yang tersandra politik transaksional.
Sementara itu, UU Cipta Kerja tampil sebagai contoh sempurna buruknya produk legislasi yang dihasilkan executive heavy. Diajukan oleh Presiden, UU Cipta Kerja muncul sebagai contoh konkret korupsi legislasi, mulai dari senyapnya proses pembahasan, penyelundupan pasal, jumlah pasal yang berubah-ubah. Bahkan kehadirannya secara sistemik mengganggu 76 undang-undang lainnya. UU Cipta Kerja begitu melelahkan MK yang menerima 14 perkara dalam enam bulan sejak berlaku. Namun demikian, MK tetap saja kehilangan nyali membatalkan undang-undang yang cacat sejak embrio itu.
Revisi UU MK juga tidak luput dari persoalan politis. Pembentuk undang-undang benar sepanjang niat mempersempit peluang persinggungan Hakim Konstitusi dengan politik praktis melalui satu kali masa jabatan yang panjang. Hanya saja indikasi politik transaksional mustahil dihindari karena momentumnya berdekatan dengan revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Belum lagi membaca Naskah Akademik revisi UU MK yang begitu jauh dari nilai komprehensif dan urgensi.
Beberapa pihak memang telah melayangkan pengujian revisi UU MK, akan tetapi sulitnya memformulasikan alasan permohonan secara faktual telah cukup mementahkan upaya. Belum lagi secara pragmatis perpanjangan masa jabatan menguntungkan Hakim Konstitusi. Di sinilah geliat politik benar-benar memasung nalar intelektual manusia-manusia terpelajar. MK, dengan sembilan negarawan itu, tidak sadar lagi akan kehadirannya sebagai satu-satunya tumpuan untuk menghalau geliat proyek legislasi.
Menjemput pertanyaan di awal, apa yang terjadi bila hakim telah mengganti sifat ketuhanan di balik toganya dengan naluri politik? Kita bisa mencari jawabannya pada putusan MK ihwal undang-undang bermasalah itu.
Gagalnya Reformasi dan Masa Depan Indonesia
Hari-hari menjelang puncak peritiwa pada 21 Mei 1998, tokoh-tokoh reformis pernah bersilangsengketa, apakah tajuk gerakan yang kelak akan mengubah Indonesia itu, revolusi atau reformasi?
Secara konseptual, revolusi berarti perubahan mendasar dalam suatu bidang. Di ranah negara, revolusi bermakna perubahan ketatanegaraan yang mencakup pemerintahan dan keadaan sosial melalui jalan kekerasan, misalnya perlawanan bersenjata. Sementara reformasi berarti perubahan drastis untuk perbaikan di bidang sosial, politik, hukum, bahkan agama dalam suatu kelompok masyarakat, termasuk negara.
Dari pengertian itu kita dapat menarik kesimpulan mengapa aksi massa 23 tahun lalu diberi tajuk Reformasi, tidak lain karena alasan mempertahankan keutuhan negara. Namun demikian, Reformasi tetap saja menyisakan lubang-lubang yang kian menganga. Kualitas mental orang-orang yang mengisi jabatan di negeri ini menunjukkan Reformasi tinggal tinta merah di atas lembar kertas sejarah. Bahkan cita besar pembatasan kekuasaan guna mewujudkan mekanisme check and balances ramai-ramai digagalkan.
Cabang yudikatif yang diharap memainkan peran penyeimbang justru dibajak oleh koalisi pemerintah-parlemen. Dari dekadensi ketatanegaraan itu kita kehilangan tempat untuk menitipkan harapan besar penyelenggaraan negara bersih dari korupsi, mimpi yang menjadi salah satu penyebab bergulirnya peristiwa 21 Mei 1998.
Ketika legislatif dan yudikatif telah direkrut secara senyap oleh eksekutif, tinggal rakyat yang menjadi oposisi besar bagi negara. Kita perlu khawatir siklus krisis ekonomi yang bertemu dengan krisis sosial-politik-hukum itu kembali, dan bermuara pada besarnya aksi massa bertajuk revolusi yang pecah belah itu.
Lantas, apa yang tersisa dari Reformasi? Hanya ingatan, dan hanya ingatan.
Editor: Hemi Lavour