Artikel

Alarm Bahaya Eksistensi Minangkabau?: Pertanyaan Untuk Anak Nagari

Beberapa hari lalu Walhi Sumbar menyatakan bagaimana arogannya pendekatan Gubernur Sumatera Barat dalam menangani penolakan masyarakat di sejumlah titik proyek Jalan Tol Trans Sumatera Ruas Padang – Pakanbaru. Dalam pandangan Walhi, pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung-jawab dalam pembangunan jalan tol tersebut tidak menerapkan seutuhnya apa yang tertuang dalam peraturan yang berlaku dan kearifan lokal masyarakat di Minangkabau. Sikap arogan itu tampak dalam statement Gubernur yang dikutip banyak media lokal. “Sebagian besar sudah jalan, bagi masyarakat yang menolak itu wajar, kalau tidak bisa damai, ya udah, kita bawa ke pengadilan, tidak ada cerita tanahnya tidak kita pakai, paham ya,” kata Irwan Prayitno.

Temuan Walhi menunjukkan bahwa proyek ini akan melintasi sawah-sawah, lahan-lahan produktif, dan pemukiman masyarakat di 74 nagari, 20 kecamatan dan 7 kabupaten-kota. Sebagian besar berstatus tanah pusako. Tanah pusako merupakan tanah yang dimiliki secara komunal yang diwariskan secara turun-temurun di Minangkabau.

Kegusaran Walhi Sumbar ini beralasan. Statement Gubernur tersebut terkesan terlalu menyederhanakan masalah, dan mengambil langkah pintas penyelesaian di pengadilan tidak menyiratkan sedikitpun itikad untuk sama-sama melihat persoalan dengan lebih mendasar sebagai sesama Minang.

Hari Jumat, 10 Juli 2020, mungkin secara kebetulan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil meminta Gubernur Sumatera Barat untuk segera mempercepat target sertifikasi tanah di Ranah Minang. “Memang tantangan di Sumatera Barat, karena tanah ulayat, barangkali harus kita pikirkan cara, karena kalau masyarakat punya tanah ulayat, tapi tidak bisa punya sertifikat individu, dalam sistem perbankan sekarang tidak mungkin itu dijadikan jaminan, karena tanah ulayat adalah hak kolektif,” kata Sofyan.

Saya tidak ingin mengatakan dua peristiwa di atas terhubung satu dengan yang lain. Menjadi peristiwa yang terpisah pun akan tetap saja mengemukakan persoalan yang berarsiran, yaitu terancamnya kolektivitas kepemilikan tanah ulayat, yang implikasi lebih lanjutnya adalah hancurnya landasan materil kebudayaan Matriakat Minangkabau.

Minangkabau dibangun di atas pengelolaan tanah secara komunal. Ia terhubung sebagai konfederasi nagari-nagari di darek dan rantau. Nagari-nagari ini konon tercipta “dari bawah”. Dimulai dari paruik-paruik serumah gadang. Ketika rumah gadang tidak lagi sanggup “menampung” perkembangan seperibuan, sebagian mereka turun bertahap, manaruko, mendirikan rumah-rumah baru. Seperibuan tadi, hidup dalam luasan yang lebih besar, membentuk perkampungan sekaum sepersukuan.

Bersamaan dengan terbangunnya organisasi kekerabatan berdasar garis keturunan ibu itu, juga meningkatkan secara kuantitas luasan–apa yang disebut–pemanfaatan tanah sebagai sumber hidup, memperluas ladang dan sawah. Tidak cuma itu, peruntukkan tanah “tempat kembali” ketika mati menjemput, pandam pakuburan pun diadakan. Semua itu dimiliki secara komunal, dikelola dan diturunkan dari generasi ke generasi. Semakin besar perkembangan satu kaum, akan relatif seiring dengan perkembangan pemilikan dan pemanfaatan tanah, hingga pada satu titik kulminasinya sebuah mekanisme kultural–seperti pagang-gadai–akan meredistribusikan pemanfaatan tersebut (bukan kepemilikannya).

Di nagari-nagari Minangkabau agaknya tidak ada satu kaum pun yang tidak memiliki tanah ulayatnya masing-masing, yang dibagi setidaknya dalam harta pusako tinggi pusako randah. Di atas beberapa kaum/suku inilah sebuah nagari berdiri. Pada nagari-pun juga terdapat ruang-ruang komunal seperti balai dan musajik, ada labuah dan tapian.

Saya bukan orang yang sangat paham dan mengerti dengan adat. Banyak pemuka yang lebih pantas kita sama-sama tanyai untuk sebuah konfirmasi perihal paruik hingga nagari, perihal bagaimana sistem sosial budaya ekonomi Minangkabau diyakini dan dijalankan. Namun, yang menjadi point saya adalah, semua jabaran ringkas struktur organisasi sosial manusia Minangkabau di atas, terbentang dan terhubung langsung dengan “tanah”, yang dimiliki secara komunal oleh banyak orang di dalam kaum masing-masing. Di atas tanah-tanah pusako inilah eksistensi Minangkabau hari ini, dulu dipancangkan.

Jika merujuk pada data Walhi Sumbar di atas tadi, pembangunan jalan Tol Padang-Pakanbaru akan berpotensi mengambil alih sejumlah tanah ulayat. Sementara sertifikasi tanah ulayat yang didorong Menteri ke Gubernur Sumbar, akan mengirimkan pusako-pusako kaum di Minangkabau pada hak perorangan. Kita tidak tahu mekanisme pensertifikatan apa yang akan diikuti Gubernur, tetapi jika ia merujuk pada Perda Sumbar No.16 tahun 2018 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, sangat jelas diterangkan bagaimana subjek pemegang hak atas tanah ulayat/pusako kaum dan suku, yang awalnya komunal, akan beralih sebagai hak perorangan dengan status hak milik (pasal 8 ayat b dan c).

Jika asumsi-asumsi ini benar adanya, tentu ia akan berimplikasi sangat serius pada tatanan sosio-kultural Minangkabau. Baik pembangunan tol Padang-Pakanbaru maupun sertifikasi tanah ulayat akan secara langsung maupun bertahap mengantarkan tanah ulayat pada kebergeseran fungsi kulturalnya dan tercebur pada “pasar terbuka” tanah. Di kondisi yang terakhir ini tanah pusako bisa dengan mudah ditransaksikan dalam berbagai cara, bahkan untuk alasan yang bukan menjadi keperluan kaum pemilik ulayat. Ia akan berimbas langsung pada nagari hingga kaum, menciptakan ketegangan bahkan konflik horizontal di tengah anak kemanakan, ninik mamak dan alim ulama. Balai, surau dan musajik, labuah dan tapian mandi, sawah dan ladang, bahkan tanah dimana rumah gadang berdiri akan masuk dalam pusaran persengketaan akibat intervensi ini.

Hari ini kita, anak nagari, bundo kanduang, niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, menghadapi sebuah pertanyaan penting, apakah makna kehadiran proyek tol Padang-Pakanbaru tersebut bagi 74 nagari beserta kaum dan suku yang hidup didalamnya? Pertanyaan kedua, apakah makna dari sertifikasi tanah ulayat/pusako kaum bagi eksistensi kaum/suku, nagari-nagari, bahkan Minangkabau kedepan?

Sambah dilayangkan ka bakeh awak banyak. (*)

 

Ilusitrasi oleh: Talia Bara

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *