Sudut Pandang

Oligarki! Setelah itu Apa?

Tahun 2020 ini lagi-lagi Indonesia akan menghelat jamuan demokrasi, guna merotasi kepemimpinan eksekutif lokal, baik daerah tingkat satu maupun tingkat dua–termasuk di Sumatera Barat. Pertanyaan tentang apakah pesta demokrasi kali ini akan kembali berasyik-masyuk dengan politik oligarki, kiranya bisa diduga, iya.

Salah satu tesis dari Winter (2011) menyebutkan Oligarki dan demokrasi bisa eksis berdampingan sepanjang rakyat tidak menggunakan partisipasi politik-nya. Ada tiga unsur penting dalam tesis ini. Oligarki, demokrasi, dan partisipasi politik rakyat. Kita akan lihat relasi dua yang pertama, dan menakar partisipasi politik seperti apa yang mungkin dikerjakan, setelahnya.

Kenapa tulisan ini bersigegas mengatakan di awal bahwa pesta demokrasi kali ini akan menjadi kawan intim bagi oligark, tentu ada penjelasannya. Dugaan itu setidaknya disinyalir oleh dua orang Ilmuan Politik Sumatera Barat baru-baru ini. Heru Permana Putra, dalam “Manifestasi Oligarki Dalam Pilkada” (lihat padang express, 14 Februari), seperti ingin menjelaskan bagaimana politik oligarki dimungkinkan bekerja dalam pesta demokrasi (daerah). Penjelasan teoritiknya (yang dirujuk pada Winters, Hadiz dan Sidel) tentang politik para oligark sangat bermakna, walaupun minus penjelasan manifes. Namun postulatnya jelas bahwa politik oligarki sebagai ancaman nyata bagi demokrasi di Sumatera Barat, yang adalah juga ancaman umum yang terjadi di Indonesia.

Jika Heru berangkat dari sudut pandang teoritik, Dr Asrinaldi Asril–Ilmuan Ilmu Politik Universitas Andalas–berangkat dari sisi mekanisme elektoral. Dalam berbagai tulisannya, Asrinaldi menekankan bahwa demokrasi elektoral kita, masih terperangkap kuatnya politik oligarki di tubuh partai politik dalam menentukan kandidasi. Proses kandidasi (pencalonan) yang bagaimanapun dinamisnya, akan berakhir pada kekakuan elit sentral. Elektabilitas, popularitas, sosialisasi dan uji publik yang dibangun kandidat potensial dari bawah, akan berhadapan dengan biaya politik dan restu dewan pimpinan pusat partai pengusung. Bahkan usaha-usaha mereformasi sistem elektoral agar lebih demokratis-pun direvisi elit yang menyebabkan variabel uang dan kekuatan jaringan oligark kembali (terus) mendapat tempat.

Terkait yang terakhir ini, beberapa waktu yang lalu, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, menyerukan sebuah tuntutan merevisi Undang-Undang Partai Politik dengan alasan utamanya adalah ancaman oligarki politik di dalamnya, yang dengan perubahan-perubahan itu, diharapkan berbagai pasal dengan daya rusak di dalamnya bisa dihilangkan. Dari sudut hukum, hasil dari berbagai perubahan itu adalah wujud ideal yang mungkin bisa dibayangkan, namun secara politis, agak sulit membayangkan perubahan konstitusi dilakukan oleh elit-oligark, yang itu artinya melemahkan sendiri kuasa-kepentingan mereka. Gayung tak akan bersambut, saya kira. Lihat saja bagaimana tendensi peristiwa-peristiwa politik belakangan ini–mulai dari ditolaknya berbagai tuntutan aksi #reformasidikorupsi hingga yang tengah hangat dan cilaka itu.

Dengan begitu, kita sedang menghadapi (barangkali sebagaimana juga sebelumnya) proses elektoral yang menjadi arena perseteruan para oligark. Tidak ada harapan demokrasi ter-reformasi. Sistemnya sendiri sudah tidak memungkinkan demokratisasi berjalan aman. Kefrustrasian ini menjadi umum, bahkan datang dari kalangan akademisi sekalipun. “Kerumitan sistem pilkada sepertinya mesti disepakati saja, apa boleh buat”. Kita nelangsa. Tapi benarkah demikian?

Partisipasi Politik Rakyat

Jika “partisipasi rakyat” lah yang akan mampu menyelamatkan demokrasi dari Oligarki, bentuk partisipasi seperti apa yang bisa kita bayangkan?  Ketika sistem pemilu yang ada tidak memungkinkan demokrasi dari bawah menjelma dalam kontestasi pilkada yang bergulir, ketika ancaman politik oligarki tidak akan terhindarkan dalam menguasai dan merusak demokrasi?

Jawabannya tentu tidak pada “keterlibatan dan keikutsertaan publik dalam mencoblos an sich”. Partisipasi politik dalam pengertian “mencoblos” tidak lagi relevan pada konteks dimana seluruh kontestan diasumsikan telah terpapar pada apa yang kita sebut di awal sebagai pengaruh oligark dan politik uang, dan sistem elektoral (secara spesifik pada masalah kandidasi) telah memfilter sedemikian rupa potensi dari bawah. Apa lagi yang tersisa di bilik suara, kemudian? Publik agaknya akan telah membeli kucing di dalam karung, jauh sebelum datang ke kotak suara.

Tidak ada jawaban yang final untuk pertanyaan ini. Seluruh kalangan yang frustrasi atas keadaan ini, mesti bersama-sama mengerahkan energinya untuk terlibat menjawab. Namun beberapa hal kiranya bisa diwacanakan, syukur-syukur bisa menjadi fondasi konstruktif.

Pertama, memang terlebih dahulu mesti keluar dari defenisi partisipasi politik sebagai kebersertaan dalam pemilu saja. Terlibat dalam pecoblosan, tidak bisa diharapkan menjadi satu-satunya mekanisme politik demokrasi bagi rakyat. Formalitas demokrasi prosedural setidaknya harus diimbangi–bahkan semestinya lebih mendominasi pada–proses demokrasi non-prosedural. Dan ini semestinya berlangsung jauh sebelum tahapan-tahapan formal pemilu dilangsungkan. Partisipasi politik harus didefenisikan sebagai bagian penting keseharian semua orang, yang berjalan secara simultan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pesta demokrasi bukanlah menjadi pesta yang tiba-tiba; tiba-tiba pemilu, tiba-tiba mendapatkan sodoran pilihan, tiba-tiba sadar mereka adalah oligark, tiba-tiba kita–suka atau tidak–harus memberikan pilihan, dan tiba-tiba senyap setelah pemilu terselenggara sukses. Keluar dari defenisi legal formal ini, barangkali bisa menjadi awal menyiangi jalan yang telah bersemak.

Yang kedua, keluar dari wacana politik prosedural, dan menegaskan narasi yang berperspektif pada kepentingan rakyat banyak. Kita bisa membandingkan berbagai wacana yang mendominasi di media-media lokal hari-hari ini. Perhatian pembicaraan cenderung ditujukan pada tema-tema perihal prediksi bakal calon dan atau pasangan bakal calon, kekuatan dan kelemahan politik dari masing-masing calon, prediksi koalisi partai yang akan mendukung calon-calon tertentu, strategi dan siasat pemenangan calon, peluang yang didasarkan pada elektabilitas dan popularitas, dan yang terakhir peluang calon independen. Jika kita rangkum agak ringkas, tema-tema di atas sebenarnya berbicara seputar tiga hal saja: pertama aktor dan prediksi kemenangan, kedua konsolidasi kekuatan-kekuatan elit dan pendukungnya, dan ketiga strategi pemenangan dan siasat agar berkuasa.

Diskursus yang ada ini hemat saya adalah manifes dari tergiringnya kita secara tanpa sadar (dan karenanya kita mengamininya tanpa protes) pada logika politik kekuasaan, alih-alih pada aspek politik yang lebih luas, dan implikasi jangka panjangnya. Jika kita bersepakat bahwa semua proses elektoral pemilu hanya akan ditentukan oleh kepentingan barisan oligark dan uangnya, tidakkah berbagai analisis strategi yang disumbangkan hanya akan menjadi creative destruction saja bagi demokrasi. Kita dikubur pada pembicaraan tentang apa yang terjadi di dalam pesta eksklusif para elit, dan terdistraksi dari pembicaraan elemen utama demokrasi itu sendiri, yaitu rakyat.

Akan berbeda kiranya ketika kita bertanya siapa itu oligark, misalnya? Dan kenapa kita mesti melawannya. Siapa mereka, dan bagaimana mereka bekerja? Atau perihal struktur politik ekonomi, kemiskinan, bagaimana struktur rantai pangan kita? Siapa yang menguasai pasar? Apa yang kita makan? Apakah sistem layanan kesehatan kita baik-baik saja? Sudah terjangkaukah dalam arti yang sebenarnya? Karena bagaimanapun dia adalah hak. Begitu juga dengan pendidikan. Sumberdaya alam, bagaimana ia dikelola? Apa yang dihasilkan BUMD dari tahun ke tahun? Dan sudahkah dia ter-redistribusi kembali ke masyarakat? Adakah ukuran-ukuran perbaikan (apapun itu) yang digunakan masih relevan?

Kepada politisi, apa evaluasi mereka para kandidat atas pertanyaan-pertanyaan besar di atas? Peraturan daerah apa yang akan diproduksi guna menjawab tantangan persoalan-persoalan yang ada itu? Bagaimana APBD akan di re-distribusikan guna mendukung pencapaian-pencapaian yang ditawarkan? Apa alat ukur keberhasilannya? Faldo Maldini harus dicecar dengan diskursus-diskursus tua ini, alih-alih datang dengan “semangat muda” saja. Begitu juga kandidat lain, tentu saja.

Kita mungkin tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di dalam pesta, tapi kita bisa mengontrol apa yang bisa kita lakukan di luar pesta. Di sini perseteruan politik baru bisa dimulai, antara rakyat versus barisan oligark dan sistem yang dibangunnya. Mengembalikan kontrol–setidaknya dalam wacana kita–pada perspektif publik. “Memaksa” apa yang dibicarakan dalam pesta merepresentasikan apa yang terjadi di luar, bukan sebaliknya–buai dalam akrobatik para elit. Elit mesti menjadi followernya publik, bukan publik yang harus mengikuti hiruk-pikuk para elit.

Ketiga, di sini kiranya pendidikan politik mengambil peran pentingnya, dan kelas menengah, orang muda dan berpendidikan memiliki posisi strategis mengawalinya. Bersama publik (bukan dengan elit-oligark), harus kembali mempertanyakan hal-hal mendasar keseharian. Mengkonsolidasikan rutukan-rutukan harian itu dalam argumen-argumen tuntutan perubahan, memberikan bobot ideologi padanya, dan sekali lagi memaksa “pemimpin potensial” yang ada, ambil pusing terhadapnya. Bahkan membentuk potensi-potensi aktor dan gerakan yang sama sekali baru. Atas proses inilah diharapkan muncul kandidat-kandidat pemimpin yang ambil posisi, menyambut tantangan publik untuk berfikir dalam perspektif publik dan kemudian sebagai eksekutor perubahan. Dengan begitu, secara hipotetik dibayangkan tidak lagi ada gangguan jebakan lawas mekanisme sentralistik oligark dan uangnya untuk meraih peran itu. Modal politik kandidat-kandidat pemimpin kedepan dengan stimultan akan mengarah pada platform politik yang berbeda dan dukungan suara sekaligus pengawalan dari publik. (*)

 

Editor: Randi Reimena.

Related posts
Sudut Pandang

Kalera, Wabah, dan Rasa Sakit

Sudut Pandang

Individu dan Ketidakberdayaan

Sudut Pandang

Sastraku Sayang, Sastraku Malang

Sudut Pandang

Bungkus Baru, Isi Lama: Kritik Soedjatmoko atas Penulisan Sejarah di Indonesia (1957-1965)

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *