Reportase

Menilik “Ruang Keluarga” Anak Difabel di Pameran Seni Rupa Holistik

Namanya Hadyan. Selepas menampilkan pantomim saat pembukaan Pameran Seni Rupa Holistik: Dari Titik Ke Penguatan Keluarga pada Minggu, 17 Juli 2022 di Bentara Budaya Yogyakarta, dirinya langsung tampak bergegas, mengambil tempat di bilik pamerannya sendiri yang berada di sisi sebelah kiri galeri. Dengan antusias ia menjelaskan beberapa karya lukisannya yang tengah dipamerkan saat itu, sambil sesekali memperagakan kegemarannya yang lain,  bersepeda, memasak kue, menjahit, dan sebagainya kepada para pengunjung yang datang.

Menyinggahi bilik pameran Haydan (saya senang menyebutnya instalasi karena hadir sebuah ruang yang sengaja dibentuk menjadi kesatuan realitas dengan pemaknaan baru secara inklusif), saya disuguhkan visualisasi kehidupan sehari-harinya melalui barang-barang pribadi yang terpajang. Bukan hanya lukisan, juga ada beberapa foto, piala dan sertifikat, lemari beserta buku-buku, bantal, baju-baju, sepeda, mesin jahit, pot bunga serta banyak lainnya lagi. Memasuki bilik ini, serasa berada di rumah Hadyan sendiri, ditambah pula bisa berselonjor, sambil makan kue-kue yang tersedia.

Hadyan atau dengan nama panjang Muhammad Irsyad Hadyan, merupakan seorang anak difabel (tuna grahita ringan) yang lahir di Batam pada tahun 2004. Ia melanjutkan pendidikan ke jenjang lanjutan di SLBN 1 Yogyakarta untuk menimba ilmu.

Pameran Seni Rupa Holitisk ini diadakan Hadyan bersama teman-temannya di Keluarga Para Rupa Yogyakarta, yaituSyifa Maulida Basuki, Nadya Annisa Raharjo, Indhira Larasati, Matea Linta Joy Adwedaputri dan Kireina Jud Aisyah.  Dalam pameran yang digelar di Bentara Budaya YogyaArt dari tanggal 18 sampai 24 Juli ini, Keluarga Para Rupa Yogykarta berkoloaborasi dengan sejumlah relawan.

Keluarga Para Rupa Yogyakarta sendiri merupakan sebuah ruang berkumpul bagi para keluarga (orang tua dan anak-anak difabel) yang memiliki kesenangan melakukan kegiatan-kegiatan menggambar bersama di daerah Yogyakarta. Mereka memulai kegiatan itu semenjak tahun 2019, dari teras ke teras, masing-masing rumah anggota Keluarga Para Rupa. Ditemani oleh Mulyono, seorang seniman yang beperan sebagai fasilitator, mereka terus berkarya. Sampai akhirnya keinginan lama untuk berpameran, yang sempat tertunda akibat dampak pandemi covid-19, akhirnya dapat terwujud.

(Foto bilik pameran Hadyan dalam pameran yang berlangsung pada 18-24 Juli 2022
di Bentara Budaya Yogyakart)

Apa yang Bisa Kita Lihat dari Pameran Ini?

Dalam sebuah kesempatan, ketika pameran masih berlangsung, saya ditugaskan sebagai tim dokumentasi dan harus mengikuti proses pameran seharian penuh bersama salah seorang teman magang. Anggota Para Rupa Yogyakarta, dengan senang hati berbagi peran masing-masing, sesuai apa yang diarahankan oleh Mulyono dan beberapa relawan. Mereka sebelumnya memang sama sekali tidak memiliki pengalaman (bukan profesional) dalam pagelaran pameran.

Namun di sanalah letak nilai lebih bagi keluarga-keluarga tersebut. Keluarga dari anak-anak yang berpameran, juga ikut terlibat. Peristiwa seni itu berlangsung dalam proses yang cukup intim, membangun kedekatan emosional baik antar keluarga maupun orang tua dengan anak. Inilah yang mungkin dikatakan oleh Feldman soal fungsi seni dalam membangun ekosistem sosial, yang dalam konteks tulisan ini berarti ekosistem sosial di mana anak-anak difabel dapat tumbuh menjadi diri sendiri, tanpa harus takut dengan stigma dan diskrimasi yang selalu membayangi setiap saat.

Dari ruang pameran ini kita dapat belajar, seberapa pengaruhnya peran keluarga terhadap kehidupan anak-anak difabel. Sebagai anak-anak yang cendrung dianggap memiliki kemampuan kognitif lebih rendah ketimbang anak normal. Mereka sering mendapatkan stigma buruk dari masyaraka yang sesungguhnya tidak mengerti seperti apa kebutuhan dan kemampuan anak-anak difabel. Padahal realitanya, mereka juga memiliki potensi yang bisa dikembangkan dalam berbagai bidang yang belum tentu bisa dilakukan anak-anak normal.

Maka untuk mencapai hal tersebut bisa dimulai dari yang namanya “Ruang Keluarga”. Apa itu “ruang keluarga”? Apakah yang dimaksud ruang keluarga adalah mutlak seperti visualisasi yang terpajang pada bilik pameran ini secara fisik? Tentunya tidak.

Ruang keluarga bukan soal seberapa banyak orang tua mampu melengkapi benda-benda (kebutuhan) anaknya dengan sempurna. Lebih dari itu, menurut saya, “ruang keluarga” adalah soal  kesadaran. Ia berkaitan langsung dengan bagaimana keluarga menyikapi, menerima dan memberikan dukungan untuk anak-anak difabel, agar mereka mampu keluar dari batasan yang sebenarnya ilusi. (*)

Dokumentasi Tegar Ryadi.

 

 

 

 

 

 

About author

Mahasiswa Jurusan Sejarah FIB Universitas Andalas. Pernah bergiat di IVAA (Indonesian Visual Art Archive) sebagai partisipan dalam pengelolaan pustaka dan arsip seni rupa Indonesia.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *