Reportase

Lanskap Alam Tiga Film Sumbar

Lanskap alam dalam film yang diproduksi di Sumatra Barat atau oleh sineas Sumbar pada umumnya diposisikan sebagai pembukaan dan atau sebagai transisi dari bidikan-bidikan lain, yang tentunya bidikan lain itu merupakan bagian penting untuk menyampaikan pesan. Dengan kata lain, bidikan lanskap alam sebagai transisi tidak lebih penting dari bidikan sebelum dan selanjutnya.

Pada posisi lain, lanskap alam hanya sebagai “nan indah” atau sebagai latar “nan indah” dari subjek yang sedang melakukan sesuatu. Misalnya pada film Surau dan Silek (2017), pada adegan Adil dkk latihan silat dengan latar Padang Mangateh, Ngarai, dan tempat pariwisata lainnya. Lanskap alam dalam film tersebut tidak berkontribusi apa pun selain hanya menjelaskan tempat di mana mereka latihan, atau hanya menekankan keeksotisan tempat latihan. Jadi, lanskap alam sekali lagi diposisikan sebagai yang eksotis setelah Mooi Indie.  

Mooi Indie pun pada masanya mendapat kritikan pula. Bingkaian lanskap yang eksotis itu ternyata membutakan kenyataan masyarakat yang sedang dijajah atau melanggengkan stigma barat atas timur yang eksotis. Satu hal yang dapat kita simak dari perdebatan Mooi Indie tersebut ialah ada persoalan mendasar yang diketengahkan di balik lanskap yang indah itu.

Padahal, alam dan lanskapnya merupakan suatu hal yang penting di Sumatra Barat, terutama dalam kebudayaan Minangkabau. Kita bisa melihatnya dalam pantun populer misalnya. Dalam analisa Heru Joni Putra soal pantun merantau yang sering kita dengar dalam kebudayaan Minangkabau; karatau madang di ulu/babuah babungo balun/marantau bujang daulu/di rumah baguno balun, menemukan posisi sampiran sebagai analogi dari isi pantun. Dengan sampiran yang berisi soal pohon madang di hulu sungai yang belum berbunga (pohon yang biasa dipakai sebagai bahan utama membangun rumah apabila sudah berbunga), alam punya peran signifikan, sebagai analogi dari soal bujang merantau yang diketengahkan.

Hari ini ada persoalan mendasar terkait lanskap alam, yaitu tanah. Barangkali, persoalan tanah di Sumbar merupakan salah satu kenyataan yang dihadapi setiap hari. Belakangan ada isu kebijakan sertifikasi tanah ulayat yang tentu menyayat jantung suku Minangkabau, pembukaan tanah untuk tol yang memakan lahan produktif warga, pula konflik pengalihan lahan dan hutan di Mentawai.

Selain persoalan tanah dihadapkan antara warga versus negara atau korporasi, antar warga atau dalam satu kaum pun juga menjadi keseharian dalam kehidupan masyarakat di Sumbar. Seperti film Tanah Bako (2020) sutradara Halvika Padma, mengakat konflik tanah yang terjadi di dalam satu kaum, antara Bako dengan Anak Pisang.

Lokus persoalan awalnya dipersembahkan secara visual. Itu dimulai pada bagian awal, memperlihatkan aliran sungai kecil menuju kincir air yang menggerakkan mesin di dalam rumah, rumah yang berdiri di atas tanah yang akan dipersoalkan. Selanjutnya, konflik muncul secara verbal melalui percakapan tokoh-tokoh. Tidak ada satu pun bidikan yang menegaskan tanah dan rumah yang menjadi soal. Film diakhiri dengan bidikan kincir air yang berhenti, lalu pintu rumah digembok.

Ada usaha untuk mengeksplorasi lanskap alam yang menjadi soal dasar pada cerita. Tetapi, selanjutnya persoalan itu diperlihatkan dengan dialog verbal. Visual yang menjadi salah satu kekuatan film seakan dilupakan pada bagian tengah film.

Tanah Bako merupakan satu dari tiga film sineas Sumbar yang diputar pada program Film Daerah pada penyelenggaraan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke 15. Di Padang, acara itu berlangsung pada 27-28 November 2020, di Kubik Co-working Space. Setelah Tanah Bako, juga diputar Bujang Bailau (2019) dan Transdemi (2020).

Bujang Bailau, sutradara Dwi Yola, mengangkat tradisi Bailau di Solok, Sumbar. Suatu tradisi upacara kematian anak-saudara di rantau yang tidak bisa dipulangkan jasadnya. Upacara itu mengganti jasad dengan batang pisang, serta dendang kesedihan dan lingkaran orang berandai. Dibingkai dengan kerangka fiksi, film ini memperlihatkan seorang pemuda yang didesak kawan dan mamaknya untuk segera merantau. Ia pergi merantau, meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Sampai kabar kematiannya sampai dan diselenggarakan upacara Bailau.

Rantau tidak diposisikan sebagai tempat yang ideal, sebagaimana dalam narasi umum soal rantau sebagai tempat meraih kesuksesan, tapi sebagai sumber petaka. Tapi, faktor merantau diperlihatkan secara verbal, melalui cerita kawan dan mamaknya tentang orang-orang yang sukses di rantau. Hal itu, sekali lagi, seakan melupakan kemampuan visual dalam film yang menjadi salah satu tonggak kekuatannya. Walaupun memakai media lisan untuk menekankan soal rantau, pantun populer soal rantau pun tidak mendapat tempat dalam pemakaian media tersebut.

Selain itu, lanskap alam sekali lagi, masih bernasib sebagai transisi. Misalnya, bidikan lanskap alam setelah tokoh utama pergi dan bidikan ketika kabar kematian sampai, bidikan-bidikan tersebut tidak punya peran apa-apa selain hanya sebagai transisi dari bidikan lain yang lebih penting. Padahal, lanskap alam merupakan salah satu faktor merantau. Ia bisa menjadi pendorong dan penghalang rantau.

Film terakhir yang diputar dalam program daerah ialah Transdemi, sutradara Mahareta Iqbal Jamal. Sebuah film yang disusun dari kiriman video berbagai orang pada masa pandemi. Ada video yang memperlihatkan aktifitas diri di dalam kamar, di halaman belakang rumah, di jalan, dll. Sebelum Transdemi, ada sebuah “film pendek karya bersama” berjudul Cerita Tentang Jendela yang diinisiasi oleh Studio Antelope, dengan pola yang sama, yaitu meminta warga net untuk mengirim video masing-masing saat pandemi. Tetapi, Studio Antelope meminta kontributor untuk mengelaborasi soal jendela.

Saya sempat terkecoh oleh Trandesmi. Pertama menonton film ini di akun Instagram Dinas Kebudayaan Sumbar, berdurasi 3 menit. Dari Transdemi Instagram, gambar yang paling banyak ditekankan ialah gambar ruang sempit, sementara lanskap alam hampir tidak ada. Bagi saya, itu merupakan hasil dari pandemi yang membatasi gerak dan membatasi tangkapan kamera, sehingga hanya dinding dan ruang yang sempit yang terlihat. Pada bagian akhir diperlihatkan rekaman permainan daring, dengan latar bukit dan pohon. Itu menjadi semacam tawaran terhadap kemonotonan pada ruang sempit yang ditekankan dari awal, tawaran untuk mengeksplorasi lanskap virtual atau ruang lepas melalui internet. Dengan kata lain, internet sebagai jendela atas dinding dan ruang sempit.

Tapi, pemaknaan seperti itu roboh saat menonton Transdemi yang diputar pada program Film Daerah JAFF. Kali ini berdurasi 10 menit. Penegasan terkait ruang sempit terbenam oleh banyaknya video-video yang berlatar jalanan, beberapa lanskap alam, dan ruang lepas lainnya. Video-video dengan ruang lepas itu pun tidak jelas dan tidak kuat mengikat diri pada pandemi. Hanya satu video; di jalanan yang memperlihatkan beberapa orang memakai seragam lengkap pandemi, sementara pada video lainnya bahkan subjek di dalam bidikan tidak memakai masker.

Apabila dibandingkan dengan Cerita Tentang Jendela yang jelas diikat oleh jendela dan pernyataan jendela sebagai jalur penyegar di masa pandemi, Transdemi 10 menit hanya seperti video-video yang diunggah warga net di media sosial yang dikumpulkan dalam satu film, tanpa ikatan jelas, tanpa pernyataan jelas.

 

Penulis Adi Osman

Gambar dari Instagram @RelAir.id

About author

Mahasiswa Pascasarjana Cultural Studies di Universitas Indonesia
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *