Reportase

Fitra Alex, Belanak, dan Nasib Tiga Tangkai Sapu

Sebuah flyer dengan satu-satunya logo, menyerupai seekor ikan berwarna putih dan berlatar biru, tertempel di pojok sebelah kanan atasnya. Muncul begitu saja, setelah saya mulai lelah (muak) scroll ke atas-bawah beranda akun instagramsaya yang tak kunjung bercentang biru. Apakah benar ini gambar ikan Belanak? Ini kayaknya lebih tampak seperti “ikan terbang!” pikir saya kemudian.

Andai saja pada awalnya saya tidak salfok (salah fokus) pada bentuk dari gambar ikan yang ada, maka di bagian atas dan bawah gambar akan tampak sebuah tulisan: Komunitas Seni Belanak, yang bisa terbaca jelas. Saya bakal segera mengerti bahwa gambar ikan itu merupakan representatif dari kata Belanak-nya. Namun saya malah meragukan, kalau itu bukan ikan Belanak, sebab mirip seperti “ikan terbang”—salah satu ikon dari stasiun televisi yang terkenal dengan sinetron azab-sengsara, siksa neraka dan semacamnya. Anda pasti pahamlah yang saya maksud! Wkwkwk….

Selain gambar ikan pada logo yang memaksa enggan bergeming, saya menemukan hal lain saat mematut-matut flyer tersebut. Komunitas Seni Belanak, salah satu komunitas seni rupa cukup tua dan aktif di kota Padang, memang wajar memiliki banyak aktivitas yang menarik dan variatif. Tapi persoalannya bukan di sana, melainkan di dalam flyer-nya tertera nama seorang perupa yang cukup lama tak muncul di jagad kesenirupaan Sumatera Barat. Dan kini ia hadir dengan karya terbarunya, karya yang akan didiskusikan dalam program Bedah Karya Komunitas Seni Belanak, dialah Fitra Alex.

Wah! Serasa kena tampar ekor “ikan terbang” yang sempat saya bayangkan tadi.

Fitra Alex memang bukanlah orang baru dalam gelanggang seni rupa di Sumatera Barat. Namun semenjak pandemi Covid-19, sosoknya seolah menghilang, tak ada kabar, baik kekaryaan maupun proses kreatifnya. Walaupun pada bulan Agustus Tahun 2022 namanya sempat muncul di sebuah flyer pameran seni rupa Mixed Media SNAI…! yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, tapi dirinya tidak begitu menonjol.

Fitra Alex merupakan bagian “keluarga” dari Komunitas Seni Belanak. Sebuah komunitas yang semenjak didirikan pada 23 Agustus tahun 2003, telah menjadi ruang studi dan eksplorasi karya yang banyak melahirkan perupa muda di Kota Padang. Walaupun mereka bergerak secara non-profit, namun keseriusan melakukan kerja-kerja pengembangan kesenian terlihat sangat jelas. Salah satunya, tidak luput menghadirkan apresiasi publik di Sumatera Barat, seperti mengulik karyanya Fitra Alex, menurut saya Fitra Alex sudah semestinya memiliki ruang pameran tersendiri karena karakternya cukup kuat dengan konsep yang tidak biasa.

Saya pun kemudian berusaha untuk bisa nimbrung walaupun hanya lewat live instagram Komunitas Belanak. Kegiatan bedah karya Fitra Alex ini sendiri diselenggarakan pada Senin, 26 Februari 2023 di sekretariat Komunitas Seni Belanak, berlokasi di Gang Muhajirin No. 17 Dadok Tunggul Hitam, Padang.

Saya cukup penasaran terhadap sosok seniman rupa ini dan karya terbarunya karena sepak terjang dan pengalaman berkarynya yang kerap mengeksplorasi benda-benda yang jarang digunakan menjadi sebuah karya seni. Ia juga konsisten dalam menghubungkan antara komponen media karya yang tak biasa tersebut dengan konsep kritiknya terhadap lingkungan terdekatnya.

Karya terbarunya pada 2023 yang tengah dibedah ini berjudul Untitle. Berukuran 40×60 cm pada sebuah kanvas, berbahan; resin, acrilic dan bulu sapu plastik. (Bulu sapu plastik? ini yang membuat saya terseringai melihatnya. Apakah ini karena ketidakmampuannya membeli cat atau sekedar eksperimen gagal, atau bagaimana?).

Untitle menampilkan objek figuratif manusia, hampir sama seperti karya-karyanya yang lain. Tapi uniknya, yang berbeda pada karya ini, jika diperhatikan secara saksama, warna-warna yang dimainkan oleh Fitra Alex berasal dari bulu-bulusapu plastik, dibangun dengan teknik mozaik. Fitra Alex tidak lagi menggunakan cat sebagai bahan pewarna untuk lukisannya.

Pemakaian media yang tidak biasa, seperti bulu-bulu sapu, memang sudah jadi trademark Fitra Alex. Dirinya selalu bereksperimen dengan media-media yang tidak biasa dalam beberapa karya, memanfaatkan bahan-bahan seperti mie instan, korek api, plastik, limbah kayu dan lain sebagainya. Sebab Fitra Alex selalu bergerak, berpindah, mengobrak-abrik bahan, media, bahkan alat pembuat di setiap karyanya, tanpa kehilangan karakter dan warna yang konsisten untuk setiap karyanya.

Pada kegiatan bedah karya yang dimoderatori oleh Thariq itu, Fitra Alex sempat memaparkan latar belakang konsep karyanya sebagai proses kritik yang berangkat dari kondisi kemalasan anggota (penghuni) Belanak dalam hal kebersihan, terkhusus menyapu sekretariat. Sehingga Fitra Alex yang merasa kesal pun mengambil 3 buah sapu yang ada di sana untuk dijadikan bahan, dirinya melihat bahwa sapu tersebut tidak lagi ada fungsinya. Mendengar proses kreatif penciptaan seperti itu melalui live instagram, benar-benar membuat saya ngakak. Ternyata seorang seniman punya cara unik atau nyeleneh untuk menyampaikan keresahan mereka masing-masing.

Jikalau saya tak salah ingat, ada salah satu penggalan pernyataan yang terlontar dari Fitra Alex dalam paparan konsep kekaryaannya itu yang menarik:

“Sapu ini sebetulnya rajin tapi kalau dibiasakan malas, tersandar di dinding kota atau di dinding rumah, atau kantor, dia akan jadi malas, lingkungan kita akan mendatangkan penyakit karena tidak bersih.”

Begitulah kata Fitra Alex, seorang seniman yang bentuk atau perawakannya “menakutkan” dengan rambut gondrong dan badan kurus.

Setelah menyimak cerita di balik proses kekaryaan seorang Fitra Alex, saya tidak bisa banyak komentar, apa lagi mencari cara untuk meruntuhkan pernyataan tersebut. Lebih baik saya langsung melanjutkan skripsi saya yang tak kunjung kelar dari tahun kemarin. Saya pikir, sapu yang maksud oleh Fitra Alex bisa dianalogikan seperti tubuh saya ini. Sebenarnya saya rajin tetapi kalau dibiarkan malas akan tetap malas. Maka saya akan dipindahkan secara tidak hormat ke kampus lain. (*)

About author

Mahasiswa Jurusan Sejarah FIB Universitas Andalas. Pernah bergiat di IVAA (Indonesian Visual Art Archive) sebagai partisipan dalam pengelolaan pustaka dan arsip seni rupa Indonesia.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *