Beberapa tahun belakangan, di kota Padang, kemunculan bioskop-bioskop menjadi pemicu meningkatnya minat menonton film bagi masyarakat luas. Mulai dari usia remaja hingga dewasa, sudah mulai menjadikan bioskop sebagai salah satu destinasi hiburan di kota ini. Tak jarang, dari kota lain pun di Sumatera Barat ada yang menyempatkan waktu libur mereka hanya untuk menonton film-film terbaru yang jarang sekali sampai ke bioskop gaek yang masih bertahan sampai sekarang, katakanlah bioskop Karia.
Namun, satu hal yang jarang sekali terlihat di bioskop-bioskop tersebut adalah diskusi pasca menonton film. Bioskop secara sadar tidak menghadirkan hal semacam itu, kecuali hanya pada saat diadakannya promo sebuah film. Pertanyaannya, jika bioskop sebagai ruang menonton arus utama tidak bersetia menghadirkan hal yang demikian, di mana kita dapat menemukan orang-orang berdiskusi pasca menonton film yang terbilang konstan, berkelanjutan, dan tak harus menghadirkan filmmakernya? Jawabannya adalah menonton di ruang-ruang apresiasi, sebut saja Bioskop Taman di Komunitas Ladang Rupa atau Manuntun Film salah satu program Surau Tuo.
Diskusi tersebut biasanya menghadirkan orang-orang yang ingin dan bersedia menjadi pemantik diskusi dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan diskusi dari film yang diputarkan. Bisa jadi dari disiplin ilmu sosial, sastra, sejarah, kesehatan, dll., yang sekiranya mampu memberikan pencerahan kepada penonton dengan mengetengahkan isu-isu dan wacana apa yang ditawarkan oleh film tersebut dan korelasi dengan keadaan hari ini. Sesungguhnya, kemunculan ruang-ruang apresiasi menjadi modal awal dari kehadiran dialog-dialog tentang film dan letupan-letupan isu yang berkutat di dalamnya. Bisa saja itu dibahas pada saat diskusi film atau dilanjutkan setelah diskusi berakhir.
Kemunculan ruang-ruang apresasi inilah yang menjadi tonggak atas keberlangsungan dan semangat ruang intim yang tidak dimiliki oleh ruang menonton komersil seperti bioskop pada umumnya, yang lebih menuntut penontonnya untuk bermanja-manja, mengurai air mata daripada berpikir dan bercuriga. Ditambah, film-film yang diputarkan di ruang-ruang apresiasi pun mayoritas bukan film-film yang ada di bioskop komersil, tetapi film-film yang dapat ditemui di festival-festival film yang diproduksi oleh komunitas-komunitas film dan institusi perfilman independen.
“Menggunjingkan” film tidak hanya sebatas membicarakan produksi sebuah film, mempertanyakan aspek sinematografi, berapa budget produksi, atau bagaimana sebuah film mampu menarik atensi massa yang besar untuk bersepakat dengan apa yang film itu tawarkan. Tetapi, jauh daripada itu, lebih kepada mempertanyakan ulang hakikat dari kehadiran sebuah film terhadap kemaslahatan penonton banyak dan mampu memberikan jawaban-jawaban alternatif atas persoalan-persoalan yang berkelindan di tengah-tengah masyarakat. Bukankah film adalah buah hasil dari keresahan masyarakat itu sendiri? Sebab itulah, diskusi pasca menonton film di ruang-ruang apresiasi menjadi sesuatu yang substansial dan keberadaannya tidak bisa diposisikan sebatas “ota-ota lapeh” setelah menonton saja.
Saya akan coba contohkan ke ruang apresiasi yang dekat dengan saya dan saya juga terlibat di dalamnya: Layar Terkembang yang diinisiasi oleh Metasinema. Untuk menghadirkan film-film yang akan diputarkan, kami biasanya berdiskusi terlebih dahulu tentang film apa yang akan diputarkan. Kami selalu mencoba mengintai dan mencari film-film yang sekiranya menghadirkan isu-isu yang aktual dan sedang banyak dibicarakan. Dengan itu kami berharap pada saat diskusi berlangsung terjadi jual-beli wacana. Selain itu, edukasi tentang film masih seperti “jauh panggang daripada api” meski dalam keseharian kita amatlah dekat dengannya.
Akan tetapi, obrolan serius tentang film bagi sebagian penonton masih terasa seperti sesuatu hal yang asing dan berjarak. Ini menjadi persoalan sendiri. Barangkali, budaya menonton di bioskop dan tontonan “sampah” yang dihadirkan televisi yang menciptakan kondisi yang demikian. Bagi sebagian penonton, Film masih diposisikan sebatas hiburan. Menonton film ke bioskop dianggap sebagai “kemewahan” yang ujungnya digunakan sebagai “pencitraan”, untuk kebutuhan sosial media saja.
Layar Terkembang yang diadakan pada tanggal 28-29 Januari 2020, memutarkan tiga film karya Yosep Anggi Noen (Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, A Lady Caddy Who Never Saw A Hole in One, Ballad of Blood and Two White Buckets). Jika saya membaca bagaimana respon penonton pada saat mendiskusikan tiga film tersebut, bisa saya katakan film-film tersebut berada di posisi yang layak untuk mendapatkan banyak layar dan “digunjingkan” dengan hangat di berbagai ruang-ruang apresiasi.
Pasalnya, ketiga film ini sesungguhnya mencoba menyuguhkan problematika dan intrik yang terjadi beberapa tahun belakangan di Indonesia, mungkin lebih jauh lagi. Permasalahan keluarga atau bisa saya katakan affair, isu agama, konflik agraria, minimnya lapangan kerja, isu politik-sosial-budaya, serta kemiskinan termakhtub di dalam ketiga film tersebut. Hal demikian mampu direspon penonton dengan baik lewat lempar-tangkap pertanyaan dan jawaban bersama pemantik diskusi. Sebagian penonton memberikan atensi kepada ketiga film tersebut, meski ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab pada saat diskusi karena durasi waktu dan harus diselesaikan di “belakang” agar dada lapang dan pikiran tenang pada saat pulang.
Ketiga karya Anggi Noen ini menurut saya lebih berkutat dan terasa kental pada ranah semiotik sehingga penonton lebih sering bergelut-gelut dengan simbol dan penafsiran-penafsiran yang tersuruk di dalamnya. Meski, ada beberapa penonton yang tidak dapat mengerti bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog, ditambah dengan subtitle yang menggunakan bahasa Inggris. Mengenai jumlah penonton, seperti yang sudah-sudah, masih belum terbilang ramai meski pemutaran film ini tidak dipungut biaya sama sekali. Tetapi, seperti yang sudah-sudah juga, jumlah penonton tidak mengurangi intensitas keintiman pada saat berdiskusi.
Pada pemutaran ini, Layar Terkembang mencoba menghadirkan sudut pandang dari seorang dokter untuk pertama kalinya, tetapi karena satu dan lain hal yang terjadi di rumah sakit, beliau tidak sempat hadir. Kita belum tahu siapa yang akan mencoba memberikan pandangannya dalam diskusi Layar Terkembang selanjutnya yang tentunya berkaitan dengan film yang diputarkan. Bisa jadi dari sudut pandang seorang tunasusila, transgender, pengusaha laundry, tukang sorak (jika itu memang berkaitan dengan film apa salahnya), anggota dewan, gubernur baru, atau mungkin Anda, yang sedang membaca tulisan ini, Layar Terkembang terbuka untuk siapapun yang ingin ikut serta dan ambil bagian dalam setiap pemutarannya. Kedepannya, Layar Terkembang bakal berusaha menghadirkan pembacaan-pembacaan baru lewat lintas disiplin ilmu yang belum pernah dihadirkan di Layar Terkembang.
Jika kita kembali pada pembahasan ruang apresiasi, kita tidak bisa juga sebenarnya berharap begitu saja bahwa dengan hadirnya ruang-ruang apresiasi maka semua penonton akan tercerdaskan. Ruang apresiasi seperti Layar Terkembang pun bukan satu-satunya ruang menonton yang terselamatkan dari monopoli-monopoli industri perfilman yang lebih mengutamakan komersialitas ketimbang intelektualitas penontonnya. Tidak. Kita tidak bisa juga berkata demikian. Ruang-ruang apresiasi menurut saya memang mengarah ke tujuan tersebut, tetapi semuanya dikembalikan pada penonton yang budiman mau berbuat apa setelahnya.
Pun, tak bisa ditampik, masih ada juga penonton yang merasa sulit memaknai film-film yang diputarkan di ruang-ruang apresiasi, sebab tidak semua penonton memiliki daya tangkap yang setara. Barangkali, budaya menonton film-film bioskop yang memanjakan dengan segala fasilitasnya dan akhir kisah yang bahagia melenakan kita terhadap gagasan-gagasan yang “hidup” di dalam film, tetapi kemudian “mati” karena tak tersentuh diskusi dan pembicaraan-pembicaraan penonton. (Perlu digarisbawahi, tidak semua film-film yang diputarkan di bioskop demikian. Ada juga yang cukup menarik perhatian untuk kemudian dibicarakan dengan serius)
Itulah kenapa banyak pembicaraan yang tidak terselesaikan pada saat diskusi, berlanjut di meja lain dengan kopi yang baru selesai diseduh. Sebab itulah, kehadiran diskusi pasca menonton film itu penting dan menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dipandang remeh dengan kita (penonton) berbicara atau memainkan handphone ketika pemantik diskusi juga berbicara. Hal ini masih sering kita temui di ruang-ruang apresiasi, termasuk di Layar Terkembang sendiri.
Kehadiran diskusi pasca menonton film efeknya memanglah tidak terasa pada saat itu juga. Dengan demikian, semakin bertumbuhnya ruang-ruang apresiasi, maka akan semakin beragam pula perspektif atau sudut pandang yang akan muncul sehingga ekosistem film yang saat ini sedang dibangun, akan semakin terarah. Sebab, ruang-ruang apresiasi merupakan salah satu elemen penting dari “rantai” ekosistem perfilman, selain dengan adanya produksi film, distribusi film, edukasi film, dan fungsi kritik dari kehadiran kritikus film. Bagaimana bagian ini terus berjalan, tentunya dengan terus menghadirkan tontonan-tontonan non-bioskop atau pun bioskop ke khalayak dengan terus berbarengan menghadirkan diskusi.
Seperti mantra yang melekat dan terus digaungkan oleh salah satu distributor film, Kolektif: “Tontonlah film-film di bioskop tetapi tontonlah lebih banyak film-film di bioskop alternatif.”. Saya sering mengutip motto ini di tulisan saya yang membahas perihal ruang-ruang apresiasi, karena bagi saya sudah saatnya ruang-ruang apresiasi di tanah kelahiran Bapak Perfilman (yang hanya tinggal romantisme belaka) ini mendapatkan apresiasi tersendiri sebagai ruang apresiasi. (*)