Musik

Progresivitas Dream Theater yang Mulai Degresif

Dibandingkan dengan panggung world tour lainnya tahun ini, barangkali panggung konser Dream Theater di Surakarta merupakan panggung yang paling minimalis. Sejak awal tahun Dream Theater memang telah merilis akan melaksanakan world tour dengan tajuk “Top of The World Tour”. Nama Surakarta sebagai destinasi world tour baru muncul setelah Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming menjanjikan akan menghadirkan Dream Theater dalam perayaan hari ulang tahun Kota Solo.

Alhasil, janji tersebut memang terlaksana. Tepat Rabu, 10 Agustus 2022, di parkiran Stadion Manahan, Solo, Dream Theater melaksanakan konser mereka di Indonesia sebagai salah satu rangkaian agenda Top of The World Tour. Dream Theater kembali menghibur penggemarnya di Indonesia secara langsung setelah terakhir kali tahun 2017 di Yogyakarta.

Barangkali konsep world tour Dream Theater kali ini memang mengambil panggung-panggung dan menjangkau massa yang tidak terlalu besar. Karena panggung-panggung konser dalam rangkaian Top of The World Tour sebelum di Surakarta pun tak sebesar tur Dream Theater pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang biasa mereka lakukan di Budokan, Japan, Luna Park Stadium, Argentina atau panggung-panggung tur mereka pada tahun 2011. Bahkan konser Luna Park dikonversi menjadi satu album live.

World Tour bagi Dream Theater mungkin bukan sekadar promosi atau menyapa penggemar. “Dream Theater” yang sesungguhnya adalah karya plus pertunjukan, di mana ketidakmungkinan dalam bermusik dikemas dalam sebuah pertunjukan bermusik. Musik Dream Theater adalah kiblat bagi yang tidak ingin lepas dari distorsi metal, namun menyenangi adrenalin serta dinamika progressive di saat yang sama. Dari lima orang personilnya, mimpi seolah menjadi sebuah pertunjukan yang nyata.

Mengingat tahun 2011, tahun ini memang merupakan ajang perkenalan bagi Dream Theater dengan formasi baru bersama drummer mereka saat ini, Mike Mangini. Setelah pada September 2010 kebersamaan Mike Portnoy dengan Dream Theater harus berakhir.

Persoalan berakhirnya kebersamaan dengan Portnoy juga turut berawal dari persoalan tour. Di tengah persiapan album, Portnoy justru tengah sibuk terlibat dengan proyek bersama Avenged Sevenfold. Setelah menyelesaikan proyek sebagai session player bagi album Avenged Sevenfold, “Nightmare”. Tidak ada kata sepakat kala itu antara Portnoy dengan Dream Theater yang membuat mereka harus mengakhiri kebersamaan.

Portnoy yang sejak awal telah bersama-sama membangun Dream Theater ternyata lebih memilih menyelesaikan proyeknya bersama Avenged Sevenfold dalam rangkaian tur album “Nightmare”. Album Nightmare mengalami sukses besar. Memecahkan rekor penjualan album rock tertinggi dalam seminggu pertama di Billboard 200 dengan penjualan 163.000 keping. Sementera bagi penggemar Dream Theater, keluarnya Portnoy dinilai sebagai nightmare yang sebenarnya. Dream Theater telah kehilangan Theater-nya. Kurang lebih begitulah kekhawatiran itu tersampaikan.

Hingga kemudian keraguan itu perlahan dijawab oleh Mike Mangini. Sejak bergabung pada April 2011, Mangini langsung terlibat dalam proses rekaman album “A Dramatic Turn of Event”. Sejak saat itu hingga saat ini, Mangini telah bersama Dream Theater selama 11 tahun. Menghasilkan 5 album studio, 2 album live, dan konser di Surakarta semalam, mungkin adalah panggung keseribu sekian bagi Mangini bersama Dream Theater.

Namun panggung Surakarta jugalah yang membuat konser Dream Theater bertajuk world tour tapi terasa amat minimalis. Set drum Mangini tidak seramai dan serumit seperti tour-tour Dream Theater biasanya. Set keyboard Jordan Rudess pun demikian. Ada banyak faktor tentunya. Bisa jadi konser semalam adalah “paket” minimalis, atau memang seperti yang disebutkan sebelumnya, konsep Top of The World Tour memang demikian.

Dari sisi hiburan dan pengobat rindu, kehadiran Dream Theater di Surakarta sudah lebih dari cukup. Akan tetapi secara musikal, tentu tidak terpuaskan dengan kapasitas minimalis tersebut. Hentakan distorsi dan dinamika progressive tidak terisi secara penuh. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata sisi musikalitas “para dewa” tersebut.

The Alien” yang menjadi pembuka dari total sepuluh lagu yang dimainkan. Dalam setiap konser yang dinanti-nantikan, lagu pembuka adalah penentu euforia. Segala minor tidak akan terperhatikan ketika massa telah hanyut dalam harmoni. Namun lagu kedua yang dimainkan terasa berbeda. Lagu kedua yang dimainkan berjudul “6.00” menjadi terasa berbeda. Intro 16 bar drum solo yang dimainkan Mangini dari lagu tersebut seperti ada yang kosong entah di mana. Sebab, tidak ada pukulan yang luput. Sekalipun, set drum yang dipakai tidak seramai dan serumit biasanya.

Hal ini kembali mengingatkan, apakah hal itu terjadi karena tidak seorang Portnoy yang memainkannya. Memang lagu pembuka “The Alien” adalah lagu yang direkam Dream Theater bersama Mangini dalam album “A View From The Top of The World”. Sementara lagu “6.00” direkam bersama Portnoy dari album dari album “Awake”.

Perihal Portnoy versus Mangini memang perdebatan lama di antara para penggemar. Dalam sisi subjektif, saya ingin mengatakan Dream Theater mengalami penurunan sisi progressive-nya ditinggal Portnoy. Baik dari penciptaan lagu, maupun produksi musik. Banyak sisi klimaks menjadi tidak terpenuhi secara maksimal. Keberhasilan Portnoy tidak hanya tentang dinamika, namun juga dalam hal isian yang mendukung klimaks dan kompleksitas bagian yang hendak ditonjolkan dari pertunjukan personil yang lainnya.

Pergantian Mike Portnoy ke Mike Mangini tidak sama dengan pergantian Kevin Moore ke Jordan Rudess. Kepergian Moore mungkin menghilangkan sebagian dari nyawa dari nada-nada minor yang menyempurnakan aspek mimpi (dream) dari Dream Theater. Moore sebelum bergabung dengan Dream Theater menekuni pendidikan musik klasik.

Tidak heran nada yang muncul dari ujung jari Moore yang bertemu dengan tuts keyboard lebih menunjukan dirinya lebih sebagai seorang pianis musik klasik yang  memetalkan nada-nada dalam sebuah opera.Namun kehadiran Rudess memberikan warna lebih. Musik Dream Theater terasa lebih kaya. Mangini mungkin tidak kekurangan kemampuan. Bisa jadi mulai termakan usia, sehingga itu juga mungkin yang jadi alasan set drum pun mulai disederhanakan.

Akan tetapi, sisi lain dari konser Dream Theater di Surakarta adalah kekhawatiran produksi suara James Labrie yang semakin goyah walau tidak kehilang kontrol akan nada. Labrie mulai sulit menghindar semakin termakan usia. Mungkin ini juga yang akan menjadi tantangan terbesar band metal-progressive seperti Dream Theater. Ketika kemampuan bermusik mesti harus mengalah dengan laju usia.

Dari sepuluh lagu yang dimainkan oleh Dream Theater dalam konser di Surakarta, masih banyak terasa kurangnya. Apalagi lagu-lagu masterpiece versi penggemar seperti, “Pull Me Under, Take The Time, The Spirit Carries On, Octavarium, Home, The Best of Time, atau Barstool Warrior tidak masuk ke dalam set list. Memang harus dimaklumi, bahwa dalam Top of The World Tour turut menjadi sarana promosi album A View From The Top of The World yang rilis pada tahun 2021. Berhubung pandemi, agenda promosi dan tur album ini pun menjadi tertunda.

Lebih dari itu, musik kembali soal selera dan preferensi yang tak akan selesai diperdebatkan. Berapapun minornya, Dream Theater tetaplah Dream Theater. Selagi mereka masih bermusik, para penggemar pasti akan tetap berharap mereka kembali menggelar konsernya di Indonesia. Dengan harapan lain, sekalipun usia bertambah, semoga penuaan bagi kelima personil Dream Theater dapat diperlambat lajunya. Setidaknya musik Dream Theater masih bisa dinikmati secara langsung sepuluh sampai lima belas tahun lagi. Tanpa harus menyaksikan mereka menurunkan nada atau memperlambat tempo permainannya. Dengan Mike Portnoy turut kembali berada di sana. (*)

Sumber Foto: Wikipedia

 

Related posts
Musik

Sewindu Merindu, Banda Neira Tumbuh dan Menjadi

MusikReportase

Satu + Tiga Hari Patara Fest

MusikReportase

Meladju Kencang, Payakumbuh

Musik

Membincang Rimpang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *