Artikel

Salah Urus Lembaga Negara: Kegagalan Reformasi Hukum?

Sebelum menyinggung tentang rencana Presiden Joko Widodo untuk membersihkan atau membubarkan delapan belas lembaga negara, saya ingin membahas mengapa hari ini Indonesia memiliki banyak sekali lembaga yang dianggap menghamburkan APBN dan memperpanjang alur birokrasi.

Hal tersebut bermula dari gelombang reformasi yang terjadi pada Tahun 1998. Gerakan massa yang dimotori oleh berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa mampu menyapu kekuasaan Presiden Soeharto yang telah bertahan selama tiga puluh dua tahun. Tidak hanya berhenti di situ, massa juga menuntut reformasi hukum untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Komitmen reformasi hukum ditunjukan oleh MPR dengan melakukan perubahan mendasar terhadap ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap sejak Tahun 1999 hingga 2002 kemudian melahirkan beberapa lembaga negara baru, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Amandemen tersebut memberikan beberapa konsekuensi terhadap posisi hingga hubungan antar lembaga. Dalam amandemen itu, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Langkah tersebut menjadi penting demi melakukan pemurnian terhadap sistem presidensiil yang digunakan oleh Indonesia. Karena jika tetap memberikan kekuasaan kepada MPR untuk dapat melengserkan seorang presiden dengan menolak laporan pertanggungjawabannya melalui mekanisme impiechment atau pemakzulan dengan mudahnya, maka sistem pemerintahan Indonesia tak ubahnya seperti sistem pemerintahan parlementer yang menitikberatkan kekuasaan di parlemen.

Perubahan lain yang memurnikan sistem presidensiil di Indonesia adalah penegasan terhadap pemisahan kekuasaan (separation of power). Terutama antara presiden dan DPR. Sebelum perubahan konstitusi, presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sedangkan DPR hanya diposisikan sebagai co-legislator yang memberikan persetujuan terhadap produk legislatif, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden. Distribusi kekuasan macam ini membuat satu cabang kekuasaan memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar dibanding cabang lainnya. Tipikal pemerintahan yang berjalan dengan sentralistik dan cenderung otoriter inilah yang diubah oleh reformasi.

Dalam catatan sejarah, ide untuk melakukan pemisahan kekuasaan dituangkan oleh Aristoteles dalam buku Politics. Ia membagi kekuasaan menjadi tiga, yaitu otoritas yang membentuk undang-undang, menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yang memastikan undang-undang tersebut dipatuhi oleh masyarakat. Kemudian konsep tersebut diperjelas oleh Montesque menjadi cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal dengan trias politica.

Namun akibat makin berkembangnya konsep negara serta kebutuhannya, muncul cabang kekuasaan keempat yang terlepas dari tiga kekuasaan dalam teori klasik separation of power yang dikenal dengan lembaga negara independen. Pembentukan cabang kekuasaan baru ini bertujuan untuk menjaga independensi dalam menyelenggarakan sebuah kewenangan tertentu.

Sifat yang dimiliki oleh lembaga negara independen ini masih mengadopsi fungsi salah satu cabang kekuasaan. Contohnya adalah Komisi Yudisial yang bukan merupakan cabang kekuasaan yudikatif namun memiliki tugas pokok menjaga muruah hakim serta peradilan. Serta Komisi Pemilihan Umum yang diatur dalam ketentuan tersendiri dalam konstitusi dan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Sehingga secara normatif, perhelatan demokrasi dalam proses transisi kekuasaan dapat dilakukan tanpa campur tangan dari eksekutif maupun legislatif. Masih terdapat banyak lembaga lain yang lahir dari rahim reformasi seperti Komnas HAM, KPK, Ombudsman, dan beberapa lembaga independen lainnya.

Berkat pemisahan kekuasaan inilah munculnya berbagai lembaga negara. Akan tetapi, terlepas dari dampak positif hal tersebut, pemecahan kekuasaan ini bukan tanpa masalah. Dampak yang ditimbulkan oleh banyaknya lembaga baru yang muncul adalah makin panjangnya alur birokrasi serta tidak maksimalnya penyerapan keuangan negara untuk sektor produktif. Itulah yang menjadi alasan Presiden Jokowi untuk membubarkan beberapa lembaga negara.

Namun apakah pembubaran beberapa lembaga negara itu betul-betul akan efektif? Jangan-jangan selama ini pemerintahlah yang gagal  mengelola pemisahan kekuasaan secara efektif!

Wacana pembubaran lembaga negara pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kabinet pada 18 Juni 2020. Setidaknya terdapat delapan belas lembaga negara yang akan dibubarkan oleh presiden. Sejauh lembaga tersebut dibentuk melalui peraturan yang berada di bawah undang-undang –seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres)– maka hal tersebut dapat dilakukan secara sepihak oleh pucuk kekuasaan eksekutif. Lagi pula pembubaran lembaga negara bukan kali pertama dilakukan dalam pemerintahan Joko Widodo.

Terhitung sejak periode pertama, terdapat dua puluh tiga lembaga negara yang dibubarkan oleh Joko Widodo. Pertimbangan berupa tidak efektifnya kinerja menjadi salah satu alasan untuk melakukan hal tersebut. Sehingga pendanaan negara yang dialokasikan kepada lembaga-lembaga tersebut dapat dialihkan kepada sektor lainnya. Tidak hanya membubarkan, beberapa lembaga juga didirikan oleh oleh Joko Widodo, salah satu di antaranya adalah Satgas Saber Pungli (2016).

Pada awal Tahun 2020, Mahfud MD selaku Menkopolhukam menyatakan bahwa akan dilakukan evaluasi kinerja Satgas Saber Pungli yang telah beroperasi selama hampir empat tahun. Namun sayang lembaga yang diharapkan mampu menyapu bersih pungutan liar dampaknya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat. Pasalnya masih banyak masyarakat yang belum dapat dijangkau untuk menerima edukasi tentang bahaya  pungli yang termasuk dalam kategori korupsi. Bahkan masih terdapat orang yang tidak mengetahui keberadaan lembaga ini. Sehingga jangan berharap banyak dari partisipasi masyarakat dalam memberikan laporan tentang pungli yang dialaminya.

Hal yang perlu diperbaiki dari lembaga negara yang mengurusi hal-hal spesifik tersebut terletak pada konsistensi, metode evaluasi, hingga individu yang berkompeten. Konsistensi dibutuhkan untuk meningkatkan metode kerja, sehingga ruang permasalahan yang ditanganinya mampu diselesaikan secara efektif dan efisien. Jika pengelolaan lembaga tersebut memang bertujuan untuk menunaikan tupoksi yang telah ditumpangkan padanya, maka celah penyelewengan akan mampu untuk ditutup.

Kemudian juga dibutuhkan standar baku untuk menilai kinerja dari lembaga tersebut. Hal tersebut harus menjadi barometer terukur untuk menilai kinerja serta akan berhubungan dengan individu yang akan berperan. Jangan sampai pembentukan lembaga-lembaga di bawah kekuasaan eksekutif hanya menjadi medium posisi tawar serta bagi-bagi kue yang dapat berubah sesuai dengan konstelasi politik yang sedang bergulir.

Pembentukan dan pembubaran lembaga negara tanpa melalui mekanisme yang terukur hanya akan merugikan kepentingan masyarakat. Jangan sampai keberadaan sebuah lembaga hanya diukur dari kepentingan kelompok yang mengisinya, dan menegasikan pencapaian kinerjanya. Karena hanya akan membuat tujuan reformasi hukum yang salah satunya untuk memecah kekuasaan eksekutif yang terpusat pada masa orde baru menjadi salah arah. Bangun-bubarnya lembaga-lembaga negara baru pasca reformasi dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kegagalan reformasi hukum.

Bersih-bersih lembaga ini menjadi hal baik jika dilakukan dengan menggunakan indikator objektif serta berdasarkan hasil kinerja yang terukur. Jika hanya dilakukan dengan alasan penghematan APBN di tengah pandemi tanpa memperhatikan kinerja lembaganya selama ini, justru yang mesti dipertanyakan ialah alasan pembentukan lembaga-lembaga tersebut. Apakah hanya sekedar bagi-bagi kue? Atau Jangan-jangan sedari awal telah terjadi kegagalan dalam pengelolaan kekuasaan?

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *