“Bahwa kebiasaan menghapal itu tidak menambah kecerdasan,
Malah menjadikan saya bodoh,
Mekanis, seperti mesin”
-Tan Malaka, dalam Buku Madilog (halaman 24)
Sebagai seorang intelektual yang mengenyam pendidikan Sekolah Guru Pribumi (Inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers) di Bukittinggi, Tan Malaka memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Brosurnya, SI Semarang dan Onderwijs (1921), ditulis khusus untuk menerangkan konsepsi idealnya tentang pendidikan dan pentingnya penididikan bagi rakyat jelata. Konsep tersebut coba diterapkan pada Tahun 1921 saat tinggal di Semarang yang merupakan pusat kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, Tan Malaka menenggelamkan diri dengan mendirikan SI School yang ditujukan untuk memberi pelajaran tentang dasar-dasar pendidikan bagi rakyat jelata. Model sekolah SI, yang kelak berganti nama menjadi Sekolah Rakjat ini, kemudian diadopsi di berbagai tempat.
Tan Malaka memandang bahwa untuk mencapai kemerdekaan, maka pendirian sekolah-sekolah harus didahulukan. Pendidikan dijadikan sebagai alat untuk melepaskan rakyat tertindas dari keterbelakangan, kebodohan serta belenggu Imperialisme-Kolonialisme.
Tan menekankan tiga tujuan pendidikan. Pertama, memberi senjata yang cukup guna mencari kehidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa Daerah); kedua, kesadaran berorganisasi (Vereeniging); dan ketiga, keberpihakan terhadap kaum Kromo (rakyat jelata).
Berbeda dengan konsep yang digagas Tan Malaka, pendidikan hari ini lebih berfokus pada aspek kognitif (pengetahuan) semata. Pendidikan hari ini, serupa dengan sistem pendidikan yang dikecam Tan Malaka pada masa kolonial, hanyalah “didikan berdasarkan kemodalan” alias hanya mendukung kepentingan segelintir elit. Pendidikan di satu sisi, dan keberpihakan terhadap rakyat jelata di sisi lainnya, diasingkan satu sama lain.
Siswa hanya didorong untuk menghapal dan mempelajari banyak konsep pengetahuan seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, hingga matematika tanpa dilandasi kesadaran pentingnya organisasi serta tanggungjawab terhadap lingkungan dan masyarakat. Praktik keliru dalam penerapan konsep pendidikan tersebut tak lepas dari “standar penilaian nasional” yang ditetapkan pemerintah dalam menentukan kelulusan siswa pada akhir tahun ajaran, yaitu Ujian Nasional (UN).
UN dianggap sebagai variabel mayor yang akan mempengaruhi kualitas sebuah sekolah. Kurikulum yang disusun dan kemudian diterapkan dalam pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM) menjadi keliru karena hanya mementingkan aspek kognitif sebagai kompentensi kelulusan. Padahal, merujuk pada ketentuan yang terdapat pada penjelasan pasal 35 ayat (1) UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
UN pun pada dasarnya hanyalah evaluasi sepihak terhadap peserta didik sementara pihak lain, yaitu institusi sekolah itu sendiri, bisa dikatakan tidak pernah dievaluasi. Sedangkan, menurut Pasal 57 ayat (2) UU tentang Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Keterpaduan komponen sumber daya manusia dalam lingkup sekolah tidak dapat dipisah-pisahkan jika menginginkan hasil optimal di tingkat sekolah.
Selain persoalan-persoalan di atas, persoalan pendidikan lainnya adalah diabaikannya prinsip kemajemukan. Dengan menjadi “standar penilaian nasional”, UN meniadakan perbedaan sosio-kultural masing-masing daerah. Sementara itu, menurut Pasal 36 ayat (2) UU tentang Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan prinsip diversifikasi (kemajemukan) sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Diabaikannya keberagaman potensi daerah dan peserta didik dalam UN, tentu saja menghambat perkembangan aspek afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik.
Centang-Parenangnya sistem pelaksanaan serta penilaian dalam UN coba untuk dibenahi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2024. Tak lama setelah meninggalkan posisinya sebagai bos dari pasukan hijau gojek Indonesia untuk menjadi mendikbud, Nadiem Makarim langsung ngegas dengan melakukan upaya penghapusan pelaksanaan UN.
Nadiem coba untuk menawarkan konsep evalusi pendidikan tanpa menjadikan siswa sebagai mesin penghapal. Apabila pelaksanaan UN selama ini terfokus pada beberapa mata pelajaran dengan sistem ujian menjawab soal pilihan ganda, maka sistem evaluasi peserta didik yang akan dijalankan Nadiem sedikit berbeda.
Sistem yang digagas Nadiem akan fokus pada kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi). Dipilihnya dua topik tersebut bertujuan agar peserta didik mampu untuk melakukan analisis terhadap sebuah peristiwa empirik.
Hal tersebut terlihat rancak di luar, namun terdapat beberapa hal yang harus dikritisi. Di antaranya masih dipertahankannya sistem dengan orientasi nilai. Seperti telah disinggung di atas, sistem ini bermasalah. Orientasi nilai harus ditimbang kembali. Jika pelaksanaan PBM dengan orientasi nilai masih dipertahankan maka perubahan terhadap pelaksanaan UN akan menjadi sia-sia.
Konsep ideal PBM yang dapat ditawarkan pada saat ini adalah dengan melakukan penyeimbangan antara aspek kognitif, praktik empiris, dan memberikan pemahaman logika yang rasional. Karena hal tersebutlah yang dibutuhkan apabila menginginkan siswa dapat melakukan analisa untuk memecahkan suatu persoalan.
Untuk dapat melakukan hal tersebut, maka tersedianya tenaga pendidik yang mampu memfasilitasi pelaksanaan sistem pembelajaran seperti itu adalah keharusan. Karena kemajuan pemahaman peserta didik tidak akan terlepas dari kualitas yang dimiliki oleh tenaga pendidik.
Kepada bapak Mendikbud yang berbahagia, sebelum melakukan upaya untuk mengubah sistem evaluasi pembelajaran bagi peserta didik, seharunya didahulukan perubahan pada proses pelaksanaan pembelajaran secara radikal. Terlebih dahulu, peserta didik diberikan pemahaman tentang tanggung jawabnya kepada lingkungan dan masyarakat. Sehingga peran nilai dari UN yang selama ini dianggap sebagai tolok ukur dapat dihilangkan dari paradigma awam.
Editor: Randi Reimena
Ilustrator: Talia Sartika Bara