Di sebuah kota (jika mau menyebutnya sebagai kota, saya juga bingung) kecil di pesisir barat Sumatera, sebuah gedung besar dengan atap runcing-runcing berdiri angkuh di antara kantor-kantor pemerintahan daerah, bank, serta rumah dan kedai milik penduduk. Kota kecil itu berada sekitar 70 km arah selatan Padang.
Gedung dengan atap bak tanduk kerbau yang menjulang itu adalah Kantor Bupati Pesisir Selatan, di Painan. Seperti di wilayah Sumbar pada umumnya (kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai), instansi negara gemar sekali membangun gedung-gedung dengan arsitektur nyentrik itu. Beberapa gedung dengan plang “rumah gadang” di kota itu juga ikut-ikutan pula punya atap bergonjong.
Namun kebanyakan rumah bagonjong itu tampaknya tidak lagi dihuni. Saya juga tidak tahu pasti, apakah itu benar-benar rumah gadang atau sebuah bangunan yang dibuat ala rumah gadangnya orang darek. Ya, rumah gadang bagonjong sebenarnya bukanlah milik orang pesisir Minangkabau. Saya yang berkampung halaman di Batangkapeh tidak pernah mengenal satu pun rumah gadang bagonjong di kampung kami.
Ingin bukti yang lebih valid? Tengoklah ke daerah Lunang, yang berada di ujung selatan Provinsi ini, sebelum Silaut. Rumah Gadang Mande Rubiah—yang konon katanya adalah tempat sang Bundo Kanduang menetap setelah ‘menghilang’ dari Pagaruyung—tidak punya atap bertanduk seperti citra yang sering ditampilkan soal Minangkabau. Sekilas, rumah itu tampak tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah orang Melayu di belahan lain pulau Sumatera, atau bisa dibilang mirip juga dengan rumah khas Aceh.
Minangkabau memang tidak satu langgam, belakangan saya menyetujui perkataan itu. Beruntung, saya tidak sendiri. Pesan itu pula yang hendak disampaikan oleh sebuah pameran dengan tajuk Halaman Depan Multikulturalisme: Ragam Arsitektur Tradisional di Sumatera Barat, di FabriekBloc, Padang. Saya cukup puas mengetahui banyak bukti untuk meruntuhkan narasi tunggal Minangkabau yang terlalu “dareksentris”.
Keragaman itu setidaknya terlihat pada perbedaan bentuk rumah gadang. Jangankan perbedaan antara daerah darekdengan daerah rantau dan daerah pesisir, sesama daerah darek pun ternyata masih memiliki perbedaan dalam corak rumah gadangnya.
Sebagai orang yang berkampung halaman di Pesisir Selatan dan bangga dengan stigma dan citra soal pesisir, saya sejatinya berharap ada perwakilan rumah gadang ala kami di dalam pameran ini. Atau setidaknya, yang tampak berbeda dengan rumah gadang di darek. Pertama, saya langsung menghembuskan nafas dengan lega kala menemukan sebuah bentuk rumah gadang di Pasaman Barat. Konon, bentuknya terpengaruh budaya Mandailing.
Dan lebih memuaskan lagi, ternyata di sekitaran kampus Unand yang katanya adalah kampus terbaik di Sumatera, masih banyak terdapat rumah-rumah gadang dengan keistimewaannya yang tentu saja berbeda dengan citra kemegahan ala Pagaruyung. Sederhana saja, rumah-rumah yang tersebar di Kecamatan Pauh dan Kuranji itu hanya memiliki bagian runcing pada ujung kanan dan kirinya, namun tidak seheboh rumah gadang darek.
Kritik
Sayang sekali, saya sama sekali tidak menemukan rumah gadang yang menunjukkan kekhasan kawasan Pesisir Selatan. Sebenarnya agak ironis, mengingat kawasan ini sangat luas (6.049 km persegi) dan menyumbang persentase yang besar dalam luas wilayah Provinsi tercinta ini, belum lagi jumlah penduduknya yang menurut data BPS tahun 2022 terbanyak nomor 3 di Sumatera Barat dengan jumlah lebih dari 516.000 penduduk.
Kendati punya penduduk dengan jumlah bejibun, wilayah yang terlalu luas untuk satu kabupaten ini masih tidak terlihat ramai, bahkan tergolong sunyi. Saking luasnya wilayah kami, budaya dan dialek bahasa Minang kami pun tidak seragam. Setidaknya, wilayah kabupaten kami secara historis bisa dibagi menjadi kawasan Banda Sapuluah (yang sangat luas dan sudah terbagi ke dalam beberapa kecamatan), Bayang, Koto XI Tarusan, Lunang, Silaut, dan Indrapura. Nama yang disebut belakangan adalah pusat salah satu kerajaan besar dan penting di pesisir barat Sumatera pada masanya.
Namun tampaknya kampung-kampung kami orang pesisir ini terlalu misterius untuk dibahas secara serius. Wajar saja jika mitos soal siampa, cindaku, klenik, dan kisah-kisah mistis lainnya sering muncul di sepanjang daerah ini. Mungkin sudah menjadi nasib kami juga. Salah sendiri, bermukim di tanah yang tasakek di antara belantara Bukit Barisan dan taman Nasional Kerinci Sebelat di sebelah timur dengan Selat Mentawai dan Samudera Hindia di sebelah barat.
Tapi kami tidak pantas untuk berkecil hati juga. Kampung kami terkenal dengan kemolekan wisata baharinya. Jadi, biarlah alam kami yang terus diobjektifikasi dengan narasi pariwisata: Visit West Sumatera.
Lagi pula apa pentingnya sih soal bentuk rumah gadang kami di tengah zaman modern dan berkemajuan ini? Toh, pemerintah kita yang cerdas lagi budiman sudah menetapkan rumah gadang ala darek sebagai template rumah adat di seantero Sumatera Barat yang kaya ini.
Kadang saya bingung juga, kenapa ibukota provinsi kita tidak ditempatkan di Pagaruyung saja? Lagi pula ‘kan daerah darek konon katanya merupakan asal semua orang di Minangkabau. Hebat betul memang nenek moyang kita, tiba-tiba sampai di kaki gunung, baru kemudian merantau ke tepi laut. (*)
Foto: Rumah Tradisional di Bania Tambauk, Pasaman Barat/Muhaimin Nurrizqy