Artikel

Mendemokratisasikan Pers: Media dan Informasi Dalam Pandangan Soedjatmoko

Sejauh ini dunia setidaknya telah mengalami empat Revolusi Industri. Revolusi Industri pertama yang ditandai dengan hadirnya penemuan teknologi baru berupa uap dan baja yang berguna untuk industri-industri; Revolusi Industri kedua yang ditandai penemuan di bidang listrik dan kimia;  Revolusi Industri ketiga yang bercorak pada perubahan dalam bidang teknologi, mikro-elektronika, dan informatika; serta Revolusi Industri keempat yang berfokus pada perubahan bidang otomatisasi, robotik, dan artificial intelligence (AI).

Namun dari keempat Revolusi Industri, menurut hemat penulis, yang berimplikasi paling besar bagi dunia dan Indonesia secara khusus hingga sekarang adalah perubahan dalam teknologi dan informatika—Revolusi Industri ketiga. Hal ini sejurus dengan berbagai analisis dari seorang tokoh intelektual terkemuka yang pemikirannya hendak diteropong perihal dinamika media dan informasi, yakni Soedjatmoko. Semasa hidupnya, ia telah melihat sejumlah potensi dari pesatnya perkembangan teknologi serta beberapa masalah yang mengikutinya, yang dalam batas tertentu, masih relevan dengan situasi saat ini.

Dunia Informasi dan Setelahnya Menurut Soedjatmoko

Dalam tulisan “Indonesia Menghadapi Perobahan Dunia: Peranan Informasi” (1988), Soedjatmoko menjelaskan bahwa “revolusi di bidang komunikasi” pada dekade 70 sampai 80-an telah mengakibatkan perubahan pesat secara global yang tak dapat dikontrol oleh berbagai pemerintahan. Hal ini, menurut Soedjatmoko, memungkinkan “warga dunia sekarang mampu mendapatkan berita tentang semua peristiwa dan informasi tentang apa saja di dunia. Tidak ada pemerintah di dunia ini yang dapat menghalanginya seandainya itulah yang dikehendaki” (Soedjatmoko, 1988: 6). Pada pihak lain, revolusi di bidang komunikasi serta corak-corak manajemennya telah turut menyumbang produktivitas yang cepat bagi dunia (Soedjatmoko, 1988: 2).

Tak hanya itu, sejalan dengan peningkatan segala perubahan dalam bidang komunikasi dan informasi telah menyebabkan apa yang disebut oleh Soedjatmoko sebagai “international competence”, ia menjadi alat baru dan efisien yang diperlukan untuk menghadapi dunia modern. Dalam tulisan yang sama, Soedjatmoko mengemukakan bahwa “international competence” merupakan “suatu kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan dunia luar, suatu kemampuan untuk mengambil dan memanfaatkan informasi (seperti mengenai teknologi, pasar, dll.) dan keterampilan yang diperlukan dari dunia luar untuk dipakai di dalam negeri” (Soedjatmoko, 1988: 5).

Dalam hal ini, Soedjatmoko memandang bahwa pers dan media—notabene sebagai sumber informasi—wajib mengemban tugas spesial untuk “meningkatkan ‘international competence’ masyarakat pada umumnya dalam merangsang dan memelihara nilai-nilai dan sikap yang melandasi kesadaran dan solidaritas sosial” (Soedjatmoko, 1988: 11). Pernyataan yang lebih menarik adalah—seperti yang tertuang dalam tulisan “Manusia Indonesia Menjelang Abad ke 21 dan Persiapannya” (1989)—beliau menilai variabel kebebasan dalam arus informasi menjadi syarat yang tak kalah penting “dalam membina ‘international competence’ itu” (Soedjatmoko, 1989: 5).

Perkembangan informasi pun berkelindan dengan kemampuan kolektif suatu bangsa untuk belajar—the learning capacity of a nation. Dalam “The Future and the Learning Capacity of Nations: The Role of Communications” (1978), Soedjatmoko menjelaskan bahwa transformasi sosial yang cepat dalam berbagai bidang sangat berdampak bagi masyarakat dunia untuk menjadikan keharusan suatu bangsa untuk memiliki kapasitas kolektif dalam belajar.

Cara peningkatan kapasitas kolektif suatu bangsa untuk belajar sangat tergantung pada kemampuan seluruh elemen masyarakat untuk menjangkau, mencerna, dan memanfaatkan sejumlah besar informasi baru, bebas, dan relevan. Hal ini bukan berarti kapasitas kolektif tersebut terbatas pada tingkat kognitif, tetapi juga melibatkan tingkat sikap, kelembagaan, dan organisasi masyarakat. Respons secara kreatif, inovatif, dan kritis terhadap informasi relevan atas transformasi sosial serta tantangan-tantangan barunya, menurut Soedjatmoko, merupakan satu keberhasilan suatu negara-bangsa dalam mengeksplorasi kapasitas kolektifnya untuk belajar (Soedjatmoko, 1978: 15-17).

Lalu, jika ditarik jauh ke depan hingga sekarang, bagaimana perkembangan informasi dewasa ini—stagnan atau tumbuh? Apakah sejalan dengan segala pemikiran dan analisis Soedjatmoko? Menurut hemat penulis, perkembangan informasi sekarang mengalami perkembangan pada tahap tinggi yang tak pernah dicapai sebelumnya. Hal ini diakibatkan perkembangan teknologi yang pesat dan peran pers serta pertumbuhan media sosial yang turut menyebarkan berbagai jenis informasi untuk masyarakat. Dengan penyebaran informasi yang masif ini, segala kebutuhan masyarakat untuk mencerna informasi menjadi mudah tercapai.

Namun, perkembangan teknologi dan informasi yang cepat masih tak bisa menutup beberapa celah kosong yang berpotensi menjadi hambatan besar. Beberapa puluh tahun yang lalu, Soedjatmoko telah menginvestigasi dan menuangkan pemikirannya tentang beberapa potensi hambatan yang akan mengemuka akibat perkembangan tersebut. Apa saja hambatannya?

Disparitas dan Pengekangan Informasi

Pandangan Soedjatmoko tak hanya diarahkan pada harapan atas perubahan dalam bidang komunikasi dan informasi. Juga beliau memandang dan mengkhawatirkan bahwa perubahan dalam dua bidang tersebut bisa menjadi bumerang, yakni disparitas dan pengekangan, yang sewaktu-waktu dapat mencederai perubahan itu sendiri.

Dalam pidato yang berjudul “Communication for Development” (1985) yang disampaikan pada Forum Komunikasi Kedua di Tokyo, Jepang, Soedjatmoko mengemukakan bahwa perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri di bawah nama Revolusi Industri pertama telah mengakibatkan ketidakadilan dan disparitas ekonomi menjadi hal yang tak terelakkan. Menurut Soedjatmoko, inti sari negatif dari transformasi sosial tersebut tidak pernah hilang sampai Revolusi Industri ketiga muncul. Soedjatmoko menegaskan, manifestasi disparitas ekonomi antar dan di dalam negara berkelindan dengan disparitas infrastruktur komunikasi yang mengakibatkan keterbatasan untuk mengakses informasi relevan yang bermanfaat bagi jutaan orang (Soedjatmoko, 1985: 1-2).

Tentang pengekangan informasi, dalam tulisan yang berjudul “Dampak IPTEK Atas Sistem Sosial-Budaya” (1989) Soedjatmoko meletakkan perhatian lebih akan ekses-ekses negatif yang akan ditimbulkan jika pengekangan terhadap informasi dilaksanakan oleh lembaga atau pemerintah. Baginya, informasi telah menjadi modal penting, di samping modal uang dan modal fisik, untuk pembangunan bangsa. Sebagai modal penting, alangkah buruknya jika suatu negara justru menutup diri, alih-alih membukanya.

Menurutnya, sikap menutup diri akan menghadang terciptanya suatu arus informasi bebas nan relevan, kehilangan kesempatan untuk berkemban, dan pada akhirnya akan kalah saing di pasaran dunia. Jika hanya menerima informasi tertentu, “maka ternyata tidak ada jalan untuk mengadakan seleksi yang tidak sekaligus menghambat dan menciut masuknya informasi pada umumnya, dan hilanglah peluang untuk menjaga kemampuan berkompetisi sendiri” (Soedjatmoko, 1989: 6). Bukannya menguatkan, proteksionisme terhadap arus informasi yang bebas, menurut Soedjatmoko malah dapat memperlemah resistensi kebudayaan (cultural resilience) dan rasa kepribadian bangsa,

Pengekangan terhadap informasi pernah dilaksanakan secara sistematis oleh Orde Baru. Salah satu kasusnya ketika media seperti Tempo, Editor, dan tabloid politik Detik dibredel karena telah menyebarkan informasi yang dianggap ‘subversif’ dan kontra terhadap pemerintah kala itu (David T. Hill, 2011: 16). Dengan dalih ‘subversif’ yang tak jelas definisinya, Orde Baru tega mengorbankan arus informasi yang diperlukan untuk kepentingan publik.

Solusi Soedjatmoko dan Relevansinya Sekarang

Soedjatmoko sendiri, dalam tulisan-tulisannya, telah mengajukan berbagai solusi permasalahan yang dapat ditimbulkan transformasi komunikasi dan informasi. Perihal disparitas dalam informasi, Soedjatmoko menggarisbawahi akan pentingnya pemerataan pembangunan infrastruktur komunikasi di desa-desa dan sektor perkotaan yang lebih miskin oleh pemerintah atau komunitas untuk memastikan akses terhadap informasi yang setara dan bebas sampai kepada golongan akar rumput (Soedjatmoko, 1978: 12). Pemerataan infrastruktur tentunya akan berdampak positif pada pembangunan ekonomi.

Seakan mengamini solusi Soedjatmoko, pemerintah Indonesia dewasa ini telah menyelesaikan beberapa program pembangunan dan pemerataan infrastruktur komunikasi, salah satunya adalah Palapa Ring. Dilansir dari Kompas.com, Palapa Ring diharapkan memberdayakan sistem telekomunikasi nasional yang mampu menjangkau seluruh 514 kabupaten/kota. Dengan membangun serat optik sepanjang 36.000 kilometer, Palapa Ring telah menyediakan akses informasi yang merata dari barat ke timur Indonesia.

Tentang pengekangan terhadap informasi, Soedjatmoko justru menganalisis bahwa solusi untuk melepas dari pengekangan datang dari perkembangan informasi itu sendiri. Semisal dalam tulisannya untuk sarasehan harian KOMPAS yang berjudul “Masa Depan Indonesia: Menuju Manusia Baru” (1989), beliau mengemukakan bahwa berkembangnya informasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengakibatkan perubahan sosial yang acapkali melampaui kemampuan penyesuaian kebanyakan lembaga. Walhasil mengakibatkan “suatu negara pejabat—birokratis—menjadi usang karena peningkatan kecerdasan masyarakat dalam mengelola tumpahan sedikit banyak informasi dan kompleksitasnya” (Soedjatmoko, 1989: 3).

Konsistensi solusi Soedjatmoko atas pengekangan informasi dapat kita temukan kembali dalam tulisan “Dampak IPTEK Atas Sistem Sosial-Budaya” (1989). Beliau begitu yakin dengan menyatakan: “Tiada seseorang atau lembaga sensor yang dapat menilai keseluruhan kepentingan kita dalam menyingkirkan beberapa informasi dari arus informasi di dalam masyarakat dunia yang demikian kompleks itu”. Lebih lanjut, ia mengandalkan teknologi canggih sendiri yang dapat menerobos segala hambatan yang digunakan untuk menghalangi arus informasi tersebut (Soedjatmoko, 1989: 6).

Pemikiran Soedjatmoko terbukti adanya. Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) Nasional 2021 yang diumumkan oleh Komisi Informasi (KI) Pusat Republik Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kategori ‘sedang’ dengan skor 71,37. Skor tersebut termasuk tinggi karena melampaui target IKIP Nasional yang tertera di RPJMN, yakni sebesar 35.

Quo Vadis Perkembangan Informasi dan Media Mendatang

Mempertimbangkan pemikiran Soedjatmoko dan melihat pola perkembangan informasi dan komunikasi di Indonesia  sejak awal mula kemunculannya hingga sekarang tak bisa tidak harus selalu menyertakan unsur kebebasan dan devolusi. Dengan cara inilah, peran informasi dan media bisa berfungsi secara optimal dan dapat menjadi barang umum (common goods) yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, mudah untuk menebak jika demokratisasi informasi seluruhnya akan menjadi ciri utama perkembangan informasi dan media mendatang dimana media dapat memproduksi informasi yang bernas, dan masyarakat bebas mengonsumsinya. Ini semua berpotensi meningkatkan kualitas masyarakat dan menciptakan iklim demokrasi yang stabil.

Hal ini mengingatkan penulis sebuah pernyataan tajam Soedjatmoko pada 1988 bahwa, “Sistem yang paling mampu memanfaatkan informasi ialah “sistem terbuka” yang tidak terlalu hierarkis dan tidak terlalu besar, di mana arus informasi tidak hanya berjalan dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas, melainkan juga secara horizontal bahkan beraneka arah”. Dengan demikian, persoalan akan ke mana arah perkembangan informasi dan media mendatang bisa terselesaikan.

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Daftar Pustaka

Stearns, Peter N. (2013). The Industrial Revolution in World History. Boulder: Westview Press.

Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soedjatmoko. (1988). “Indonesia Menghadapi Perobahan Dunia: Peranan Informasi.” Diakses dari https://membacasoedjatmoko.com/dokumen/indonesia-menghadapi-perobahan-dunia-peranan-informasi/

Soedjatmoko. (1989). “Manusia Indonesia Menjelang Abad Ke 21 dan Persiapannya.” Diakses dari https://membacasoedjatmoko.com/dokumen/manusia-indonesia-menjelang-abad-ke-21-dan-persiapannya/.

Soedjatmoko. (1978). The Future and The Learning Capacity of Nations: The Role of Communications. London: International Institute of Communications.

Soedjatmoko. (1985). “Communication for Development.” Diakses dari https://membacasoedjatmoko.com/dokumen/communication-for-development/.

Soedjatmoko. (1989). “Dampak IPTEK Atas Sistem Sosial-Budaya.” https://membacasoedjatmoko.com/dokumen/dampak-iptek-atas-sistem-sosial-budaya/.

Soedjatmoko. (1989). “Masa Depan Indonesia: Menuju Manusia Baru.” Diakses dari https://membacasoedjatmoko.com/dokumen/masa-depan-indonesia-menuju-manusia-baru/.

 

 

 

 

 

About author

Alvino Kusumabrata, pelajar jurusan IPS kelas XII SMA di Surakarta. Mulai menulis sejak kelas IX SMP dan menjadi kontributor lepas di berbagai media seperti IndoPROGRESS, Geotimes, Narasi Sejarah, The Columnist, Opini.id, dll.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *