Artikel

Melihat Kembali Sejarah Pergerakan Perempuan di Sumatera Barat

“Dengan sendirinja, kebangoenan dilapangan pendidikan itoe, serta timboelnya organisasi2, membawa wanita kepada perdjoeangan politik jang berdasarkan agama, sosialisme, dan nasionalisme. Tetapi intisari gerakan ini adalah bersifat penentangan terhadap pendjadjahan jang bersifat menentang terhadap kemadjoean wanita” (1/4 Abad Gerakan Wanita di Sumatera Tengah. Hal. 22).

Hari ini posisi perempuan dalam beberapa organisasi kampus di Sumatera Barat disurutkan. Hal tersebut tampak dari bagaimana organisasi-organisasi itu menyensor, mengecilkan, atau mengganti foto para pengurus perempuan dengan animasi di akun media sosial organisasi. Kritik atas fenomena permukaan seperti ini barangkali dinilai lebay. Tapi apa yang tampak pada permukaan sesungguhnya berakar dari realitas di tubuh organisasi itu sendiri.

Berdasarkan keterangan teman-teman mahasiswa di salah satu kampus ternama di Sumatera Barat, saya berani menyimpulkan betapa posisi perempuan semakin dipinggirkan. Dari mulai pembatasan terhadap akses atas posisi strategis bagi perempuan dalam organisasi, pembatasan untuk mengemukakan pendapat di dalam forum, sampai pembatasan terhadap interaksi sosial dengan mahasiswa (terutama laki-laki) lain. Beberapa organisasi itu, dengan kata lain, tidak hanya tengah berupaya mengasingkan perempuan dari politik tapi juga mengasingkan perempuan dari masyarakatnya.

Kalau sudah begini, jangan berharap perempuan akan terlibat dalam realitas masyarakatnya. Jangan pula berharap perempuan akan mengerti persoalan riil yang dialami masyarakat dan dirinya sendiri. Lebih jauh, pandangan seperti ‘melindungi perempuan dengan cara menyurukkan perempuan’ yang mendasari ‘penghilangan’ perempuan dari ruang publik  itu bukan hanya tidak relevan dengan situasi hari ini tapi juga ahistoris. Ironisnya para anggota organisasi tersebut mengira dirinya tengah dalam ‘pergerakan’.

Sekarang mari kita mundur ke masa masa lalu untuk menyegarkan ingatan kolektif kita.  Mari kita lihat kembali secara umum sejarah pergerakan perempuan di Sumatera Barat melalui buku 1/4 Abad Gerakan Wanita Indonesia di Sumatera Tengah yang diterbitkan oleh Panitia Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia Sumatera Tengah pada tahun 1953. Dalam tulisan ini, juga disertakan beberapa foto perempuan pergerakan yang direproduksi dari buku tersebut. Foto-foto itu, tentu saja tidak di-blur, apalagi diganti animasi, karena hakikat perjuangan perempuan bukanlah untuk menyensor diri sendiri.

***

Buku 1/4 Abad Gerakan Wanita Indonesia di Sumatera Tengah barangkali adalah buku sejarah pertama yang ditulis oleh perempuan untuk menjelaskan sejarah perempuan di Sumatera Barat yang waktu itu masih menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Di buku itu mereka melihat dirinya sebagai bagian penting dari gerakan anti-kolonialisme serta menegaskan posisi mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Buku kenang-kenangan tersebut, selain dibuat untuk memperingati seperempat abad gerakan wanita Indonesia, juga dibuat untuk memperingati keberhasilan gerakan emansipasi perempuan di mana “Dalam perdjoangan jang seperempat abad, wanita Indonesia sudah dapat menempati kedudukan jang djauh lebih tinggi…”[1].

Buku ini banyak memberi informasi dan gambaran tentang bagaimana perempuan melihat diri mereka sendiri, bagaimana mereka memandang sejarah dan membayangkan masa depan, dan yang tak kalah penting: apa prioritas mereka. Organisasi-organisasi perempuan dengan latar belakang islam, sampai tahun 1950-an itu, tidak meributkan dan mengurus soal-soal seperti pakaian dan aurat. Organisasi perempuan dengan latar Islam tidak merasa lebih suci dari organisasi yang sekular. Singkatnya mereka tidak disibukkan oleh simbol yang artifisial, namun bekerja pada tataran substantif.

Melebihi itu semua, mereka lebih menekankan fungsi sosial organisasi perempuan. Aisjiah, misalnya, yang melihat diri sebagai “gerakan wanita jang mempunjai lapangan-lapangan sosial yang luas, dalam masjarakat…”.[2] Sementara organisasi perempuan yang lebih sekular seperti Gerwis, juga melihat diri dengan cara yang kurang lebih sama. Agenda-agenda organisasi ini seluruhnya bertujuan untuk perubahan sosial. Seperti pemberantasan buta huruf, pemberantasan penyakit, serta penguatan ekonomi-politik perempuan.

Para perempuan yang menyusun buku ini sangat sadar sejarah. Kesadaran sejarah itu, membuat mereka memiliki semacam pemahaman bahwa menjadi wanita berarti mengemban tugas sejarah: Emansipasi, memadjoekan wanita. Secara implisit buku ini menceritakan asal-usul gerakan perempuan di Sumatera Barat tanpa melepaskannya dari kemunculan kelas sosial baru pada peralihan abad XX di daerah yang kini dikenal sebagai Sumatera Barat. Mereka adalah kelas terdidik yang awalnya terbentuk karena kebutuhan Kolonialisme akan tenaga kerja murah namun bisa baca-tulis.

Dalam situasi itu buku ini mengambarkan bagaimana perempuan mengambil tempat dalam sejarah bukan dengan menyembunyikan diri dari problem-problem riil masyarakatnya, namun dengan terjun langsung ke gelanggang sosial sebagai intelektual penggalang opini di surat kabar-surat kabar, sebagai pendidik, serta sebagai organisator. Mereka membangun basis ekonomi dan basis massa dengan mendirikan institusi-institusi modern. Dari mulai mendirikan organisasi-organisasi, mengelola sekolah, serta menerbitkan majalah surat kabar. Saat semua perubahan itu membuat mereka berhadapan dengan tatanan lama, mereka pun mulai mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat.

Di satu sisi, mereka berhadapan dengan masyarakat tradisional yang canggung dengan jaman yang berubah dengan cepat. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan Kolonialisme yang secara langsung menghambat proyek emansipasi mereka. Mereka menentang larangan untuk keluar rumah dan bersekolah bagi perempuan serta larangan untuk tampil di ruang publik. Kemuliaan perempuan kini bukan lagi diukur dengan sejauh mana laki-laki memberi perlindungan, kompetensi perempuan tidak lagi dipahami sebatas pada peran domestik. Bentuk-bentuk baru eksistensi perempuan mewujud dalam aktivisme di bidang politik dan pendidikan.

Hal tersebut sangat nampak pada organisasi-organisasi perempuan masa itu. Seperti Permi Wanita. Permi Wanita yang didirikan pada 1931 yang awalnya bertujuan untuk menyempurnakan “peladjaran dan pendidikan agama” segera menjadi organisasi wanita yang sangat politis karena “sebagaiamana biasanja dinegeri djajahan, tudjuan ini segera mendapat tjorak politik, karena tindasan pendjadjahan terasa disegala lapangang hidup, mulai dari pendidikan sampai keekonomi dan sosial”.[3]

 

Anggota Panitia Kesataun Pergerakan Perempuan Wanita di Sumatera Tengah, terdiri dari berbagai organisasi, perwakilan pemerintah, serta yayasan wanita. Seperti jjasan Budi Mulia; Ikatan Pegawai Wanita; Aisjiah; Djawatan Penerangan Sumatera Tengah; Muslimat; Perti Wanita; PSII Wanita; Perwari; Dinijah Puteri Padang Panjang; serat Wanita Sedar.

 

Sarekat Kaum Ibu Sumatera yang didiriakan pada 1911, dilihat oleh Panitia Persatuan Gerakan Wanita Indonesia Sumatera Tengah sebagai organisasi perempuan pertama di Sumatera.

 

 

Enij Karim dari Perwari

 

Ratna Sari dari Permi Wanita

 

Sjamsiah Abbas dari Perti Wanita

Aisjiah, organisasi perempuan yang terbilang progresif untuk ukuran jamannya. Para anggotanya menentang pelarangan perempuan yang ingin berpidato di ruang publik. Mereka akhirnya memenangkan perdebatan boleh-tidaknya perempuan berpidato di depan khalayak ramai dengan sokongan Buya Hamka.

 

Sekolah untuk perempuan yang berafiliasi dengan Permi (Persatuan Muslim Indonesia), suatu organisasi politik radikal anti-kolonial.

 

Dinijah Puteri, sekolah untuk perempuan yang didirikan oleh Rahmah El-Junusiah ini meski memilih bersikap moderat namun menolak intervensi kolonial terhadap pendidikan.

 

 

 

Permi Wanita adalah organisasi perempuan paling politis di Sumatera Barat setelah kekuatan komunis hancur pasca pemberontakan Silungkakang 1926/27. Beberapa anggotanya, seperti Ratna Sari dan Rasuna Said, ditangkap aparat Kolonial karena sikap anti-kolonial mereka.

 

Anggota Redaksi majalah Medan Puteri yang juga anggota Permi Wanita yang terkena UU-ITE nya Kolonial Belanda.

Ilustrator: Amalia Putri

Catatan kaki:

[1] 1/4 Abad Gerakan Wanita Indonesia di Sumatera Tengah. Hal. 3.

[2] Ibid. Hal. 31.

[3] Ibid. Hal. 33.

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *