Artikel

Benarkah Pattimura Seorang Kyai?

Beberapa hari belakangan dunia sosial media sedang riuh akibat klaim Ustad Adi Hidayat yang menyebut Patimura sesungguhnya ialah seorang pejuang Islam. Klaim itu disampaikannya dalam ceramah yang disiarkan di kanal  Youtube Audio Dakwah berjudul “Pelurusan Sejarah Indonesia: Ternyata Kapiten Pattimura adalah Seorang Kyai.

Dalam video berdurasi tiga menit itu, Adi Hidayat memulai dakwahnya dengan suara menggelegar dan ekspresi yang meyakinkan bahwa Kapiten Pattimura merupakan korban dari penggelapan sejarah Nusantara yang ditulis oleh para orientalis karena ketidaksenangan mereka atas jasa tokoh-tokoh Islam dalam sejarah.

“Siapa nama asli Kapiten Pattimura?” Tanya Adi Hidayat setengah menantang pengetahuan orang-orang dalam video yang kemudian viral tersebut. Jemaahnya serentak menjawab Thomas Matulessy. “Bukan!” Sergah Adi Hidayat. Menurutnya nama asli Kapiten Pattimura bukanlah Thomas Matulessy melainkan Ahmad Lussy.

Adi Hidayat tidak menjelaskan dari mana ia mendapatkan sumber tersebut, namun dengan percaya diri ia berseru, “Ia adalah kyai yang memiliki pesantren besar di Maluku yang pada masa penjajahan mengarahkan santri-santrinya untuk melawan Belanda.”

Pembawa acara mengucapan takbir, dengan dialek yang sengaja diarab-arabkan dan dengan hukum qalqalah kental, disambut dengan gemuruh oleh jemaah.

Sebenarnya aku tertegun mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Adi Hidayat. Kuakui ia memang pandai memainkan ritme. Ditambah argumen yang dilontarkan Adi Hidayat unik. Ia seakan-akan tengah meninjau ulang catatan sejarah lewat data yang berlawanan dengan pandangan banyak orang, meskipun aku sendiri tidak tahu seberapa penting letak agama bagi seorang pahlawan yang telah mati seabad lalu.

“Para orientalis itu sengaja mengganti nama asli Kapiten Pattimura yang sebelumnya Ahmad Lussy menjadi Thomas Matulessy. Untuk apa? Agar generasi muda Islam lupa akan peran tokoh-tokohnya. Jangankan di Indonesia, di dunia, Ibn Sina mereka ubah Aviccena, Ibn Rushd mereka ubah Averroes.” Lanjutnya dengan penuh keyakinan.

Ia  lalu berujar keras, “kalau kalian tidak percaya silahkan baca sejarah!” Tantangnya.

Lantaran itu aku terpancing untuk menjawab tantangannya dan mencari tahu. Apakah benar Kapiten Pattimura adalah seorang pejuang Islam yang melawan Belanda? Dan benarkah juga ia seorang pemimpin pesantren besar sebagaimana yang disebutkan Adi Hidayat tadi?

Setelah pencarian yang cukup menyita waktu, jawaban tentang siapa tokoh yang bergelar Kapiten Pattimura mulai terang.

***

Meskipun di dalam ceramahnya Adi Hidayat tidak menyebut sumber soal nama asli Kapiten Pattimura bukanlah Thomas Matulessy melainkan Ahmad Lussy ia dapati, tapi aku yakin ia pasti mengutip dari Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah Volume I (2014). Pada halaman 202 buku itu ditulis bahwa Kapiten Pattimura merupakan seorang pejuang Islam.

Dari mana aku menarik kesimpulan sepihak bahwa Adi Hidayat mengutip Ahmad Mansyur? Kebetulan ketika aku sibuk mencari tentang tokoh Patimura, tidak sengaja kutemukan sepotong ceramahnya dalam sebuah acara yang diadakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Di sana ia memuji-muji buku Ahmad Mansyur sebagai buku yang memurnikan kembali sejarah Islam di Indonesia dan wajib dibaca oleh orang yang mengaku Muslim.

Lantaran itu, sebenarnya aku ingin berprasangka baik pada Adi Hidayat,  barangkali ia sedang mengamalkan dalil dakwah, “sampaikanlah walau satu ayat.” Namun dalam dunia ilmiah itu tidak bisa dijadikan patokan, sebab dalam penelitian sejarah one witness itu no witness..

Masalahnya di dalam buku Api Sejarah itu juga tidak jelas sumbernya. Tak ada  catatan punggung atau kaki. Ajaib! Karena buku ini, Ahmad Mansyur dikritik habis-habisan oleh beberapa pakar sejarah. Asvi Warman Adam, contohnya, yang menyebut bahwa Mansyur hanya menggunakan sumber sekunder sebagai data rujukan. Itupun serampangan dan tidak kritis. Bahkan rekan sesama dosen Mansyur di Universitas Padjajaran, Tiar Anwar Bachtiar, melekatkan gelar “sejarawan picisan” bagi Mansyur karena sikapnya yang ganjil dalam melihat sejarah.

Menariknya, Ahmad Mansyur hanya menyebut bahwa Pattimura adalah seorang pejuang Muslim, ia tidak sampai pada klaim bahwa Pattimura adalah kyai besar dengan banyak murid.. Jika begitu, dari mana Adi Hidayat mendapatkan data soal Pattimura ialah seorang kyai besar, pemimpin pesantren dan memiliki banyak santri itu? Aku pun tidak tahu. Hanya Adi Hidayat yang bisa menjelaskan ini dan menghentikan polemik Pattimura yang telah berlangsung dari tahun 1960 sampai sekarang, sebagaimana pernyataan Sejarawan Universitas Indonesia, Zeffry Al-Katiri.

Terlepas dari Adi Hidayat punya data atau hanya menafsirkan lebih jauh tentang teori Mansyur agar jemaahnya terkesima mendengar pengetahuannya yang luas, bukan hanya meliputi quran dan hadist, tapi juga sejarah, jujur aku kagum akan  keberaniannya berbicara serampangan tentang sejarah lalu mengaitkan-ngaitkan dengan Islam meskipun tidak memiliki sumber yang jelas.

Bukannya hendak bermaksud mengatakan bahwa Adi Hidayat pemalas dalam membaca sejarah dan karena alasan kepentingan dakwah ia terpaksa mengklaim hal yang tidak-tidak. tapi teori serampangannya itu sudah dibantah oleh ahli waris keluarga Matulessy sendiri. 36 tahun lalu dalam monograf Kapiten Pattimura yang dihimpun oleh IO Nanulitta, mereka mengatakan bahwa Thomas Matulessy adalah seorang Kristen yang taat. Bahkan nama Thomas sendiri diambil dari alkitab.

Buku A History of Christianity Indonesia, yang disusun J.S. Aritonang dan Karel Steenbrink juga menyebut bahwa Thomas Matulessy adalah seorang Kristen. Ia adalah prajurit pasukan Inggris berpangkat sersan yang memberontak saat Belanda menguasai Maluku lantaran kebijakan penghilangan derma bagi guru-guru jemaat (2008: 387).

“Thomas Matulessy juga mengeluhkan soal pemberlakuan uang kertas yang bertentangan dengan adat gereja lokal bahwa derma harus dibayar dengan uang logam.” Tulis J.S. Aritonang dan Karel Steenbrink.

Kalaulah bisa J.B.J. Van Dorren yang mati 149 tahun lalu bangkit dari kuburan, seorang tentara berkebangsaan Belgia-Belanda sekaligus juru tulis perang itu, mungkin dia akan bilang begini:  “Kau baca ini catatanku yang sezaman dengan Thomas Matulessy. Di sini kucatat bahwa Pattimura itu hanyalah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat yang berarti Patih Muda, blok!”

Van Dorren menyebut  catatannya Thomas Matulesia, het hoofd de opstandelingen op het eiland Honimoa na de overname van het beestur Molukken door den lanvoogd J.A. Van Midelkoop in 1817 bahwa selain Thomas Matulessy, ada seorang lagi yang diberi gelar Patimura, yaitu Gaga Bevanu, seorang muslim utusan Sultan Ternate dan juga tangan kanan Matulessy (1857: 32).

Terlepas dari polemik antara Islam dan Kristen soal penting atau tidaknya agama seorang pahlawan di masa penjajahan, aku berusaha melihat Adi Hidayat dengan berprasangka baik, barangkali yang dimaksud Adi Hidayat adalah Gaga Bevanu tadi, hanya saja ia keliru saat membaca catatan Van Dorren itu dan menganggap bahwa Pattimura itu nama kunyah untuk satu orang.

Tapi jika Adi Hidayat bersikeras mengatakan bahwa Pattimura yang ia maksud memang benar Thomas Matulessy, seorang kyai pemimpin pesantren di Maluku bernama Ahmad Lussy, bukan Gaga Bevanu. Maka Adi Hidayat harus…..

Tetiba perut bagian kananku sakit sekali, ah maagku kambuh lagi. Kulihat jam telah menunjuk pukul enam sore. Aiiii, kurang ajar betul! Ternyata hampir seharian waktuku habis hanya untuk menjawab klaim sesat tak bersumber Adi Hidayat ini.  (*)

 

About author

Pemerhati sejarah
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *